• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkah Laku dalam Ilmu Genetika

Baker (2004) mengemukakan definisi tingkah laku adalah aktivitas tingkah laku makhluk hidup yang dihasilkan sebagai sebuah keseluruhan dalam bereaksi dengan dunia di sekelilingnya. Sementara itu, Craig (1981) mengemukakan bahwa tingkah laku bisa didefinisikan sebagai pergerakan hewan, termasuk perubahan dari bergerak ke tidak bergerak, yang dihasilkan sebagai reaksi rangsangan eksternal atau internal. Tingkah laku dapat dihasilkan dalam keadaan sadar/disengaja atau tidak sadar/bergerak tanpa sadar atau secara naluriah (instinctual). Manifestasi fisik dari penyakit adalah

juga tingkah laku. Sebagian tingkah laku seragam untuk seluruh spesies, sementara itu tingkah laku yang lain adalah unik untuk hewan tertentu (Baker 2004).

Ethology adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku hewan (Craig 1981; Jensen 2002). Sejak tahun 1960, ethology berkembang menjadi cabang ilmu pengetahuan hingga saat ini. Ethology terapan tidak hanya berhubungan dengan kesejahteraan hewan (animal welfare) akan tetapi mencakup beberapa bidang yaitu evaluasi

kesejahteraan hewan (welfare assessment), optimalisasi produksi (optimizing production), pengendalian tingkah laku (behavioural control), dan kelainan tingkah

laku (behavioural disorders) (Jensen 2002).

Sehubungan dengan adanya keterkaitan yang sangat erat antara tingkah laku dengan genotipe, maka berkembang hingga kini bidang ilmu Genetika Tingkah Laku (Behaviour Genetics). Genetika tingkah laku adalah ilmu yang mempelajari hubungan

antara faktor genetik dan lingkungan untuk menjelaskan perbedaan tingkah laku individu (Baker 2004) atau mempelajari pengaruh perbedaan genotipe terhadap tingkah laku (Goddard 1980). Bidang genetika tingkah laku bisa dikatakan menjadi kuat ketika Fuller dan Thompson pada tahun 1960 mempublikasikan buku berjudul Genetika Tingkah Laku. Buku tersebut menceritakan sejarah studi psikologi tingkah laku dan inteligensia manusia dari awal abad tersebut dan mereview bukti pengaruh genetik

terhadap tingkah laku (McFarland 1999). Genetika tingkah laku merupakan bidang ilmu yang mengkombinasikan antara perspektif ilmu genetika dan ilmu tingkah laku (Plomin et al. 1990).

Terdapat beberapa peluang aplikasi dari ilmu Genetika Tingkah Laku dalam upaya peningkatan produksi ternak seperti dikemukakan oleh Goddard (1980) yaitu (1) Penggunaan tingkah laku sebagai kriteria seleksi, (2) Pengenalan interaksi genotipe- lingkungan, (3) Penggunaan variasi genetik untuk mempelajari hubungan antar sifat, (4) Penjelasan perbedaan genetik dalam sifat-sifat produksi.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkah Laku

Gen pool dalam suatu populasi hewan selalu mengalami perubahan frekuensi gen

secara perlahan dalam lingkungan alami. Perubahan frekuensi gen dalam populasi dapat terjadi secara cepat bila terdapat campur tangan manusia. Beberapa faktor yang dapat merubah frekuensi gen dalam suatu populasi adalah mutasi, migrasi antar populasi, penghanyutan genetik (random genetic drift) dan seleksi. Pengaruh keempat

faktor tersebut; yang dapat tidak sama; menentukan frekuensi gen dan karakteristik dari suatu populasi, dan secara acak diteruskan kepada generasi berikutnya.

Gen pool dari suatu populasi berevolusi di bawah pengaruh seleksi alam untuk

menyediakan bahan dasar tingkah laku adaptif umum di bawah kondisi alami. Hewan domestik dipelihara secara intensif maka penting disadari bahwa seleksi atas suatu sifat yang diinginkan bisa juga mempengaruhi tingkah laku. Kadang-kadang sifat tingkah laku diseleksi secara langsung. Keefektifan seleksi, baik seleksi alam dan buatan, tergantung kepada variasi genetik yang ada sebelumnya yang disediakan oleh mutasi. Pada beberapa kasus, hewan bermigrasi dari satu populasi ke populasi yang lain, yang dengan cara demikian memasukkan sebuah pool gen yang berbeda. Di lain pihak,

frekuensi gen dari populasi yang relatif kecil, yang terisolasi, mungkin untuk berubah secara nyata karena random genetic drift (Craig 1981).

Pada Gambar 2 ditunjukkan beberapa penentu utama dari tingkah laku individu hewan. Fenotipe seperti yang terlihat adalah tingkah laku yang terobservasi. Tingkah laku dipengaruhi oleh satu set gen-gen yang dimiliki hewan (genotipe), suatu kombinasi

unik yang tidak dimiliki hewan lain kecuali saudara kembar identiknya. Seekor hewan mempunyai banyak gen-gen yang umum dengan individu lain di dalam populasi dimana hewan tersebut menjadi bagian dari populasi tersebut, dan tingkah lakunya lebih banyak mirip dengan individu anggota-anggota populasi tersebut dibandingkan dengan individu anggota populasi yang lain (Craig 1981).

Di samping genotipe, status fisiologi hewan, lingkungan umum, kejadian yang baru terjadi, dan stimulus yang terjadi saat ini juga mempengaruhi tingkah lakunya. Tingkat nutrisi, pengaruh musim seperti panjang hari dan temperatur, kesehatan, pengalaman sebelumnya, dan pelajaran, semuanya dapat mempengaruhi aktivitas tingkah laku yang terlihat (Craig 1981).

Gambar 2. Faktor genetik dan lingkungan yang menentukan populasi dan fenotipe tingkah laku individu (Craig 1981)

Gen pool populasi

Perubahan frekuensi gen secara perlahan dalam

lingkungan alami Migrasi individu antar populasi Seleksi individu yang paling fit Mutasi genetik Random genetic drift, populasi terisolasi

Sampling gen melalui reproduksi seksual ke

individu atau generasi berikutnya

Genotipe Lingkungan internal atau status fisiologi : Umur Jenis kelamin Kelaparan Kesehatan dan lain-lain Lingkungan Eksternal Fisik : Nutrisi Panjang hari Temperatur Pembatasan pergerakan dan lain-lain Sosial : Ukuran kelompok Parental contact Sexual grouping dan lain-lain

Kontrol Genetik dan Pengaruh Lingkungan terhadap Sifat Tingkah Laku

Tingkah laku sebagaimana semua sifat-sifat hewan yang lain dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Kedua faktor tersebut beraksi dalam keselarasan untuk membentuk pola dan karakteristik tingkah laku (Ewing et al. 1999). Sifat tingkah laku

diketahui ada yang dikendalikan oleh gen tunggal, seperti dibuktikan dari hasil penelitian Rothenbuhler pada tahun 1964 mengenai sifat tingkah laku bersih (hygienic)

dan tidak pembersih (nonhygienic) pada lebah madu (Apis mellifera), meskipun

demikian banyak sifat-sifat tingkah laku yang dipengaruhi oleh sejumlah besar gen, seperti dibuktikan hasil penelitian Bentley dan Hoy pada tahun 1972 mengenai suara jangkrik (calling song) (McFarland 1999). Tingkah laku dapat merupakan hasil dari

aktivitas banyak gen di tengah pengaruh banyak faktor lingkungan (Baker 2004).

Gambar 3. Diagram kontrol gen-gen terhadap tingkah laku yang bekerja secara tidak langsung melalui sistem fisiologi (Plomin et al. 1990)

Lingkungan 1 (L1)

Gen 1 (G1) Protein 1 (P1) Intermediary 1 (I1) Tingkah Laku 1 (T1)

L2 G2 P2 I2 I3 T2 G3 P3 I4 I5 T3 L3 L4 L5 Pendekatan dengan titik perhatian gen (Gene-centered approach)

Pendekatan dengan titik perhatian fisiologi (Physiology-centered approach) Pendekatan dengan titik perhatian tingkah laku (Behavior- centered approach)

Plomin et al. (1990) mengemukakan kerja gen yang mengontrol tingkah laku

sebagaimana terlihat pada Gambar 3. Gen-gen mengkode produksi protein tertentu atau mengatur aktivitas dari gen-gen lain. Protein tidak secara langsung menyebabkan tingkah laku. Sebagai contoh satu gen (G2) mengkode protein tertentu (P2), meskipun demikian protein tersebut tidak menyebabkan tipe tingkah laku tertentu. Protein berinteraksi dengan intermediary fisiologi lain (seperti I2) yang bisa berupa hormon

atau neurotransmitter atau bisa juga property struktural dari sistem syaraf. Faktor-

faktor lingkungan (seperti L2, yang bisa berupa nutrisi) bisa juga terlibat. Pengaruh- pengaruh tersebut akhirnya dapat secara tidak langsung mempengaruhi tingkah laku dalam pengaturan tertentu. Pengaruh genetik terhadap tingkah laku berhubungan dengan path yang tidak langsung dan kompleks di antara gen-gen dan tingkah laku

melalui protein dan sistem fisiologi.

Hewan melakukan homeostasis untuk menghadapi perubahan lingkungan eksternal yang dapat mempengaruhi atau mengganggu proses fisiologi normal internal tubuhnya. Proses tersebut adalah proses fisiologi yang demikian kompleks dan khas di dalam tubuh hewan yang selalu mempertahankan status kondisi tubuh yang paling stabil untuk hidup sebagai reaksi adanya kondisi lingkungan eksternal yang berubah. Peran homeostasis yang dilakukan oleh tingkah laku dalam mengontrol lingkungan internal bervariasi tergantung oleh spesies dan penyebabnya (McFarland 1999).

Gambar 3 juga menunjukkan pendekatan-pendekatan untuk mempelajari genetika tingkah laku. Plomin et al. (1990) menjelaskan lebih jauh bahwa gene-centered approach mulai dengan gen tunggal dan mempelajari pengaruhnya terhadap tingkah

laku, misalnya mempelajari mutasi gen tunggal dan mengamati pengaruh tingkah lakunya. Pendekatan yang lain (physiology-centered approach) terfokus kepada intermediary fisiologi antara gen-gen dan tingkah laku. Kedua pendekatan tersebut

menempatkan tingkah laku benar-benar hanya sebuah alat untuk memahami kerja gen- gen dan sistem fisiologi. Pendekatan ketiga (behavior-centered approach) mulai

dengan tingkah laku. Tingkah laku dipilih tidak karena kesederhanaan genetik atau fisiologinya tetapi lebih karena daya tarik intrinsik (intrinsic interest) atau relevansi

Pewarisan Sifat Tingkah Laku

Sebagai konsekuensi dari sifat tingkah laku yang dikendalikan secara genetik maka sifat tingkah laku tersebut diwariskan oleh tetua kepada keturunannya. Bukti- bukti bahwa sifat-sifat tingkah laku dapat diwariskan telah ditemukan pada banyak spesies, seperti pada serangga (Roff dan Mousseau 1987) dan tikus (DeFries et al.

1974). Heritabilitas digunakan untuk mengukur seberapa besar suatu sifat diwariskan kepada keturunannya. Hardjosubroto (1994) mengemukakan bahwa pada umumnya heritabilitas dikatakan rendah bila nilainya berkisar antara 0 sampai 0.1, sedang atau intermedia bila nilainya 0.1 sampai 0.3 dan tinggi bila melebihi 0.3.

Tabel 2. Estimasi nilai heritabilitas untuk beberapa sifat tingkah laku pada beberapa hewan ternak

Spesies Sifat Tingkah Laku Heritabilitas

(%) Sapi Temperamen (kemudahan penanganan selama pemerahan) 47 - 53

Nilai dominansi sosial 0 29

Skor kejinakan 22

Skor pergerakan 0 - 67

Skor temperamen 0 - 67

Skor temperamen maternal 17 - 32

Babi Avoidance learning (pada umur 3 minggu) 50

Kuda Kecepatan berlari 25 - 50

Berjalan, kecepatan derap langkah 40

Skor pergerakan 40

Skor temperamen 25

Kemampuan daya tarik 25

Ayam Konsumsi pakan (broiler), 4 – 8 minggu 86 - 96

Sifat agresif, dominansi sosial 16 57

Frekuensi perkawinan (jantan) 18 - 31

Learning factors 9 - 28

Sumber : Craig (1981) dan Buchenauer (1999)

Pengetahuan tentang besarnya heritabilitas penting dalam mengembangkan seleksi dan rencana perkawinan untuk memperbaiki ternak. Pengetahuan tersebut memberikan dasar untuk menduga besarnya kemajuan untuk program pemuliaan yang berbeda-beda dan memungkinkan untuk membuat keputusan yang penting mengenai

kesepadanan biaya program dengan hasil yang diharapkan. Manfaat lain dari heritabilitas adalah kegunaannya untuk menaksir nilai pemuliaan dari suatu individu (Warwick et al. 1990).

Nilai heritabilitas untuk beberapa sifat tingkah laku seperti terlihat pada Tabel 2. Meskipun respon untuk seleksi mungkin kecil dalam satu generasi (ketika nilai heritabilitas kecil atau sedang), respon genetik kumulatif dan perbedaan fenotipe yang besar dapat dihasilkan beberapa generasi seleksi (Craig 1981).

Tetua Bangsa Domba Komposit

Tetua pembentuk bangsa domba Komposit Sumatera adalah domba Barbados Black Belly, domba St. Croix dan domba Lokal Sumatera sedangkan domba Komposit Garut adalah domba Moulton Charollais, domba St. Croix dan domba Lokal Garut. Ciri-ciri atau standar bangsa tetua dari domba komposit diuraikan sebagaimana diuraikan di bawah ini.

Domba Barbados Black Belly. Barbados Black Belly adalah salah satu domba bulu

yang berkembang biak di Pulau Barbados di Karibia. Bangsa tersebut diturunkan dari persilangan antara domba bulu Afrika dengan bangsa-bangsa domba wool Eropa yang dibawa ke pulau tersebut pada awal pertengahan 1600-an (The American Livestock Breeds Conservancy 2009).

Empat domba betina dan seekor domba jantan domba Barbados Black Belly awalnya diperkenalkan ke Amerika Serikat oleh USDA pada tahun 1904. Impor domba Barbados Black Belly selanjutnya dilakukan North Carolina State University pada tahun 1970 sebagai populasi domba murni untuk penelitian. Saat ini, antara 250.000 hingga 500.000 keturunan domba ini ditemukan di Texas, dimana hampir semua ternak tersebut telah dikawinsilangkan dalam berbagai derajat dengan domba domestik, sebagian besar Rambouillet, dan dalam beberapa tahun terakhir dengan Mouflon Eropa, spesies liar. Melalui penangkaran selektif hati-hati untuk pertumbuhan tanduk, shedding ability, dan

karakteristik warna, crossbred ini dikembangkan menjadi bangsa domba terpisah yang

disebut Black Belly Amerika (Oklahoma State University 1997).

Di dalam situs Barbados Black Belly Sheep Association International Int’l (http://www.Blackbellysheep.org/index.html) dikemukakan standar spesifikasi bangsa domba Barbados Black Belly dan American Black Belly. Warna tubuh dan pola warna

tubuh kedua bangsa tersebut sama, yang membedakan kedua bangsa tersebut adalah bangsa domba Barbados Black Belly pada kedua jenis kelamin tidak mempunyai tanduk sedangkan bangsa domba American Black Belly pada domba jantan mempunyai tanduk.

Gambar 4. Domba Barbados Black Belly jantan (a) dan betina (b) serta domba jantan American Black Belly (c) (Barbados Black Belly Sheep Association International Int’l 2011)

Ciri-ciri standar bangsa domba Barbados Black Belly adalah sebagai berikut (Gambar 4) : Warna tubuh dapat bervariasi dari coklat kekuningan hingga coklat sampai merah gelap. Garis warna hitam dapat bervariasi tetapi harus mencakup perut hitam kontras memanjang ke bawah sisi belakang kaki belakang dan termasuk bagian bawah ekor. Bagian atas hidung dan rahang bawah berwarna hitam dan termasuk sebuah garis hitam terus di bagian depan leher yang berhubungan dengan perut. Tanda hitam lebar dari sudut bagian dalam mata masing-masing ke puncak kepala dan akan terus ke bawah mulut. Tanda-tanda ini disebut bar wajah, tanda ini kadang-kadang lebih jelas pada

(a) (b)

domba jantan. Mungkin ada tanda hitam tambahan dari sudut luar mata ke sudut mulut. Ada sebuah mahkota rambut hitam di bagian atas kepala. Bagian dalam telinga berwarna hitam. Kaki depan dan kaki belakang hitam ke bawah dari lutut; sering tepi luar kaki tidak hitam. Jantan dewasa memiliki surai rambut kasar yang menutupi leher dan ke bawah dada (Barbados Black Belly Sheep Association International Int’l 2011).

Domba St. Croix. Domba St. Croix merupakan salah satu keluarga domba rambut

Karibia yang dikembangkan dari domba rambut Afrika Barat dan beberapa domba wool Eropa yang dibawa ke Karibia awal tahun 1600-an. Sebagian besar domba ini berwarna putih dengan beberapa cokelat tua, coklat, hitam atau putih dengan coklat atau bintik hitam (Gambar 5). Kedua jenis kelamin tidak bertanduk dan domba jantan mempunyai rambut leher yang besar (The American Livestock Breeds Conservancy 2009; Oklahoma State University 1997).

Pada tahun 1975, diimpor 25 ekor domba St. Croix yang terdiri dari 23 ekor domba betina dan 3 domba jantan ke US olah Dr. W. C. Foote dari Utah State University. Domba tersebut diseleksi berdasarkan kriteria warna putih, sedikit wol dan ukuran tubuh serta konformasi. Domba-domba ini adalah cikal bakal dari bangsa domba St. Croix saat ini yang ada di US (Oklahoma State University 1997).

Gambar 5. Domba St. Croix jantan (a) dan betina (b) (Rising Sun Farm 2006)

Domba Charollais. Domba Charollais berasal dari Perancis yang dibentuk pada awal

tahun 1800-an dari persilangan bangsa domba Leicester Longwool dan bangsa domba lokal Landrace. Bangsa domba ini digunakan terutama sebagai terminal sire

meningkatkan perototan dan laju pertumbuhan domba. Domba Charollais termasuk

domba berukuran sedang hingga besar, bertubuh panjang, perototan tebal dan baik, dada dalam dan lebar. Kepala bebas dari wool, berwarna abu-abu/agak merah muda kadang- kadang dengan totol-totol (Gambar 6) (Oklahoma State University 1997; National Sheep Association 2012).

Gambar 6. Domba Charollais jantan (a) dan betina (b) (Coldharbour Charollais 2008)

Domba Sumatera. Domba lokal Sumatera dikategorikan sebagai domba yang lambat

laju pertumbuhannya serta memiliki ukuran tubuh dewasa yang kecil (Iniguez et al.

1991). Warna tubuh dominan domba lokal Sumatera umumnya coklat muda (50.9 %) atau putih (41.2 %), sedangkan warna lainnya dalam persentase kecil adalah coklat sedang, coklat tua dan hitam (Gambar 7).

Gambar 7. Domba lokal Sumatera jantan (a) dan betina (b) (atas kebaikan Prof. Dr. Ir. Subandriyo, M.Sc., Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor)

(a) (b)

Pola warna tubuh umumnya satu warna (61.8 %) atau dua warna (35.5 %) hanya sedikit yang berpola tiga warna (2.8 %). Warna belang domba lokal Sumatera umumnya putih (33.3%), coklat muda (26.1%) dan abu-abu (21.7%), dengan proporsi penyebaran belang 1-10 % (60.3%) dan 10-20% (19.1%). Domba lokal Sumatera sebagian besar mempunyai garis muka lurus (68.6%), sedangkan yang mempunyai garis muka cembung mencapai 27.5% dan sisanya cekung (3.9%). Umumnya memiliki wool penutup tubuh yang relatif tebal terkecuali pada perut, kaki bawah atau kepala (74.9%) sedangkan yang memiliki tipe bulu rambut hanya mencapai 11.1% (Priyanto et al.

2000).

Domba Garut. Domba Garut atau Priangan merupakan domba yang diduga terbentuk

secara spontan melalui populasi awal hasil persilangan tiga bangsa domba yaitu Kaapstad, Merino dan domba lokal. Istilah domba Priangan diduga sesuai asal penyebarannya yang dilakukan oleh K. F. Holle sekitar tahun 1864 berawal dari di daerah Garut kemudian menyebar ke daerah Priangan (Bandung, Sumedang, Ciamis dan Tasikmalaya) (Merkens dan Soemirat 1926). Di Garut melalui persilangan yang tidak terencana tampaknya terdapat dua arah pengembangan, yaitu yang mengarah ke domba daging dan domba tangkas (Mulyaningsih 1990).

Domba Garut daging umumnya berwarna putih baik pada yang jantan (47.7%) maupun betina (53.7%) atau dalam persentase kecil berwarna hitam, coklat dan abu-abu (Gambar 8). Sementara itu, warna tubuh domba Garut tangkas warna putih dan hitam adalah warna yang umum baik pada jantan (21.5% putih, 19.3% hitam) maupun pada betina (21.6% putih, 23.6% hitam), terdapat domba yang berwarna coklat dan abu-abu dalam persentase kecil. Domba Garut daging umumnya mempunyai warna tubuh satu warna baik pada yang jantan (61.3%) maupun yang betina (68.5%), sedangkan yang mempunyai dua warna sebanyak 37.2% dan tiga warna sebanyak 1.5% untuk yang jantan dan untuk yang betina 28.6% dan 2.9% mempunyai kombinasi dua warna dan tiga warna. Domba Garut tangkas yang jantan umumnya mempunyai kombinasi warna tubuh dua warna (52.4%) atau satu warna (46.5%), sedangkan domba betina umumnya satu warna (58.8%) dan dua warna (38.2%), terdapat domba dengan persentase kecil yang mempunyai kombinasi tiga warna. Domba Garut daging jantan, Garut tangkas jantan dan betina yang mempunyai kombinasi dua warna umumnya adalah berwarna hitam putih atau putih hitam, sedangkan domba Garut daging betina umumnya putih

hitam atau putih coklat. Domba jantan Garut daging dan tangkas seluruhnya bertanduk sedangkan domba betina Garut daging lebih dari 98% tidak bertanduk kecuali domba Garut tangkas diperoleh 2.1% bertanduk dan 14.8% berupa tonjolan (Mulliadi 1996).

Gambar 8. Domba Garut jantan (a) dan kelompok domba Garut betina (b)

Pembeda Bangsa Ternak

Definisi bangsa ternak menurut FAO (2000) adalah sekelompok ternak domestik dengan karakteristik eksternal yang dapat didefinisikan dan dapat dikenali yang memungkinkan kelompok tersebut dapat dibedakan secara visual dari kelompok yang lain di dalam spesies yang sama. Definisi lain bangsa ternak yang dipakai secara umum adalah populasi atau kelompok populasi yang dapat dibedakan dari populasi lain dari suatu spesies yang didasarkan pada perbedaan frekuensi alel, perubahan kromosom atau perbedaan karakteristik morfologi yang disebabkan oleh faktor genetik (Maijala 1997). Sementara itu, Carter dan Cox (1982) mengemukakan definisi bangsa ternak adalah suatu sub-kelompok ternak domba yang telah diketahui pembentukannya oleh asosiasi bangsa domba tertentu atau telah tercatat dalam official flockbook. Berbagai bangsa ternak di

dunia dan karakteristiknya dengan mudah dapat diakses di beberapa website yang dikelola

oleh asosiasi atau breeder maupun perguruan tinggi, diantaranya adalah http://www.cattle-

today.com/aubrac.htm untuk bangsa-bangsa ternak sapi, http://www.sheep101.info/ breeds.html untuk bangsa-bangsa domba dan http://www.ansi.okstate.edu/breeds/ yang mempublikasikan berbagai bangsa ternak dari beberapa spesies ternak domestik.

Studi untuk mengkarakterisasi suatu suatu bangsa ternak umumnya diperlukan untuk memberikan gambaran karakteristik bangsa ternak tersebut. Apabila suatu bangsa ternak telah ditetapkan beserta karakteristik yang dimilikinya maka penyimpangan karakteristik dari yang telah ditetapkan dapat menjadi indikasi bahwa bangsa tersebut telah “tidak murni” atau telah terjadi aliran gen dari luar bangsa tersebut. Karakterisasi bangsa ternak yang membedakannya dengan bangsa lain dapat menjadi ukuran kemurnian bangsa tersebut dan sebagai dasar program konservasi bagi bangsa ternak tersebut.

Dalam kegiatan karakterisasi, sifat/karakter yang diamati sebenarnya dapat berupa sifat morfologis, pertumbuhan, reproduksi, kemampuan adaptasi, ketahanan parasit dan penyakit, atau beberapa sifat unik yang diwariskan seperti tipe golongan darah, karyotipe, polimorfisme biokimia dan DNA atau frekuensi gen untuk tiap-tiap bangsa (Balain 1992). Sebagai penanda atau pembeda bangsa dan dari definisi bangsa ternak di atas, maka penanda bangsa ternak dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelompok, yaitu (1) Penanda DNA, (2) Penanda kromosom, (3) Penanda biokomia atau serologi, dan (4) Penanda morfologi.

Penanda DNA. Jenis penanda DNA yang digunakan untuk membuat peta genetik

umumnya dapat digolongkan ke dalam dua kategori (O’Brien et al. 1993). Jenis

pertama (tipe I) adalah penanda yang terkait dengan runutan gen yang terkonservasi di seluruh spesies mamalia. Jenis ini tidak polimorfik dan oleh karena itu sukar untuk digunakan dalam linkage maping. Jenis kedua (tipe II) adalah sangat polimorfik tetapi

biasanya merupakan segmen DNA anonimous dan paling umum digunakan sebagai

penanda genetik.

Hingga saat ini telah dikembangkan berbagai penanda DNA yang digunakan untuk mempelajari variasi yang terdapat pada runutan DNA yang dapat digunakan sebagai pembeda bangsa. Beberapa penanda DNA yang biasa digunakan adalah RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), SSCP (Single-Strand Conformational Polymorphism), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), VNTR (Variable Number of Tandem Repeats

/Minisatelit), STR (Short Tandem Repeat /Mikrosatelit), SNP (Single Nucleotide Polymorhism) dan lain-lain (Montgomery dan Crawford 1997; Barendse dan Fries

1999). Handiwirawan (2003) telah berhasil menguji penanda mikrosatelit INRA 035 yang dapat digunakan sebagai penanda bangsa sapi Bali yang membedakannya dengan

bangsa sapi lain di Indonesia. DNA runutan berulang juga telah berhasil digunakan untuk membedakan spesies tikus Mus musculus dan Mus caroli (Siracusa et al. 1983). Penanda Kromosom. Jumlah kromosom diploid domba domestik (Ovis aries) adalah

54 buah. Autosom terdiri dari tiga pasang kromosom metasentrik besar dan 23 pasang kromosom telosentrik. Kromosom X adalah kromosom akrosentrik paling besar dan kromosom Y adalah kromosom metasentrik sangat kecil, yang biasanya menyerupai sebuah titik persegi empat kecil (Broad et al. 1997). Polimorfisme kromosom pada

mamalia diketahui khususnya pada kromosom kelamin. Stranzinger et al. (2007) telah

melaporkan adanya polimorfisme panjang kromosom Y pada berbagai bangsa sapi di Switzerland. Panjang relatif kromosom Y dapat membedakan bangsa sapi Holstein (hitam dan merah) dengan bangsa sapi purebred Brown Swiss, crossbred Brown Swiss, purebred Simmental dan berbagai bangsa sapi potong asli (terutama bangsa sapi

Limousin, Angus dan Charollais). Sementara itu, rasio panjang lengan kromosom Y dapat membedakan sapi Holstein dengan crossbred Brown Swiss dan berbagai bangsa

sapi potong asli (terutama bangsa sapi Limousin, Angus dan Charollais). Berdasarkan

Dokumen terkait