DALAM BENTUK GRANUL DAN APLIKASINYA
TINJAUAN PUSTAKA Yogurt
Yogurt menurut SNI 01-2981-1992 adalah produk yang diperoleh dari susu yang telah dipasteurisasi, kemudian difermentasi dengan bakteri tertentu sampai diperoleh keasaman, bau dan rasa yang khas, dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diizinkan (BSN, 1992). Yogurt merupakan produk hasil fermentasi susu dengan menggunakan bakteri sebagai starternya. Jenis bakteri yang digunakan adalah Streptococcus sulvarius subsp. thermophilus dan Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus (Vedamuthu, 2006).
Tabel 1. Standar Mutu Yogurt, SNI 01-2981-1992
Kriteria Uji Persyaratan
Keadaan
Penampakan Cairan kental sampai semi padat
Bau Normal/khas
Rasa Asam/khas
Konsistensi Homogen
Lemak Maks. 3,8%, bb
Bahan kering tanpa lemak Min. 8,2%, b/b
Protein (N x 6,37) Min.3,5%, b/b
Abu Maks.1,0
Jumlah asam 0,5-2,0%, b/b
Cemaran Mikroba
Bakteri coliform Maks. 10 APM/g
E. coli <3 APM/g
Salmonella Negatif/100 g
Sumber : Dewan Standadisasi Nasional, 1992
Proses fermentasi yogurt menurut Widodo (2003), dilakukan sampai diperoleh pH akhir berkisar antara 4,4-4,5 diikuti dengan terbentuknya flavor yang khas karena terbentuknya asam laktat, asam asetat, asetaldehid, diasetil dan senyawa
volatil lain. Proses pembuatan yogurt menurut Buckle et al. (1987) dimulai dengan pemanasan susu yang akan difermentasi pada suhu 90o C selama 15-30 menit, kemudian didinginkan sampai suhu 43o C. Inokulasi dilakukan dengan penambahkan 2% kultur campuran Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus dan diinkubasi pada suhu 43o C selama kurang lebih tiga jam hingga tercapai keasaman yang dikehendaki yaitu 0,85%-0,9% asam laktat atau mencapai pH 4,0-4,5.
Komposisi produk fermentasi bergantung pada kondisi susu awal dan metabolisme spesifik dari pertumbuhan kultur mikroorganisme. Aktivitas dari starter yogurt memungkinkan terjadi degradasi laktosa dan produksi asam laktat yang berakibat pada penurunan pH, sehingga kadar asam yogurt relatif tinggi dan terbentuknya gumpalan yogurt. Proses fermentasi yogurt mengubah laktosa yang terdapat dalam susu menjadi asam laktat. Penggunaan kultur starter yogurt adalah sebanyak 2%-5% dari bahan yang digunakan (Surono, 2004).
Kultur Starter
Menurut Rahman etal. (1992) kultur starter merupakan bagian yang penting dalam pembuatan yogurt. Beberapa aspek penting yang harus diperhatikan untuk suatu kultur yaitu bebas dari kontaminasi, pertumbuhannya yang cepat, menghasilkan flavor yang khas, tekstur dan bentuk yang bagus, tahan terhadap bakteriofage dan juga tahan terhadap antibiotik. Perbandingan yang sesuai antara jumlah Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus sangat diperlukan dalam pembentukan flavor dan tekstur pada yogurt.
Streptococcus thermophillus menghasilkan asam folat yang dibutuhkan oleh Lactobacillus bulgaricus yang menghasilkan asam amino dan peptida yang dibutuhkan oleh Streptococcus thermophillus. Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus pada yogurt, saling mendukung dalam menghasilkan asam laktat dan aroma. Streptococcus thermophillus menghasilkan asam piruvat, asam format serta asam folat yang menstimulir pertumbuhan Lactobacillus bulgaricus. Lactobacillus bulgaricus sebagai imbalannya menyediakan peptida dan asam amino yang menstimulir pertumbuhan Streptococcus thermophillus, mengingat bakteri ini kemampuan proteolitiknya lebih rendah bila dibandingkan dengan Lactobacillus bulgaricus (Surono, 2004; Silva et al., 2005).
Streptococcus thermophilus
Streptococcus thermophilus dibedakan dari genus Streptococcus lainnya berdasarkan pertumbuhannya pada suhu 45 0C dan tidak dapat tumbuh pada 10 0C (Tamime dan Robinson, 1989). S. thermophilus adalah bakteri berbentuk kokus dengan diameter 0.7-0.9 µm yang kadang-kadang membentuk rantai, termasuk kelompok Gram positif, tidak berspora, bersifat termodurik dengan pH optimal untuk pertumbuhannya adalah 6.5 (Vedamuthu 2006). Karakteristik S. thermophilus lainnya adalah menghasilkan konfigurasi L (+) asam laktat, tidak memfermentasi maltosa (Salminen dan von Wright 1998).
Lactobacillus bulgaricus
Lactobacillus bulgaricus adalah bakteri Gram positif, membentuk koloni dengan diameter 1-3 µm, tumbuh pada 45 0C, tidak berspora, katalase negatif dan bersifat termodurik (Kosikowski, 1982). L. bulgaricus termasuk Thermobacterium grup serologi E, mampu memfermentasi laktosa dan selabiosa, tetapi tidak maltosa dan manitol, serta memerlukan beberapa vitamin dalam pertumbuhannya (Robinson, 1981).
Probiotik
Menurut Surono (2004), probiotik adalah jumlah mikroba yang cukup agar memberikan efek positif bagi kesehatan. Tidak semua bakteri laktat bersifat probiotik dan hanya jenis bakteri laktat tertentu menempati saluran pencernaan. Menurut Tamime (2005), beberapa jenis mikroba probiotik yang dapat dimanfaatkan yaitu Lactobacillus spp., Bifidobacterium spp. and Enterococcus spp. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi viabilitas kultur probiotik dalam susu fermentasi termasuk keasaman produk akhir susu fermentasi, tersedianya nutrisi, perembesan oksigen melalui kemasan. Menurut Kailasapathy et al., (2000) jumlah minimal sel probiotik hidup pada produk susu yogurt untuk dapat berperan sebagai agensia pemacu kesehatan tubuh adalah sekitar 106 sel per gram produk. Menurut Gibson dan Fuller (2000) beberapa kriteria bakteri probiotik adalah sebagai berikut:
1. berasal dari starin asal, bakteri tersebut diisolasi dari spesies yang sama dan digunakan sesuai dengan tujuan penggunaan agar bakteri tersebut dapat hidup terus,
2. aman, probiotik yang digunakan harus aman (GRAS) dengan berbagai kemungkinan adanya ketahanan terhadap transfer antibiotik,
3. dapat bertahan hidup di dalam makanan dan proses pencernaan. Bakteri probiotik ini harus dapat tahan terhadap asam, sekresi empedu dan dapat melekat pada sel epitel,
4. dapat tumbuh dalam kultur starter tanpa terjadi fariasi genetik.
Lactobacillus acidophilus
Lactobacillus acidophilus merupakan bakteri berbentuk batang, termasuk dalam famili Lactobacillaceae, genus Lactobacillus. Bakteri ini termasuk golongan Gram positif, tidak dapat membentuk spora, anaerob fakultatif dan bersifat mesofilik. Lactobacillus acidophilus mempunyai sifat homofermentatif, non motil dan mampu menghasilkan DL-asam laktat. Produksi asam laktat sebanyak 0,3%-1,9% dihasilkan pada suhu pertumbuhan optimal 35-45oC, bila suhu kurang dari 15oC maka tidak terjadi pertumbuhan. Nilai pH optimal untuk pertumbuhannya adalah 5,5-6,0. Lactobacillus acidophilus tidak dapat memfermentasi ribosa, memproduksi treonin, aldosa dan alkohol dehidrogenase yang berpengaruh terhadap aroma, serta dapat menggunakan komponen nutrisi, yaitu asam asetat (asam mevalonat), riboflavin, asam panthothenat, kalsium, niacin dan asam folat (Nakazawa dan Hosono, 1992; Tamime dan Robinson, 1999; Wood dan Holzapfel,1995).
Bifidobacterium longum
Bifidobacterium mempunyai beberapa karakteristik yaitu bakteri yang tergolong Gram positif, anaerob obligat, tidak dapat membentuk spora, mempunyai diameter dengan panjang 2-8µ dan suhu optimum untuk pertumbuhan adalah 36-380C. Bifidobacterium memfermentasi 1 mol glukosa dengan fruktosa-6-fosfat kinase untuk memproduksi 1,5 mol asam asetat dan 1 mol asam laktat. Bifidobacterium tidak menghasilkan CO2, asam butirat dan asam propionat (Nakazawa dan Hosono, 1992).
Bifidobacterium hidup pada lapisan lumen kolon dan lebih spesifik lagi membentuk koloni dalam jumlah banyak, menyerap nutrisi, mensekresi asam laktat, asam asetat dan senyawa antimikroba. Bifidobacterium dominan pada dinding usus
sehingga mencegah dinding usus dari kolonisasi bakteri yang tidak diinginkan (E. coli) atau khamir (candida) (Tamime dan Robinson, 1999).
Surono (2004) menjelaskan, Bifodobacterium menghasilkan bifidan sebagai eksopolisakharida (EPS) yang terbukti mengawali adhesi dan sebagai pelekat permanen. Beberapa senyawa EPS mengandung gluko- dan frukto-sakharida dan bisa menghasilkan asam lemak rantai pendek sehingga terhidrolisis dalam saluran usus oleh mikroflora usus besar serta memberi efek positif bagi kesehatan dan manfaat nutrisi sebagai prebiotik bagi flora usus.
Prebiotik
Prebiotik adalah oligosakarida yang tidak dapat tercerna sehingga menjadi suatu media selektif untuk menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas spesifik spesies bakteria di dalam kolon untuk kesehatan manusia. Prebiotik yang umum seperti inulin dan fructooligosakarida terdapat secara alami dalam di dalam varietas tanaman pangan (Yeung et al., 2005; Gibson dan Fuller, 2000). Menurut Gibson dan Roberfroid (1995) bahan pangan dapat dikatakan sebagai prebiotik bila memenuhi beberapa persyaratan seperti:
1. tidak mengalami hidrolisis atau terabsorpsi pada bagian atas sistem pencernaan manusia (lambung dan usus kecil),
2. salah satu substrat selektif sehingga berpotensi untuk hidupnya bakteri di dalam kolon yang dapat menstimulasi pertumbuhan dan atau aktivitas metabolisme bakteri probiotik,
3. mempunyai pengaruh baik terhadap ekosistem mikroflora probiotik dalam usus sehingga dapat memberikan efek kesehatan.
Prebiotik pada umumnya adalah karbohidrat dalam bentuk oligosakarida (oligofruktosa) dan serat. Beberapa komponen makanan yang menjangkau kolon secara utuh disebut sebagai prebiotik. Prebiotik dapat berasal dari oligosakarida tidak dapat tercerna seperti fruktooligosakarida (FOS), trans-galaktosakarida (TOS), isomaltooligo sakarida (IMO), xylo-oligosakarida (XOS), soyoligosakarida (SOS), glukooligo sakarida (GOS) dan laktosukrosa. Oligosakarida adalah gula yang terdiri atas 2 hingga 20 unit sakarida, dengan unit tersebut merupakan rantai pendek polisakarida. Beberapa oligosakarida terdapat dalam makanan seperti bawang
bombay, asparagus, chichory, bawang putih, bawang, gandum, pisang dan oat (Tamime, 2005).
Pengeringan Kultur Bakteri
Adanya transfer yang berulang-ulang dapat menyebabkan hilangnya beberapa sifat khusus kultur starter. Hal ini dapat diatasi dengan kultur dikeringbekukan dalam susu. Kultur starter yang dikeringbekukan dapat disimpan dalam suhu ruang selama beberapa tahun selain itu selama distribusi kultur starter yogurt dilakukan dalam bentuk kering karena daya tahannya lebih lama bila dibandingkan dengan starter dalam bentuk cair (Rahman etal.,1992).
Pengeringan kultur starter ditujukan untuk melindungi beban kerja yang harus dilakukan pada pemeliharaannya dalam bentuk cair, memperpanjang masa simpan dan memudahkan distribusi kultur tanpa terjadi kehilangan aktivitas. Metode pengeringan yang biasa dilakukan adalah pengeringan vakum, pengeringan semprot dan pengeringan beku (Tamime dan Robinson, 1999). Penggunaan kultur starter kering bertujuan untuk mengurangi pekerjaan pemeliharaan kultur seperti yang harus dilakukan pada kultur cair. Kultur kering beku atau freeze dried yang paling banyak digunakan dibandingkan dengan jenis kultur starter kering lainnya, mengingat jumlah bakteri hidup relatif lebih stabil pada kultur kering beku (Surono, 2004).
Pengering Beku
Freeze dry atau pengeringan beku adalah proses pengeluaran air dari suatu produk dengan cara sublimasi dan bentuk padat (es) menjadi gas (uap air). Bahan yang akan dikeringkan baik dalam bentuk padat-basah maupun cair atau larutan dibekukan di bawah kondisi hampa udara atau tekanan atmosfir yang diikuti perubahan fase dari bentuk es menjadi uap (Wiratakartakusumah et al., 1992).
Metode pengeringan kultur starter yang paling banyak digunakan adalah pengeringan beku. Metode ini menghasilkan viabilitas dan persentase mikroba hidup selama penyimpanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan lainnya (Tamime dan Robinson, 1999). Menurut Buckle et al., (1987) proses kering beku adalah pengeringan secara pembekuan (pembekuan disusul dengan pengeringan). Pada proses pengeringan beku terjadi sublimasi yaitu perubahan dari bentuk es dalam
bahan yang beku langsung menjadi uap air tanpa mengalami proses pencairan terlebih dahulu.
Pengering Semprot
Menurut Wiratakartakusumah et al. (1992), alat pengering tipe semprot digunakan untuk mengeringkan suatu larutan, campuran atau produk cair lainnya menjadi bentuk bubuk pada kadar air yang mendekati kesetimbangan dengan kondisi udara pada tempat produk keluar. Prinsip pengeringan semprot cukup sederhana yaitu cairan disemprotkan ke dalam aliran gas panas, air dalam tetesan (droplet) menguap dengan cepat meninggalkan tepung kering. Tepung dipisahkan dari udara yang mengangkutnya dengan menggunakan separator atau kolektor tepung.
Bahan Pelindung
Bahan pelindung atau biasa juga disebut bahan pengikat merupakan suatu bahan yang ditambahkan dalam kultur bakteri dengan tujuan mengurangi kerusakan selama proses pengeringan kultur starter. Menurut Fardiaz (1987), untuk mencegah kerusakan selama proses pengeringan, perlu digunakan komponen pelindung yang mempunyai sifat-sifat diantaranya dapat mencegah terjadinya pengeringan total sehingga kerusakan DNA dan kematian sel dapat dicegah, meminimalkan pembentukan kristal es selama pembekuan cepat, sehingga dapat melindungi kultur kering dari kerusakan fisik.
Senyawa Kriogenik
Senyawa kriogenik adalah suatu senyawa yang ditambahkan ke dalam kultur bakteri dengan tujuan untuk membantu kultur bakteri menjaga stabilitasnya terhadap perlakuan pengeringan. Menurut Tamime dan Robinson (1999), kerusakan sel akibat proses pengeringan dapat diminimumkan dengan penambahan senyawa-senyawa kriogenik seperti asam, L-glutamat atau Na-glutamat, L-arginin, asetil glisin, kasiton, laktosa, ekstrak malt, gliserol, pektin, glukosa, sukrosa dan gula-gula alkohol. Salah satu krioprotektan yang digunakan adalah laktosa. Laktosa adalah karbohidrat utama yang terdapat di dalam susu, merupakan disakarida yang terdiri atas glukosa dan galaktosa. Laktosa mudah sekali diragikan oleh bakteri asam laktat menjadi asam laktat yang merupakan ciri khas susu yang diasamkan (Buckle et al., 1987).. Laktosa
adalah disakarida yang terdiri atas glukosa dan galaktosa, dihubungkan dengan β1-4 ikatan glikosidik (Fox etal. 1998).
Maltodekstrin
Maltodekstrin merupakan produk hidrolisa pati (polimer sakarida tidak manis) yang terbentuk dari ikatan glikosidik (1-4) α-D-glukosa dengan panjang rata-rata 5-10 molekul. Rumus umum maltodekstrin adalah [(C6H10O5)n H2O]. Maltodekstrin memiliki DE (Dextrose Equivalent) kurang dari 20. DE menunjukkan persentase dari dextrose murni dalam basis berat kering pada produk hidrolisis. Maltodekstrin memiliki derajat polimerisasi 3-20. Derajat polimerisasi (DP) dinyatakan dengan kesetaraan dextrose (DE). Maltodekstrin banyak diaplikasikan pada industri pangan, dalam penggunaan utamanya sebagai bahan pengisi (Dziedzic dan Kearsley, 1984; Kennedy et al. 1995).
Mikroenkapsulasi
Menurut Tamime (2005) mikroenkapsulasi adalah suatu proses untuk menahan sel dengan suatu membran enkapsulasi untuk menghambat pengurangan sel bakteri selama proses berlangsung. Mikroenkapsulasi adalah suatu upaya terhadap perlindungan mikrooganisme dalam: melawan oksigen, panas dan lingkungan sebelum pengeringan, formulasi dan penyimpanan, perlindungan terhadap pH yang rendah dan enzim protease, pelepasan bakteri yang efisien pada saluran pencernaan. Mikroenkapsulasi juga sebagai kontrol difusi oksigen yang melewati dinding dan memastikan penurunan viabilitas sel bakteri dalam jumlah yang sedikit di dalam makanan. Aplikasi dari mikroenkapsulasi sangat penting dalam memproduksi makanan fungsional yang menggunakan konsentrasi bakteri dalam jumlah yang tinggi dan bahan biologis dari bakteri asam laktat (Anal dan Singh, 2007).
Alginat
Polimer yang bisa digunakan pada proses enkapsulasi suatu senyawa aktif adalah yang bersifat biokompatibel dan biodegradabel. Contoh polimer yang dapat digunakan untuk proses enkapsulasi adalah biopolimer alami seperti kalsium alginat, karagenan, gum, dan kitosan (Anal dan Singh, 2007). Alginat juga merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan dalam proses mikroenkapsulasi. Alginat berasal dari ganggang coklat (Phaeophyceae) yaitu rumput laut penghasil hidrokoloid.
Hodrokoloid yang dihasilkan adalah alginat atau algin yang yang sesungguhnya adalah istilah generik dari garam-garam dan turunan asam alginat (Fardiaz, 1991). Alginat tersusun atas monomer asam manuronat dan asam guluronat dengan ikatan -1-4. Bagian poliglukoronat secara selektif berikatan dengan ion kalsium, ikatan ini sangat penting dalam menentukan kekuatan gel alginat. Alginat dimanfaatkan karena sifat garamnya yang larut di dalam air dan membentuk larutan kental yang berkenaan dengan fungsinya sebagai pengental, pemantap suspensi, pengemulsi dan pembentuk film (Angka dan Suhartono, 2000). Alginat banyak digunakan sebagai bahan enkapsulasi karena alginat dalam bentuk garam natrium-alginat mudah didapatkan, murah, bersifat biokompatibel, tidak beracun dan tidak karsinogen (Brown et al., 2006). Struktur monomer alginat dan ikatan monomernya terdapat pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Monomer-monomer alginat
Granul
Granula adalah gumpalan-gumpalan dari partikel-partikel yang lebih kecil. Umumnya berbentuk tidak merata dan menjadi seperti partikel tunggal yang lebih besar. Granulat tidak memiliki bentuk geometris yang harmonis, dalam banyak hal bentuk luarnya berupa peluru atau bola, batang, silinder dan sebagainya, dengan permukaan yang pada umumnya tidak rata, butiran granulatnya berpori (Voight,1995). Menurut Voight (1995), kriteria granul yang ideal dari evaluasi terhadap granul siap cetak, diantaranya yaitu (a) ukuran granul seragam atau memiliki distribusi butiran sempit dan mengandung serbuk halus.
Zat Pengisi atau Filler
Bahan pengisi adalah bahan yang ditambahkan agar diperoleh suatu bentuk atau ukuran dan volume yang sesuai. Bahan pengisi merupakan komponen penting untuk zat yang berkhasiat dan jumlahnya sangat kecil. Bahan pengisi yang digunakan harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu (1) non toksik, (2) tersedia dalam jumlah yang cukup di semua negara tempat produk itu dibuat, (3) harganya cukup murah, (4) stabil secara fisik dan kimia dan (5) bebas dari segala bentuk mikroba. Penambahan bahan pengisi bertujuan agar diperoleh suatu bentuk, ukuran dan volume yang sesuai. Bahan pengisi yang umum digunakan antara lain sukrosa, laktosa, manitol, sorbitol dan selulosa. Sukrosa merupakan bahan pengisi yang paling banyak digunakan karena harganya murah dan tidak bereaksi dengan hampir semua bahan obat, baik yang digunakan dalam bentuk hidrat ataupun anhidrat (Lachman et al., 1994). Zat Pengikat atau Binder
Bahan pengikat merupakan bahan pembantu yang bertanggung jawab untuk kekompakan dan daya tahan dari granul. Pemakaian bahan pengikat disesuaikan dengan bahan aktif untuk pembuatan granul. Bahan pengikat yang ditambahkan sebaiknya tidak terlalu banyak karena beberapa bahan pengisi juga dapat dipakai sebagai bahan pengikat. Contoh bahan pengikat adalah polivinilpirolidon, sukrosa, gelatin dan pasta amilum (Lachman et al., 1994).
Pembuatan Granul
Proses pembuatan granul disebut granulasi. Proses granulasi secara umum dapat dikatakan sebagai proses agromerasi atau pembearan ukuran partikel kecil menjadi aglomerat yang secara fisik lebih besar dan kuat, sedangkan partikel asal masih dapat diidentifikasi. Berdasarkan digunakan atau tidaknya cairan untuk melarutkan atau mengembangkan bahan pengikat, metode granulasi dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu granulasi basah dan granulasi kering (Polderman, 1990). Metode granulasi basah adalah metode yang digunakan bila bahan obat tidak dapat dicetak langsung, misalnya bahan obat yang memiliki sifat kohesif, kompresibilitas dan sifat aliran yang kurang baik sementara dosisnya besar sehingga diperlukan bahan pengikat (Ansel, 1989). Bahan yang akan dicetak dilembabkan dengan larutan pengikat, sehingga serbuk terikat bersama dan terasa seperti tanah yang lembab, kemudian serbuk tersebut dikeringkan menggunakan oven, setelah kering ukuran diperkecil dengan granulator atau pengayakan dan siap untuk dicetak (Liebermen et al., 1992).
Pengemasan
Pengemasan merupakan suatu cara dalam memberikan kondisi sekeliling yang tepat bagi bahan pangan dan dengan demikian membutuhkan pemikiran dan perhatian yang lebih besar daripada yang yang biasanya diketahui. Pengemasan makanan dapat memperlambat kerusakan produk, mempertahankan manfaat produk terhadap efek pemprosesan, memperpanjang umur simpan, memelihara atau meningkatkan kualitas dan keamanan pangan (Marsh, 2007).
Pengemasan vakum dibuat dengan memasukkan produk ke dalam kemasan plastik diikuti dengan pemompaan udara ke luar kemudian ditutup dan direkatkan dengan panas (Jay, 1996). Pengemasan vakum didefinisikan pula oleh Robertson (1993) sebagai sistem pengemasan dalam kondisi hampa udara (tekanan < 1 atm) dengan mengeluarkan O2 dari kemasan sehingga dapat menambah umur simpan. Bahan pengemas vakum adalah plastik yang memiliki permeabilitas oksigen rendah dan tahan terhadap bahan yang dikemas. Umur simpan pengemasan vakum dipengaruhi oleh kandungan alami bahan pangan, jumlah gas dalam kemasan, suhu penyimpanan, proses pengemasan dan mesin pengemas. Kandungan CO2 sangat penting karena berhubungan dengan aktivitas mereduksi mikroorganisme, akan tetapi
tidak berpengaruh terhadap bahan pangan yang dikemas (Robertson, 1993). Bahan yang digunakan dalam pengemasan makanan seperti gelas, logam (alumunium, alumunium foil, melamin, tinplate dan tin-free steel), kertas dan plastik (Marsh, 2007).
Alumunium Foil
Foil adalah bahan kemas dari logam, berupa lembaran alumunium yang padat dan tipis dengan ketebalan kurang dari 0,15 mm, mempunyai kekerasan yang berbeda-beda dan mempunyai sifat hermetis, fleksibel, tidak tembus cahaya (cocok untuk pengemasan margarin, yogurt). Sifat-sifat alumunium foil yang lebih tipis dapat diperbaiki dengan memberi lapisan plastik atau kertas menjadi foil palastik, foil kertas, atau kertas-foil-plastik (Syarief, 1989).
Alumunium foil digunakan secara luas dalam pelapisan yang dibutuhkan untuk sifat-sifat yang rendah terhadap daya tembus gas dan uap, odor atau sinar (Buckle et al., 1987). Alumunium foil banyak digunakan untuk mengemas yogurt dan dalam kaitannya dengan asam alami dari yogurt dan kemasan yang tahan terhadap panas, biasanya alumunium foil dilapisi dengan plastik.
Low Density Polyethylene (LDPE)
Low Density Polyethylene (LDPE) merupakan plastik yang dibuat dengan proses polimerisasi adisi dari gas etilen yang diperoleh sebagai hasil samping industri arang dan minyak. Plastik LDPE mempunyai sifat yang mudah dibentuk, mempunyai daya rentang yang baik, tahan terhadap barbagai bahan kimia, penahan uap air yang baik namun bukan penahan oksigen yang baik, tidak menyebabkan aroma atau bau terhadap makanan dan mudah di-seal (Harrington dan Jenkins, 1991).
Low density polyethylene (LDPE) merupakan polietilen dengan kepadatan rendah (dibuat dengan tekanan dan suhu tinggi), plastik yang murah dengan kekuatan tegangan yang sedang dengan bentuk fisik yaitu terang, dan merupakan penahan air yang baik tetapi sebaliknya terhadap oksigen. LDPE memiliki sifat lentur, resisten terhadap suhu rendah, tahan asam, basa dan alkohol, kedap air, daya rentang tinggi tanpa sobek, transparan dan daya tembus LDPE terhadap O2 (Buckle et al.,1987).
METODE Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Bagian Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Pasca Panen dan Balai Besar Industri Agro (BBIA), Bogor. Penelitian ini berlangsung selama 8 bulan dari bulan Januari sampai Agustus 2009.
Materi
Bahan-bahan utama untuk pembuatan kultur starter yang digunakan dalam penelitian ini adalah susu skim steril, kultur starter bakteri yang terdiri atas S. thermophilus (St RM-01), L. bulgaricus (Lb RM-01), L. acidophilus (La RM-01)dan B. longum (Bl RM-01) koleksi Bagian Teknologi Hasil Ternak. Bahan-bahan yang digunakan untuk pengujian kualitas mikrobiologi meliputi media deMan’s Rogosa Sharpe broth (MRSB), deMan’s Rogosa Sharpe agar (MRSA), violet red bile agar (VRBA) Lactose, buffer peptone water (BPW), inulin, laktosa, sodium starch glikolat (SSG), maltodekstrin, alginat, sukrosa bahan pengemas yang digunakan adalah alumunium foil yang berlapis (Low Density Polyethylene) LDPE. Alat yang digunakan yaitu separator krim, labu erlenmeyer, tabung reaksi, inkubator, eksikator, oven, neraca analitik, baker glass, spektrofotometer, pipet, autoklaf, gelas ukur, ayakan 12 dan 20 mesh, titrasi, cawan petri, viskometer pemanas dan pengaduk.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap I dan tahap II adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola searah dengan tiga kali ulangan yaitu pada penelitian tahap I meliputi a) pembuatan kultur starter yogurt kering, b) enkapsulasi dan pengeringan sinbiotik terenkapsulasi, c) evaluasi karakteristik mikrobiologis masing-masing formula granul (L21S1, L20S2 dan L19S3) dan penelitian tahap II yaitu pada a) aplikasi kultur starter yogurt sinbiotik dalam bentuk granul dan kultur starter yogurt cair. Adapun model rancangan matematikanya menurut Mattjik dan Sumertajaya (2000) sebagai berikut :
Keterangan :
Penelitian Tahap I : Pembuatan dan Evaluasi Kultur Starter Yogurt dengan Sinbiotik Terenkapsulasi dalam Bentuk Granul
a) Pembuatan kultur starter yogurt kering
Yij = Hasil pengamatan (parameter) pada perlakuan taraf ke-i dan ulangan taraf ke-J