II. TINJAUAN PUSTAKA
2.5. Tinjauan Studi Terdahulu
Sanjaya (2009) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan produksi tebu Indonesia jauh lebih responsif jika dilakukan dengan pendekatan intensifikasi, artinya peningkatan penawaran dilakukan dengan meningkatkan produktivitas tanaman tebu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menetapkan kebijakan-kebijakan terkait dengan kebijakan harga faktor-faktor input produksi produk pertanian seperti kebijakan harga pupuk, harga pestisida, dan tingkat upah buruh. Berdasarkan nilai elastisitas penawaran tebu di Indonesia, jumlah penawaran tebu pada tahun 2025 mendatang diproyeksikan sebesar 70.531 juta ton sedangkan proyeksi jumlah kebutuhan total tebu nasional adalah sebesar 63.158 juta ton sehingga pada tahun 2025 dapat disimpulkan bahwa program swasembada gula dapat tercapai.
Studi mengenai liberalisasi perdagangan gula yang dikaji oleh Hariyati (2003) menyatakan bahwa penerapan liberalisasi gula ditandai dengan penghapusan tarif diikuti dengan pelepasan tata niaga gula yang berarti stok gula sama dengan nol. Kondisi ini berdampak pada penurunan penawaran secara drastis sebesar 35.9 persen dan kenaikan harga gula domestik sebesar 14.3 persen, kenaikan harga gula petani sebesar 10.6 persen meningkatkan produksi gula. Pemenuhan kebutuhan nasional yang dilakukan dengan impor menyebabkan meningkatnya impor gula sebesar 34.5 persen. Kenaikan impor gula indonesia menyebabkan kenaikan harga impor dunia sehingga juga akan mengakibatkan kenaikan harga gula dunia.
Refomasi tarif telah menjadi isu penting di awal dekade kedua sejah abad 20. Tarif yang tinggi dipercaya menjadi penyebab kekacauan ekonomi pada beberapa negara. Ellison, et al. (1995) mempelajari voting Kongres Reformasi Tarif untuk gula pada tahun 1912 untuk menyelidiki pengaruh para konstituen terhadap kebijakan perdagangan terutama kebijakan tarif. Hasil studi yang diperoleh kongres reformasi tarif tersebut terjadi karena adanya sebuah gerakan
nasional yang memang menginginkan reformasi tarif. Akibat dari hal inilah yang kemudian membuat sebagian kalangan menilai bahwa legislator atau para konstituen memiliki tingkat visibilitas dan akuntabilitas politik yang tinggi dalam pengaturan sebuah kebijakan perdagangan. Selain itu, sifat dari industri gula dan tarif gula itu sendiri menyebabkan munculnya sekelompok produsen yang ingin bersaing. Dalam mengevaluasi efektivitas dari kelompok-kelompok ini, penulis menjelaskan bahwa mereka hanya terkonsentrasi pada pencarian keuntungan yang relatif kurang penting peranannya dalam industri gula. Terbentuknya kelompok- kelompok ini merupakan dampak yang timbul dari kebijakan pemerintah terhadap kebijakan penurunan tarif itu sendiri.
Lebih lanjut studi mengenai tarif juga dikaji oleh Malian dan Saptana (2003) yang menyatakan bahwa penetapan tarif impor gula sebesar Rp 550.00 per kilogram untuk gula tebu (raw sugar) dan Rp 700.00 per kilogram untuk gula putih (refined sugar) dalam kondisi harga gula dunia yang rendah dan nilai tukar rupiah yang makin menguat, belum cukup merangsang petani untuk meningkatkan produksi dan kualitas pasokan tebu. Tanpa adanya perubahan kebijakan atau kebijakan tambahan bagi petani tebu, maka pendapatan bersih petani tebu relatif tidak meningkat. Dengan asumsi harga gula dunia sebesar US$ 225 per ton, nilai tukar rupiah antara Rp 8 500.00 sampai Rp 8 700.00, rendemen tebu 6.00 persen sampai 6.50 persen dan kepada petani diberikan managementfee
sebesar 20 persen, maka tarif spesifik yang dipandang layak bagi petani tebu berkisar antara Rp 950.00 per kilogram hingga Rp 1 300.00 per kilogram.
Hutabarat (2011) menganalisis dampak pemotongan tarif dalam kerangka Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-China. Metode analisis keseimbangan umum yang dilakukan menggunakan dua skenario yaitu (1) liberalisasi penuh (pemotongan tarif sebesar 100 persen) pada seluruh produk pertanian ASEAN dan China dan (2) liberalisasi penuh pada seluruh produk yang diperdagangkan ASEAN dan China. Pada skenario (1) memberikan hasil tingkat kesejahteraan masyarakat menurun sebesar Rp 128.96 miliar tetapi pada skenario (2) tingkat kesejahteraan meningkat sebesar Rp 2.878 triliun. Untuk kegiatan ekspor, jumlah ekspor hasil olahan pertanian menurun sebesar 0.74 persen sampai 24.64 persen pada skenario (1), sedangkan pada skenario (2) ekspor seluruh produk pertanian
menurun sebesar 0.6 persen sampai 28.21 persen. Untuk impor produk olahan pertanian pada skenario (1) meningkat antara 0.06 persen sampai 2.62 persen dan pada skenario (2) impor untuk seluruh produk pertanian meningkat antara 0.43 persen sampai 4.08 persen kecuali gandum menurun 0.15 persen. Sehingga skenario liberalisasi penuh bagi komoditas yang diperdagangkan di sektor pertanian belum tentu diikuti dengan perbaikan pada produksi dan ekspor komoditas andalannya.
Hadi dan Nuryanti (2005) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kebijakan perdagangan yang diperlukan untuk pengembangan perekonomian gula nasional ke depan antara lain (1) mempertahankan kebijakan proteksi dengan pengenaan tarif Rp 550.00 per kilogram untuk gula mentah dan Rp 700.00 per kilogram untuk gula putih yang dikombinasikan dengan pengaturan, pengawasan, dan pembatasan impor, (2) berjuang bersama negara yang tergabung dalam kelompok G-33 agar negara-negara maju dan berkembang tertentu menurunkan subsidi ekspor dan subsidi domestik secara signifikan, dan (3) melakukan upaya- upaya perbaikan efisiensi industri gula nasional, baik pada tingkat budidaya tebu maupun proses pengolahan di pabrik gula.
Hasil studi simulasi kebijakan dalam suatu model ekonometrik industri gula domestik yang dilakukan oleh Susila (2005b), menunjukkan bahwa dalam situasi perdagangan yang distorsif, kebijakan yang berkaitan langsung dengan harga output lebih efektif dibandingkan kebijakan yang berkaitan dengan input, guna mendukung pengembangan industri gula Indonesia. Kebijakan harga
provenue lebih efektif bila dibandingkan dengan tariff-rate quota, tarif impor, dan subsidi input. Terhadap kebijakan pemerintah, perkebunan rakyat lebih responsif dibandingkan dengan perkebunan milik negara dan perkebunan swasta. Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah menciptakan medan persaingan yang lebih adil, industri gula Indonesia masih memerlukan dukungan kebijakan pemerintah. Kebijakan harga provenue, tarif impor, tarif rate quota, dan subsidi input merupakan beberapa pilihan kebijakan guna pengembangan industri gula Indonesia.
Hasil penelitian Abidin (2000) tentang liberalisasi perdagangan gula menyatakan bahwa setiap perubahan dalam harga dunia atau tingkat proteksi akan mempengaruhi harga ekspor maupun impornya. Sebagian besar negara eksportir (70 persen) memberikan subsidi ekspor antara 8 persen sampai 102 persen dan 30 persen negara eksportir memberlakukan pajak ekspor antara 6 persen sampai 52 persen yang berarti bahwa negara eksportir pada umumnya merangsang ekspor melalui subsidi. Sedangkan di negara importir, sebagian negara importir (54 persen) memberikan subsidi impor antara 17 persen sampai 48 persen dan 46 persen negara importir lainnya memberlakukan pajak impor atau bea masuk sebesar 7 persen sampai 173 persen. Ini menunjukkan adanya kepentingan yang sangat beragam dari negara eksportir maupun importir yang saling memberlakukan proteksi kepentingan negaranya.
Suparno (2004) yang melakukan penelitian tentang evaluasi perubahan kesejahteraan petani tebu pasca liberalisasi perdagangan gula dari tahun 1995- 2002 menjelaskan bahwa kebijakan penghapusan tata niaga gula oleh BULOG menurunkan kesejahteraan bersih (net walfare) masyarakat. Hal ini dikarenakan kenaikan harga eceran gula dapat menurunkan daya beli konsumen yang dipicu oleh intervensi IMF melalui pengurangan subsidi. Selain itu, kenaikan impor gula sebesar 20 persen yang disebabkan penurunan tarif impor nol persen menyebabkan penurunan kesejahteraan baik dari sisi konsumen maupun produsen. Walaupun terjadi kenaikan penerimaan pemerintah, namun tidak mampu mengkompensasi penurunan kesejahteraan tersebut.