• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Hotel Le Meridien Jimbaran Bali

2.4. Tinjauan Tema

Pada proyek Hotel Resort di Berastagi ini, perancang mengambil tema Arsitektur Neo-Vernakular. Pengertian dari Arsitektur Neo-Vernakular

sendiri akan dijabarkan sebagai berikut : 2.4.1. Pengertian

2.4.1.1. Pengertian Arsitektur

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Arsitektur adalah seni dan ilmu merancang serta membuat konstruksi bangunan.

Vitruvius dalam buku nya De Architectura menyebutkan bahwa arsitektur adalah kesatuan dari kekuatan/kekokohan (firmitas), keindahan (venustas), dan kegunaan/fungsi (utilitas)

Menurut James C. Snyder arsitektur adalah lingkungan binaan yang dapat dihasilkan oleh dan menjadi tempat manusia berbudaya. Arsitektur

Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 19 terutama berkaitan dengan lingkungan binaan dalam tiga skala: lebih kecil dari bangunan – bangunan – lebih besar dari bangunan.

2.4.1.2. Pengertian Vernakular

Kata Vernakular berasal dari vernaculus (latin) berarti asli (native).

Maka vernakular arsitektur dapat diartikan sebagai arsitektur asli yang dibangun oleh masyarakat setempat.

Paul Oliver dalam bukunya Ensikolopedia Arsitektur Vernakular menjabarkan bahwa arsitektur vernakular konteks dengan lingkungan sumber daya setempat yang dibangun oleh suatu masyarakat dengan menggunakan teknologi sederhana untuk memenuhi kebutuhan karakteristik yang mengakomodasi nilai ekonomi dan tantanan budaya masyarakat dari masyarakat tersebut. Arsitektur vernakular ini terdiri dari rumah dan bangunan lain seperti lumbung, balai adat dan lain sebagainya.

Menurut Turan dalam buku Vernacular Architecture, arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan berjangkar pada tradisi etnik, serta dibangun berdasarkan pengalaman, menggunakan teknik dan material local serta merupakan jawaban atas setting lingkungan tempat bangunan tersebut berada dan selalu terbuka untuk terjadinya transformasi.

Bernard Rudofsky (1964) dalam bukunya “Architecture without Architect” menuliskan …”Vernacular architecture does not go through fashion cycles. It is nearly immutable, indeed, unimprovable, since it serves its purpose to perfection”. Sedangkan Amos Rapoport (1969) dalam bukunya “House, Form, and Culture”, mengartikan arsitektur vernakular sebagai “folk tradition”.

“Vernacular architecture is a generalized way of design derived from Folk Architecture, it uses the design skills of Architects to develop Folk Architecture” (Bruce Allsopp–1977:6). Dengan demikian arsitektur vernakular yang merupakan pengembangan diri dari arsitektur rakyat memiliki nilai ekologis, arsitektonis dan alami karena mengacu pada kondisi, potensi iklim, budaya, dan masyarakat lingkungannya. (Victor Papanek 1995:113-138).

Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 20 Arsitektur dibangun untuk mampu menjawab kebutuhan manusia dan mengangkat derajat hidupnya menjadi lebih baik, sehingga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kebudayaan. Arsitektur itu sendiri adalah buah dari budaya (Mario Salvadori/ Ruskin-1974:12).

Perkataan „tradisi‟ sebenarnya berasal dari bahasa latin “trado-transdo”, yang berarti “sampaikanlah kepada yang lain”. Banyak orang mencoba mendefinisikan apa itu tradisi. Namun aspek yang tak dapat dipungkiri bahwa dalam tradisi ada makna untuk melanjutkan ke generasi berikutnya. Oleh sebab itu istilah „vernakular‟ dan „tradisi‟ sering kali dipakai bersamaan untuk saling melengkapi. Penghayatan akan tradisi tidak berarti mengharuskan kita hidup kembali seperti di masa lampau. Namun penjiwaan akan sebuah tradisi yang baik akan lebur dalam pikiran kita dan mampu mendorong seorang arsitek untuk menciptakan suatu karya yang mempunyai karakter yang kuat.

Romo Manguwijaya dalam buku Wastu Citra juga memberikan pendapat yang hampir senada mengenai definisi dari arsitektur vernakular itu sendiri. Menurut beliau, arsitektur vernakular itu adalah pengejawentahan yang jujur dari tata cara kehidupan masyarakat dan merupakan cerminan sejarah dari suatu tempat.

Jadi arsitektur vernakular bukanlah semata-mata produk hasil dari ciptaan manusia saja, tetapi lebih penting adalah hubungan antara manusia dengan lingkungannya.

2.4.1.3. Pengertian Arsitektur Neo-Vernakular

Neo atau New berarti baru, masa peralihan. Sehingga, Arsitektur neo-vernakular berarti suatu lingkungan binaan yang didalamnya ditonjolkan bentuk-bentuk yang mengacu pada “bahasa setempat”

dengan mengambil elemen-elemen arsitektur yang ada ke dalam bentuk modern. Produk pada bangunan ini tidak murni menerapkan prinsip-prinsip bangunan vernakular, melainkan menampilkan karya baru (mengutamakan penampilan visualnya).

Arsitektur neo-vernakular merupakan sebuah proses mengadopsi kembali arsitektur vernakular dengan mentransformasikan/ memperbarui tampilan fisik (bentuk bangunan dan struktur) serta non-fisik (sejarah, simbolis dan makna) arsitektur vernakular yang disesuaikan dengan

Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 21 kebutuhan pada masa kini akan tetapi tetap memperhatikan keselarasan antara budaya, lingkungan dan teknologi.

Menurut Arifin (2010) dalam Faisal dkk (2012) yang diperhatikan dalam proses menerapkan pendekatan dalam arsitektur neo-vernakular adalah interpretasi desain yaitu pendekatan melalui analisis tradisi budaya dan peninggalan arsitektur setempat yang dimasukkan kedalam proses perancangan yang terstruktur yang diwujudkan dalam bentuk termodifikasi sesuai dengan zaman sekarang, ragam dan corak desain yang digunakan dengan pendekatan simbolisme, aturan dan tipologi.

Struktur tradisional yang digunakan mengadaptasi bahan bangunan yang ada di daerah dan menambah elemen estetis yang diadaptasi sesuai dengan fungsi bangunan.

Tabel 2.3. Tabel Perbandingan antara Tradisional, Vernakular, dan Neo-Vernakular

Perbandingan Tradisional Vernakular Neo Vernakular Ideologi Terbentuk oleh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 22

Maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya prinsip arsitektur neo-vernakular adalah melestarikan unsur-unsur lokal sehingga bentuk dan sistemnya terutama yang berkaitan dengan iklim setempat, seperti penghawaan, pencahayaan alami, antisipasi terhadap hujan. Prinsip dari arsitektur Neo-Vernakular ini adalah metode pendekatan terhadap regionalisme yang merupakan aspek mendasar. Dalam pendekatan ini Arsitektur Neo-Vernakular yang digunakan adalah Arsitektur Tradisional Batak Karo.

2.4.1.4. Pendekatan Arsitektur Neo-Vernakular

Dalam bukunya menurut Arifin (2010), yang perlu diperhatikan dalam penerapan pendekatan dalam arsitektur neo- vernakular adalah :

 Interpretasi desain yaitu pendekatan melalui analisa tradisi budaya dan peninggalan arsitektur setempat yang dimasukkan kedalam proses perancangan yang terstruktur lalu kemudian diwujudkan dalam bentuk yang termodifikasi sesuai dengan zaman sekarang.

 Ragam dan corak desain yang digunakan adalah dengan pendekatan simbolisme, aturan, dan tipologi untuk memberikan kedekatan dan kekuatan pada desain.

 Struktur tradisional yang digunakan mengadaptasi bahan bangunan yang ada didaerah dan menambah elemen estetis yang diadaptasi sesuai dengan fungsi bangunan.

Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 23 2.4.1.5. Prinsip Desain Arsitektur Neo-Vernakular

Dalam bukunya menurut Arifin (2010), adapun prinsip-prinsip desain arsitektur Neo-Vernakular secara terperinci, yaitu :

 Hubungan Langsung: merupakan pembangunan yang kreatif dan adaptif terhadap arsitektur setempat disesuaikan dengan nilai-nilai/fungsi dari bangunan sekarang.

 Hubungan Abstrak: meliputi interprestasi ke dalam bentuk bangunan yang dapat dipakai melalui analisa tradisi budaya dan peninggalan arsitektur.

 Hubungan Lansekap: mencerminkan dan menginterprestasikan lingkungan seperti kondisi fisik termasuk topografi dan iklim.

 Hubungan Kontemporer: meliputi pemilihan penggunaan teknologi, bentuk ide yang relevan dengan program konsep arsitektur

 Hubungan Masa Depan: merupakan pertimbangan mengantisipasi kondisi yang akan datang

2.4.1.6. Penerapan Arsitektur Neo-Vernakular

M. Nawawiy (2004) dalam bukunya Arsitektur Vernakular, Raibnya Para Dewa, seperti yang telah disebutkan di atas bahwa penerapan arsitektur Neo-Vernakular terdiri dari 2 aspek yaitu: aspek fisik dan aspek non fisik, dimana kedua aspek tersebut diterapkan dalam implementasi terhadap perancangan bangunan, baik sendiri-sendiri maupun secara bersamaan membentuk suatu komposisi rancang bangun yang komprehensif.

a. Aspek fisik

Yang dimaksud aspek fisik disini adalah bentuk tampilan bangunan yang dilihat keberadaanya dengan mata dan mempunyai wujud dan bentuk tertentu. Kemudian bila kita kaitkan dengan aspek fisik dalam penerapan arsitektur Neo-Vernakular yang meliputi lokasi dan tapak, bentuk bangunan, bahan bangunan dan kontruksi. Berarti bahwa elemen-elemen tersebut yang merupakan suatu respon terhadap alam pada bangunan tradisional masa lalu, ditampilkan kembali pada bangunan modern dengan fungsi pada elemen-elemen tersebut tetap sama yaitu sebagai suatu usaha/ respon sebuah bangunan modern terhadap kondisi lingkungan dan iklim setempat.

Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 24 b. Aspek non-fisik

Yang dimaksud aspek non fisik adalah yang terkait didalam tradisi, adat istiadat, maupun aktivitas dari masyarakat yang erat dengan budaya setempat.

Elemen-elemen yang dapat dieksplorasi ke dalam arsitektur modern meliputi :

a. Bentuk bangunan

Pada masa lalu bangunan rumah tradisional umumnya mempunyai atap yang tinggi dan tritisan yang lebar, hal ini sebagai salah satu cara mengatasi curah hujan yang tinggi dan mengantisipasi terhadap panas matahari. Kemudian implementasi dalam bangunan modern penggunaan atap yang tinggi dan lebar merupakan suatu bentuk transformasi dari bentuk-bentuk vernakular.

b. Ornamen

Setiap Suku maupun etnik kebudayaan tertentu pasti memiliki ornamen yang menjadi karakter ataupun ciri khas dari suatu kebudayaan. Dimana setiap ornamen terkandung makna/ arti tertentu yang merupakan implementasi dari kebudayaan itu sendiri. Sehingga ornamen sebagai elemen yang dapat dieksplorasi dapat memberikan kekhasan terhadap bangunan yang akan dirancang sesuai dengan unsur kebudayaan yang terkandung.

c. Material

Pemilihan material yang akan digunakan juga sangat menentukan arsitektur tradisional yang dipilih karena melalui pemilihan material yang tepat, maka dapat dikatakan bangunan tersebut merupakan refleksi dari suatu arsitektur tradisional.

2.4.1.8. Arsitektur Karo

a. Pola Perkampungan Karo

Pola perkampungan karo secara umum mengelompok atau berbaris mengikuti alur sungai sehingga peletakan rumah didasarkan pada aliran sungai, dimana pintu utama atau depan

Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 25 menghadap kehulu sungau dan bagian belakang atau pintu belakang rumah manghadap ke hilir sungai.

Gambar 2.9. Pola Perkampungan Karo secara umum Sumber : sorasirulo.com

b. Arah Rumah Tradisional

Pada masyarakat karo mereka mengenal mata angin yang disebut “Desa Siwaluh”, pada awalnya rumah dibuat dengan arah kenjahe-kenjulu, sesuai dengan arah pengaliran sungai disuatu kampung, pengertian kenjahe kenjulu berbeda dengan utara selatan, arah hilir disebut kenjahe sering disebut juga kahe-kahe atau jahe-jahe dan arah kenjulu disebut kolu-kolu atau julu (Masri Singalimbun 1960 : 149 No. 839 & 151 No. 847)

.

Gambar 2.10. Pola Mata Angin terhadap Siwaluh Jabu Sumber : sorasirulo.com

Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 26 Semua pangkal kayu utama yang digunakan pada rumah tradisional berada disebelah kenjahe, dimana ditempatkan jabu raja, yang dianggap sebagai pangkal atau asal dari rumah. Jabu raja tersebut terletak disebelah kiri pintu hilir (ture jahe), sedang menurut pendapat lain (“Percikan Budaya Karo” hal 2) jabu raha atau jabu benana kayu terletak pada kanan pintu hulu (ture jahe) diarah timur (purba), tempat matahari terbit.

c. Tipologi Rumah Adat Karo

M. Nawawiy (2004) dalam buku Raibnya Para Dewa, mengatakan, menurut bentuk atap terdapat dua tipologi rumah yaitu rumah biasa dan rumah Raja . Pembagian lain adalah rumah dengan atap (Tersek) tak bertingkat (Rumah Kurung Manik), rumah beratap satu tingkat (Sada Tersek), dan rumah dengan atap bertingkat dua dilengkapi dengan menara (Anjung-anjung).

Secara umum Rumah Karo berbentuk empat persegi panjang dengan dua buah teras (ture) sebagai pintu utama, yaitu pintu yang menuju hulu (Ture Julu) dan pintu yang menuju hilir (Ture Jahe) sebagai pintu kedua. Bagian-bagian atapnya berbentuk perpaduan trapesium dimana bagian depan atap berbentuk segi tiga yang disebut dengan wajah rumah (ayo atau lambe-lambe), dan bagian dinding yang juga berbentuk trapesium yang ditopang oleh dinding papan berbentuk lunas perahu (dapur-dapur) yang terletak diatas beberapa tiang.

Rumah tradisional Karo diperuntukan bagi delapan keluarga (Jabu) yang memiliki pertalian keluarga satu sama lain. Susunan ruang bagi setiap keluarga diataur sesuai dengan kedudukan dan fungsi setiap keluarga. Jabu diartikan juga sebagai satu bagian ruangan yang terdapat pada rumah Karo.

Kehidupan bersama di dalam rumah tradisional diatur oleh kepercayaan dan adat. Aturan yang terdapat pada rumah yang satu dengan yang lain, mungkin memiliki sedikit perbedaan namun prinsipnya tetap sama. Sanksi yang dikenakan terhadap suatu pelanggaran ketentuan kepercayaan, bergantung kepada besar kecilnya sifat pelanggaran. Seorang yang terlambat pulang

Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 27 pada malam hari dan lupa memasang palang pintu (ngeruk pintun), sehingga terjadi pencurian, akan dikenakan sanksi membersihkan halaman dan kolong rumah yang merupakan simbol dunia bawah atau neraka.

Gambar 2.11. Rangka Atap Rumah Adat Karo Sumber: sorasirulo.com

Rumah Adat Karo disebut juga Rumah Siwaluh Jabu karena pada umumnya dihuni oleh Waluh Jabu (delapan keluarga), selain rumah si waluh jabu ada juga rumah adat yang lebih besar yaitu Sepuludua Jabu (dua belas keluarga) yang dulu terdapat di kampung Lingga, Sukanalu dan rumah adat yang terbesar adalah Rumah adat Sepuluenem Jabu yang pernah ada di Kampung Juhar dan Kabanjahe, tetapi sekarang rumah adat Sepuludua Jabu dan Sepuluenem Jabu sudah tidak ada lagi. Setiap Jabu (keluarga) menempati posisi di Rumah Adat sesuai dengan struktur sosialnya dalam keluarga. Letak Rumah Adat Karo selalu disesuaikan dari arah Timur ke Barat yang disebur Desa Nggeluh, di sebelah Timur disebut Bena Kayu (pangkal kayu) dan sebelah barat disebut Ujung Kayu. Sistem Jabu dalam Rumah Adat mencercerminkan kesatuan organisasi, dimana terdapat pembagian tugas yang tegas dan teratur untuk mencapai keharmonisan bersama yang dipimpin Jabu Bena Kayu/Jabu Raja.

Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 28 Gambar 2.12. Aksonometri Rumah Adat Karo

Sumber : sorasirulo.com

Bagian dalam si waluh jabu baik yang digunakan oleh rakyat biasa (Derip) maupun oleh bangsawan tidak memiliki pembatas fisik yang memisahkan antara ruang satu keluarga dan keluarga lainnya. Pemisah antara ruang yang berhadapan hanya dapur yang digunakan oleh setiap dua keluarga yang berdekatan.

Dengan demikian bangunan ini sepintas hanya terdiri dari satu ruang besar yang ditempati oleh delapan keluarga, yang masing-masing menempati daerah yang berukuran kurang lebih 4,00 x 4,00 m, sehingga merekan dapat saling melihat. Meskipun setiap ruang ditempati oleh satu keluarga, namun pada dasarnya semua ruang dapat digunakan untuk berbagai fungsi secara komunal tergantung dari aktifitas yang sedang dilakukan, seperti untuk tempat makan, temapat tidur, menerima tamu, dan lain sebagainya. Namun pada kenyataannya terdapat pembatas psikologis dan kultural yang sangat tegas diantara ruang tersebut yang disertai dengan berbagai macam tabu yang berlaku diantara keluarga sesuai dengan keyakinan dan adat.

Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 29 Gambar 2.13. Ornamen Atap Rumah Adat Karo

Sumber : sorasirulo.com

Rumah adat biasanya dihuni oleh empat atau delapan keluarga. Penempatan keluarga-keluarga itu dalam bagian rumah adat (jabu) dilakukan berdasarkan ketentuan adat Karo. Rumah adat secara garis besar dapat dibagi atas jabu jahe (hilir) dan jabu julu (hulu). Jabu jahe terbagi atas jabu bena kayu dan jabu lepar benana kayu. Demikian juga jabu kenjulu dibagi atas dua, yaitu jabu ujung kayu dan jabu rumah sendipar ujung kayu. Inilah yang sesungguhnya disebut sebagai jabu adat. Rumah-rumah adat empat ruang ini dahulunya terdapat di Kuta Buluh, Buah Raja, Lau Buluh, Limang, Perbesi, Peceren, Lingga, dan lain-lain.

Ada kalanya suatu rumah adat terdiri dari delapan ruang dan dihuni oleh delapan keluarga. Malahan kampung Munte ada rumah adat yang dihuni oleh enam belas keluarga. Dalam hal rumah adat dihuni oleh delapan keluarga, sementara dapur dalam rumah adat hanya ada empat, masing-masing jabu dibagi dua, sehingga terjadilah jabu-jabu sedapuren bena kayu, sedapuren

Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 30 ujung kayu, sedapuren lepar bena kayu, dan jabu sedapuren lepar ujung kayu.

Gambar 2.14. skema rumah adat karo Sumber : sorasirulo.com

Adapun susunan jabu dan yang menempatinya adalah sebagai berikut:

Dokumen terkait