BAB I PENDAHULUAN
A. Kerangka Teori
2. Tinjauan Tentang Perlindungan Konsumen
a. Pengertian Konsumen, Pelaku Usaha, dan Perlindungan Konsumen
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-undang No 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Definisi konsumen mempunyai unsur-unsur sebagai berikut
(Shidharta, 2000:4) :
1) Setiap Orang
Subjek yang dimaksud sebagai konsumen berarti setiap orang
yang berstatus sebagai pemakai barang dan/ atau jasa. Istilah “orang”
sebenarnya menimbulkan keraguan apakah hanya orang individual atau
termasuk juga badan hukum. Hal ini berbeda dengan pengertian pelaku
usaha yang secara eksplisit membedakan keduanya. Yang paling tepat
tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang
perseorangan, namun konsumen harus mencakup juga badan usaha
dengan makna lebih luas daripada badan hukum. UUPK berusaha
menghindari penggunaan kata produsen sebagai lawan dari kata
konsumen. untuk itu digunakan kata pelaku usaha yang bermakna lebih
luas.
2) Pemakai
Kata pemakai seperti yang disebutkan pada pasal 1 angka (2)
menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer).
Istilah kata pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan
ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan barang dan/ atau jasa yang
dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, yang
diartikan sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya
dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/ atau jasa
itu.
Dengan kata lain dasar hubungan hukum antara konsumen dan
pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual. Jadi konsumen memang tidak
sekedar pembeli (buyer atau koper) tetapi semua orang (perseorangan
atau badan usaha) yang mengkonsumsi barang dan/ atau jasa termasuk
peralihan kenikmatan dalam menggunakannya. Di Amerika serikat,
konsumen tidak lagi diartikan sebagai pembeli dari suatu barang dan/
atau jasa, tetapi termasuk bukan pemakai langsung, asalkan ia memang
dirugikan akibat penggunaan suatu produk.
3) Barang dan/ atau jasa
Undang-undang Perlindungan Konsumen mengartikan barang
sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik
bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak
dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan,
atau dimanfaatkan oleh konsumen.
Sementara itu jasa diartikan sebagai setiap layanan yang
berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen. pengertian “yang disediakan bagi
masyarakat” menunjukkan jasa itu harus ditawarkan kepada
masayarakat. Kata-kata ditawarkan kepada masyarakat berarti lebih dari
satu orang dan harus ditafsirkan sebagai bagian dari suatu transaksi
konsumen, artinya seseorang yang karena kebutuhan mendadak lalu
menjual rumahnya kepada orang lain, tidak dapat dikatakan
perbuatannya sebagai Transaksi konsumen, si pembeli tidak dapat
dikategorikan sebagai konsumen menurut UUPK.
4) Yang tersedia dalam masyarakat
Barang dan/ atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah
harus tersedia di pasaran (bunyi Pasal 9 Ayat 1 Huruf e). Dalam
perdagangan yang makin kompleks, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut
oleh masyarakat konsumen. misal pada perusahaan pengembang
(developer) perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih
dahulu sebelum bangunannya jadi.
5) Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup
Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk
memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar
ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/ atau
jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (diluar diri sendiri maupun
keluarganya), bahkan untuk mahluk hidup lain seperti hewan dan
tumbuhan. Oleh sebab itu penguraian unsur ini tidak mempunyai makna
apa-apa karena pada dasarnya tindakan memakai suatu barang dan/ atau
jasa terlepas ditujukan untuk siapa dan makhluk hidup lain juga tidak
terlepas dari kpentingan pribadi.
6) Barang dan/ atau jasa tidak untuk diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam undang-undang perlindungan
konsumen ini dipertegas, yaitu hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah
dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara.
Secara teoritis hal demikian cukup baik untuk mempersempit ruang
lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataanya sulit
menetapkan batas-batas seperti itu.
Pengertian konsumen dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen
lebih luas dibandingkan dengan rancangan undang-undang perlindungan
konsumen lainnya, yaitu dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang
menentukan bahwa Konsumen adalah pemakai barang dan atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau
orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali.
Jadi konsumen perumahan yaitu orang yang memakai barang dan atau
jasa khususnya rumah untuk bertempat tinggal untuk keperluan diri sendiri
maupun keluarga atau orang lain dan tidak diperjualbelikan kembali. Dari
sudut pandang yang lain jika hanya berpegang pada rumusan pengertian
konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan konsumen, kemudian
dikaitkan dengan Pasal 45 yang mengatur tentang gugatan ganti kerugian dari
konsumen kepada pelaku usaha, maka keluarga, orang lain dan makhluk
hidup lain, tidak dapat menuntut ganti kerugian karena mereka tidak termasuk
konsumen, tetapi kerugian yang dialaminya dapat menjadi alasan untuk
mrngadakan tuntutan ganti kerugian.
Adapun pengertian dari pelaku usaha didalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999 Pasal 1 angka 3 yaitu pelaku usaha
adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia,
baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen cukup luas karena meliputi grosir, leveransir,
pengecer dan sebagainya. Cakupan luasnya pengetian pelaku usaha didalam
Undang-Undang tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku
usaha dalam masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat
dikualifikasi sebagai produsen adalah pembuat produk jadi (finished product);
penghasil bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang yang
menampakkan dirinya sebagai produsen dengan jalan mencantumkan
namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan
produk asli, pada produk tertentu; importir suatu produk dengan maksud
untuk dijualbelikan, disewakan, disewagunakan, atau bentuk distribusi lain
dalam transaksi perdagangan; pemasok dalam hal identitas dari produsen atau
importir tidak dapat ditentukan.
Dengan demikian tampak bahwa pelaku usaha yang dimaksudkan
dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen sama dengan cakupan
produsen yang dikenal di Belanda, karena produsen dapat berupa perorangan
atau badan hukum. Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas itu akan
memudahkan konsumen menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan
akibat penggunaan produk tidak begitu kesulitan dalam menemukan kepada
siapa tuntutan diajukan, karena banyak pihak yang digugat, namun akan lebih
baik jika Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut memberikan
rincian sebagaimana dalam Directive, sehingga konsumen dapat lebih mudah
lagi untuk menentukan kepada siapa ia akan mengajukan tuntutan jika ia
dirugikan akibat penggunaan produk (Ahmadi Miru & Sutarman Yodo,
2004:8).
Di bidang perumahan pelaku usaha termasuk dalam kategori
pengembang (Developer) Istilah Developer berasal dari bahasa asing yang
menurut kamus bahasa inggris yang artinya adalah pembangun perumahan.
Selain di Indonesia, negara Malaysia ada tiga kategori pengembang yang
terlibat dalam pembangunan perumahan di Malaysia yaitu pengembang
swasta, badan hukum dan koperasi masyarakat. Semua pengembang diatur
oleh Pembangunan Perumahan (Pengendalian dan Perizinan) ketika mereka
melakukan pembangunan perumahan yang melibatkan pembangunan lebih
dari empat unit akomodasi perumahan (Azlinor Sufian and Rozanah AB.
Rahman, Journal of Economics and Management 2(1): 141 – 156 (2008)
ISSN 1823 – 836 http://www.econ.upm.edu.my/ijem/vol2no1/bab07.pdf
diakses selasa 12 juli 13.00 WIB).
Tujuan dari pengembang adalah untuk menyiapkan sebuah hunian atau
produk kelompok bangunan yang siap untuk digunakan baik sebagai hunian,
bisnis atau kavling-kavling yang intinya dapat menarik minat para konsumen,
bahkan beberapa pengembang memberi jasanya hingga memfasilitasi urusan
perijinan dan urusan jual beli.
Konsumen perlu dilindugi oleh hukum oleh karena itu pengertian
perlindungan konsumen dinyatakan pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen. Perlindungan terhadap konsumen diberikan
agar mencapai tujuan hukum yaitu memberikan perlindungan (pengayoman)
kepada masyarakat. Menurut pendapat Az. Nasution, hukum perlindungan
konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas
atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang
melindungi kepentingan konsumen. Az. Nasution juga mengakui, asas-asas
dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen
itu menyebar dalam berbagai bidang hukum, baik tertulis maupun tidak
tertulis (Shidarta, 2000:9). Wiley-Blackwell dalam Internasional Journal of
Consumer Studies menyatakan :
“Consumer protection: empowerment and entitlement, safety,
standards, economic security;Consumer behaviour: goods and
services, business and marketing practices, retailing;The consumer
ecosystem: globalisation, sustainability, technology, ethical
consumption, gender issues, citizenship;Family and household studies:
quality of life, food and nutrition, textiles and clothing, shelter, health
and well being” (Wiley-Blackwell, Internasional Journal of Consumer
Studies. http://www.wiley.com/bw/journal.asp?ref=1470-6423)
diakses Senin,27 Juni 2011 pukul 14.00 WIB.
Terjemahan adalah sebagai berikut :
“Perlindungan konsumen: pemberdayaan dan hak, keselamatan,
standar, keamanan ekonomi; Perilaku konsumen: barang dan jasa,
praktek bisnis dan pemasaran, ritel; Ekosistem konsumen: globalisasi,
keberlanjutan, teknologi, konsumsi etis, isu-isu gender,
kewarganegaraan, keluarga dan rumah tangga studi : kualitas hidup,
pangan dan gizi, tekstil dan pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan
kesejahteraan”.
Dengan kata lain pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Perumahan merupakan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan
melindungi konsumen perumahan dalam hubungan dan masalahnya dengan
para penyedia barang atau jasa terutama penyedia perumahan (Developer).
b. Hak dan Kewajiban
1. Hak dan Kewajiban Konsumen
Sebagai pemakai barang dan atau jasa, konsumen memiliki
hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Secara umum dikenal ada empat hak-hak dasar
konsumen,yaitu:
(a)Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety).
(b)Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed).
(c)Hak untuk memilih (the right to choose).
(d)Hak untuk didengar (theright to he heard).
Adapun hak-hak konsumen yang secara eksplisit dituangkan
dalam Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen, antara lain :
(a)Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
menkonsumsi barang dan atau jasa;
(b)Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang
dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
(c)Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan atau jasa;
(d)Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau
jasa yang digunakan;
(e)Hak untuk mendapatkan advokasi,perlindungan, dan penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
(f) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
(g)Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
(h)Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi dan atau penggantian
jika barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
dan atau tidak sebagaimana mestinya;
(i) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lain;
Memperhatikan hak-hak konsumen yang telah disebutkan diatas,
maka secara keseluruhan diuraikan 10 macam hak-hak konsumen
(Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, 2004: 41). yaitu :
(a)Hak atas keamanan dan keselamatan
Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk
menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan
barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat
terhindar dari kerugian fisik maupun psikis apabila mengkonsumsi
produk.
(b)Hak untuk memperoleh informasi
Hak atas informasi dimaksudkan agar konsumen dapat
memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena
dengan informasi tersebut konsumen dapat memilih produk yang
diinginkan atau sesuai dengan kebutuhannya serta terhindar dari
kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk.
(c)Hak untuk memilih
Hak ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada
konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan
kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak
untuk memilih ini maka konsumen berhak memutuskan untuk
membeli atau tidak terhadap suatu produk, demikian juga keputusan
untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang
dipilihnya.
(d)Hak untuk didengar
Hak untuk didengar merupakan hak dari konsumen agar tidak
dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari
kerugian. Hak ini berupa pertanyaan-pertanyaan tentang berbagai hal
yang berkaitan dengan produk apabila informasi yang diperoleh
mengenai produk tersebut kurang memadai, atau berupa pengaduan
atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu
produk, atau berupa pernyataan tentang suatu kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan kepentingan konsumen. Hak ini disampaikan
baik secara perorangan maupun secara kolektif, baik yang
disampaikan secara langsung maupun diwakilioleh lembaga tertentu.
(e)Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup
Setiap orang berhak untuk memperoleh kebutuhan dasar
(barang atau jasa) untuk mempertahankan hidupnya secara layak.
(f) Hak untuk memperoleh ganti kerugian
Hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah
menjadi rusak akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak
memenuhi harapan konsumen. Untuk merealisasi hak ini harus
melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai
maupun diselesaikan melalui pengadilan.
(g)Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
Hak ini agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun
keterampilan yang diperlukan agar terhindar dari kerugian akibat
penggunaan produk. Dengan demikian konsumen menjadi lebih teliti
dan kritis dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.
(h)Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat
Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat sangat penting bagi
setiap konsumen dan lingkungan.
(i) Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang
diberikan
keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu barang
jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang
atau jasa yang diperolehnya.
(j) Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut
Hak ini untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan
akibat penggunaan produk dengan melalui jalur hukum
Disamping hak-hak yang disebutkan pada Pasal 4 juga terdapat
kewajiban-kewajiban konsumen khususnya dalam Pasal 5
Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu :
(a)Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
dan pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanan dan
keselamatan;
(b)beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau
jasa;
(c)Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
(d)Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut;
Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga
kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen yang
disebutkan pada Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen
mengenai hak pelaku usaha.
Selain hak-hak yang disebutkan itu, ada juga hak untuk dilindungi
dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari
pertimbangan, kegiatan bisnis yang dilakukan pelaku usaha sering
dikukan secara tidak jujur, yang dalam hukum dikenal dengan
terminologi “Persaingan Curang” (unfair competition).
Ketentuan-ketentuan ini sesungguhnya diperuntukkan bagi sesama pelaku usaha
tidak bagi konsumen langsung, namun demikian kompetisi tidak sehat
diantara mereka pada jangka panjang pasti berdampak negatif bagi
konsumen pihak yang dijadikan sasaran rebutan adalah konsumen itu
sendiri.
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Untuk menciptakan kenyamanan dalam berusaha dan menciptakan
pola hubungan yang seimbang antara pelaku usaha atau pengembang dan
konsumen maka perlu adanya hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Adapun hak dari pelaku usaha tersebut diatur dalam Pasal 6
Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu antara
lain :
(a)Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang
diperdagangkan.
(b)Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang tidak beritikad baik.
(c)Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen.
(d)Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau
jasa yang diperdagangkan.
(e) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Sedangkan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
mengatur mengenai kewajiban kewajiban pelaku usaha yang meliputi :
(a)Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
(b)Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan,
perbaikan, dan pemeliharaan.
(c)Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
(d)Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau
jasa yang berlaku.
(e)Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan atau
mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan
atau garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan.
(f) Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa
yang diperdagangkan.
(g)Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang
dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Bagi pelaku usaha selain dibebani kewajiban yang telah
disebutkan diatas, ternyata juga dikenakan larangan-larangan yang diatur
dalam pasal 8 Undang-undang perlindungan konsumen adapun
larangan-larangan bagi pelaku usaha meliputi :
(a)Larangan mengenai produk itu sendiri yang tidak memenuhi syarat
dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau
dimanfaatkan oleh konsumen.
(b)Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, tidak
akurat, dan yang menyesatkan konsumen.
c. Tanggung jawab Pelaku usaha
Disamping adanya hak dan kewajiban pelaku usaha adanya tanggung
jawab yang harus dipikul oleh developer sebagai bagian dari kewajiban yang
mengikat kegiatannya dalam berusaha, sehingga diharapkan adanya
kewajiban developer (pelaku usaha) untuk selalu berhati-hati dalam
memproduksi barang dan atau jasa yang dihasilkan. Tanggung jawab yang
dimaksud sebagai upaya untuk melindungi konsumen atas pemakaian produk
yang dihasilkan dan atau/ diperdagangkan oleh pelaku usaha, dimana pelaku
usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau
diperdangkan, tanggung jawab tersebut dikenal sebagai tanggung jawab
produk (Product Liability). Tanggung jawab (Product Liability) dapat
diartikan sebagai suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan
yang menghasilkan suatu produk (produser, manifacturer), dari orang atau
badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu poduk
(procecor,assembler), dan mendistribusikan (seller,distributor) dari produk
tersebut (A.Joko Purwoko,2005 “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap
Konsumen Dalam Bisnis Multi Marketing Level”,Kisi Hukum,Vol 8 No 1).
Tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam
perlindungan konsumen. Secara umum prinsip tanggung jawab dalam hukum
dapat dibedakan menjadi (Shidarta, 2000:58) :
1) Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault)
yaitu prinsip yang menyatakan bahwa seseorang baru dapat diminta
pertanggung jawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukan.
2) Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, menegaskan bahwa
pelaku usaha dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan
ia tidak bersalah.
3) Prinsip praduga untuk selalu tidak bertanggung jawab, hanya dikenal
dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan
demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Prinsip ini
kebalikannya dengan prinsip yang kedua.
4) Prinsip tanggung jawab mutlak, yaitu dalam hukum perlindungan
konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha,
khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang
merugikan konsumen. Asas ini dekenal dengan nama product liability
5) Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan.
Tanggung jawab pelaku usaha dalam kerugian konsumen dalam
Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur
khusus dalam Bab VI , pasal 19 ayat (1) dapat diketahui tanggung jawab
pelaku usaha meliputi :
1) Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan.
2) Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran.
3) Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.
Berdasarkan hal ini maka adanya produk barang dan atau jasa yang
rusak bukan merupakan satu-satunya pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal
ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang
dialami konsumen.
d. Asas dan tujuan perlindungan konsumen
Upaya perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan pada asas
yang diyakini memberikan arahan dan implementasinya ditingkatan praktis.
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen asas yang dimaksud, yaitu :
1) asas manfaat
2) asas keadilan
3) asas keseimbangan
4) asas keselamatan dan keamanan konsumen
5) asas kepastian hukum.
Adapun penjelasan dari lima asas tersebut adalah :
1) Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan.
2) Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
3) Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
materiil dan spritual.
4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.
Dalam dokumen
Perlindungan hukum terhadap konsumen perumahan atas kualitas bangunan di perumahan fajar indah Surakarta AMANDA JADI PDF
(Halaman 35-54)