• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

2. Tinjauan Tentang Sengketa Pertanahan

a. Pengertian Sengketa Pertanahan

Secara kuantitatif, tanah merupakan benda yang relatif tidak bertambah. Manusia membutuhkan tanah untuk melakukan berbagai kegiatan. Sampai saat ini sebagian besar kegiatan manusia masih berada di atas tanah. Dari waktu ke waktu, jumlah manusia yang ada di muka bumi terus bertambah dan jumlah manusia yang membutuhkan tanah juga terus meningkat. Akibatnya, tanah menjadi salah satu benda yang rawan konflik. Konflik itu terjadi, sejak diperolehnya, pengusahaannya, sampai ketika pihak yang menguasainya hendak melakukan perbuatan hukum

commit to user

terhadap tanah yang bersangkutan (A. Joni Minulyo. 2007. “Penanganan Masalah Pertanahan”. Jurnal Hukum Pro Justitia. Vol. 25, No. 3).

Sengketa biasanya bermula dari situasi di mana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas yang bersifat subjektif dan tertutup yang dapat dialami oleh perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua. Apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut. Tetapi apabila reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda, terjadilah apa yang dinamakan sengketa. Proses sengketa terjadi karena tidak adanya titik temu antara pihak-pihak yang bersengketa dan secara potensial, dua pihak yang mempunyai pendirian atau pendapat yang berbeda dapat beranjak ke situasi sengketa (Suyud Margono, 2004: 34)

Permasalahan pertanahan merupakan isu yang selalu muncul dan selalu aktual dari masa ke masa, seiring dengan bertambahnya penduduk, perkembangan pembangunan, dan semakin meluasnya akses berbagai pihak untuk memperoleh tanah sebagai modal dasar dalam berbagai kepentingan. Permasalahan pertanahan dimaksud dapat berupa pengaduan masyarakat yang diajukan secara langsung, tertulis, ekspose di media cetak atau elektronik dan bahkan tidak jarang dilakukan melalui aksi unjuk rasa. Di samping itu terdapat juga perkara pertanahan yang disampaikan melalui gugatan ke Pengadilan.

Sengketa pertanahan adalah konflik antara dua pihak atau lebih yang mempunyai kepentingan berbeda terhadap satu atau beberapa obyek Hak Atas Tanah. Pengertian sengketa pertanahan termuat secara jelas dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan yang berbunyi : “Sengketa pertanahan adalah perbedaan pendapat mengenai :

commit to user

1) keabsahan suatu hak;

2) pemberian hak atas tanah;

3) pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti haknya,

antara pihak-pihak yang berkepentingan maupun antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan instansi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional”.

Jadi, pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan, perorangan dengan badan hukum, badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya (Fia S. Aji, Kanwil BPN Gorontalo. Penyelesaian

Sengketa Pertanahan di Indonesia.

(

http://fiaji.blogspot.com/2007/09/penyelesaian-sengketa-pertanahan-fia-s.html), diakses pada tanggal 15 Oktober 2010, pukul 11.15).

b. Penyebab Terjadinya Sengketa Tanah

Penyebab sengketa pertanahan seperti yang diuraikan pada halaman Badan Pertanahan Nasional, antara lain :

1) Persediaan tanah relatif terbatas sementara pertumbuhan penduduk meningkat;

2) Ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, pembangunan dan pemanfaatan tanah;

3) Tanah terlantar dan Resesi Ekonomi; 4) Pluralisme hukum tanah di masa kolonial;

5) Persepsi dan kesadaran “Hukum“ masyarakat terhadap penguasaan dan pemilikan tanah;

6) Inkonsistensi Kebijakan Pemerintah dalam penyelesaian masalah; 7) Reformasi;

8) Kelalaian petugas dalam proses pemberian dan pendaftaran hak atas tanah;

commit to user

10)Lemahnya sistem administrasi pertanahan;

11)Tidak terurusnya tanah-tanah aset Instansi Pemerintah (BPN Kantor Wilayah Propinsi Jawa Tengah. Penanganan Sengketa Pertanahan,

Strategi Penanganan Sengketa Pertanahan. (

http://bpn-jateng.net/index.php?action=news.detail&id_news=22), diakses pada

tanggal 12 Oktober 2010, pukul 19.05).

Selain konteks politik dan ekonomi, sengketa tanah terjadi karena lemahnya posisi hukum tanah komunal dalam kerangka hukum nasional. Status hukum hak atas tanah komunal ditunjukkan dengan adat di Indonesia diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dapat diringkas sebagai berikut yakni adat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional, adat tidak boleh bertentangan dengan sosialisme Indonesia, adat tidak boleh bertentangan dengan hukum agraria atau hukum pemerintah lainnya, semua tanah-tanah adalah milik negara. Merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia yang disadur dari jurnal internasional yang mengemukakan in addition to the political and economic contexts, land dispute occur due to the weak legal position of communal lands in the frame work of national law. the legal status of communal land rights indicated by adat in indonesia set forth in agrarian law article 5 1960 may be summarized as follows adat must not be contrary to national interests, adat must not be contrary to indonesia socialism, adat must not be contrary to the princilpes of agrarian law or other government law, all lands belong to the state (Minako Sakai. 2002. “Land Dispute Resolution in the Political Reform at the time of Desentralization in Indonesia”. The Indonesian Journal of Anthropology. Vol Spesial, No. 15).

c. Penyelesaian Sengketa Pertanahan

Setiap permasalahan pertanahan yang muncul harus diupayakan untuk ditangani segera agar tidak meluas menjadi masalah yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat yang berdampak sosial, ekonomi, politik dan keamanan. Dalam kerangka inilah kebijakan pertanahan dalam

commit to user

menangani sengketa, konflik, dan perkara pertanahan dilakukan secara sistematis dan terpadu, diantaranya dengan cara mengelompokkan permasalahan menurut tipologinya dan kemudian dilakukan pengkajian untuk mencari akar masalahnya.

Berbagai penyelesaian sengketa pertanahan cukup banyak ditawarkan baik yang penyelesaian sengketa pertanahan penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan (non litigasi) dan penyelesaian sengketa dengan jalur pengadilan (litigasi) :

1) Penyelesaian Sengketa Pertanahan melalui Jalur Luar Pengadilan Langkah-langkah pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa sering berhasil di dalam usaha penyelesaian sengketa (dengan jalan musyawarah atau mediasi). Tindakan ini tidak jarang menempatkan pihak instansi pemerintah ic. Direktur Jenderal Agraria untuk menempatkan dirinya sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa secara kekeluargaan. Untuk itu diperlukan sikap tidak memihak serta tidak melakukan tekanan-tekanan, akan tetapi tidak berarti bahwa mediator tersebut harus pasif.

Pihak agraria harus mengemukakan beberapa cara

penyelesaian, menunjukkan kelemahan-kelemahan serta kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul yang dikemukan oleh para pihak. Mediasi ini apabila dilakukan, harus pula memperhatikan tata cara formal seperti surat pemanggilan, berita acara atau notulen rapat, akta atau pernyataan perdamaian yang berguna sebagai bukti bagi para pihak maupun pihak ketiga. Hal semacam ini biasanya kita temukan dalam akta perdamaian, baik yang dilakukan di muka hakim maupun di luar Pengadilan atau notaris.

Pelaksanaan mengenai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam Undang-Undang ini, Alternatif Penyelesaian Sengketa diartikan sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui

commit to user

prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atupun penilaian ahli (Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Adapun karakteristik dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), yaitu :

a) Privat, sukarela dan konsensual (didasarkan atas kesepakatan para pihak).

b) Kooperatif tidak agresif/bermusuhan tegang. c) Fleksibel dan tidak formal/kaku.

d) Kreatif

e) Melibatkan partisipasi aktif para pihak dan sumber daya yang mereka miliki.

f) Bertujuan untuk mempertahankan hubungan baik. (Indonesian Institute for Conflict Transformation, 2006: 36). 2) Penyelesaian Sengketa Pertanahan melalui Jalur Pengadilan

Penyelesaian Sengketa Pertanahan melalui Pengadilan

merupakan bentuk penyelesaian dalam ruang lingkup hukum perdata, di mana intinya berisi tentang perbuatan melanggar hukum dan ganti rugi. Apabila usaha-usaha musyawarah atau mediasi tersebut mengalami jalan buntu atau ternyata ada masalah-masalah prinsipil yang harus diselesaikan oleh instansi lain yang berwenang, misalnya pengadilan, maka kepada yang bersangkutan disarankan untuk mengajukan masalahnya ke Pengadilan (Rusmadi Murad, 1991: 27).

Pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang mengatur tentang perbuatan melanggar hukum dan ganti rugi, yang bunyinya “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Dalam hubungannya dengan penyelesaian ganti kerugian sebagai konsekuensi tanggung jawab atas perbuatan melanggar hukum,

commit to user

maka ketentuan dalam Pasal 1365 ini terkait erat dengan Pasal 1243 yang menyatakan bahwa, “Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena terpenuhinya suatu perikatan, barulah mulia diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.

Sedangkan dalam kaitannya dengan pembuktian, perlu dikemukakan Pasal 1865 KUH Perdata yang menyatakan bahwa,

“Barangsiapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana ia

mendasarkan sesuatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu, sebaliknya barangsiapa mengajukan peristiwa-peristiwa-peristiwa-peristiwa guna pertahanan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu”.

Adapun karakteristik dari penyelesaian sengketa pertanahan melalui jalur pengadilan, yaitu :

a) prosesnya sangat formal (terikat pada hukum acara)

b) para pihak berhadapan untuk saling melawan, adu argumentasi dan pengajuan alat bukti

c) pihak ketiga netralnya (hakim) ditentukan para pihak dan keahliannya bersifat umum

d) prosesnya bersifat terbuka atau transparan

e) hasil akhir berupa putusan yang didukung pertimbangan atau pandangan hakim

(Indonesian Institute for Conflict Transformation, 2006: 29).

Dokumen terkait