BAB II KAJIAN PUSTAKA
B. Tinjauan Teori dan Konsep
Pengolahan data dalam penelitian ini tentunya memerlukan beberapa
teori yang mendukung dan dianggap relevan, dari bentuk dukungan yang
diharapkan dapat membantu temuan di lapangan sehingga dapat
memperkuat teori dan keakuratan data.
1. Ungkapan
a. Pengertian Ungkapan
Ungkapan merupakan gabungan kata yang maknanya sudah
menyatu dan tidak ditafsirkan dengan makna unsur yang membentuknya.
Idiom atau disebut juga dengan ungkapan adalah gabungan kata yang
membentuk arti baru karena tidak berhubungan dengan kata pembentuk
dasarnya.
Ungkapan adalah gabungan dua kata atau lebih yang digunakan
seseorang dalam situasi tertentu untuk mengiaskan suatu hal. Ungkapan
terbentuk dari gabungan dua kata atau lebih. Gabungan kata ini jika tidak
ada konteks yang menyertainya memiliki dua kemungkinan makna, yaitu
makna sebenarnya (denotasi) dan makna tidak sebenarnya (makna kias
atau konotasi). Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah gabungan kata
menyertainya, untuk lebih jelasnya kita ambil sebuah contoh “Membanting
tulang”.
Chaer (1994) berpendapat bahwa idiom adalah satuan ujaran yang
maknanya tidak dapat “diramalkan’ dari makna unsur-unsurnya, baik
secara leksikal maupun secara gramatikal. Umpamanya, secara
gramatikal bentuk menjual rumah bermakna ‘yang menjual menerima
uang dan yang membeli menerima rumahnya’; tetapi, dalam bahasa
Indonesia bentuk menjual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu, tetapi
bermakna ‘tertawa keras-keras’. Jadi, makna seperti yang dimiliki bentuk
menjual gigi ialah yang disebut makna idiomatikal. Contoh lain dari idiom
adalah bentuk membanting tulang yang bermakna ‘bekerja keras’, meja
hijau dengan makna ‘pengadilan, dan sudah beratap seng dengan makna
‘sudah tua’.
Menurut Saryono, (1997:68) makna idiomatis adalah makna
konstruksi yang maknanya sudah menyatu dan tidak dapat ditafsirkan
atau dijabarkan dari makna unsur-unsur pembentuknya. Contohnya: tanah
air ‘negeri tempat lahir’, besar kepala ‘sombong’, dan mengambing hitamkan ‘menuduh bersalah’. Oka dan Suparno (1994) menyatakan
bahwa makna kias adalah makna yang sudah menyimpang dalam bentuk
ada pengiasan hal atau benda yang dimaksudkan penutur dengan hal
atau benda yang sebenarnya.
Jadi, secara umum ungkapan berarti gabungan kata yang memberi
sebenarnya. Ungkapan dapat juga diartikan makna leksikal yang dibangun
dari beberapa kata, yang tidak dapat dijelaskan lagi lewat makna
kata-kata pembentuknya.
Ada dua macam bentuk idiom atau ungkapan, yaitu yang disebut
idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua
unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang
dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Bentuk-bentuk seperti
membanting tulang, menjual gigi, dan meja hijau termasuk contoh idiom
penuh. Sedangkan yang dimaksud dengan idiom sebagian adalah idiom
yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri.
Misalnya, buku putih yang bermakna ‘buku yang memuat keterangan
resmi mengenai suatu kasus’; daftar hitam yang bermakna ‘daftar yang
memuat nama-nama orang yang diduga atau dicurigai berbuat kejahatan’;
dan koran kuning dengan makna ‘koran yang biasa memuat berita
sensasi’. Pada contoh tersebut, kata buku, daftar, dan koran masih
memiliki makna leksikalnya. Ungkapan juga bersifat seperti bahasa pada
umumnya. Ungkapan selalu berkembang mengikuti bahasa itu sendiri,
seiring dengan perkembangan zaman. Sehingga menurut zaman
ungkapan dapat dibagi menjadi dua, yaitu ungkapan lama dan ungkapan
baru. Contoh-contoh ungkapan lama masih dapat kita jumpai pada zaman
sekarang ini, seperti: matanya bagai bintang timur : bersinar atau tajam,
rambutnya bagai mayang mengurai : ikal atau keriting, berminyak air :
Undang-Undang Pers, berebut senja : siang berganti malam, ranum dunia :
penyebab kesulitan.
Komunikasi secara lisan ataupun tidak lisan, masyarakat sering
menyelipkan sebuah ungkapan atau idiom dalam suatu komunikasi. Ini
bertujuan untuk memperjelas suatu makna atau maksud tertentu.
Dalam ranah sastra, baik puisi ataupun prosa. Sering dibubuhi oleh
ungkapan-ungkapan. Seumpama sayur yang dibubuhi banyak ramuan
atau bumbu untuk menjadikannya nikmat. Dalam sastra ramuan itu sejenis
dengan ungkapan. Sehingga karya itu menjadi hidup, sehingga pembaca
dapat merasakan apa yang diungkapkan oleh penulis atau penyair dalam
memandang bahasa.
Bahasa, bagi seorang penyair adalah miliknya yang paling
berharga. Dengan bahasa, ia mengutuk atau mencaci maki dunia, tetapi
juga dengan bahasa ia menyanyikan perasaannya atau mengembara
dalam angan-angannya. Bahasa tidak pernah kering dalam jiwanya,
setiap sentuhan, setiap situasi, setiap merasa dan mengagumi, dicobanya
hendak ditemukan dalam bahasa.Itulah pentingnya bahasa bagi seorang
penyair. Bahasa adalah nyawanya sendiri, jadi tidak seorang pun yang
dapat memisahkan bahasa dengan penyair, karena sama halnya dengan
mengambil nyawanya. Dalam penggunaan bahasa yang digodok oleh
seorang penyair tersebut, dia sangat membutuhkan makna-makna yang
Pemerkosaan bahasa, yaitu pemilihan kata-kata (diksi) serta
penggunaan cara-cara pengungkapan, dengan menggunakan
makna-makna dalam semantik khususnya ungkapan. Sebagaimana yang
dikatakan Ricoeur (2013:24), sehingga menciptakan “kegelapan semantik”
atau ‘ketidakpastian makna yang terkandung dalam ungkapan’. Hal ini
akan mengajak masyarakat khususnya kaum adam untuk memuji berita
yang sangat rendahan itu. Hal tersebut di atas membuat ungkapan itu
hanya sebuah bahasa biasa, yang kadang merusak bahasa dan
masyarakat atau bahasa sastranya mati, lesu, dan rusak. Ini menghambat
perkembangan sebuah bahasa, khususnya bahasa Indonesia, karena
tanpa makna-makna yang digarap oleh semantik, suatu bahasa akan sulit
untuk bergerak. Ini juga akan berpengaruh kepada masyarakat Indonesia,
mengenai pemakaian bahasa Indonesia, bukti nyatanya, pada zaman
sekarang ini bahasa Indonesia telah didahului oleh bahasa Inggris di
negerinya sendiri, ini sangat bersifat fatal kepada garapan Sosiolinguistik
pula, mengenai penutur bahasa Indonesia dalam masyarakat.
Suatu hal yang harus dibedah lagi, khususnya kepada mereka yang
mempunyai otoritas dalam memasyarakatkan bahasa Indonesia, seperti
penulis, media masa, elektronik dan sebagainya, seharusnya memberikan
suatu catatan kecil mengenai makna yang terkandung di dalam suatu
Berikut adalah contoh ungkapan :
(a) banting tulang : kerja keras
(b) gulung tikar : bangkrut
(c) angkat kaki : pergi
(d) naik pitam : marah
(e) tinggi hati : sombong
Contoh kalimat dengan:
1. Mereka sudah banyak makan garam dalam hal itu. (banyak
pengalaman)
2. Hati-hati terhadapnya, ia terkenal si panjang tangan. (suka mencuri)
3. Jeng Sri memang tinggi hati. (sombong)
4. Karena ucapan orang itu, Waluyo naik darah. (marah)
5. Itulah akibatnya kalau menjadi anak yang berkepala batu. (tidak mau
menurut)
6. Hati-hati terhadap orang yang besar mulut itu. (suka membual)
7. Merah telinganya ketika ia dituduh sebagai koruptor. (marah)
8. Karena gelap mata, dia mengamuk di kantor. (hilang kesabaran)
b. Jenis-jenis Ungkapan
1) Berdasarkan makna unsur pembentuknya, ungkapan dapat
dikelompokkan menjadi dua macam.
a) Ungkapan penuh (idiom penuh) berupa kata ataupun frasa yang
Contoh: Kita tidak boleh menjual gigi ketika mengunjungi korban lumpur
panas.
menjual gigi = tertawa keras-keras
b) Ungkapan sebagian (idiom sebagian) berupa kata atau frasa yang
maknanya masih tergambar dalam makna unsur pembentuknya.
Contoh: Kampung Kedungbendo seperti desa mati karena gelap gulita
dan sunyi.
gelap gulita = gelap sekali
2) Berdasarkan kata yang membentuknya, ungkapan dapat dibagi
menjadi tujuh macam.
1. Ungkapan dengan bagian tubuh
Contoh: Masyarakat Porong bahu-membahu membersihkan lumpur di
jalan dan desa.
bahu-membahu = bergotong-royong
2. Ungkapan dengan indra
Contoh: Meskipun jauh di mata, tetapi aku dapat merasakan penderitaan
penduduk Kedungbendo.
jauh di mata = terpisah jauh
3. Ungkapan dengan warna
Contoh: Bantuan bagi korban lumpur panas dibuatkan perjanjian hitam di
atas putih agar dapat dimintakan pertanggungjawaban jika terjadi
penyelewengan.
4. Ungkapan dengan nama benda-benda alam
Contoh: Banyak korban lumpur panas yang tidak masuk buku untuk
mendapatkan dana dan bantuan.
tidak masuk buku = tidak masuk dalam hitungan
5. Ungkapan dengan bagian-bagian tumbuhan
Contoh: Wilayah desa Kedungbendo dibatasi dengan batang air.
batang air = sungai
6. Ungkapan dengan nama binatang
Contoh: Coba hindari adu domba jika menyelesaikan kasus ini!
adu domba = menjadikan pertengkaran
7. Ungkapan dengan kata-kata yang menunjuk bilangan.
Contoh: Dampak luapan lumpur membuat masyarakat mendua hati.
mendua hati = bimbang, ragu
2. Pengertian Bahasa
Kata bahasa dalam bahasa Indonesia memiliki lebih dari satu
makna atau pengertian, sehingga seringkali membingungkan. Bahasa
sebagai objek linguistik merupakan langue dan parole. Langue merupakan
objek yang abstrak karena langue itu berwujud suatu sistem. Bahasa
tertentu secara keseluruhan, sedangkan langue merupakan objek yang
paling abstrak karena dia berwujud sistem bahasa secara universal.Yang
dikaji linguistik secara langsung adalah parole, karena parole itulah yang
berwujud konkret, yang nyata, yang dapat diamati atau diobservasi. Kajian
langue dan dari kajian terhadap langue ini akan diperoleh kaidah-kaidah language kaidah bahasa secara universal.
Sehubungan dengan hal tersebut, Chaer (1994: 3) mengemukakan
pendapatnya bahwa bahasa sebagai objek linguistik, parole adalah objek
konkret karena parole itu berwujud ujaran nyata yang diucapkan oleh para
bahasawan dari suatu masyarakat bahasa. Pendapat tersebut
menunjukkan bahwa bahasa dapat diartikan sebagai parole. Parole
berwujud nyata yang diucapkan oleh pemakai bahasa sehingga diamati
dan diobservasi, ini merupakan objek yang abstrak yang berwujud sistem
suatu bahasa tertentu secara keseluruhan.
Pendidikan formal di sekolah menengah, kalau ditanyakan apakah
bahasa itu? biasanya jawabannya yang muncul adalah bahasa sebagai
alat komunikasi. Kondisi seperti ini seringkali dijumpai dalam lingkungan,
pendidikan formal. Jawaban tersebut hanya menyatakan fungsi dari
bahasa yaitu bahasa sebagai alat. Jadi, fungsi bahasa itu yang dijelaskan,
bukan sosok bahasa itu sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut,
Kridalaksana (dalam Chaer, 1994 : 32) mengemukakan bahwa bahasa
adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para
anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan
mengindetifikan diri.
Selanjutnya, masalah lain yang berkenan dengan pengertian
bahasa adalah bilamana sebuah tuturan disebut bahasa yang berbeda
suatu bahasa. Secara linguistik dua buah tuturan dianggap sebagai dua
buah bahasa yang berbeda, kalau anggota-anggota dari dua masyarakat
tuturan itu tidak saling mengerti. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman
tentang bahasa perlu diperhatikan oleh pemakainya.
Keraf (1991 : 15) menjelaskan bahasa sebagai berikut :
“…..Bahasa itu meliputi dua bidang yaitu : bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat ucap dan arti atau makna yang tersirat dalam arus bunyi tadi; bunyi itu merupakan getaran yang merangsang alat pendengar kita, serta arti atau makna adalah isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan adanya reaksi itu untuk selanjutnya arus bunyi kita namakan arus ujaran”.
Dari kutipan tersebut, Keraf menjelaskan bahasa sebagai bunyi
yang dihasilkan alat-alat artikulasi manusia. Bunyi tersebut merupakan
getaran yang merangsang alat pendengar dan arti yang terkandung dalam
bunyi tersebut.
Selanjutnya, juga dijelaskan bahwa setiap bunyi yang dihasilkan
oleh alat-alat ucap belum bisa dikatakan bahasa bila belum terkandung
makna di dalamnya. Apakah setiap arus ujaran mengandung makna atau
tidak haruslah dititik dari konvensi masyarakat tertentu. Selain itu, Keraf
(1991 : 16) memberikan batasan bahasa yaitu “ alat komunikasi antara
anggota masyarakat, berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh
alat ucap manusia”.
Menurut Chaer (1998 : 1) bahasa adalah “ suatu sistem lambang
bunyi yang arbitrer, digunakan oleh suatu masyarakat untuk bekerja
menjelaskan bahwa sebagai sebuah sistem bahasa itu terbentuk oleh
suatu aturan, kaidah atau pola-pola tertentu, baik dalam bidang tata bunyi,
kata bentuk kata, maupun kalimat. Bila aturan, kaidah, pola ini dilanggar,
maka komunikasi dapat terganggu.
Bahasa adalah lambang-lambang yang berupa bunyi bersifat
arbitrer, artinya dalam bahasa tidak ada ketentuan data hubungan antara
suatu lambang bunyi dengan benda atau konsep yang dilambangkannya.
Misalnya kata kuda, yaitu sejenis binatang berkaki empat yang biasa
dipakai untuk menarik beban, meskipun lambang-lambang bahasa itu
bersifat arbitrer, bila terjadi penyimpangan terhadap penggunaan lambang
itu, pasti akan terganggu jika aturan terhadap lambang bahasa tidak
dipatuhi (Chaer, 1998 :2). Selanjutnya Chaer dan Agustina ( 2004 : 36)
menjelaskan, bahasa sebagai alat komunikasi manusia dapat dipisahkan
menjadi unit satuan-satuan, yaitu fonem, morfem, kata, dan kalimat.
Hubungan antara lambang-lambang bahasa dengan maknanya bukan
ditentukan oleh adanya persetujuan antara lambang bahasa itu bersifat
terbuka. Artinya, lambang-lambang bahasa dibuat sesuai dengan
keperluan manusia untuk menguasai aturan-aturan tersebut, diperlukan
suatu ketekunan dalam mempelajari kaidah-kaidah tersebut.
Pei (dalam Pringgawidagda, 2003: 5) mengemukakan bahwa
bahasa adalah suatu sistem komunikasi bunyi, yang diucapkan melalui
organ-organ ujaran dan didengar di antara anggota-anggota masyarakat,
konvensional secara arbitrer. Dari pendapat tersebut, dapat dikatakan
bahwa bahasa merupakan sebuah sistem simbol vokal yang arbitrer dan
digunakan untuk komunikasi manusia.
Santoso (1990: 1) menjelaskan bahwa bahasa adalah alat
komunikasi berupa rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia secara sadar yang diatur oleh suatu sistem, selain itu juga
dijelaskan bahwa sebagai komunikasi, bahasa mampu untuk menampung
perasaan dan pikiran pemakainya, serta mampu menimbulkan adanya
saling pengertian antara penutur dan lawan tutur atau antara pembaca
dan penulis. Semua bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, dalam
penampilannya sebagai bahasa diatur oleh suatu sistem tertentu yang
berbeda antara satu bahasa dengan bahasa yang lain. Seseorang dapat
berkomunikasi dengan baik dalam suatu bahasa, apabila orang tersebut
dapat menguasai sistem bahasa itu. Bahasa sebagai alat komunikasi
umum sangat ditentukan oleh kesempurnaan sistem atau aturan bahasa
dari masyarakat pemakainya.
Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa bahasa
adalah alat komunikasi kehidupan manusia berupa lambang bunyi suara
yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa itu terbentuk oleh aturan,
kaidah, atau pola-pola tertentu, baik dalam bidang tata bunyi, tata bentuk
kata, maupun kalimat secara konvensional. Sehubungan dengan hal
tersebut, bahasa Indonesia sebagai suatu bahasa tentu tidak akan keluar
bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi masyarakat Indonesia, juga
ditentukan oleh kesempurnaan sistem bahasa dari masyarakat
pemakainya.
a. Ilmu Bahasa (Linguistik)
Ilmu bahasa yang dipelajari saat ini bermula dari penelitian tentang
bahasa sejak zaman Yunani (abad 6 SM). Secara garis besar studi
tentang bahasa dapat dibedakan antara (1) tata bahasa tradisional dan (2)
linguistik modern. Selanjutnya linguistik dapat dibagi menjadi beberapa
cabang yaitu, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
b. Hakikat Bahasa
Hakikat bahasa merupakan ciri-ciri bahasa itu sendiri.Chaer (2004:63)
menjelaskan bahwa bahasa pada dasarnya memiliki ciri-ciri. Sifat dan ciri
yang dimaksud antara lain:
a. Bahasa itu adalah suatu sistem
b. Bahasa itu berwujud lambang
c. Bahasa itu berupa bunyi
d. Bahasa itu berupa arbitrer
e. Bahasa itu bermakna
f. Bahasa itu berisfat konvensional
g. Bahasa itu bersifat unik
h. Bahasa itu bersifat universal
i. Bahasa itu bersifat dinamis
k. Bahasa itu berfungsi sebagai alat
Berdasarkan ciri-ciri yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan
bahwa fungsi bahasa dalam kehidupan manusia sangat penting, oleh
karena itu, hubungan antara individu dalam kehidupan masyarakat turut
dipengaruhi oleh bahasa sebagai media komunikasi. Bahasa sebagai
media komunikasi juga mengikat hubungan antara yang satu dengan
individu yang lainnya dalam komunikasi. Hal ini disebabkan oleh bahasa
yang secara fungsional merupakan salah satu alat yang digunakan untuk
menyampaikan pikiran dan perasaan manusia. Kondisi tersebut dapat
berjalan dengan lancar apabila bahasa yang dipergunakannya dapat
saling dimengerti, baik oleh penutur atau penulis maupun lawan tutur atau
pembaca.
Dari seluruh uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
bahasa lambang bunyi yang mempunyai arti dengan fungsi sebagai alat
komunikasi dalam kehidupan manusia. Bahasa sebagai alat komunikasi
merupakan lambang yang mempunyai arti maupun bunyi yang berfungsi
sebagai alat yang digunakan manusia sebagai pemakai bahasa, dalam
mengadakan hubungan antara sesamanya. Hal tersebut menunjukkan
bahwa bahasa berkaitan erat dengan segala aspek kehidupan manusia,
interaksi dan segala macam aktivitas yang bersifat sosial akan menjadi
a. Bahasa merupakan milik manusia
Manusia sebagai penutur dan pengguna bahasa dalam kehidupan
bermasyarakat, maka dianggap wajar jika dikatakan bahwa bahasa
merupakan milik manusia yang digunakan sebagai alat komunikasi.
Hanya manusia yang dianggap dapat menggunakan bahasa.
Dikatakan demikian karena bahasa merupakan simbol vokal. Bahasa
lisan merupakan bahasa primer manusia. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa hanya manusia yang memiliki potensi berbicara.
b. Bahasa adalah berpikir dan bertindak
Bahasa dalam fungsinya sebagai alat komunikasi dianggap sebagai
bentuk atau manifestasi berpikir dan bertindak. Oleh karena itu,
proses berpikir bahasa tampak dalam kompetensi kebahasaan.
Kompetensi ini bersifat abstrak atau tidak dapat dilihat. Gejala bahasa
atau penampilan berbahasa yang dapat dilihat disebut tindak tutur.
Ada pula yang menyebut dengan istilah performansi bahasa.
c. Bunyi merupakan bagian bahasa
Bunyi bahasa dipelajari dalam linguistik, terutama di dalam fonologi
(ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa). Media bahasa yang
paling mudah untuk dimengerti oleh manusia normal adalah yang
menggunakan bunyi atau simbol-simbol, bukan dengan isyarat atau
gerakan anggotan badan. Oleh karena itu, wajar apabila definisi
bahasa adalah simbol vokal. Simbol vokal ini berkaitan dengan
bahasa lisan.Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan
bahasa tulis bersifat sekunder. Media lain seperti bahasa isyarat
hanya sebagai pertolongan yang bersifat kasuistis.
d. Bahasa memiliki tingkatan
Bahasa disusun atas simbol-simbol vokal. Simbol-simbol vokal itu
dirangkaikan secara hierarkis:
1) Fonem 2) Silabe 3) Morfem 4) Kata 5) Frase 6) Klausa 7) Kalimat 8) Wacana
Fonem merupakan lambang bunyi yang membedakan arti. Gabungan
fonem menjadi silabe.Rangkaian silabe menjadi kata, rangkaian kata
menjadi frasa atau klausa, unit bahasa yang lebih besar dari pada
klausa adalah kalimat. Gabungan antarkalimat yang membentuk
makna secara utuh disebut wacana.
e. Bahasa selalu melekat pada gestur
Bahasa adalah aktivitas manusia yang dapat didengar dan dapat
dilihat. Gestur biasa juga disebut paralanguage atau kinestik. Body
(berbahasa) dengan gerak mimik, kerdip mata, kerut dahi, gerak
kepala, gerak tangan, dan lain-lain. Keberhasilan berbicara dengan
tatap muka dipengaruhi oleh pendengaran dan gerak-gerik yang
tampak dari pembicara.
f. Bahasa adalah unsur arbitrer dan nonarbitrer
Penentuan bentuk kebahasaan bersifat arbitrer, artinya
sewenang-wenang. Menentukan nama satuan (satuan linguistik) dan makna
suatu benda tidak ada aturan secara konvensional. Semua bersifat
sewenang-wenang (arbitrer) atau sekehendak pencipta bahasa itu.
Tidak ada aturan dan alasan yang mapan, umum, dan masuk akal.
Seseorang mencipta bahasa atau kata. Tidak ada hubungan logis
antara nama dan makna, mengapa itu bernama sawah, hutan, pohon,
makan, minum, dan sebagainya. Oleh karena itu, suatu benda yang
sama dapat diacu oleh beberapa bentuk kebahasaan, misalnya untuk
mengacu pada benda yang bernama ayam digunakan untuk
kebahasaan (kata). Penentuan bentuk kebahasaan itu bergantung
pada kemauan masyarakat pemakainya.
g. Bahasa adalah vertikal dan horizontal
Bahasa dapat dilihat secara vertikal dan horizontal.Vertikal mengacu
pada sifat bahasa yang paradigmatik, sedangkan horizontal mengacu
pada sintagmatik. Pada deret paradigmatik (vertikal) diisi dengan
(horizontal) yang terdiri atas struktur, yaitu struktur
subjek-predikat-objek (S,P,O).
h. Bahasa adalah didengar dan diucapkan
Secara primer, bahasa itu diucapkan oleh pembicara dan disebut
primer karena bahasa yang pertama kali digunakan manusia adalah
bahasa lisan. Bahasa lisan bersifat momental artinya bergantung pada
momen, situasi, atau konteks. Bahasa lisan itu begitu didengar begitu
hilang, sulit untuk diulang secara persis atau sama seperti semula.
karena sifatnya momental, bahasa lisan perlu diawetkan agar orang
lain dapat pula menikmati. Kemudian, manusia berkreasi untuk
melukiskan bahasa dalam bentuk lambang bahasa. Sejak itu lahirlah
budaya tulis yang bersifat sekunder karena merupakan turunan
bahasa lisan.
i. Bahasa adalah kesamaan struktur
Struktur kebahasaan yang bersifat konvensional. Artinya dalam
kearbitrerannya struktur itu masih harus menaati aturan-aturan atau
kaidah-kaidah kebahasaan yang dipakai masyarakat. Seluruh
masyarakat pemakai bahasa yang sama tentu akan memiliki
kaidah-kaidah kebahasaan yang sama pula, tidak boleh semaunya sendiri.
Kemampuan bahasa menurut Chomsky merupakan sesuatu yang di
bawah sejak lahir yang diturunkan oleh orang tuanya. Sejak lahir alat