• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Tinjauan Umum Tentang Penerbangan Sipil

1. Pengertian Penerbangan Sipil dalam Hukum Udara

Transportasi telah lama dianggap sebagai industri untuk kepentingan umum. Dalam konteks transportasi udara untuk kepentingan umum, maka erat hubungannya dengan angkutan udara niaga. Angkutan udara niaga terdiri atas angkutan udara dalam negeri, angkutan udara luar negeri (penerbangan internasional), serta angkutan udara berjadwal dan tidak berjadwal. Ketika mengkaji terkait penerbangan sipil, maka hal ini berhubungan dengan angkutan niaga berjadwal. Angkutan udara niaga berjadwal dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional atau badan usaha angkutan udara luar negeri. Namun, di dalam negeri Indonesia, kegiatan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri hanya

dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional.40

Dalam Hukum Internasional, pengertian angkutan udara (airlines) terdapat pasal 96 huruf (a) Konvensi Chicago 1944: setiap angkutan udara yang dilakukan oleh pesawat udara untuk mengangkut penumpang,

kargo, dan pos yang terbuka untuk umum.41

Pasal 96 Konvensi Chicago menjelaskan bahwa pengertian airline atau air carrier adalah setiap perusahaan angkutan udara yang memberikan atau mengoperasikan suatu pelayanan angkutan udara internasional berjadwal. Setiap perusahaan angkutan udara yang

40

Pasal 82 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan 41 Pasal 96 (a) Konvensi Chicago Tahun 1944.

29

memberikan atau mengoperasikan suatu pelayanan penerbangan

internasional.42

Perbedaan mendasar antara pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft) adalah bahwa pesawat udara negara merupakan pesawat udara yang digunakan oleh militer demi pelayanan publik. Sedangkan pesawat udara sipil bukan merupakan pesawat udara negara, melainkan pesawat udara yang mengangkut penumpang di dalam negeri maupun penerbangan internasional yang mempunyai hak untuk melakukan penerbangan lintas damai melewati negara lain dengan menggunakan izin.

2. Pertumbuhan Lalu Lintas Angkutan Udara

Meningkatnya permintaan jasa perjalanan di udara melalui penerbangan sipil mempengaruhi pertumbuhan lalu lintas angkutan udara yang semakin padat. Dalam aspek bisnis, permintaan tersebut berpengaruh terhadap kondisi bisnis maskapai penerbangan yang semakin membaik.

Menurut laporan The International Air Transport Association (IATA), pada Maret 2013 terjadi peningkatan permintaan penumpang untuk rute internasional sebesar 6.0 % dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada periode yang sama. Pada Maret 2013, di kawasan Asia Pasifik, lalu lintas angkutan udara meningkat 5.4 % dibandingkan dengan Maret 2011. Setengah dari pertumbuhan lalu lintas udara internasional

42

Cholid, Christian, et al., Pengertian dan Istilah Penerbangan Sipil, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), halaman. 27.

30

yang terjadi dikawasan Asia Pasifik dibawa oleh maskapai penerbangan

di kawasan tersebut.43

Pertumbuhan volume penumpang dan arus barang juga diramalkan oleh Airbus dan Boeing. Kajian yang dilakukan oleh dua raksasa industri manufaktur tersebut menyatakan bajwa pertumbuhan pasar maskapai tahun 2009-2029, asia pasifik akan berkembang menjadi

kawasan dengan pertumbuhan penumpang paling tinggi.44

3. Kerjasama Liberalisasi Penerbangan Sipil

Pertumbuhan lalu lintas udara dan volume penumpang dalam penerbangan internasional berpotensi untuk menguntungkan bagi maskapai penerbangan. Baik maskapai kargo maupun maskapai

penumpang menambah sejumlah besar pendapatannya lewat

penerbangan internasional.

Menurut Jusman Syafii Djamal45, secara historis perjanjian lalu

lintas udara untuk penerbangan internasional dilakukan secara bilateral: perjanjian dua negara. Hal ini merujuk pada Artikel No. 6 Convention on Civil Aviation, yang menyatakan: “tidak ada jadwal jasa penerbangan internasional yang beroperasi atau memasuki wilayah sebuah negara, kecuali dengan izin khusus atau pemberian kewenangan lain dari negara bersangkutan sesuai dengan jangka waktu pemberian izin tersebut.” Artikel tersebut dikritisi oleh pendorong liberalisasi penerbangan.

43

Jusman Syafii Djamal., From St. Louis To Seulawah: Masa Depan Transportasi Udara Dalam

Zaman yang Berubah, (Jakarta: ReneBook, 2014), halaman. 68.

44

Ibid, halaman 70. 45 Ibid, halaman 42.

31

Perjanjian bilateral udara pertama yang berkaitan dengan liberalisasi penerbangan adalah Perjanjian Bermuda, yang terjalin antara Amerika Serikat dan Inggris pada 1946. Perjanjian ini direvisi menjadi perjanjian baru pada tahun 1977: Perjanjian Bermuda II.

Dalam Perjanjian Bermuda II, hanya empat operator (dua dari Inggris dan dua dari Amerika Serikat) yang bisa terbang dari Bandara London Heathrow ke Amerika Serikat dan sebaliknya. Perjanjian tersebut mengatur tarif, persetujuan rute, dan mengatur pula lima kebebasan hak angkut dari ICAO yang memungkinkan operator dari negara ketiga (diluar Amerika Serikat dan Inggris) melakukan perjalanan dari Inggris ke Amerika.

4. Sejarah Perkembangan Perjanjian Kebijakan Open Sky

Sejarah perkembangan kebijakan open sky atau langit terbuka mulai tidak terlepas dari kebijakan liberalisasi penerbangan. Amerika

Serikat pada tahun 1978 melakukan kebijakan open market46 dalam

bidang penerbangan.

Perjanjian regional pertama yang membahas terkait open sky adalah The Pacific Island Air Service Agreement (PIASA) yang dirumuskan pada tahun 1998 untuk Regional Pasifik. Lalu perjanjian serupa juga hadir diantara Uni Afrika dan juga negara-negara di kawasan Laut Karibia sejak tahun 1996.

46 Sebuah kebijakan untuk membuka pasar penerbangan secara parsial dengan cara melonggarkan kerjasama perjanjian bilateral udara dengan negara lain. Di tahun yang sama, Amerika Serikat mengizinkan untuk membuka maskapai-maskapai baru.

32

Dalam perjanjian open skies yang dilakukan oleh Komisi Eropa dan Amerika Serikat yang ditandatangani pada tahun 2007 menyatakan bahwa perjanjian ini memungkinkan sebuah deretan maskapai baru yang luas untuk melayani penerbangan antara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Lalu berdasarkan perjanjian ini, setiap maskapai penerbangan Amerika Serikat atau Uni Eropa dapat terbang dari setiap titik di Amerika Serikat

dan setiap titik di Uni Eropa.47

Pada 3 Oktober 2007, Inggris dan Singapura menandatangani perjanjian open skies. Hal ini memungkinkan maskapai Singapura terbang dari mana saja di seluruh wilayah Inggris untuk tujuan apapun,

termasuk rute dalam negeri (prinsip cabotage) dan berlaku sebaliknya.48

Di ASEAN sendiri, embrio kelahiran kebijakan ruang terbuka udara atau open sky policy telah dibicarakan pada pertemuan ASEAN

Summit ke-5 di Bangkok pada tahun 1995. Namun, secara resmi

perjanjian ruang terbuka udara di ASEAN dimulai dengan hadirnya tiga perjanjian multilateral: 1. ASEAN Multilateral Agreement on Air Services yang ditandatangani di Manilla pada tanggal 20 Mei 2009 dan perjanjian ini telah diratifikasi oleh Indonesia; 2. ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalisation of Air Freight Services yang ditandatangani di Manilla, 20 Mei 2009; 3. ASEAN Multilateral Agreement On The Full Liberalisation of Passenger Air Services, yang ditandatangani di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam pada 12 November 2010

47

Jusman Syafii Djamal., Op.cit. halaman 40. 48 Ibid, halaman 41.

33

Dokumen terkait