• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

TIJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

2. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian a. Pengertian Perjanjian

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Pasal 1313 menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :

1) Perbuatan, penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang

perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan.

2) Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih. Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.

3) Mengikatkan dirinya, di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan (Abdulkadir Muhammad, 2000 : 225). Sedangkan perjanjian menurut R.Subekti adalah suatu peristiwa

commit to user

dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal (R.Subekti, 2002: 1).

b. Syarat sahnya Perjanjian

Agar suatu perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHperdata yaitu :

1) Adanya kesepakatan

Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 KUHperdata) adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 KUHperdata). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.

Dalam membuat perjanjian kredit dapat mendasarkan kepada ketentuan-ketentuan yang ada pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tetapi dapat pula mendasarkan kepada kesepakatan bersama, artinya dalam hal-hal ketentuan yang memaksa diserahkan kepada para pihak (Muhamad Djumhana, 1996: 385).

2) Cakap untuk membuat perikatan

Pasal 1330 KUHperdata menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan adalah:

a) orang-orang yang belum dewasa,

b) mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, anak di bawah pengampuan, anak belum cukup umur menurut undang yang mengaturnya

c) orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa

undang-commit to user

undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Akan tetapi ketentuan ini telah dicabut menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dimana perempuan di anggap cakap menurut hukum.

Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 KUHperdata).

3) Suatu hal tertentu

Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan Jika tidak maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 KUHperdata menentukan hanya barang-barang yang dapat di perdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 KUHperdata barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.

4) Suatu sebab yang halal.

Sebab yang tidak halal adalah yang berlawanan dengan undang-undang kesusilaan dan bertentangan dengan ketertiban umum. Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.

c. Asas-Asas Umum Hukum Perjanjian

Menurut rumusan dan pengertian tentang perjanjian yang telah diuraikan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian dibuat dengan pengetahuan dan kehendak bersama dari para pihak. Tujuan yang hendak dicapai adalah menciptakan atau melahirkan kewajiban pada salah satu atau kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, KUH Perdata memberikan beberapa asas umum yang merupakan pedoman atau patokan serta menjadi batas atau rambu dalam

commit to user

mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaanya (Kartini Mulyadi, 2002 : 14).

Menurut Kartini Mulyadi di dalam bukunya yang berjudul “Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian” asas-asas umum yang diatur dalam KUH Perdata adalah sebagai berikut :

1) Asas kebebasan berkontrak

Dasar hukum dari asas kebebasan berkontrak adalah didalam pasal 1338 KUH Perdata. Karena banyak perjanjian yang dilakukan di dalam masyarakat, baik tertulis maupun tidak tertulis, mengenai jual-beli barang dan jasa atau hutang-piutang dan sebagainya maka orang bebas mengadakan perjanjian. Pada hakikatnya orang bebas mengadakan perjanjian apapun bentuknya, apapun isinya, asal tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Adanya asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan perjanjian apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang (Kartini Muljadi,2002 : 14-47).

2) Asas Konsensualitas

Asas ini memperlihatkan bahwa suatu perjanjian yang dibuat antara dua orang atau lebih telah mengikat, dan karena telah melahirkan kewajiban bagi salah satu pihak atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus. Ini berarti pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas.

Ketentuan yang mengatur tentang konsensualitas ini dapat kita temui dalam rumusan Pasal 1320 KUH Perdata, yang berbunyi, “untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat :

commit to user

a) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; b) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c) suatu hal tertentu;

d) suatu sebab yang halal”.

Dasar dari asas konsensualitas ada pada huruf a pada 4 (empat) ketentuan diatas yaitu yang berbunyi sahnya suatu perjanjian apabila terdapat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.

3) Asas Personalia

Asas ini dapat diatur dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang berbunyi “pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. Dengan kata lain seorang tidak dapat mengikatkan dirinya untuk orang lain kecuali ada kuasa untuk itu, jadi suatu perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya bukan orang lain.

4) Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)

Asas ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang -Undang bagi mereka yang membuatnya”.

Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakansesuai ketentuan atau kesepakatan yang ada, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku (Kartini Mulyadi, 2002 : 59). 5) Asas Itikad baik

Asas ini telah disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Yaitu kedua belah pihak harus berlaku terhadap yang lain berdasarkan kepatutan diantara orang-orang yang sopan tanpatipu daya, tanpa muslihat, dan tanpa akal-akalan, tidak hanya melihat kepantingan

commit to user

diri sendiri. Akan tetapi itikad baik disini bukan hanya sebatas segi subyektif saja akan tetapi juga melihat dari segi obyektifnya. Maksudnya disini adalah sebagai sesuatu yang disepakati bersama, pelaksanaan prestasi dari tiap perjanian harus dihormati sepenuhnya sesuai dengan kehendak dari para pihak dan juga menggunakannya sesuai dengan ketentuan yang ada. Itikad baik dari segi obyektif ini dapat dilihat dari akal sehat, kepatutan, dan keadilan dalam membuat perjanjian (Salim H.S., 2003:12).

3. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit

Dokumen terkait