• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Perjanjian Lisensi Menurut Hukum Kontrak

BAB II PROSES LAHIRNYA PERJANJIAN LISENSI

A. Tinjauan Yuridis Perjanjian Lisensi Menurut Hukum Kontrak

Asas-asas perjanjian sangat perlu untuk dikaji lebih dahulu sebelum memahami berbagai ketentuan undang-undang mengenai sahnya suatu perjanjian. Suatu perkembangan yang terjadi terhadap suatu ketentuan undang-undang akan lebih mudah dipahami setelah mengetahui asas-asas yang bersangkutan. Jika memperhatikan perjanjian-perjanjian yang sering dibuat dalam praktek kehidupan sehari-sehari, maka didapati ada perjanjian-perjanjian yang pada dasarnya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun tidak tertutup kemungkinan, adanya perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian-perjanjian tersebut-lah yang dinamakan perjanjian tidak bernama. Tetapi apapun jenis perjanjiannya, asas-asas yang terkandung dalam perjanjiannya tidak akan lepas dari asas-asas hukum perikatan

Banyak pendapat para ahli hukum tentang asas-asas dalam suatu perjanjian, namun pada dasarnya hal tersebut bertujuan untuk tercapainya kepastian hukum, ketertiban hukum, dan keadilan berdasarkan asas konsensualitas (berhubungan dengan lahirnya suatu perjanjian). Tabel 1 pada halaman berikutnya berisi pendapat para ahli hukum tentang asas-asas suatu perjanjian.

Tabel 1. Pendapat Para Ahli Hukum tentang Asas Perjanjian56 Nama Ahli Hukum

NO

J.H. Nieuwhuis Mariam Darus B.

Sudikno Mertokusumo

1

Asas Otonomi (adanya kewenangan mengadakan

hubungan hukum yang mereka pilih diantara mereka)atau asas kemauan

yang bebas. Asas Konsensualitas (berhubungan dengan lahirnya suatu perjanjian) 2

Asas Kepercayaan (adanya kepercayaan yang ditimbulkan dalam perjanjian

itu yang perlu dilindungi) atau asas melindungi pihak

beritikad baik. Asas Kekuatan Mengikatnya suatu Perjanjian (berhubungan dengan akibat suatu perjanjian) 3

Asas Kausa (adanya saling ketergantungan dalam suatu cara dan tujuan sehubungan dengan adanya perikatan

yang timbul karena perjanjian)

Asas Kepercayaan Asas Persamaan Hukum

Asas Keseimbangan Asas Kepastian Hukum

Asas Moral Asas Kepatutan Asas Kebiasaan Asas Perlindungan (Protection) Asas Kebebasan Berkontrak (berhubungan dengan isi perjanjian) Dari penjelasan di atas, maka terdapat 5 (lima) asas penting dalam suatu perjanjian, yaitu :

1. Asas Kebebasan Berkontrak, sebagaimana hasil analisa Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.

Asas Kebebasan Berkontrak ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: a. membuat atau tidak membuat perjanjian

56

http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/agus-yudha-hernoko/1.pdf, Asas Hukum Perikatan, diakses tanggal 10 Juni 2010

b. mengadakan perjanjian dengan siapapun c. menentukan isi perjanjian dengan siapapun

d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

dan dipertegas dengan ketentuan ayat (2) yang berbunyi : Perjanjian yang telah disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh salah satu pihak tanpa adanya persetujuan dari lawan pihaknya dalam perjanjian, atau dalam hal-hal dimana oleh undang-undang dinyatakan cukup adanya alasan untuk itu.57

Secara umum kalangan ilmuwan hukum menghubungkan dan memperlakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata sebagai asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian.

2. Asas Konsensualitas

Asas ini terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat perjanjian, yaitu pada syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri. Asas konsensualitas berasal dari kata “consensus” yang berarti sepakat. Asas konsensualitas hanya berarti bahwa untuk setiap perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Arti asas konsensualitas ialah bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak tercapainya kata sepakat antara para pihak.58 Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila masing-masing pihak sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.

57

Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, PT. Puja Grafindo Persada, Jakarta, hal 18

58

Terhadap asas konsensualitas itu terdapat juga pengecualian, yaitu apabila dengan undang-undang ditetapkan formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian, artinya apabila tidak dibuat menurut bentuk cara yang dimaksud, maka perjanjian tersebut diancam batal. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan suatu formalitas tertentu, dinamakan perjanjian formil.59

3. Asas Pacta Sunt Servanda, merupakan asas kepastian hukum sebagai akibat perjanjian. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang” Selain itu, pada asas ini juga dikatakan bahwa pihak lain (hakim atau pihak ketiga) harus menghormati dan tidak boleh mengintervensi substansi kontrak yang dibuat para pihak, sebagaimana layaknya sebuah Undang-Undang. 4. Asas Itikad Baik (Goede Trouw)

Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik ini merupakan asas para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan yang baik dari para pihak.

Asas itikad baik ini dibagi 2 (dua) : itikad baik nisbi, dimana orang memperhatikan tingkah laku nyata orang atau subjek. Sedangkan itikad baik mutlak, penilaiannnya terletak pada akal sehat dan keadilan, dan penilaian

59

keadaan yang dibuat dengan ukuran objektif (penilaian yang tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.60

5. Asas Kepribadian (Personalitas)

Asas ini merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja, sebagaimana dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang berbunyi : “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”, dan Pasal 1340 KUH Perdata juga menyatakan bahwa : “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Namun ketentuan ini ada pengecualiannya sebagaimana yang tersurat dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang menyatakan : “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”. Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga.61

Sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak darinya. Jika dibandingkan dengan kedua pasal tersebut, maka dalam Pasal 1317 KUH Perdata mengatur perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata untuk kepentingan :

a. diri sendiri,

60

http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/agus-yudha-hernoko/1.pdf, Asas Hukum Perikatan, diakses tanggal 10 Juni 2010

61

b. ahli warisnya, dan

c. orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.

Selain itu, Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata tentang ruang lingkupnya yang luas.

Disamping itu, menurut Mariam D.B.(1997) terdapat rumusan 8 (delapan) asas hukum perikatan nasional, yaitu :

a. asas kepercayaan, b. asas persamaan hukum, c. asas keseimbangan, d. asas kepastian hukum, e. asas moral,

f. asas kepatutan, g. asas kebiasaan, h. asas perlindungan.

Dari semua penjelasan tentang asas-asas perjanjian, maka asas-asas yang ada saling melengkapi dan dijadikan dasar pijakan para pihak dalam menentukan dan membuat kontrak.62

Pada dasarnya kontrak berawal dari perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan di antara para pihak. Perumusan hubungan kontraktual tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi di antara para pihak. Melalui negosiasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan) melalui proses tawar menawar. Singkatnya, pada umumnya kontrak bisnis justru berawal dari perbedaan kepentingan yang dicoba untuk dipertemukan melalui kontrak. Melalui kontrak perbedaan tersebut diakomodir dan selanjutnya dibingkai dengan perangkat hukum sehingga mengikat para pihak. Dalam kontrak bisnis pertanyaan mengenai sisi

62

http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/agus-yudha-hernoko/2.pdf, Asas Hukum Perikatan Nasional, diakses tanggal 10 Juni 2010

kepastian dan keadilan justru akan tercapai apabila perbedaan yang ada di antara para pihak terakomodir melalui mekanisme hubungan kontraktual yang bekerja secara proporsional.63

Undang-undang tidak memberikan pengertian tentang Perikatan. Oleh karena itu harus disimpulkan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Buku III itu sendiri. Dalam Buku III dapat disimpulkan bahwa “Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang terletak di bidang hukum kekayaan yang mengatur hubungan hukum antara dua orang atau lebih, dimana pihak yang satu berhak atas Prestasi sedangkan pihak yang lain wajib melaksanakan / memenuhi Prestasi tersebut.” Kalau diteliti dalam pengertian tersebut terkandung beberapa aspek.

1. Hukum

Jika perlu Prestasi yang diperjanjikan itu dapat dipaksakan realisasinya. 2. Hukum Kekayaan

Bahwa apa saja yang diperjanjikan menyangkut hal-hal yang dapat dinilai dengan uang.

3. Hubungan Antar

Hubungan antar orang yang satu dengan yang lain. Jadi, Perikatan itu menghubungkan dua pihak dalam suatu hubungan hukum, dimana bila perlu

63 http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/agus-yudha-hernoko/3.pdf, Teori Keadilan

pihak yang satu dapat menuntut realisasi dari apa yang diperjanjikan oleh pihak lain. Jadi, mengatur hubungan hukum antara orang dengan orang.64

Pengertian perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata adalah:

"Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih"

Rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut di atas menurut para sarjana mengandung banyak kelemahan. Menurut Muhamad Abdul Kadir, Pasal 1313 KUHPerdata mengandung kelemahan karena,

a. Hanya menyangkut sepihak saja

Dapat dilihat dari rumusan "satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya". Kata "mengikatkan" sifatnya hanya sepihak, sehingga perlu dirumuskan "kedua pihak saling mengikatkan diri" dengan demikian terlihat adanya konsensus antara pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik.

b. Kata perbuatan "mencakup" juga tanpa konsensus

Pengertian "perbuatan" termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya digunakan kata "persetujuan".

c. Pengertian perjanjian terlalu luas

Hal ini disebabkan karena mencakup janji kawin (yang diatur dalam hukum keluarga), padahal yang diatur adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan.

d. Tanpa menyebutkan tujuan

Rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tidak disebut tujuan diadakannya perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri tidak jelas untuk maksud apa.65

Sedangkan menurut R. Setiawan, pengertian perjanjian tersebut terlalu luas, karena istilah perbuatan yang dipakai dapat mencakup juga perbuatan melawan hukum dan perwalian sukarela, padahal yang dimaksud adalah perbuatan melawan hukum.66

64

http://irdanuraprida.blogspot.com/search/label/Hukum%20Perikatan , Perikatan, diakses tanggal 20 Oktober 2010

65

Abdul Kadir Muhamad, Hukum Perikatan, Citra Aditya, Bandung, 1992, hal 78. 66

Para sarjana yang merasa bahwa pengertian perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1313 KUHPerdata ini mengandung banyak kelemahan, memberikan rumusan mengenai arti perjanjian.

Perjanjian menurut R.Subekti adalah :

“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal.”67

Menurut R.Wirjono Projdjodikoro, juga menyatakan pengertian dari perjanjian yaitu: “Suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.”68

Menurut Doktrin lama,

“Perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”69

Menurut Rutten,

“Perjanjian adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada tergantung dari persesuaian kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum dari kepentingan salah

67

Subekti R., Op.cit, hal 1. 68

Wiryono Pradjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, PT. Bale Bandung, Bandung, 1981, hal 9.

69

satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan masing-masing pihak secara timbal balik.”70

Menurut Teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne,

“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”71

Dalam definisi perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditegaskan bahwa perjanjian (overeenkomst) mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu/lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak ) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Hal ini memberi konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (Kreditor).72 Definisi ini kurang lengkap atau tidak secara lengkap menggambarkan tentang suatu perjanjian, karena:

1. Definisi hanya menyangkut Perjanjian sepihak, yakni Perjanjian dimana satu pihak saja yang berkewajiban melaksanakan suatu Prestasi. Jadi definisi tersebut tidak menyinggung tentang Perjanjian Timbal Balik yang merupakan bagian terbesar dari perjanjian-perjanjian yang ada.

70

Purwahid Patrik, Hukum Perdata II Jilid I , Mandar Maju, Bandung, 1988, hal 1-3 71

Ibid, hal 161. 72

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Grafindo Persada, Jakarta, hal 92

2. Istilah “Perbuatan” tersebut terlalu luas, karena disamping menyinggung Perjanjian juga perbuatan-perbuatan lain yang bukan merupakan perjanjian. Lebih baik untuk kata “perbuatan” ini istilahnya diganti dengan “perbuatan hukum”, karena yang dipermasalahkan dalam hal ini adalah perjanjian sebagai sumber Perikatan.

3. Tidak dipenuhinya syarat “kata sepakat”, padahal syarat tersebut merupakan intisari suatu perjanjian. 73

Perjanjian yang sah artinya adalah perjanjian yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang, sehingga ia diakui oleh hukum (Legally Conclude Contract)74 dan syarat-syarat sahnya perjanjian diatur pada pasal 1320-1327 dalam Kitab Undang-Undang HukumPerdata, yakni:

1. Kata Sepakat 2. Kecakapan 3. Hal Tertentu 4. Causa yang halal

Kesepakatan mengandung arti bahwa antara kedua pihak sudah saling menyetujui segala sesuatu yang diperjanjikan. Namun dalam membuat perjanjian adakalanya terjadi gangguan yang dapat menjadikan kata sepakat tersebut terganggu (dalam arti menjadi tidak sempurna). Sempurna artinya bebas dari segala pengaruh

73

http://irdanuraprida.blogspot.com/search/label/Hukum%20Perikatan , Perjanjian, diakses tanggal 20 Oktober 2010

74

orang ketiga: Gangguan dapat berupa : paksaan, kekhilafan, penipuan. Dalam hal itu maka perjanjian dapat dituntut pembatalannya. 75

Dikarenakan Undang-Undang tidak membuat suatu ukuran mengenai kapan momentum terjadinya persesuaian pernyataan kehendak tersebut, maka muncul beberapa teori untuk menjawab permasalahan tersebut diantaranya

1. Teori Ucapan (uitingstheorie)

Menurut teori ucapan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihakyang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran tersebut. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan dari teori ini adalah sangat teoretis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis. 2. Teori Pengiriman (verzendtheorie)

Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram. Kritik terhadap teori ini adalah tentang bagaimana dapat diketahuinya hal tersebut karna bisa saja walau sudah dikirim tetapi tidak dketahui oleh yang menawarkan. Teori ini juga sangat teoretis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.

3. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)

Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie (penerimaan), tetapi penerimaan itu belum diterimanya ( tidak diketahui secara langsung). Kritik terhadap teori ini, bagaimana ia mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya. 4. Teori Penerimaan (ontvangstheorie)

Menurut teori penerimaan, bahwa toesteming terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.76

Selain itu, ada tiga teori yang mencoba menjawab tentang ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan, yang dikemukan oleh Van dunne yaitu

1. Teori Kehendak (wilstheorie)

Menurut teori kehendak, bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. Apabila terjadi ketidakwajaran, kehendaklah

75

http://irdanuraprida.blogspot.com/search/label/Hukum%20Perikatan , Teori Hukum Kesepakatan, diakses tanggal 20 Oktober 2010

76

yang menyebabkan terjadinya perjanjian. Kelemahan teori ini menimbulkan kesulitan apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan.

2. Teori Kepercayaan (vertrouwenstheorie)

Menurut teori ini, kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi. Dalam prakteknya, teori ini menimbulkan kesulitan-kesulitan, bahwa apa yang dinyatakan berbeda dengan apa yang dikehendaki. 3. Teori Pernyataan (verklaringstheorie)

Menurut teori ini, tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian. Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benar-benar dikehendaki. Kelemahan teori ini adalah bahwa kepercayaan itu sulit dinilai.77

Timbulnya ketiga teori ini disebabkan adanya kasus yang terjadi pada tahun 1856 di Keulun/Koln/Collegne Belanda yaitu Kasus Oppenheim versus Weiller dengan duduk perkara yang dimulai dari adanya pesan dari Oppenheim kepada Weiller atas 1000 helai saham untuk dibelinya. Pesan tersebut disampaikan melalui telegram. Kebetulan, telegram membuat kesalahan, yakni bukan membeli tetapi menjual saham. Weiller yang menerima pesan tersebut menjual saham Oppenheim. Pembeli saham minta penyerahan saham tersebut. Tetapi karena saham-saham itu tidak dipegang oleh Oppenheim, maka Weiiler minta penyerahan saham-saham tersebut dari Oppenheim. Pada saat itu Oppenheim baru tahu jika terjadi kekeliruan. Oppenheim menolak menyerahkan saham-sahamnya karena tidak menghendaki penjualan saham. Karena Oppenheim menolak, maka Weiller terpaksa membeli saham-saham tersebut, untuk diserahkan kepada pembeli, sehingga ia rugi. Karena

77

rugi tersebut lalu ia menuntut Oppenheim yang menimbulkan permasalahan apakah jual beli saham tersebut oleh Weiller kepada orang ketiga sah atau tidak?78

Menurut Teori Kehendak, maka dianggap tidak tercapai suatu Kata Sepakat, karena tidak dicapai persesuaian kehendak, yakni Oppenheim tidak menghendaki penjualan saham sedangkan menurut Teori Kepercayaan, dapat dianggap tercapai kata sepakat (consensus), karena telah tecapai suatu kepercayaan antara Weiller dan orang ketiga, yakni percaya bahwa Weiller memang berhak menjual. Orang ketiga percaya bahwa Weiller berwenang. Putusan pengadilan (menganut Teori Kehendak) menganggap bahwa dalam kasus ini tidak ada perjanjian (kata sepakat). Akan tetapi Oppenheim diwajibkan oleh Pengadilan untuk membayar ganti rugi kepada Weiller berdasarkan pertimbangan Oppenheim telah menggunakan alat penghubung yakni telegram yang diragukan ketepatannya.79

Pengadilan menentukan adanya 3 (tiga) macam pengaruh terhadap kata sepakat yang sedemikian rupa, sehingga kata sepakat itu menjadi tidak sempurna, sehingga perjanjian yang dibuat dengan cara demikian dapat dituntut pembatalannya

(sah dengan kemungkinan dituntutnya pembatalan).

yakni:

1. Kemungkinan terjadinya paksaan ini terbagi atas dua macam yakni, paksaan fisik dan paksaan batin. Yang dimaksud Undang-Undang dalam hal ini adalah paksaan

78

http://irdanuraprida.blogspot.com/search/label/Hukum%20Perikatan , Kasus Oppenheim vs Weiller, diakses tanggal 20 Oktober 2010

79

batin, yakni berupa ancaman yang dapat dilakukan oleh pihak- pihak yang membuat perjanjian.

2. Kemungkinan terjadinya kekhilafan dalam membuat perjanjian. Khilaf artinya mempunyai gambaran yang keliru tentang apa yang diperjanjikan oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian. Misalnya, seseorang membeli lukisan yang disangkanya adalah hasil dari pelukis terkenal. Akan tetapi ternyata bukan. Dalam hal ini terjadi khilaf tentang obyek perjanjian. Kekhilafan dapat juga mengenai orangnya, dengan siapa perjanjian itu dibuat, misalnya, dibuat perjanjian tentang pertunjukkan yang akan diselenggarakan dengan penyanyi yang terkenal. Akan tetapi ternyata penyanyi tersebut hanya orang yang mirip dengan penyanyi tersebut.

3. Kemungkinan terjadi penipuan. Penipuan adalah suatu rangkaian kebohongan yang dilakukan dengan tipu muslihat. Jadi, disyaratkan, adanya tipu muslihat dan tidak cukup hanya dengan kebohongan saja. Misalnya: Kebohongan: Penjual memuji barangnya, padahal barang yang dijualnya buruk. Penipuan: Orang yang menjual mobil lama yang telah digosok sedemikian rupa, sehingga menimbulkan kesan seolah-oleh masih baru.80

Asas konsensualitas merupakan induk dari asas-asas hukum perikatan dengan mengingat salah satu unsur-unsur objektif dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni kesepakatan antara para pihak yang membuatnya namun isi

80

dari perjanjian dibatasi kepada objek yang halal dalam arti tidak melanggar hukum dan nilai-nilainya.

Dari asas konsensualitas, lahir asas hukum perikatan lainnya yaitu asas pacta sunt servanda yang mengandung definisi bahwa perjanjian yang dibuat secara sah merupakan undang-undang bagi pihak yang membuatnya sehingga berfungsi sebagai suatu batasan yang mengikat bagi segala bentuk pelanggaran terhadap hal-hal yang telah diperjanjikan dalam perjanjian antara kedua belah pihak tersebut.

Asas kebebasan berkontrak yang menjiwai pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga merupakan benih hukum yang ditanamkan oleh asas konsensualitas sehingga memberikan ruang yang seluas luasnya bagi setiap pihak untuk mengadakan perjanjian baik yang diatur dalam peraturan hukum perdata, maupun yang tidak dan belum diatur dalam hukum perdata, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum dan kesusilaan.

Asas konsensualitas memegang peranan yang krusial sebagai payung hukum serta untuk memberikan perlindungan terhadap perjanjian-perjanjian atau kontrak-kontrak baru yang belum diatur dalam Undang-Undang mengingat pesatnya perkembangan dalam dunia bisnis yang belum terjangkau oleh roda hukum. Intinya,

Dokumen terkait