• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Lisensi Merek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Lisensi Merek"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

WAGIRIN SENJAYA

087011168/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

PENERIMA LISENSI MEREK

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

WAGIRIN SENJAYA

087011168/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENERIMA LISENSI MEREK

Nama Mahasiswa : Wagirin Senjaya Nomor Pokok : 087011168

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum) (Syafruddin Hasibuan,SH,MH,DFM)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 11 Februari 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

(5)

ABSTRAK

Dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat, transaksi bisnis yang dilakukan oleh manusia menjadi semakin tak terhitung jumlahnya yang berakibat pada efek yang cukup serius dalam perkembangan hukum bisnis. Sebagai salah satu bagian yang cukup penting, Hak atas Kekayaan Intelektual telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan khusus dalam Merek Dagang yakni bidang yang paling sering dilisensikan sehingga diperlukan ada perlindungan hukum terhadap para pihak dalam perjanjian lisensi, terutama bagi pihak penerima lisensi.

Lisensi lahir dari suatu kesepakatan antara pihak pemberi lisensi dan pihak penerima lisensi yang dituangkan dalam bentuk perjanjian, baik lisan mau pun tertulis dengan didasarkan kepada asas konsensualitas dan disandarkan kepada asas kebebasan berkontrak selama isi dari perjanjian lisensi tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum, namun wajib dicatatkan pada Dirjen HaKI.

Perimbangan kedudukan dalam bentuk hak dan kewajiban antara pihak pemberi lisensi dan penerima lisensi hanya dapat tercipta apabila konsep perjanjian lisensi yang bersangkutan didasarkan kepada teori keadilan dan asas proporsionalitas mengingat dominasi dari pihak pemilik merek yang dalam kenyataannya selalu diuntungkan dalam realita.

Perlindungan hukum terhadap penerima lisensi merek hanya diberikan kepada penerima lisensi beritikad baik yang mencatatkan perjanjian lisensinya pada Dirjen HaKI sehingga terhadap pembatalan kepemilikan merek dari pemberi lisensi yang bersangkutan, pihak penerima lisensi masih dapat melanjutkan perjanjian lisensi tersebut terhadap pemilik merek yang dinyatakan berhak melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

(6)

ABSTRACT

With the so rapid technology development, the number of business transaction done by human beings becomes incalculable and gives a sufficiently serious effect to the development of business law. As one of the important parts of the business law, Intellectual Property Rights has an adequately significant development especially in terms of Trade Mark which is the most frequently licensed that a legal protection is needed for the parties involve in the license agreement especially for the license receiver.

License results from an agreement between the license provider and license receiver either in oral or written form based on the principle of consent under the principle of freedom of contract as long as the content of the license agreement is not against the regulation of legislation, morality and public order, but the agreement must be registered in the office of Directorate General of Intellectual Property Rights.

The equilibrium of position in the forms of rights and responsibilities between the license provider and the license receiver can only be established if the concept of the license agreement concerned is based on the theory of justice and the principle of proportionality considering the domination of the trade mark owner who in reality is always benefited.

Legal protection is only given to the good receiver of the trade mark license who registers his license agreement in the office of Directorate General of Intellectual Property Rights that in case the trade mark ownership of the license provider is cancelled, the license receiver can still continue the license agreement to the trade mark owner who has the right through a legal court decision.

As suggestion, the writer would like to recommend that it is necessary to make a regulation of legislation regulating the license agreement especially the regulation related to trade mark license to avoid a legal vacuum that the best way of trade mark license registration can be found including the kind of license agreement with registered/unregistered trade mark status that can be registered in the office of Directorate General of Intellectual Property Rights.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat dan Rahmat yang diberikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini dengan baik dan tepat waktu, yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENERIMA LISENSI MEREK“.

Tesis ini sebenarnya masih jauh dari kesempurnaan, baik isi maupun bahasanya, hal ini disebabkan karena keterbatasan waktu dan sumber data dari penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis membuka diri menerima saran dan kritik yang membangun dari segala pihak terhadap makalah ini guna meningkatkan pengetahuan dan pengalaman penulis di kemudian hari.

Dalam penyusunan dan penulisan tesis ini, penulis telah banyak menerima bantuan maupun bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini juga, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang turut serta memberikan sumbangsih baik berupa bantuan akademis maupun bantuan moril terutama kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara

- Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) 2. Ketua dan Sekretaris Program Magister Kenotariatan USU yaitu :

- Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN - Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum 3. Dosen Pembimbing

- Prof Dr. Runtung, SH, M.Hum

- Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum - Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM

(8)

4. Dosen penguji

- Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN - Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum

yang dengan sabar dan tekun memberikan petunjuk dan pengarahan dalam penulisan tesis ini.

5. Saudara kandung penulis, Vincent Louis, BBA., MBA., serta orangtua penulis Hardi Sendjaja dan Ang Hui Ai, yang telah memberikan kesempatan, sumbangan baik berupa moril maupun materil yang tak ternilai jumlah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

6. Teman-teman kampus USU khususnya Magister Kenotariatan yang tidak mungkin disebut penulis satu persatu, yang telah memberikan bantuan dan dukungan moral maupun materil kepada penulis.

Akhir kata penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca yang berminat di bidang HaKI khususnya Merek

Sekian dan terima kasih … !

Medan, Februari 2011 Penulis,

(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I Data Pribadi

Nama : Wagirin Senjaya

Tempat/Tanggal lahir : Medan, 03 Nopember 1985

Alamat : Jalan Gandhi No 239

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status Perkawinan : Belum kawin

II Data Orang Tua

Nama Ayah : Hardi Senjaya

Nama Ibu : Ang Hui Ai

III. Pendidikan

1. Taman Kanak-Kanak : TK SUTOMO I (1989-1992)

2. Sekolah Dasar : SD SUTOMO I (1992-1998)

3. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama : SLTP SUTOMO I (1998-2001) 4. Sekolah Menengah Umum : SMU SUTOMO I (2001-2004)

5. Strata I : UISU, Fakultas Hukum (2004-2008)

6. Strata II : UISU, Magister Hukum (2008-2010)

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR SINGKATAN... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Konsepsi ... 21

G. Metode Penelitian ... 31

1. Spesifikasi Penelitian ... 31

2. Sumber Data ... 32

3. Metode Pengumpulan Data ... 32

4. Analisis Data ... 33

BAB II PROSES LAHIRNYA PERJANJIAN LISENSI ... 34

A. Tinjauan Yuridis Perjanjian Lisensi Menurut Hukum Kontrak 34

B. Tinjauan Yuridis Perjanjian Lisensi Menurut Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001 ... 54

(11)

BAB III PERIMBANGAN KEDUDUKAN PARA PIHAK

DALAM PERJANJIAN LISENSI ... ...65

A. Keseimbangan Dalam Hubungan Kontraktual ... 65

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Lisensi ... 83

BAB IV PEMBAHASAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENERIMA LISENSI MEREK ... 87

A. Terhadap Penerima Lisensi Merek yang Terdaftar ... 87

B. Terhadap Penerima Lisensi Merek yang tidak Terdaftar ... 91

C. Kasus-Kasus Terkait Lisensi Merek ... 93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 106

A. Kesimpulan ... 106

B. Saran ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 108

(12)

DAFTAR SINGKATAN

Dirjen : Direktorat Jenderal

HaKI : Hak atas Kekayaan Intelectual MoU : Memorandum of Understanding

R : Registered

SM : ServiceMark

TM : TradeMark

(13)

ABSTRAK

Dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat, transaksi bisnis yang dilakukan oleh manusia menjadi semakin tak terhitung jumlahnya yang berakibat pada efek yang cukup serius dalam perkembangan hukum bisnis. Sebagai salah satu bagian yang cukup penting, Hak atas Kekayaan Intelektual telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan khusus dalam Merek Dagang yakni bidang yang paling sering dilisensikan sehingga diperlukan ada perlindungan hukum terhadap para pihak dalam perjanjian lisensi, terutama bagi pihak penerima lisensi.

Lisensi lahir dari suatu kesepakatan antara pihak pemberi lisensi dan pihak penerima lisensi yang dituangkan dalam bentuk perjanjian, baik lisan mau pun tertulis dengan didasarkan kepada asas konsensualitas dan disandarkan kepada asas kebebasan berkontrak selama isi dari perjanjian lisensi tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum, namun wajib dicatatkan pada Dirjen HaKI.

Perimbangan kedudukan dalam bentuk hak dan kewajiban antara pihak pemberi lisensi dan penerima lisensi hanya dapat tercipta apabila konsep perjanjian lisensi yang bersangkutan didasarkan kepada teori keadilan dan asas proporsionalitas mengingat dominasi dari pihak pemilik merek yang dalam kenyataannya selalu diuntungkan dalam realita.

Perlindungan hukum terhadap penerima lisensi merek hanya diberikan kepada penerima lisensi beritikad baik yang mencatatkan perjanjian lisensinya pada Dirjen HaKI sehingga terhadap pembatalan kepemilikan merek dari pemberi lisensi yang bersangkutan, pihak penerima lisensi masih dapat melanjutkan perjanjian lisensi tersebut terhadap pemilik merek yang dinyatakan berhak melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

(14)

ABSTRACT

With the so rapid technology development, the number of business transaction done by human beings becomes incalculable and gives a sufficiently serious effect to the development of business law. As one of the important parts of the business law, Intellectual Property Rights has an adequately significant development especially in terms of Trade Mark which is the most frequently licensed that a legal protection is needed for the parties involve in the license agreement especially for the license receiver.

License results from an agreement between the license provider and license receiver either in oral or written form based on the principle of consent under the principle of freedom of contract as long as the content of the license agreement is not against the regulation of legislation, morality and public order, but the agreement must be registered in the office of Directorate General of Intellectual Property Rights.

The equilibrium of position in the forms of rights and responsibilities between the license provider and the license receiver can only be established if the concept of the license agreement concerned is based on the theory of justice and the principle of proportionality considering the domination of the trade mark owner who in reality is always benefited.

Legal protection is only given to the good receiver of the trade mark license who registers his license agreement in the office of Directorate General of Intellectual Property Rights that in case the trade mark ownership of the license provider is cancelled, the license receiver can still continue the license agreement to the trade mark owner who has the right through a legal court decision.

As suggestion, the writer would like to recommend that it is necessary to make a regulation of legislation regulating the license agreement especially the regulation related to trade mark license to avoid a legal vacuum that the best way of trade mark license registration can be found including the kind of license agreement with registered/unregistered trade mark status that can be registered in the office of Directorate General of Intellectual Property Rights.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan zaman di abad ke 20 yang telah menunjukkan evolusi yang sangat signifikan dalam segala aspek kehidupan manusia, dunia perdagangan ataupun yang lebih popular dengan terminologi bisnis, tentunya tidak dapat terlepas dari efeknya yang justru menjadi tolak ukur untuk mengukur pesat perkembangan zaman di abad milenium ini.

Motivasi serta determinasi untuk mempertahankan, memajukan serta mengembangkan bisnis yang ditekuni selalu tertanam di benak setiap individu yang pada dasarnya juga merupakan hak asasi manusia yang digariskan yaitu hak untuk mengembangkan dan serta mendapatkan kehidupan yang lebih baik sesuai dengan bunyi Undang-Undang Dasar tahun 1945 serta Bill of Rights yang dipedomani oleh hampir seluruh Negara di dunia.

(16)

menyebabkan harga suatu produk menjadi mahal bukan karena produk itu sendiri, melainkan karena mereknya. Perlu diketahui bahwa Merek adalah sesuatu yang ditempelkan atau dilekatkan pada suatu produk, tetapi ia bukanlah produk itu sendiri. Merek dari suatu produk yang sudah dibeli tidak dapat dinikmati secara konkrit oleh si pembeli, melainkan hanya mungkin menimbulkan kepuasan saja bagi pembeli karena pada dasarnya, benda materil dari produk tersebutlah yang dapat dinikmati. Di sini dapat dipahami bahwa, merek nyata-nyatanya merupakan hak kekayaan immaterial yang disebabkan karena ia merupakan suatu benda immaterial yang tidak dapat memberikan apapun secara fisik.1

Selanjutnya merek juga memegang peranan yang amat penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang dan jasa, merek berfungsi sebagai tanda yang digunakan untuk membedakan produk (barang dan jasa) tertentu dengan yang lainnya dalam rangka memperlancar perdagangan, menjaga kualitas, dan melindungi produsen dan konsumen.2 Hal yang senada juga ditegaskan oleh Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah bahwa “suatu merek merupakan alat untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dengan maksud untuk menunjukkan ciri dan asal usul barang (indication of origin)”.3

1

OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 329-330

2

http://www.asiamaya.com/konsultasi_hukum/haki/lingkup_haki.htm, Peranan Merek dalam Perdagangan, diakses tanggal 12 Agustus 2009

3

(17)

Sedangkan menurut Insan Budi Maulana menegaskan bahwa “merek dapat dianggap sebagai roh bagi suatu produk barang atau jasa”.4

Pemikiran ini merupakan cikal bakal lahirnya hukum merek sebagai salah satu bagian terbesar dalam HaKI (Hak Kekayaan Indivual) yang begitu popular dalam dunia hukum bisnis belakangan ini di seluruh dunia serta memunculkan berbagai kontroversi dan sengketa yang pada akhirnya harus diselesaikan melalui jalan litigasi maupun non litigasi.

Dalam dunia bisnis, alur pemikiran para pelaku bisnis selaku didasarkan kepada proverb (pepatah) “To give in for right principal means to give up for our own life in surviving” yang berarti bahwa bertahan pada prinsip yang benar akan membawa kesusahan untuk bertahan hidup sehingga mendasari adanya dorongan untuk memetik keuntungan dalam waktu cepat dengan berbagai jalan yang salah satunya dengan menggunakan merek milik orang lain yang sudah populer, tanpa sepengetahuan pemiliknya.5

Nama merek seperti Sony, Samsung, Polytron, Nokia, Coca-cola, Aqua, sepertinya sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat dunia, namun apakah adalah merupakan suatu hal yang mudah untuk mempopulerkan suatu merek di telinga masyarakat di seluruh dunia. Tentu saja bukanlah hal yang mudah dan perlu diketahui bahwa, tidak sampai dua persen bisnis/usaha yang berhasil mempopulerkan dirinya

4

Insan Budi Maulana, dikutip dalam Ridwan Khairandy, Perlindungan Hukum Merek dan Problematika Penegakkan Hukumnya, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I, Pusat Studi Hukum UII dan Yayasan Klinik HaKI, Yogyakarta, 2000, hal 114.

5

(18)

sebagai merek terkenal6 ( atau “reputable mark” dalam istilah HaKI) jika dihitung dari keseluruhan bisnis/usaha yang dijalankan di seluruh dunia.

Keinginan untuk memperluas bisnis/usaha yang ditekuni seseorang ke dalam skala internasional telah menstimulasi dan memunculkan isu baru dalam dunia HaKI, yaitu pemalsuan dan penggunaan suatu merek tanpa izin di negara lain. Hal ini juga mendasari pemikiran untuk menciptakan suatu hukum HaKI yang tidak hanya bersifat lokal, tetapi juga mencakup jaringan internasional.

Para pemilik suatu merek harus dan akan dilindungi di bawah payung hukum merek dengan persyaratan regulatis dan sistematis serta berjangka sehingga, tindakan-tindakan anti hukum serta pengimitasian merek terkenal milik orang lain dapat ditekan, diminimalisasi serta diterminasi baik dalam skala nasional maupun internasional.

Perlindungan terhadap pemilik hak atas kekayaan intelektual dirasakan sangat penting mengingat HaKI, merupakan suatu aset yang bersifat abstrak, dalam arti tidak berwujud seperti harta kekayaan lainnya yakni uang tunai, perhiasan, bangunan, tanah dan kekayaan lainnya yang bersifat konkrit. Hal ini sudah menjadi suatu pertimbangan krusial dalam perlindungan HaKI yang dimiliki oleh seseorang, yaitu bukti apa yang dapat dijadikan sebagai suatu garansi terhadap kepemilikan sah dari suatu HaKI.

6

(19)

HaKI dalam kondisi tertentu bisa juga menjadi lebih berharga jika dibandingkan dengan harta kekayaan berwujud apabila sebagai ilustrasi, merek yang dimiliki seseorang telah terkenal di seluruh pelosok dunia. Untuk itulah, suatu HaKI harus didaftarkan pada lembaga tertentu yang sah dan ditunjuk oleh undang-undang melalui negara.

Walaupun sudah didaftarkan, tidak menutup kemungkinan bahwa suatu merek masih bisa digunakan oleh orang lain, namun dengan suatu perjanjian kesepakatan yang dikenal dengan kata lisensi. Sehingga pengguna merek dalam hal ini telah menerima izin dari pemilik merek untuk menggunakan merek miliknya dan tentu saja dengan kesepakatan bahwa keuntungan dari penggunaan merek tersebut akan diberikan sebagian kepada pemilik merek yang mengizinkan penggunaan mereknya.

Namun pada prakteknya, yang sering terjadi adalah penggunaan merek tanpa izin dari pemilik merek dan parahnya, tanpa adanya aduan dari pemilik merek, maka aparat penegak hukum tidak dapat bertindak walaupun mengetahui adanya counterfield (pemalsuan) dan hijacking (pembajakan) terhadap suatu merek yang telah resmi didaftarkan baik secara lokal, maupun secara internasional.

(20)

penegak hukum yang pada akhirnya menimbulkan asumsi bahwa penggunaan merek terkenal milik orang lain tanpa lisensi adalah hal yang lumrah, karena sulit terdeteksi oleh pemilik merek yang bersangkutan.

Dalam realita, sudah begitu banyak perkara merek yang timbul antara pihak yang merasa sebagai pemilik merek dengan pihak lain yang mengklaim dirinya sebagai pemilik merek yang sebenarnya yang pada akhirnya berujung kepada gugatan sengketa merek di pengadilan. Hukum positif Indonesia telah memberikan kompetensi absolut kepada Pengadilan Niaga, sebagai suatu pengadilan khusus dari lingkungan peradilan umum untuk mengadili sengketa di bidang HaKI.

Era globalisasi ekonomi telah menimbulkan iklim persaingan yang sehat namun juga ketat antara negara-negara di dunia sehingga mendorong globalisasi Hak atas Kekayaan Intelektual di mana semuanya itu dapat dipertahankan dengan adanya iklim persaingan sehat ditunjang dengan sistem pengaturan yang lebih memadai dan selaras dengan diratifikasinya perjanjian-perjanjian internasional yang diperlukan di Indonesia.7

Dengan adanya permasalahan Hak atas Kekayaan Intelektual pada umumnya dan merek pada khususnya yang semakin kompleks maka upaya perlindungan terhadap barang dan jasa produksi dalam negeri harus ditingkatkan sebagai konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan TRIPs yaitu dengan

7

(21)

disempurnakannya Undang-Undang Merek lama menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek.

Konsep perlindungan hukum terhadap hak merek mengacu pada sifat merek yang bersifat khusus dimana hak itu hanya dapat dilaksanakan oleh pemilik merek dan apabila dipergunakan oleh orang lain maka harus dilakukan perjanjian lisensi merek terlebih dahulu dan adanya pengaturan tentang hal-hal tersebut di atas adalah sebagai bukti adanya perwujudan perlindungan merek dagang dalam negeri terutama bagi pemilik merek dagang yang sah.8

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi upaya penegakan hukum antara lain adalah faktor materi hukum, kelemahan kantor Merek dan kinerja aparat kantor merek, kelemahan aparat penegak hukum serta kurangnya apresiasi dan kesadaran hukum masyarakat terhadap hak milik intelektual,sehingga bila ditinjau dari unsur penegakan hukum tersebut maka perlindungan merek jelas didukung oleh upaya penegakan hukum yang dilaksanakan secara konsisten, konsekuen, efektif dan efisien dalam kenyataan empiris khususnya kegiatan perdagangan di lapangan, yang ditunjang pula dengan adanya kesungguhan kinerja aparat penegak hukum pada umumnya dan aparat kantor merek pada khususnya guna mencegah dan memberantas pelanggaran merek dagang.9

Sebagai pemilik dari suatu merek terkenal yang sudah didaftarkan pada kantor merek di negaranya, tidak selamanya mereka selalu menggunakan sendiri merek

8

http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=88715&lokasi=lokal, diakses tanggal 12 September 2009.

9

(22)

terkenal yang dimilikinya tersebut dalam perdagangan barang atau jasa, namun, pada prakteknya, lembaga hukum yang diberikan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan adalah melalui lisensi yang biasanya dikonkritkan dalam suatu perjanjian tertulis.

Lahirnya lembaga hukum berupa perjanjian lisensi ini adalah dikarenakan keuntungan yang diberikan melalui lisensi baik bagi pihak pemberi lisensi, maupun pihak penerima lisensi, dengan asumsi bahwa, pemilik suatu merek terkenal yang terdaftar, tidak perlu mengeluarkan dana yang besar untuk melakukan investasi di suatu negara, namun dengan adanya pemberian lisensi, ia dapat menerima royalti yang disetorkan oleh penerima lisensi pada setiap periodenya, sedangkan penerima lisensi tidak perlu bekerja keras untuk mendaftarkan serta mempopulerkan suatu merek baru agar menjadi terkenal, tetapi hanya dengan mengadakan perjanjian lisensi dengan seorang pemilik merek terkenal yang terdaftar.10

Dalam pelaksanaan perjanjian lisensi, tidak menutup kemungkinan terjadinya perbuatan ingkar janji yang dikenal dengan wanprestasi terhadap isi dari perjanjian lisensi tersebut, yang bisa saja dilakukan oleh penerima lisensi maupun pemberi lisensi itu sendiri selaku pemilik dari suatu merek terkenal yang terdaftar sehingga Undang-Undang tentang Merek di Indonesia telah memberikan perlindungan hukum kepada pemilik merek terkenal yang terdaftar.11

10

http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=88715&lokasi=lokal/224, diakses tanggal 12 September 2009.

11

(23)

Namun perlu dicermati bahwa perlindungan hukum tidak hanya perlu diberikan kepada pemilik merek yang memberikan lisensi kepada pihak lain, tetapi perlu juga diberikan perlindungan hukum terhadap pihak yang bertindak sebagai penerima lisensi dari pemilik merek sehingga terjadi keseimbangan perlindungan hukum terhadap semua pihak dalam rangka mewujudkan asas hukum equality before the law

Dalam hal ini, perlu dicermati suatu kasus wanprestasi (perbuatan ingkar janji) terhadap perjanjian yang dibuat oleh suatu perusahaan yang berinduk dan berdomisili di negara Prancis, dengan anak perusahaan di negara Australia yang membuat suatu memorandum of understanding dengan perusahaan yang berdomisili di Indonesia, khususnya di Kota Medan.

Adapun perkara yang dimaksud adalah Perkara Merek Nomor 01/Merek/2008/PN.Niaga.Mdn yang dimana, pihak ACCOR, AAPC LIMITED sebagai pihak penggugat dan PT Tria Sumatera Corporation dan PT Novotel Soechi Indonesia sebagai pihak tergugat. Perkara ini berlangsung pada awal tahun 2008 dan diputuskan oleh hakim pengadilan niaga pada bulan Juli 2008 dan dikasasi oleh pihak penggugat dan diputuskan oleh Makamah Agung Indonesia pada bulan Desember 2008.

(24)

bahan pertimbangan sehingga dapat ditarik kesimpulan yang objektif terhadap bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

Dalam situasi yang demikian timbullah pertanyaan yang memicu antuasiasme peminat hukum merek tentang apakah perlindungan hukum yang diatur oleh Undang-Undang Merek hanya difokuskan kepada pemilik merek dan tidak diberikan kepada penerima lisensi merek dengan menghiraukan segala potensi adanya perbuatan ingkar janji yang dilakukan oleh pemilik merek sekaligus sebagai pemberi lisensi merek.

Dengan mempertimbangkan konflik masalah tersebut serta tantangan yang dapat diambil hikmahnya dalam atmosfir akademis, timbul ketertarikan dan antusiasme untuk mencari, meneliti, mengumpulkan data-data yang berkaitan maupun bukti bukti dan membahas serta memberikan kesimpulan dan saran terhadap masalah yang sedang merebak dalam dunia hukum bisnis belakangan ini. Konetifitas perlindungan hukum terhadap penerima lisensi merek dengan hukum yang berlaku di negara Indonesia akan menjadi topik utama dalam pembahasan penelitian ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka dapat diidentifikasikan permasalahan utama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses lahirnya perjanjian lisensi ?

2. Bagaimana perimbangan kedudukan para pihak dalam perjanjian lisensi ? 3. Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada penerima

(25)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui proses lahirnya perjanjian lisensi.

2. Untuk mengetahui perimbangan kedudukan para pihak dalam perjanjian lisensi.

3. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada penerima lisensi merek.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini sendiri juga memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam dunia edukasi hukum ditinjau dari 2 aspek:

1. Aspek Teoritis

Sebagai referensi maupun acuan berpijak bagi mahasiswa/mahasiswi Fakultas Hukum lainnya yang berminat meneliti lebih lanjut di masa mendatang tentang masalah perlindungan hukum terhadap penerima lisensi .

2. Aspek Praktis

a. Untuk menambah pengertian dan cakrawala berpikir agar lebih memahami perjanjian lisensi merek dalam dunia nyata.

b. Untuk membandingkan teori yang didapat di perkuliahan dengan praktek di lapangan.

(26)

d. Sebagai masukan dalam menganalisa perlindungan hukum terhadap penerima lisensi merek menurut hukum yang berlaku di Indonesia. e. Mengetahui kejadian-kejadian yang telah merebak di dalam masyarakat

yang berhasil diidenfikasi dan diteliti keabsahannya oleh penulis.

f. Memberikan gambaran tentang poin-poin utama yang seharusnya dipertimbangkan secara matang sebelum membentuk suatu peraturan maupun UU.

g. Mengetahui kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam hukum positif tentang merek serta dapat memunculkan ide-ide baru untuk memperbaharuinya.

E. Keaslian Penelitian

Keaslian suatu penelitian dalam proses pembuatan suatu karya ilmiah berbentuk tesis merupakan salah satu bagian terpenting yang tidak terpisahkan dari kesempurnaannya sehingga sebelumnya perlu dipastikan pernah tidaknya penelitian mengenai judul tesis ini dilakukan oleh pihak lain

(27)

Para Pihak Dalam Perjanjian Lisensi Merek Jasa Perhotelan” oleh Fihtri Mutiara Harahap NIM. 077011022

Tidak dipungkiri kemungkinan adanya kemiripan dengan tulisan lain tentang apa yang kan ditulis dalam tesis ini. Hal ini disebabkan karena diyakini bahwa persoalan lisensi merek merupakan jenis kontrak hukum perdata yang cukup menarik untuk diteliti. Apabila diperhadapkan dengan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian ini maka permasalahan yang diteliti adalah berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini adalah bersifat perdana dan tidak pernah dilakukan sebelumnya sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,12 dan satu teori harusnya diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.13 Menurut Soerjono Soekanto bahwa “Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”14. Menurut Burhan Ashshofa suatu teori merupakan “Serangkaian asumsi, konsep, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis

12

S. Mantayaborbir, Sistem Hukum Pengurusan Piutang Negara, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, hal 13.

13

Ibid 14

(28)

dengan cara merumuskan hubungan antar konsep”.15 Menurut Snelbecker yang mendefinisikan teori sebagai “Seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis (yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan data data yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati”.16 Sedangkan suatu kerangka teori bertujuan menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasi dan menginterpretasi hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.17

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif, maka kerangka teori difungsikan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memahami Hak Merek sebagai bagian dari lingkup Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) secara yuridis dan melihat sejauh mana Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek memberikan perlindungan terhadap penerima lisensi merek.

Untuk menjawab pertanyaan pokok mengenai apa yang menjadi dasar filosofis perlindungan terhadap hak milik seseorang, maka Teori Hukum Alam (Natural Law) hadir untuk memberikan kepastian terhadap perlunya diberikan perlindungan terhadap segala kepemilikan berwujud maupun tidak berwujud.

15

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal 19. 16

Snelbecker, dikutip dalam Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990, hal 34.

17

(29)

Dasar pemikiran diberikannya perlindungan hukum kepada seorang individu terhadap hak miliknya bermula dari teori yang tidak lepas dari dominasi pemikiran mazhab atau doktrin Hukum Alam (Natural Law) yang menekankan kepada faktor manusia dan penggunaan akal. Thomas Aquinas sebagai salah satu pelopor Hukum Alam (Natural Law) dari system Civil Law mengatakan bahwa Hukum Alam (Natural Law) merupakan hukum akal budi, dan karenanya hanya diperuntukkan bagi makhluk yang rasional.18

Seorang filosof Inggris abad 18, John Lock, mengemukakan bahwa hukum hak kekayaan intelektual memberikan hak milik eksklusif kepada hasil karya seseorang. Hukum Alam (Natural Law) meminta individu mengawasi karya-karyanya dan secara adil dikompensasikan untuk kontribusi kepada masyarakat. Dengan demikian menurut Teori Hukum Alam (Natural Law), baik pencipta dan pemilik memiliki hak moral untuk menikmati hasil kerjanya, termasuk keuntungan yang dihasilkan oleh intelektualnya.19

Menurut Teori Hukum Alam (Natural Law), individu yang menciptakan sebuah musik atau karya seni harus memiliki hak untuk mengawasi penggunaannya dan mendapat kompensasi atas penjualannya, tidak lebih dari seorang petani yang mendapatkan keuntungan dari tanamannya.20

18

Rochelle Cooper Dreyfuss, Intellectual Property Law dalam Hendra Tanu Atmadja, Hak Cipta atau Lagu (Jakarta : Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003) hal 18.

19Ibid hal 19. 20

(30)

Mengenai pertanyaan apakah seseorang itu mempunya hak alamiah atas milik dari objek-objek disekitarnya yang ia temukan atau ciptakan? John Lock memberikan solusi bahwa masalah hak-hak umum pemberian Tuhan dan pengambilan hak milik pribadi dimulai dengan asumsi bahwa “every man has a Property in his own Person”. Berdasarkan asumsi ini maka John Lock mengklaim bahwa kerja individu itu sendiri. Pertanyaan selanjutnya mengenai alasan mengapa orang memperoleh hak milik melalui kerja, jawabannya terletak pada tujuan dari Tuhan. Tuhan memerintahkan orang-orang yang bekerja agar mereka dapat menikmati kesenangan hidup yang mencakup makanan, papan, sandang dan cara hidup yang nyaman. 21

Dengan demikian terlihat secara jelas bahwa keberadaan dan keterkaitan antara kerja dan kekayaan berdasarkan perintah Tuhan atau Hukum Alam (Natural Law), atau kedua-duanya. Lock berpendapat bahwa hak milik merupakan imbalan

yang adil untuk orang-orang yang rajin. Kerja dari para individu menambah nilai pada sebuah produk dan memberikan kemanfaatan sosial pada umumnya. Argumentasi ini menjadi titik awal dari justifikasi utilitarian.22

Kaitan antara Teori Hukum Alam (Natural Law) dan pendapat John Lock tentang hak milik dengan perlindungan hukum dibidang hukum merek dijadikan sebagai kerangka teori mengingat Teori Hukum Alam (Natural Law) memberikan hak kepada seseorang baik atas hasil karyanya, maupun atas kerja kerasnya sendiri yang bisa berbentuk sesuatu yang konkrit, maupun abstrak, yang dimana dalam

21Ibid 22

(31)

penelitian ini Teori Hukum Alam (Natural Law) akan diruncingkan sebagai pisau untuk menganalisa Hak Kekayaan Intelektual, khususnya Hak Merek.

Selain Natural Law Theory, teori-teori lain tentang perlindungan hukum dalam bidang Hak atas Kekayaan Intelektual juga bermunculan, diantaranya yang menyatakan bahwa suatu karya intelektual dihasilkan dan dikembangkan atas dasar pemikiran yang menumbuhkan pengkajian dengan berbagai resiko. Oleh karena itu perlindungan terhadap pencipta, desainer atau penemu dipandang sebagal hal yang sudah sewajarnya, karena dalam rangka menghasilkan ciptaan dan atau temuannya dengan tindakan yang mengandung resiko demikian pandangan dari risk theory.23

Penghargaan yang diberikan atas usaha atau upaya seorang pencipta atau penemu juga diperlukan sebagaimana dijelaskan dalam reward theory bahwa perlindungan hukum yang diberikan kepada pencipta atau penemu adalah identik dengan penghargaan. Penghargaan ini memberikan rangsangan bagi para pihak untuk menciptakan karya-karya intelektual baru, akan lebih berkreasi, sehingga akan menghasilkan keuntungan . Pendapat demikian dikembangkan oleh incentive theory.24

Teori-teori tersebut didasarkan pada 4 (empat) prinsip hak kekayaan intelektual pada umumnya yaitu prinsip keadilan, prinsip ekonomi, prinsip

23

I Gede Wayan Surya Sukanta, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Yang Belum Terdaftar, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang, hal 75

24

(32)

kebudayaan dan prinsip sosial25. Prinsip keadilan berkaitan dengan penghargaan terhadap pencipta suatu karya intelektual. Penghargaan dapat berupa materi maupun bukan materi seperti adanya rasa aman karena dilindungi dan diakui atas hasil karyanya. Prinsip ekonomi menekankan bahwa hak kekayaan intelektual merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Dan kepemilikannya seseorang akan mendapatkan keuntungan seperti lisensi, royalti dan sebagainya. Menurut prinsip kebudayan, karya intelektual manusia dapat menimbulkan suatu gerak hidup, membangkitkan semangat dan minat untuk mendorong melahirkan karya intelektual baru. Dengan konsep demikian maka pertumbuhan dan perkembangan hak kekayaan intelektual sangat besar artinya bagi taraf kehidupan peradaban dan martabat manusia. Prinsip sosial berkatakan dengan tujuan pemberian hak atas suatu karya intelektual yang tidak hanya memenuhi kepentingan perseorangan atau badan hukum saja melainkan juga dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Selanjutnya bila dilihat keberadaan merek sebagai bagian dari Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakah salah satu bagian dari suatu sistem hukum dalam kerangka hukum Indonesia. Seperti yang ditegaskan Ranggalawe S yang menyebutkan bahwa:

“Hukum HaKI merupakan salah satu bagian sistem hukum yang merupakan salah satu tantanan nilai dalam masyarakat. Norma-norma perlindungan HaKI dicoba dilihat dari berbagai sudut kepentingan di luar dari hukum HaKI itu sendiri. Sehingga HaKI tidak bisa tidak merupakan sistem yang dipengaruhi masyarakat

25

(33)

dan mempengaruhi masyarakat baik di tatanan masyarakat modern maupun masyarakat tradisional di negara berkembang. Dalam kancah Internasional sistem HaKI juga dapat dilihat sebagai suatu sistem hukum yang dijadikan piranti perlindungan kepentingan dua pihak yang saling berhadapan, yaitu negara maju (developed countries) dan negara berkembang (developing countries)”.26

Menurut Award, sistem27 diartikan sebagai “hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen secara teratur (an organized, functioning relationship among units or components)”.28 Selanjutnya Mariam Darus menegaskan bahwa: “Suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan, di atas mana dibangun tertib hukum”.29 Sedangkan hukum, sebagai sistem menurut Lawrence M. Friedmann, terdiri dari 3 unsur yaitu struktur (structure), substansi (substance) dan budaya hukum (legal culture).30

Ketiga unsur hukum tersebut oleh Satjipto Rahardjo dijelaskan sebagai berikut yakni :

“Substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan serta hubungan hukum.

Struktur hukum adalah pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan formalnya yaitu memperlihatkan bagaiman pengadilan, pembuat hukum dan lain-lain badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan.

Kultur hukum adalah unsur yang terpenting dalam sistem hukum yakni tuntutan dan permintaan. Tuntutan datangnya dari rakyat atau para pemakai jasa hukum. Di

26

Ranggalawe S., Masalah Perlindungan HAKI Bagi Tradisional Knowledge,

http://www.ikht.net/artikel_pertopik.phhp?subtema=intelectual Property., diakses tanggal 5 Juni 2010. 27

Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang mempunyai pengertian “Suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (whole compound of several parts), William A Shrode and Dan Voich, Organization and Management; Basic System Concepts, Irwin Book Co., Malaysia, 1974, hal 115, dikutip dalam Otje Salman S., Anthon F. Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Memhuka Kembali, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004, Hal 87.

28

Award, Elis K dikutip dalam OK. Saidin, op.cit., hal 19.

29

Mariam Darus Badrulzarnan, dikutip dalam Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2004, hal 19.

30

(34)

belakang tuntutan itu, kecuali didorong oleh kepentingan, terlihat juga faktor-faktor seperti ide, sikap, keyakinan, harapan dan pendapat mengenai hukum. Kultur mengandung potensi untuk dipakai sebagai sumber informasi guna menjelaskan sistem hukum’.31

Dalam penelitian ini, struktur hukum diperankan oleh aparat penegak hukum pada kantor merek pada dirjen HaKI sedangkan substansi hukum itu sendiri digambarkan melalui peraturan perundang-undangan tentang merek dan perjanjian lisensi itu sendiri dan budaya hukum berasal dari para pihak dalam perjanjian lisensi serta mencakup masyarakat luas sebagai pengguna dari komersialisasi perjanjian lisensi tersebut.

Hal senada juga dikatakan oleh Sunaryati Hartono bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas”32. Jadi dalam sistem hukum terdapat sejumlah asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan norma hukum dalam suatu perundang-undangan.33

31

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1996, hal 166-167 32

C.F.G. Sunaryati Hartono, dikutip dalam S. Mantayborbir, op.cit., hal 15. 33

Menurut Fatmawati, Heru Susetyo dan Yetty Komalasari Dewi menegaskan bahwa “Dalam ilmu hukum dipelajari tentang kaedah hukum (dalam arti luas). Kaedah hukum (dalam arti luas) lazimnya diartikan sebagai peraturan, baik tertulis maupun lisan, yang mengatur bagaimana seyogyanya kita (suatu masyarakat) berbuat atau tidak berbuat. Kaedah hukum (dalam arti luas) meliputi asas-asas hukum, kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai (norma), dan peraturan hukum konkrit. Selanjutnya asas-asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, merupakan latar belakang peraturan hukum konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peratuan perundang-undangan dan putusan hakim. Sementara itu kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai (norma) merupakan perumusan suatu pandangan obyektif mengenai penilaian atau sikap yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan untuk dijalankan (merupakan nilai yang bersifat lebih konkrit dari asas hukum)”. Lihat dalam Fatmawati, Heru Susetyo, Yetty Komalasari Dewi, Legal Opinion Urgensi RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP), tim pengajar FH UI-Depok,

(35)

Selanjutnya asas-asas dari hukum Hak atas Kekayaan Intelektual tersebut harus bersumber dari Pancasila sebagai asas idiil (filosofis), dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai asas konstitusional (struktural)34 mengemukakan apa yang dimaksud dengan hak. Hak menurut Sanusi Bintang adalah “kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk dipergunakan secara bebas”.35 Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, menegaskan bahwa “hak tidak saja berarti kewenangan yang dilindungi oleh hukum namun juga menekankan pada pengakuan atas wewenang dari hak tersebut”.36 Dan diantara hak-hak yang diakui oleh masyarakat bagi perlindungan hasil karya akal atau pikiran manusia. 2. Konsepsi

a. Lisensi

“License (noun) 1) governmental permission to perform a particular act (like

getting married), conduct a particular business or occupation, operate machinery or vehicle after proving ability to do so safely, or use property for a certain purpose. 2) the certificate that proves one has been granted authority to do something under governmental license. 3) a private grant of right to use real property for a particular purpose, such as putting on a concert. 4) a private grant of the right to use some intellectual property such as a patent or musical composition.”37

Lisensi (kata benda) 1) izin pemerintah untuk melakukan tindakan tertentu (seperti menikah), melakukan bisnis tertentu atau pekerjaan, mengoperasikan mesin atau kendaraan setelah membuktikan kemampuan untuk melakukannya dengan aman, atau properti digunakan untuk tujuan tertentu. 2) sertifikat yang membuktikan satu

34

Bila dikaitkanan antara UUD 1945 dengan Hak Milik Intelektual (HAMI) jelas mempunyai hubungan yang erat sekali. Beberapa Pasal dalam UUD 1945 memperlihatkan kepada kita tentang pertalian tersebut, yakni Pasal 27 ayat 2, Pasal 28 dan Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3, lihat Syafrinaldi, op.cit., hal 24.

35

Sanusi Bintang, Hukum Hak Cipta, Citra Aditya, Bandung, 1998, hal 1. 36

Satjipto Rahardjo, op.cit., hal 54. 37Burton's Legal Thesaurus

(36)

telah diberikan kewenangan untuk melakukan sesuatu di bawah lisensi pemerintah. 3) hibah pribadi hak untuk menggunakan properti untuk tujuan tertentu, seperti mengenakan konser. 4) hibah pribadi hak untuk menggunakan beberapa kekayaan intelektual seperti paten atau komposisi musik

Licensed contract is a right given by some competent authority to do an act, which

without such authority would be illegal. The instrument or writing which secures this

right, is also called a license.38

Kontrak Izin adalah hak yang diberikan oleh beberapa pejabat yang berwenang untuk melakukan tindakan, yang tanpa kewenangan tersebut akan ilegal. Instrumen atau tulisan yang mengamankan hak ini, juga disebut lisensi

A license is also an express or implied. An express license is one which in direct

terms authorizes the performance of a certain act; as a license to keep a tavern given

by public authority.39

Sebuah lisensi juga merupakan yang tersurat maupun tersirat. Sebuah lisensi mengungkapkan adalah salah satu yang dalam hal kewenangan langsung kinerja suatu tindakan tertentu; sebagai lisensi untuk menyimpan kedai yang diberikan oleh otoritas publik

“An implied license is one which though not expressly given, may be presumed from the acts of the party having a right to give it. The following are examples of such licenses as when a man knocks at another's door, and it is opened, the act of opening the door licenses the former to enter the house for any lawful purpose. A servant is, in consequence of his employment, licensed to admit to the house, those who come on his master's business, but only such persons. It may, however, be

38 Legal Thesaurus

, Copyright © 1981-2005 by Gerald N. Hill and Kathleen T. Hill. All Right reserved.

39

(37)

inferred from circumstances that the servant has authority to invite whom he pleases to the house, for lawful purposes.”40

Sebuah lisensi tersirat adalah salah satu yang walaupun tidak secara tegas diberikan, dapat dianggap dari tindakan partai memiliki hak untuk memberikannya. Berikut ini adalah contoh lisensi seperti ketika seorang pria mengetuk di pintu lain, dan itu dibuka, tindakan membuka pintu lisensi yang pertama untuk memasuki rumah untuk tujuan yang sah. Seorang pelayan adalah, sebagai akibat dari pekerjaan itu, lisensi untuk mengakui ke rumah, mereka yang datang pada bisnis majikannya, tetapi hanya orang tersebut. Mungkin, Namun, disimpulkan dari keadaan yang hamba itu memiliki kewenangan untuk mengundang siapa ia menyenangkan ke rumah, untuk tujuan yang sah

“A license is either a bare authority, without interest, or it is coupled with an interest. A bare license must be executed by the party to whom it is given in person, and cannot be made over or assigned by him to another; and, being without consideration, may be revoked at pleasure, as long as it remains executory but when carried into effect, either partially or altogether, it can only be rescinded, if in its nature it will admit of revocation, by placing the other side in the same situation in which he stood before he entered on its execution.”41

Lisensi adalah baik otoritas telanjang, tanpa bunga, atau digabungkan dengan kepentingan. Izin telanjang harus dijalankan oleh pihak kepada siapa itu diberikan secara pribadi, dan tidak dapat dibuat terus menerus atau ditempati oleh dia untuk lain; dan, karena tanpa pertimbangan, dapat dicabut pada kesenangan, selama tetap pelaksana tetapi ketika dilakukan berlaku, baik sebagian atau sama sekali, itu hanya bisa dibatalkan, jika di alam yang akan mengakui pencabutan, dengan menempatkan pihak lain dalam situasi yang sama di mana ia berdiri sebelum dia dimasukkan pada pelaksanaannya

When the license is coupled with an interest the authority conferred is not properly a

mere permission, but amounts to a grant, which cannot be revoked, and it may then

be assigned to a third person. When the license is coupled with an interest, the

formalities essential to confer such interest should be observed.42

40

Ibid

41

A Law Dictionary, Adapted to the Constitution and Laws of the United States. By John Bouvier. Published 1856.

42

(38)

Ketika lisensi digabungkan dengan kewenangan kepentingan yang diberikan tidak benar izin belaka, tetapi sebesar hibah, yang tidak dapat dicabut, dan mungkin akan diberikan kepada orang ketiga. Ketika lisensi digabungkan dengan kepentingan, formalitas yang penting untuk memberikan kepentingan tersebut harus diamati

Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu43

Dalam legal dictionary, license : “A term used to describe the grant of a right to certain kinds of business, affected with a public interest. The granting of licenses

and the regulation of licensed business now form an important part of administrative

procedure”44 yang mengandung arti bahwa lisensi adalah sesuatu yang dijelaskan sebagai pemberian hak untuk bisnis/usaha tertentu, yang berhubungan kepentingan publik. Pemberian dari lisensi peraturan dari usaha pemberian lisensi sekarang menjadi bagian yang penting dari prosedur administrasi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan lisensi merek adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek untuk menggunakan merek

43

Pasal 1 butir (13) UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek 44

(39)

terdaftar atau merek terkenal miliknya selama jangka waktu tertentu dan dengan menggunakan syarat tertentu dengan menerima royalti dari penerima lisensi merek. b. Pengertian merek

Trademark (noun) is a distinctive design, picture, emblem, logo or wording (or

combination) affixed to goods for sale to identify the manufacturer as the source of

the product and to distinguish them from goods sold or made by others. Words that

merely name the maker (but without particular lettering) or a generic name for the

product are not trademarks.45

Merek (kata benda) adalah desain, khas gambar, lambang, logo atau kata-kata (atau kombinasi) yang ditempel barang untuk dijual untuk mengidentifikasi produsen sebagai sumber produk dan untuk membedakan mereka dari barang yang dijual atau dibuat oleh orang lain. Kata-kata yang hanya nama pembuat (tapi tanpa huruf tertentu) atau nama generik untuk produk tidak merek dagang

A trademark is typically a name, word, phrase, logo, symbol, design, image, or a

combination of these elements. There is also a range of non-conventional trademarks

comprising marks which do not fall into these standard categories, such as those

based on color, smell, or sound.46

Sebuah merek dagang biasanya nama, kata, frasa, logo, simbol, desain, gambar, atau kombinasi dari unsur-unsur. Ada juga berbagai merek dagang non-konvensional

45

West's Encyclopedia of American Law, edition 2. Copyright 2008 The Gale Group, Inc. All rights reserved.

46

(40)

terdiri dari tanda yang tidak jatuh ke dalam kategori standar, seperti yang berdasarkan warna, bau, atau suara

The term trademark is also used informally to refer to any distinguishing attribute by

which an individual is readily identified, such as the well known characteristics of

celebrities. When a trademark is used in relation to services rather than products, it

may sometimes be called a service mark, particularly in the United States. 47

Istilah merek dagang ini juga digunakan secara informal untuk mengacu pada setiap atribut membedakan dengan mana seorang individu dengan mudah diidentifikasi, seperti karakteristik selebriti terkenal. Ketika merek dagang yang digunakan dalam hubungannya dengan layanan ketimbang produk, kadang-kadang dapat disebut sebagai merek jasa, terutama di Amerika Serikat

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, dapat diketahui tentang arti merek, bentuk merek, tujuan dan kegunaan merek. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Bentuk merek ditentukan secara limitatif, yaitu : hanya berupa gambar, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda.

47

(41)

Sedangkan menurut Molengraff, yang dikutip oleh Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah menyatakan bahwa merek yaitu dengan mana dipribadikanlah suatu barang tertentu, untuk menunjukkan asal barang, dan jaminan kualitasnya, sehingga bisa dibandingkan dengan barang-barang sejenis yang dibuat dan diperdagangkan oleh orang, atau perusahaan lain.48

Bertitik tolak pada batasan tersebut, pada hakekatnya merek adalah suatu tanda. Akan tetapi agar tanda tersebut dapat diterima sebagai merek harus memiliki daya pembeda. Yang dimaksud dengan memiliki daya pembeda di sini adalah memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai tanda yang dapat membedakan hasil perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain. Tanda yang sudah memiliki daya pembeda tersebut tidak dapat diterima sebagai merek apabila tidak dapat digunakan pada kegiatan perdagangan atau jasa.

Ciri pembeda demikian diharapkan dapat memberikan citra sekaligus menunjukan goodwill perusahan tersebut. Demikian pentingnya peranan merek sehingga terhadapnya dilekatkan perlindungan hukum, yaitu sebagai objek yang terhadapnya terkait hak-hak perseorangan atau badan hukum, sehingga pada dasarnya, merek di mata hukum adalah benda tidak berwujud.49

Merek dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa mempunyai fungsi sebagai berikut :

48

Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, op. cit., hal. 121 49

(42)

1. Tanda pengenal untuk membedakan produk perusahaan yang satu dengan produk perusahaan lain (product identity). Fungsi ini juga menghubungkan barang atau jasa dengan produsennya sebagai jaminan reputasi hasil usahanya ketika diperdagangkan.

2. Sarana promosi dagang, promosi tersebut dilakukan melalui iklan produsen atau pengusaha yang memperdagangkan barang atau jasa.

3. Jaminan atas mutu barang atau jasa, hal ini tidak hanya menguntungkan pemilik merek melainkan juga perlindungan jaminan mutu barang atau jasa bagi konsumen.50

Atas dasar itu, tujuan merek secara tersirat adalah untuk membedakan antara produk yang satu dengan yang lainnya terutama dengan yang sama jenisnya. Sebagai contoh dalam produk susu, ada susu Cap Nona, susu Indomilk, susu Dancow, susu Cap Bendera dan sebagainya, di mana semua itu merupakan barang sejenis yang

termasuk dalam satu kelas.

Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek mengenal tiga macam merek, hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka (2), angka (3), dan angka (4) yaitu:

1. Merek Dagang 2. Merek Jasa 3. Merek Kolektif.

Merek Dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Sedangkan merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang

50

(43)

atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.51

Dari dua macam merek tersebut tampak jelas letak bedanya, yaitu dari segi sasarannya. Merek dagang memfokuskan sasarannya kepada produk yang berwujud (yaitu produk yang dapat dipegang dengan tangan atau biasanya disebut dengan istilah konkrit), tetapi merek jasa meletakkan sasarannya kepada produk yang hanya dapat dirasakan (atau biasanya dikenal dengan istilah abstrak) tetapi tidak dapat dipegang.

Sesuai rumusan merek dagang di atas, pada umumnya merek tersebut ditempatkan atau dilekatkan pada barang yang diproduksi dan diperdagangkan, sehingga masyarakat menjadi kenal dengan barang yang ditawarkan bermerek tertentu. Lain halnya dengan merek jasa, dimana perusahaan jasa tersebut tidak memproduksi barang, tetapi melakukan pelayanan jasa terhadap konsumen, sehingga merek tersebut tidak dapat ditempatkan pada produksi jasanya karena perusahaan tersebut tidak memproduksi barang.52

Merek Terkenal

Undang-Undang tidak memberi definisi apa itu merek terkenal. Tentang Merek Terkenal dapat kita lihat dalam penjelasan Pasal 6 (1) huruf b. Dalam penjelasan tersebut disebutkan bahwa penolakan permohonan yang mempunyai

51

Wiratmo Dianggoro, Pembaharuan UU Merek dan Dampaknya Bagi Dunia Bisnis, Jurnal Hukum Bisnis Volume 2 Tahun 1997.

52

(44)

persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek terkenal untuk barang dan/atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut dibidang usaha yang bersangkutan. Disamping itu, diperhatikan pula reputasi merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi diberbagai negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di beberapa negara.

Apabila hal-hal tersebut diatas belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya Merek yang menjadi dasar penolakan tersebut.53

Menurut penjelasan tersebut, maka merek terkenal dapat dilihat dari 1. Pengetahuan umum masyarakat terhadap merek tersebut

2. Reputasi merek tersebut diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, serta

3. Investasi dibeberapa negara di dunia yang disertai dengan bukti pendaftaran Merek tersebut di beberapa negara. Kalau hal-hal diatas dianggap belum cukup, maka ditambah

4. Hasil survei yang dilakukan oleh lembaga yang bersifata mandiri yang diperintah oleh Pengadilan Niaga

Karena persyaratan merek terkenal itu bersifat komulatif, maka oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, permohonan pendaftaran Merek tidak

53

(45)

ditolak sekalipun Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terdaftar terlebih dahulu dan merek tersebut dikenal masyarakat luas di Indonesia, kalau merek yang terdaftar lebih dulu itu tidak memenuhi salah satu syarat tersebut diatas. Sekalipun Merek tersebut dkenal oleh masyarakat Indonesia secara luas (seperti contoh merek roti Holland Bakery), akan tetapi karena merek Holland Bakery yang terdaftar lebih dahulu itu tidak memenuhi salah satu syarat tersebut diatas yaitu syarat No 2 dan No 3, maka Merek Holland Bakery yang telah terdaftar lebih dahulu itu dianggap tidak mempunyai dasar

untuk menolak merek lain54 G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif Dalam melakukan penelitian ini dipergunakan pendekatan yuridis normatif atau disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal. Penelitian yuridis normatif digunakan dengan maksud untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan berbagai teori.

Dalam penelitian ini, peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan merek dan perjanjian lisensi dipergunakan dengan tujuan agar didapati penjelasan terhadap rumusan masalah dalam penelitian ini.

54

(46)

2. Sumber Data

Data-data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan dengan mempelajari :

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer yang merupakan peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dokumen, dan lain-lain yang berhubungan dengan lisensi merek.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu yang memberi penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer, ulasan hukum dan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti seperti artikel-artikel hukum diantaranya.

3. Metode Pengumpulan Data

(47)

Sedangkan bahan hukum tersier adalah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

4. Analisis Data

Analisis data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.55

Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan nara sumber hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.

Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta dievaluasi. Kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis, untuk kepentingan analisis, sedangkan evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif yang dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu, data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan induktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

55

(48)

A. Tinjauan Yuridis Perjanjian Lisensi Menurut Hukum Kontrak

Asas-asas perjanjian sangat perlu untuk dikaji lebih dahulu sebelum memahami berbagai ketentuan undang-undang mengenai sahnya suatu perjanjian. Suatu perkembangan yang terjadi terhadap suatu ketentuan undang-undang akan lebih mudah dipahami setelah mengetahui asas-asas yang bersangkutan. Jika memperhatikan perjanjian-perjanjian yang sering dibuat dalam praktek kehidupan sehari-sehari, maka didapati ada perjanjian-perjanjian yang pada dasarnya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun tidak tertutup kemungkinan, adanya perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian-perjanjian tersebut-lah yang dinamakan perjanjian tidak bernama. Tetapi apapun jenis perjanjiannya, asas-asas yang terkandung dalam perjanjiannya tidak akan lepas dari asas-asas hukum perikatan

(49)

Tabel 1. Pendapat Para Ahli Hukum tentang Asas Perjanjian56

Dari penjelasan di atas, maka terdapat 5 (lima) asas penting dalam suatu perjanjian, yaitu :

1. Asas Kebebasan Berkontrak, sebagaimana hasil analisa Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.

Asas Kebebasan Berkontrak ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: a. membuat atau tidak membuat perjanjian

56

(50)

b. mengadakan perjanjian dengan siapapun c. menentukan isi perjanjian dengan siapapun

d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

dan dipertegas dengan ketentuan ayat (2) yang berbunyi : Perjanjian yang telah disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh salah satu pihak tanpa adanya persetujuan dari lawan pihaknya dalam perjanjian, atau dalam hal-hal dimana oleh undang-undang dinyatakan cukup adanya alasan untuk itu.57

Secara umum kalangan ilmuwan hukum menghubungkan dan memperlakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata sebagai asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian.

2. Asas Konsensualitas

Asas ini terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat perjanjian, yaitu pada syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri. Asas konsensualitas berasal dari kata “consensus” yang berarti sepakat. Asas konsensualitas hanya berarti bahwa untuk setiap perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Arti asas konsensualitas ialah bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak tercapainya kata sepakat antara para pihak.58 Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila masing-masing pihak sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.

57

Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, PT. Puja Grafindo Persada, Jakarta, hal 18

58

Gambar

Tabel 1. Pendapat Para Ahli Hukum tentang Asas Perjanjian56

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kandungan logam berat Pb, Cu, Zn pada daging dan cangkang kerang hijau (P. viridis) berdasarkan ukurannya, mengetahui perbedaan

Pada Tabel 7 diperoleh hasil F Hitung 177,790 sedangkan F Tabel pada α = 0,05 dengan ketentuan df2=k-1 = 2-1 maka derajat pembilang 2 dan derajat penyebut, df2=65-2=63 maka diperoleh

penting pada pandangan mereka adalah tapak rumah ibadat, hak penjagaan anak, dan bidang.. kuasa Mahkamah

Komponen utama pembelajaran CTL mempunyai prinsip-prinsip dasar yang harus diperhatikan ketika akan menerapkannya dalam pembelajaran, yaitu sebagai berikut : 1) Konstruktivisme

Proto byl do procesu dolování asocia ních pravidel p idán parametr "CheckFreqSubSets", pomocí kterého se p epíná, jestli má být p ed samotným otestováním množiny na

kendaraan yang digunakan oleh anggota Kepolisian Resor Kota Pekanbaru dalam melakukan operasi adalah milik pribadi. Selain itu peralatan yang dimiliki oleh Kepolisian

Pada hipotesis minor yang kedua, yaitu re- ligiusitas terhadap kematangan emosi menun- jukkan nilai r sebesar 0,243 dengan nilai p= 0,057 (p>0,05), hal ini menunjukkan bahwa

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh peneliti pada beberapa pelaku usaha di lokasi penelitian, bahwa pendapatan pelaku usaha di lapangan merdeka mengalami