• Tidak ada hasil yang ditemukan

Toilet training merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar (Hidayat, 2008). Menurut Suherman (2000) toilet training merupakan latihan moral yang pertama kali diterima anak dan sangat berpengaruh pada perkembangan moral anak selanjutnya. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa toilet training merupakan upaya dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar di toilet, dimana pelatihan ini dapat membentuk moral anak.

2. Kesiapan Toilet Training

Ada beberapa kesiapan anak yang perlu dikaji baik kesiapan fisiologis maupun kesiapan psikologis sebelum anak memulai toilet training (Wong, 2008). Adapun kesiapan yang perlu dikaji adalah sebagai berikut :

a. Kesiapan fisik

1) Kontrol volunter sfingter anal dan uretral, biasanya pada usia 18 sampai 24 bulan.

2) Mampu tidak mengompol selama 2 jam, jumlah popok yang basah berkurang, tidak mengompol selama tidur siang.

3) BAB teratur.

4) Keterampilan motorik kasar yaitu duduk, berjalan, dan berjongkok. 5) Keterampilan motorik halus yaitu membuka pakaian.

b. Kesiapan Mental

1) Mengenali urgensi BAB atau BAK.

2) Keterampilan komunikasi verbal atau nonverbal untuk menunjukkan saat basah atau memiliki urgensi BAB atau BAK. 3) Keterampilan kognitif untuk menirukan perilaku yang tepat dan

mengikuti perintah. c. Kesiapan Psikologis

1) Mengekspresikan keinginan untuk menyenangkan orang tua. 2) Mampu duduk di toilet selama 5 sampai 10 menit tanpa bergoyang

atau terjatuh.

3) Keingintahuan mengenai kebiasaan toilet orang dewasa atau kakak. 4) Ketidaksabaran akibat popok yang kotor oleh feses atau basah;

ingin untuk segera diganti. d. Kesiapan Orang tua

1) Mengenali tingkat kesiapan anak.

3) Ketiadaan stress atau perubahan keluarga, seperti perceraian, pindah rumah, sibling baru, atau akan bepergian.

3. Teknik Mengajarkan Toilet Training

Berikut ini beberapa teknik yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam melatih anak buang air kecil dan buang air besar setelah orang tua mengetahui tanda-tanda kesiapan anak melakukan toilet training yaitu : a. Teknik Lisan

Teknik lisan merupakan usaha untuk melatih anak dengan cara memberikan instruksi pada anak dengan kata-kata sebelum atau sesudah buang air kecil dan besar. Teknik lisan ini mempunyai nilai yang cukup besar dalam memberikan rangsangan untuk buang air kecil atau buang air besar, dimana dengan lisan ini persiapan psikologis pada anak akan semakin matang dan akhirnya anak mampu dengan baik dalam melaksanakan buang air kecil dan buang air besar (Hidayat, 2008).

b. Teknik Modelling

Teknik modelling merupakan usaha melatih anak dalam melakukan buang air kecil atau buang air besar dengan memberikan contoh, seperti menggunakan boneka (Hidayat, 2008 dan Warner, 2006). Teknik ini memiliki kekurangan yakni apabila contoh yang diberikan salah sehingga akan dapat diperlihatkan pada anak akhirnya anak juga mempunyai kebiasaan yang salah (Hidayat, 2008). Untuk itu, berikanlah contoh yang benar pada anak.

c. Teknik pemilihan tempat duduk untuk eliminasi, misalnya :

1) Tempat duduk berlubang (potty chair) dan/atau penggunaan toilet. Tempat duduk berlubang untuk eliminasi yang tidak ditopang oleh benda lain memungkinkan anak merasa aman (Stark, 1994 dalam Wong, 2008).

2) Tempat duduk portable yang diletakkan di atas toilet biasa, yang memudahkan transisi dari kursi berlubang untuk eliminasi ke toilet biasa dan menempatkan bangku panjang yang kecil di bawah kaki untuk membantu menstabilkan posisi anak (Wong, 2008).

3) Menempatkan kursi berlubang untuk eliminasi di kamar mandi dan membiarkan anak mengamati ekskresinya ketika dibilas ke dalam toilet untuk menghubungkan aktivitas ini dengan praktik yang biasa (Wong, 2008).

d. Teknik yang lain adalah :

1) Menghadapkan anak ke tangki toilet memberi dukungan tambahan. Anak lelaki biasa memulai toilet training dalam posisi berdiri atau duduk di kursi berlubang untuk eliminasi di toilet. Anak meniru perilaku ayahnya dalam BAK selama masa prasekolah merupakan dorongan motivasi yang sangat kuat bagi anak untuk melakukan toilet training (Wong, 2008).

2) Melakukan observasi pada saat anak merasakan BAK dan BAB. 3) Ajak anak ke kamar mandi.

5) Dudukkan anak di atas pispot atau orang tua duduk atau jongkok dihadapannya sambil mengajak bicara atau bercerita.

6) Berikan pujian jika anak berhasil, namun apabila gagal jangan disalahkan dan dimarahi.

7) Biasakan akan pergi ke toilet pada jam-jam tertentu.

8) Beri anak celana yang mudah dilepas dan dipasangkan kembali (Hidayat, 2008).

Sesi latihan ini harus dibatasi 5 sampai 10 menit, orang tua harus menunggu anaknya dalam melakukan toilet training dan kebiasaan sanitasi harus dilakukan setiap kali selesai eliminasi (Wong, 2008).

Teknik-teknik di atas merupakan bentuk nyata dari perilaku orang tua dalam melatih anak buang air kecil maupun buang air besar secara mandiri di toilet atau kamar mandi.

4. Hal yang perlu Diperhatikan Selama Toilet Training

Menurut Hidayat (2008) dalam melakukan pengkajian kebutuhan buang air kecil dan besar, terdapat beberapa hal-hal yang perlu diperhatikan selama toilet training, diantaranya :

a. Hindari pemakaian popok sekali pakai atau diaper dimana anak akan merasa aman.

b. Ajari anak mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan buang

air besar, misalnya “pup” dan buang air kecil, misalnya “pipis”.

c. Mendorong anak melakukan rutinitas ke kamar mandi seperti cuci muka saat bangun tidur, cuci tangan, cuci kaki dan lain-lain.

d. Jangan marah bila anak gagal dalam melakukan toilet training.

5. Dampak Keberhasilan Toilet Training

Seorang anak yang berhasil melakukan toilet training memiliki beberapa keuntungan sebagai berikut :

a. Anak memiliki kemampuan mengontrol BAK dan BAB.

b. Anak memiliki kemampuan menggunakan toilet pada saat ingin BAK atau BAB.

c. Toilet training menjadi awal terbentuknya kemandirian anak secara nyata sebab anak sudah bisa melakukan sendiri hal-hal seperti BAB atau BAK.

d. Toilet training membuat anak dapat mengetahui bagian-bagian tubuh serta fungsinya (Warga, 2007).

6. Dampak Kegagalan Toilet Training

Kegagalan dalam melakukan toilet training ini memiliki dampak yang kurang baik pada anak seperti anak akan terganggu kepribadiannya, misalnya anak cenderung bersifat retentive dimana anak cenderung bersikap keras kepala bahkan kikir. Sikap tersebut dapat disebabkan oleh sikap orang tua yang sering memarahi anak pada saat buang air besar atau buang air kecil atau melarang anak saat bepergian. Apabila orang tua santai dalam memberikan aturan dalam toilet training maka anak akan dapat mengalami kepribadian eksprensif dimana anak lebih tega, cenderung ceroboh, suka membuat gara-gara, emosional dan seenaknya

dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Hidayat, 2008). Kegagalan toilet training pun akan menyebabkan anak mengalami enuresis atau mengompol (Aziz, 2006).

C. Kebiasaan Mengompol

Dokumen terkait