DENGAN KEBIASAAN MENGOMPOL
PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DI RW 02
KELURAHAN BABAKAN KOTA TANGERANG
Skripsi Diajukan Sebagai Tugas Akhir Strata-1 (S-1) pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Oleh :
SRI FITDIYAH NINGSIH
108104000056
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
v
Nama : SRI FITDIYAH NINGSIH
Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 15 April 1989
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat : Jl. Perintis Kemerdekaan Gg. Teladan IV RT 003 RW 02 No. 6 Babakan – Tangerang 15118
Anak ke : 3 dari 3 bersaudara
Telepon : 085693641348
E-mail : clievied_niezs@yahoo.comatau
srifitdiyah@gmail.com
Riwayat Pendidikan :
1. TK Al- Husna Kota Tangerang tahun 1993-1995
2. SD Negeri Tangerang 2 tahun 1995-2001
3. Madrasah At-Taqwa Tangerang tahun 1997-2001
4. SMP Negeri 17 Tangerang tahun 2001-2004
5. SMA Negeri 7 Tangerang tahun 2004-2007
6. S1 Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008-2012
Pengalaman Organisasi :
1. Anggota Pramuka SMP Negeri 17 Tangerang tahun 2001-2004
2. Bendahara OSIS SMP Negeri 17 Tangerang tahun 2002-2003
3. Anggota Paskibra SMA Negeri 7 Tangerang tahun 2004-2007
4. Bendahara OSIS SMA Negeri 7 Tangerang tahun 2005-2006
5. Staf Divisi Infokom BEMJ Ilmu Keperawatan tahun 2009-2010.
6. Ketua Departemen Informasi dan Komunikasi BEMJ Ilmu Keperawatan
vi Skripsi, September 2012
Sri Fitdiyah Ningsih, NIM: 108104000056
Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Ibu dalam Menerapkan Toilet Training dengan Kebiasaan Mengompol pada Anak Usia Prasekolah
di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang
xxi + 110 halaman +16 tabel+ 2 gambar+ 5 lampiran
ABSTRAK
Kebiasaan mengompol merupakan kondisi yang sering terjadi pada anak usia prasekolah, padahal pada usia ini anak sudah dapat mengontrol buang air kecilnya. Salah satu upaya mengatasi kebiasaan ini adalah toilet training. Agar penerapan toilet training berjalan baik, perlu adanya pemahaman dan tindakan yang nyata tentang toilet training dari orang tua terutama ibu, karena ibu adalah orang terdekat bagi anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dan perilaku ibu dalam menerapkan toilet training dengan kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan metode cross sectional. Sampel yang digunakan sebanyak 82 responden. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik total sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner, kemudian data dianalisis menggunakan uji chi square dengan komputerisasi. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang toilet training dengan kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah (p = 0,232) dan ada hubungan antara perilaku ibu dalam menerapkan toilet training dengan kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah (p = 0,041). Agar anak dapat mengatasi kebiasaan mengompolnya maka perlu adanya penerapan toilet training yang baik oleh ibu.
Kata kunci : Anak usia prasekolah, Ibu, Kebiasaan mengompol, Pengetahuan, Perilaku, Toilet training
vii Undergraduate Thesis, September 2012
Sri Fitdiyah Ningsih, NIM: 108104000056
The Relationship between Mother’s Knowledge and Behavior in Implementing Toilet Training with Enuresis Habit in Preschool Age Children in RW 02 Babakan Tangerang
xxi + 110 pages + 16 tables + 2 pictures + 5 attachments
ABSTRACT
Enuresis is the condition which is frequently happened in preschool children, where at this age children are should be able to control the urine. One of the effort to overcome this habit is toilet training. The good application of a toilet training need a real action from parents especially mother, because mother is the closest person to the child. This study aimed to determine the relationship between knowledge and behavior of mother in implementing toilet training with enuresis habit in preschool children in RW 02 Babakan Tangerang. This research is a quantitative study with cross sectional method. The sample used in this study was 82 respondent. This study was using the total sampling technique. Data collected using questionnaires, and were analyzed using chi square test with computerization. The results showed no correlation between mother knowledge about toilet training with enuresis habit in preschool age children (p = 0.232) and there was a correlation between the behavior of mother implementing toilet training with enuresis habit in preschool age children (p = 0.041). In order to overcome this enuresis habit, it is necessary for mother to implementing a good toilet training.
Key Word : Preschool age children, Mother, Enuresis Habit, Knowledge, Behavior, Toilet training
viii
Skripsi ini ku persembahkan..
Untukmu…
Mama, Bapak, dan Teteh Enchi khususnya kepadamu,,,
Kakakku tercinta,,Indriyati,,,
Ku tak dapat berkata apapun kecuali kata “Terima Kasih”
Terima Kasih atas pengorbanan, ketulusan dan keikhlasanmu
selama ini...
Terima Kasih atas jasamu yang tak mungkin dapat ku balas,,,
ix
Assalamu’alaikum wr.wb
Alhamdulillahi rabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Ibu dalam
Menerapkan Toilet Training dengan Kebiasaan Mengompol pada Anak Usia
Prasekolah di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang”.
Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan besar Nabi
Muhammad SAW yang telah menjadi suri tauladan sehingga penulis tetap
semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam penyelesaian skipsi, penulis
sadar bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai
pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. DR (hc). Dr. Muhammad Kamil Tadjuddin, Sp. And, selaku Dekan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. dr. H.M. Djauhari W, AIF., PFK, selaku Pembantu Dekan Bidang Akademik
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes, selaku Pembantu Dekan Bidang
Administrasi Umum Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
x Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Tien Gartinah, MN, selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan
(PSIK) FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Ibu Irma Nurbaeti, S.Kep, MKep, Sp.Mat, selaku Sekretaris Program Studi
Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Pembimbing Akademik penulis selama perkuliahan.
7. Ibu Rita Yuliani S.Kp., M.Si. selaku pembimbing I yang telah meluangkan
waktu dan mencurahkan pikirannya untuk memberikan masukan, nasihat,
petunjuk dan arahan serta motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi
ini.
8. Ibu Maulina Handayani S.Kp., M.Sc. selaku pembimbing II yang telah
meluangkan waktu dan mencurahkan pikirannya untuk memberikan masukan,
nasihat, petunjuk dan arahan serta motivasi kepada penulis dalam metodologi
penyusunan skripsi ini.
9. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah mengajarkan dan membimbing penulis, serta
staff akademik (Bapak Azib Rosyidi S. Psi dan Ibu Syamsiah) atas bantuannya
yang telah memudahkan penulis dalam proses pembelajaran di PSIK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
10. Segenap jajaran staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN yang telah banyak membantu dalam menyediakan
xi
12. Segenap responden yang telah bersedia meluangkan waktu untuk mengisi
kuisioner.
13. Orang tua tercinta (Bapak Uci Sanusi dan Ibu Sumaryati) yang telah
memberikan kasih sayang tulus dan selalu mendoakan serta memberikan
motivasi tiada hentinya kepada penulis.
14. Kakak – kakak penulis (Teteh Indriyati, Teteh Sri Budiarti dan Ka Wanto)
yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materiil serta doa yang
tiada henti.
15. Ade Sulistyawan yang telah menjadi motivator sehingga penulis selalu
semangat dalam menyusun skripsi ini.
16. Keponakan penulis (Nisrina Al-Habsyi dan Irestha Felladivany) yang telah
menjadi inspirasi dalam menyusun skripsi ini.
17. Teman-teman angkatan 2008 (Wensil, Nurfatimah, Selly, Novi, Pia, Sri K,
Ika, Kiki dan semuanya) yang telah bersama-sama dengan penulis melewati
hari-hari baik suka maupun duka dalam menyelesaikan perkuliahan di PSIK
UIN Jakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya. Untuk
itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Jakarta, September 2012
xii
Halaman
PERNYATAAN PERSETUJUAN ……… i
LEMBAR PENGESAHAN ……… ii
LEMBAR PERNYATAAN ……… iv RIWAYAT HIDUP ……….. v
C. Pertanyaan Penelitian ……….. 8
D. Tujuan ………. 9
1. Tujuan Umum ………... 9
2. Tujuan Khusus ……….. 9
E. Manfaat ………... 10
1. Bagi Ilmu Pengetahuan ………. 10
2. Bagi Profesi Keperawatan ………. 10
3. Bagi Kelurahan Babakan Kota Tangerang ……...………. 10
4. Bagi Peneliti ……...………... 10
5. Bagi Peneliti Selanjutnya ……….. 11
xiii
1. Pertumbuhan Fisik ……… 12
2. Perkembangan Motorik ………. 13
3. Perkembangan Kognitif ……...………. 14
4. Perkembangan Psikoseksual ………. 16
5. Perkembangan Psikososial ……… 17
6. Perkembangan Moral ……… 18
B. Toilet Training ……… 19
1. Pengertian ………. 19
2. Kesiapan Toilet Training ………... 19
3. Teknik Mengajarkan Toilet Training ……… 21
4. Hal yang perlu Diperhatikan selama Toilet Training ………… 23
5. Dampak Keberhasilan Toilet Training ……….. 24
6. Dampak Kegagalan Toilet Training ……….. 24
C. Kebiasaan Mengompol (Enuresis) ……….. 25
1. Pengertian ……….. 25
2. Penyebab ………..………. 26
3. Jenis Enuresis ……… 28
4. Faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Mengompol (Enuresis) ……… 29
5. Penatalaksanaan …………..……….. 32
D. Pengetahuan ……… 35
1. Pengertian ……….. 35
2. Tingkatan Pengetahuan ………. 36
3. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan …………... 37
E. Perilaku ………... 39
1. Pengertian ………. 39
2. Proses Pembentukan Perilaku ………... 40
3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seseorang ……….. 41
F. Penelitian Terkait ……… 45
xiv
A. Kerangka Konsep ……… 50
B. Hipotesis ……….. 51
C. Definisi Operasional ……… 52
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ……… 60
A. Desain Penelitian ………. 60
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ...………... 60
C. Populasi dan Sampel Penelitian ……….. 61
D. Instrumen Penelitian ………63
E. Uji Validitas dan Reliabilitas Penelitian ………. 68
1. Uji Validitas ………. 68
2. Uji Reliabilitas ………. 69
3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ……….. 70
F. Teknik Pengumpulan Data ………. 71
G. Pengolahan Data ……… 73
H. Analisis Data ……….. 74
1. Analisis Univariat ……… 74
2. Analisis Bivariat ……….. 75
I. Etika Penelitian ……….. 76
BAB V HASIL PENELITIAN ………. 79
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………... 79
1. Gambaran Umum RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang ………... 79
2. Gambaran Umum Karakteristik Responden ………. 80
a) Usia Ibu ………...…… 80
b) Tingkat Pendidikan Ibu ………... 81
c) Status Pekerjaan Ibu ……… 83
d) Usia Anak ……… 84
xv
2. Gambaran Perilaku Ibu dalam Menerapkan Toilet Training … 89
3. Gambaran Kebiasaan Mengompol ……… 92
C. Analisis Bivariat ……….. 93
1. Hubungan Pengetahuan Ibu tentang Toilet Training dengan Kebiasaan Mengompol pada Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) ……… 93
2. Hubungan Perilaku Ibu dalam Menerapkan Toilet Training dengan Kebiasaan Mengompol pada Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) ………... 94
BAB VI PEMBAHASAN ……….. 96
A. Keterbatasan Penelitian ……….. 96
B. Gambaran Karakteristik Responden ……….. 97
1. Usia Ibu ……… 97
2. Tingkat Pendidikan Ibu ……… 98
3. Status Pekerjaan Ibu ………. 99
4. Usia Anak ……… 100
5. Jenis Kelamin Anak ……….... 100
C. Hasil Analisis Univariat ……… 101
1. Gambaran Pengetahuan Ibu tentang Toilet training ………... 101
2. Gambaran Perilaku Ibu dalam Menerapkan Toilet training …102 3. Gambaran Kebiasaan Mengompol pada Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) ………. 103
D. Hasil Analisis Bivariat ……….. 103
1. Hubungan Pengetahuan Ibu tentang Toilet training dengan Kebiasaan Mengompol (Enuresis) pada Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) ……….. 103
xvi
A. Kesimpulan ……….. 108
B. Saran ……….... 109
xvii BAB = Buang Air Besar
BAK = Buang Air Kecil
DSM-IV-TR = Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV-Text
Revision
RT = Rukun Tetangga
RW = Rukun Warga
xviii
Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian ………. 49
xix
Tabel 3.1 Definisi Operasional ……….. 52
Tabel 4.1 Indikator pengukuran pengetahuan ibu tentang toilet training …. 64
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi usia ibu yang memiliki anak usia prasekolah di
RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang Tahun 2012
……… 78
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi ibu yang memiliki anak usia prasekolah
berdasarkan tingkat pendidikan di RW 02 Kelurahan Babakan Kota
Tangerang Tahun 2012 ………..…... 79
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi ibu yang memiliki anak usia prasekolah
berdasarkan kategori tingkat pendidikan di RW 02 Kelurahan
Babakan Kota Tangerang Tahun 2012 ……….. 80
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Ibu yang Memiliki Anak Usia Prasekolah
Berdasarkan Status Pekerjaan di RW 02 Kelurahan Babakan Kota
Tangerang Tahun 2012 ………. 81
Tabel 5.5 Distribusi frekuensi ibu yang memiliki anak usia prasekolah
berdasarkan kategori status pekerjaan di RW 02 Kelurahan Babakan
Kota Tangerang Tahun 2012 ………. 82
Tabel 5.6 Distribusi frekuensi usia anak prasekolah di RW 02 Kelurahan
Babakan Kota Tangerang Tahun 2012 ………. 82
Tabel 5.7 Distribusi frekuensi anak usia prasekolah berdasarkan jenis kelamin di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang Tahun 2012 ……. 83
Tabel 5.8 Distribusi frekuensi pengetahuan ibu tentang toilet training di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang Tahun 2012 ………. 83
Tabel 5.9 Distribusi frekuensi responden berdasarkan kategori pengetahuan ibu tentang toilet training di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang
Tahun 2012 ………. 86
Tabel 5.10 Distribusi frekuensi perilaku ibu dalam menerapkan toilet training di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang Tahun 2012 ………. 86
Tabel 5.11 Distribusi frekuensi responden berdasarkan kategori perilaku ibu dalam menerapkan toilet training di RW 02 Kelurahan Babakan
xx
Tabel 5.13 Hubungan pengetahuan ibu tentang toilet training dengan kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah (3-6 tahun) di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang Tahun 2012 ……….. 90
xxi
Lampiran 1 Surat Permohonan Izin Pengambilan Data
Lampiran 2 Surat Izin Pengambilan Data dari Kelurahan Babakan Kota
Tangerang
Lampiran 3 Lembar persetujuan menjadi responden penelitian (Informed
consent)
Lampiran 4 Kuesioner penelitian
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua istilah yang berbeda,
namun keduanya tidak dapat dipisahkan dan bersifat interdependen (Potter &
Perry, 2005). Pertumbuhan didefinisikan sebagai bertambahnya ukuran fisik
dan struktur tubuh seseorang karena bertambahnya jumlah dan besarnya sel
secara kuantitatif, seperti pertambahan ukuran berat badan, tinggi badan dan
lingkar kepala. Perkembangan didefinisikan sebagai pertambahan kematangan
fungsi dari masing-masing tubuh dan bersifat kualitatif, seperti kemampuan
anak untuk tengkurap, duduk, berjalan, berbicara, memungut benda-benda di
sekelilingnya, serta kematangan emosi dan sosial anak (Nursalam, 2008).
Menurut Wong (2000 dalam Supartini 2004), perkembangan anak terdiri
dari periode prenatal (mulai konsepsi sampai usia kehamilan 40 minggu),
periode bayi (sejak lahir sampai usia 12 bulan), periode kanak-kanak awal
(usia 1 tahun sampai 6 tahun), periode kanak-kanak pertengahan (usia 6 tahun
sampai 11-12 tahun), dan periode kanak-kanak akhir (usia 11-12 tahun sampai
18 tahun). Periode kanak-kanak awal terdiri atas masa toddler, yaitu usia anak
1 sampai 3 tahun dan masa prasekolah, yaitu antara 3 sampai 6 tahun
(Supartini, 2004).
Pertumbuhan dan perkembangan masa kanak-kanak terjadi sangat cepat.
Hal ini disebabkan karena adanya stimulus internal, yaitu dari hereditas dan
pengalaman hidup dan elemen dari lingkungan yang didapatkan oleh anak
(Potter & Perry, 2005).
Perkembangan fisik anak usia prasekolah lebih lambat dan relatif menetap.
Sistem tubuh sudah matang dan keterampilan motorik seperti berjalan, berlari,
melompat menjadi semakin luwes, namun otot dan tulang belum begitu
sempurna, serta pada masa ini anak sudah mulai terlatih untuk toileting
(Supartini, 2004). Menurut teori Perkembangan Psikoseksual Sigmund Freud
(1905 dalam Wong, 2008) menjelaskan bahwa usia prasekolah termasuk
dalam fase falik, dimana genitalia menjadi area yang menarik dan area tubuh
yang sensitif. Pada fase ini anak sudah dapat melakukan buang air kecil dan
buang air besar di tempatnya. Pada periode ini pula, konsep diri anak sudah
mulai berkembang, terjadi peningkatan kontrol diri dan penguasaan, lebih
banyak bergerak, peningkatan kemandirian dan sudah siap untuk melakukan
toilet training (Potter & Perry, 2005).
Toilet training merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu
mengontrol buang air kecil dan buang air besar (Hidayat, 2008). Latihan ini
mulai dilakukan pada anak usia 1-3 tahun, karena pada usia ini kemampuan
sfingter uretra untuk mengontrol rasa ingin buang air kecil mulai berkembang
(Supartini, 2004). Latihan ini dapat dilakukan oleh sebagian besar anak secara
mandiri pada akhir periode prasekolah (Muscari, 2005).
Keberhasilan toilet training memberikan beberapa keuntungan bagi anak,
seperti dapat mengontrol buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB),
awal terbentuknya kemandirian sehingga anak bisa melakukan sendiri BAK
(Warga, 2007). Toilet training juga penting dalam perkembangan kepribadian
anak, karena toilet training merupakan latihan moral pertama kali yang
diterima anak dan sangat berpengaruh pada perkembangan moral selanjutnya
(Suherman, 2000).
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan program toilet training antara
lain motivasi orang tua dan kesiapan anak secara fisik, psikologis maupun
secara intelektual (Hidayat, 2008). Widayatun (1999 dalam Subagyo dkk,
2008) menjelaskan bahwa motivasi orang tua sendiri dipengaruhi oleh faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik merupakan dorongan yang
berasal dari dalam diri seseorang yaitu berupa pengetahuan, sikap, keadaan
mental, dan kematangan usia sedangkan faktor ekstrinsik yaitu berupa sarana,
prasarana, dan lingkungan (Subagyo dkk, 2008).
Pengetahuan orang tua terutama ibu sangat berperan dalam menciptakan
perilaku yang baik bagi anak-anaknya karena orang tua adalah cerminan bagi
anak. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Hidayat (2010) pada 58 ibu
yang memiliki anak usia prasekolah di TK Al-Azhar Medan menjelaskan
bahwa gambaran pengetahuan ibu tentang toilet training pada anak usia
prasekolah secara umum di tempat tersebut adalah baik (60,3%). Hal ini
diketahui dari kesuksesan anak dalam melakukan daytime control yaitu
mampu menjaga dan mengatur BAB dan BAK di toilet sepanjang hari, tanpa
menggunakan popok atau alat bantu lain. Hasil penelitian lain yang telah
dilakukan oleh Nursila (2007) pada 40 orang tua yang memiliki anak berusia
3-5 tahun menjelaskan bahwa keluarga dengan pengetahuan tinggi memiliki
memiliki 66,7% anak masih mengompol sehingga penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan pengetahuan orang tua dengan
kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah.
Proses toilet training yang dilakukan oleh orang tua dapat mengalami
kegagalan pada anak. Kegagalan toilet training mungkin disebabkan oleh
beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal dapat berupa
abnormalitas kongenital saluran kemih, infeksi saluran kemih, poliuria atau
neurogenic bladder (Hull, 2008) sedangkan faktor eksternal dapat berupa
faktor keluarga terutama orang tua dimana kurangnya perhatian dan
kepedulian orang tua sehingga toilet training ini terabaikan ataupun pelatihan
toilet training yang terlalu dini (Aziz, 2006).
Kegagalan toilet training yang disebabkan oleh toilet training yang terlalu
dini dapat beresiko menimbulkan infeksi saluran kemih (ISK) (Natalia, 2006).
Selain itu, kegagalan toilet training dapat menyebabkan anak kurang mandiri,
memiliki sikap egois, keras kepala, kikir, cenderung ceroboh, dan seenaknya
dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Hidayat, 2008). Menurut Aziz (2006)
kegagalan toilet training juga dapat menyebabkan anak mengalami enuresis
atau mengompol.
Enuresis atau mengompol adalah pengeluaran urin tanpa sengaja pada usia
dimana saat pengendalian pengeluaran urin seharusnya dapat dilakukan atas
kemauannya sendiri (Behrman dkk, 1999). Wong (2008) menyatakan
mengompol adalah keluarnya urin yang disengaja atau tidak disengaja di
tempat tidur (biasanya di malam hari) atau pada pakaian di siang hari dan
terhadap kandung kemih secara sadar. Menurut Hidayat (2008) mengompol
ini lebih dikenal dengan istilah Enuresis Fungsional yang merupakan
gangguan dalam pengeluaran urin secara tidak sadar pada siang atau malam
hari pada anak yang berusia lebih dari empat tahun tanpa adanya kelainan fisik
maupun penyakit organik.
Anak usia 3 tahun secara umum sudah mampu mengendalikan kandung
kemih pada siang hari dan sekitar 75% anak usia 3,5 tahun ini sudah tidak
mengompol pada malam hari, dikarenakan pengendalian mengompol pada
malam hari biasanya tercapai pada usia 2,5 – 3,5 tahun. Pada usia 4,5 tahun,
kurang lebih 88% anak sudah mampu mengendalikan kandung kemih secara
adekuat dan tidak mengompol lagi saat tidur malam. Anak usia 5 tahun akan
buang air kecil 5-8 kali sehari dan mereka akan menolak buang air kecil bila
bukan pada tempatnya dan sekitar 98,5% pada usia ini sudah mampu
mengendalikan kandung kemihnya secara sempurna (Noer, 2006). Hull (2008)
menyatakan bahwa sekitar 10% anak usia 5 tahun masih mengompol dan
bahkan kurang dari 5% masih mengompol pada usia 10 tahun. Behrman dkk
(1999) juga menyatakan bahwa prevalensi anak yang mengompol pada usia 5
tahun adalah 7% laki-laki dan 2% wanita.
Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati dkk (2007) pada anak usia
prasekolah (4-5 tahun) di TK Sekar Ratih Krembangan Jaya Selatan, Surabaya
menyatakan bahwa terdapat 52% anak mengompol dengan frekuensi sering
sekali, 4% sering, 36% jarang dan 8% sangat jarang. Kebiasaan mengompol
ini apabila berlangsung lama dan panjang, akan mengganggu pencapaian tugas
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti di
Rukun Tetangga (RT) 003 Rukun Warga (RW) 02 Kelurahan Babakan Kota
Tangerang pada tanggal 12 Februari 2012 kepada 10 orang ibu yang memiliki
anak usia prasekolah (3-6 tahun) secara random, didapatkan hasil bahwa 6
orang (60%) ibu tidak mengajarkan anak pergi ke toilet dan membiarkan
anaknya mengompol, 3 orang (30%) ibu telah menyuruh anaknya untuk pergi
ke toilet tetapi tetap saja anaknya masih mengompol, dan hanya 1 orang
(10%) ibu yang menyuruh dan mengajak anaknya pergi ke toilet dan diketahui
anaknya jarang mengompol.
Berdasarkan fenomena di atas dapat dilihat bahwa masih kurangnya
perhatian orang tua terutama ibu terhadap proses toilet training sehingga
masih banyak anak usia prasekolah (3-6 tahun) yang memiliki kebiasaan
mengompol di daerah tersebut, padahal pada usia 3-6 tahun ini seharusnya
anak sudah dapat melakukan buang air kecil secara mandiri di tempat yang
semestinya (toilet atau kamar mandi).
Kurangnya perhatian ibu menunjukkan perilaku ibu yang kurang peduli
terhadap proses toilet training. Perilaku tersebut mungkin disebabkan akibat
rendahnya tingkat pengetahuan ibu tentang toilet training. Hal ini sesuai
dengan teori Bloom yang dipaparkan oleh Notoatmodjo (1997 dalam Sunaryo,
2004) bahwa perilaku memiliki 3 domain yakni cognitive, affective dan
psychomotor, dimana cognitive domain diukur dari knowledge (pengetahuan).
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan
anak usia prasekolah (Piaget, 1969 dalam Wong, 2008) menunjukkan bahwa
anak usia tersebut mulai berpikir praoperasional bersifat konkret dan nyata.
Anak membutuhkan tindakan nyata karena mereka menginterpretasikan objek
dan peristiwa dari segi hubungan mereka terhadap objek tersebut, oleh karena
itu ibu harus mengajarkan toilet training kepada anak secara langsung dengan
mempraktekkannya dan anak disuruh mengikuti serta memahami perilaku
tersebut sehingga anak lebih termotivasi dan akhirnya anak mulai
menghilangkan kebiasaan mengompol.
Berdasarkan hal di atas dan dilihat pula besarnya dampak yang
ditimbulkan akibat kegagalan toilet training serta belum banyaknya penelitian
terkait toilet training dan kebiasaan mengompol maka peneliti merasa tertarik
untuk meneliti tentang “Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Ibu dalam
Menerapkan Toilet Training dengan Kebiasaan Mengompol Pada Anak Usia
Prasekolah di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang”.
Penelitian ini lebih memusatkan pada salah satu rukun warga yang ada di
wilayah Kelurahan Babakan Kota Tangerang karena sesuai dengan hasil studi
pendahuluan yang telah dilakukan bahwa terdapat sekitar 60% anak masih
mengompol di daerah tersebut.
B. Rumusan masalah
Toilet training merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu
mengontrol buang air kecil dan buang air besar (Hidayat, 2008). Kegagalan
toilet training dapat menyebabkan kerugian psikologis bagi anak dan dapat
mengompol adalah keluarnya urin yang disengaja atau tidak disengaja di
tempat tidur (biasanya di malam hari) atau pada pakaian di siang hari dan
terjadi pada anak-anak yang usianya secara normal telah memiliki kendali
terhadap kandung kemih secara sadar.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati dkk (2007) terhadap anak
usia prasekolah (4-5 tahun) menunjukkan sebanyak 52% anak mengompol
dengan frekuensi sering sekali. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah
dilakukan oleh peneliti di RT 003 RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang
pada tanggal 12 Februari 2012 kepada 10 orang ibu yang memiliki anak usia
prasekolah (3-6 tahun), didapatkan hasil bahwa 6 orang (60%) ibu tidak
mengajarkan anak pergi ke toilet dan membiarkan anaknya mengompol.
Tingginya angka anak prasekolah yang masih mengompol serta masih
kurangnya pengetahuan ibu tentang toilet training yang dicerminkan dari
perilaku yang salah seperti kurangnya perhatian dan kepedulian ibu terhadap
toilet training, membuat peneliti merumuskan masalah penelitian ini yakni
adakah hubungan antara pengetahuan dan perilaku ibu dalam menerapkan
toilet training dengan kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah (3-6
tahun) di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran karakteristik responden di RW 02 Kelurahan
Babakan Kota Tangerang ?
2. Bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang toilet training di RW 02
3. Bagaimana gambaran perilaku ibu dalam menerapkan toilet training di
RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang ?
4. Bagaimana gambaran kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah
(3-6 tahun) di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang ?
5. Adakah hubungan antara pengetahuan ibu tentang toilet training dengan
kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah (3-6 tahun) di RW 02
Kelurahan Babakan Kota Tangerang ?
6. Adakah hubungan antara perilaku ibu dalam menerapkan toilet training
dengan kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah (3-6 tahun) di
RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang ?
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pengetahuan dan perilaku ibu dalam
menerapkan toilet training dengan kebiasaan mengompol pada anak usia
prasekolah di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang.
2. Tujuan Khusus
a. Melihat gambaran karakteristik responden di RW 02 Kelurahan
Babakan Kota Tangerang.
b. Melihat gambaran pengetahuan ibu tentang toilet training di RW 02
Kelurahan Babakan Kota Tangerang.
c. Melihat gambaran perilaku ibu dalam menerapkan toilet training di
d. Melihat gambaran kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah di
RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang.
e. Mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu tentang toilet training
dengan kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah di RW 02
Kelurahan Babakan Kota Tangerang.
f. Mengetahui hubungan antara perilaku ibu dalam menerapkan toilet
training dengan kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah di
RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi ilmu pengetahuan
Menambah referensi tentang toilet training pada anak usia prasekolah.
2. Bagi profesi keperawatan
Dapat menjadi bahan referensi untuk pengembangan ilmu
keperawatan, terutama pada bidang keperawatan anak terkait toilet
training.
3. Bagi Kelurahan Babakan Kota Tangerang
Dapat menjadi bahan informasi sehingga dapat memberikan
penyuluhan kesehatan pada ibu dan anak.
4. Bagi peneliti
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang
penerapan toilet training pada anak usia prasekolah yang masih
5. Bagi peneliti selanjutnya
Dapat menjadi informasi tambahan atau gambaran untuk penelitian
selanjutnya yang berhubungan dengan penerapan toilet training pada
anak usia prasekolah.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan desain penelitian kuantitatif-analitik, dengan
metode cross sectional. Data dikumpulkan dengan cara penyebaran kuesioner
terkait pengetahuan dan perilaku ibu dalam menerapkan toilet training dengan
kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah (3-6 tahun). Populasi pada
penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki anak usia prasekolah (3-6
tahun) di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang dengan kriteria inklusi
sampel meliputi ibu yang memiliki anak prasekolah usia 3-6 tahun, bersedia
menjadi responden dan bertempat tinggal di wilayah RW 02 Kelurahan
Babakan Kota Tangerang. Teknik sampling yang digunakan adalah sampling
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Prasekolah
Pertumbuhan didefinisikan sebagai bertambahnya ukuran fisik dan
struktur tubuh seseorang karena bertambahnya jumlah dan besarnya sel secara
kuantitatif, seperti pertambahan ukuran berat badan, tinggi badan dan lingkar
kepala. Perkembangan didefinisikan sebagai pertambahan kematangan fungsi
dari masing-masing tubuh dan bersifat kualitatif, seperti kemampuan anak
untuk tengkurap, duduk, berjalan, berbicara, memungut benda-benda di
sekelilingnya, serta kematangan emosi dan sosial anak (Nursalam, 2008).
Menurut Wong (2008) Perkembangan diartikan sebagai perubahan dan
perluasan secara bertahap, perkembangan tahap kompleksitas dari yang lebih
rendah ke yang lebih tinggi, peningkatan dan perluasan kapasitas seseorang
melalui pertumbuhan, maturasi dan pembelajaran.
Anak usia prasekolah termasuk dalam masa kanak-kanak awal yang terdiri
dari anak usia 3 sampai 6 tahun (Wong, 2008). Perkembangan pada masa ini
sangat penting, dimana masa ini merupakan masa emas atau “golden age”.
Berdasarkan beberapa teori pertumbuhan dan perkembangan anak maka
pertumbuhan dan perkembangan anak usia prasekolah meliputi :
1. Pertumbuhan Fisik
Secara umum anak usia prasekolah yang sehat adalah anak yang
ramping, periang dan cekatan serta memiliki sikap tubuh yang baik.
misalnya, rata-rata anak usia 4 tahun adalah 101,25 cm. Pertambahan berat
badan rata-rata adalah 2,3 kg per tahun, misalnya berat badan rata-rata
anak usia 4 tahun adalah 16,8 kg (Muscari, 2005).
Volume berkemih pada usia ini rata-rata 500 sampai 1000 mL/hari.
Anak usia prasekolah sudah mulai terlatih untuk toileting dan sudah
mampu melakukan toilet training dengan mandiri pada akhir periode
prasekolah. Beberapa anak mungkin masih mengompol di celana dan
sebagian besar lupa untuk mencuci tangannya untuk membilas (Muscari,
2005 dan Supartini, 2004).
Seorang anak tidak dapat mengontrol buang air kecilnya secara total
sampai dia berusia 4 atau 5 tahun. Anak laki-laki umumnya lebih lambat
mengontrol buang air kecil daripada anak perempuan. Pengontrolan
berkemih di siang hari lebih mudah dicapai daripada pengontrolan
berkemih di malam hari dan terjadi lebih dini pada proses perkembangan
anak, biasanya pada usia 2 tahun (Potter & Perry, 2005).
Anak dalam fase usia ini seharusnya sudah mampu mengenali
penuhnya kandung kemih mereka, menahan urin selama 1 sampai 2 jam
dan mengomunikasikan keinginannya untuk berkemih kepada orang
dewasa. Anak kecil memerlukan pengertian, kesabaran dan konsistensi
orang tuanya (Potter & Perry, 2005).
2. Perkembangan Motorik
Perkembangan motorik dibagi menjadi 2 jenis, yaitu motorik kasar dan
bertambah baik, misalnya anak sudah dapat melompat dengan satu kaki,
melompat dan berlari lebih lancar serta dapat mengembangkan
kemampuan olahraga seperti meluncur dan berenang (Muscari, 2005).
Perkembangan motorik halus menunjukkan perkembangan utama yang
ditunjukkan dengan meningkatnya kemampuan menggambar, misalnya
pada usia 3 tahun, anak dapat membangun menara dengan 9 atau 10 balok,
membuat jembatan dari 3 balok, meniru bentuk lingkaran, dan
menggambar tanda silang (Muscari, 2005).
Fase usia ini anak tetap beresiko pada cedera meskipun tidak terlalu
rentan seperti anak toddler, namun orang tua dan orang dewasa lainnya
harus tetap menekankan tindakan keamanan. Anak usia prasekolah ini
mendengarkan orang dewasa, mampu memahami serta memperhatikan
tindakan pencegahan karena anak usia ini merupakan pengamat yang
cermat dan meniru orang lain sehingga orang dewasa perlu “melakukan
apa yang mereka ajarkan” tentang masalah keamanan (Muscari, 2005).
3. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif (berpikir) sudah mulai menunjukkan
perkembangan. Anak sudah mempersiapkan diri untuk memasuki sekolah,
tampak sekali kemampuan anak belum mampu menilai sesuatu
berdasarkan apa yang mereka lihat. Anak membutuhan pengalaman
belajar dengan lingkungan dan orang tuanya (Hidayat, 2007).
Berdasarkan teori Kognitif Piaget (1969 dalam Muscari, 2005)
praoperasional karena tahapan ini dimulai dari usia 2 tahun sampai 7
tahun. Tahapan ini memiliki dua fase yakni prakonseptual dan intuitif,
yaitu :
a. Fase prakonseptual (usia 2-4 tahun) yakni anak membentuk konsep
yang kurang lengkap dan logis dibandingkan dengan konsep orang
dewasa. Anak membuat klasifikasi yang sederhana, menghubungkan
satu kejadian dengan kejadian yang simultan (penalaran transduktif
misalnya semua wanita yang berperut besar pasti hamil) dan anak
menampilkan pemikiran egosentrik. Wong (2008) menyatakan bahwa
egosentrisme merupakan ciri yang menonjol pada tahap ini dalam
perkembangan intelektual, hal ini bukan berarti egois atau berpusat
pada diri sendiri, tetapi ketidakmampuan untuk menempatkan diri di
tempat orang lain. Selain itu, pada usia ini pemikiran mereka
didominasi oleh apa yang mereka lihat, dengar, atau alami.
b. Fase intuitif (usia 4-7 tahun) yakni anak mulai menunjukkan proses
berpikir intuitif (anak menyadari bahwa sesuatu adalah benar, tetapi
tidak dapat mengatakan/mengetahui alasan untuk melakukannya),
mampu membuat klasifikasi, menjumlahkan, menghubungkan
objek-objek, dan mampu menginterpretasikan objek dan peristiwa dari segi
hubungan mereka atau penggunaan mereka terhadap objek tersebut
serta mulai menggunakan banyak kata yang sesuai, tetapi kurang
memahami makna sebenarnya, misalnya anak usia 3 tahun rata-rata
telah mengucapkan 900 kata, berbicara kalimat dengan tiga atau empat
4. Perkembangan Psikoseksual
Freud (1905 dalam Wong, 2008) menyatakan bahwa anak usia
prasekolah termasuk ke dalam tahap falik dimana kepuasan anak berpusat
pada genitalia dan masturbasisehingga genitalia menjadi area tubuh yang
menarik dan sensitif. Anak mulai mempelajari adanya perbedaan jenis
kelamin perempuan dan laki-laki dengan mengetahui adanya perbedaan
alat kelamin. Anak sering meniru ibu atau bapaknya untuk memahami
identitas gender, misalnya dengan menggunakan pakaian ayah dan ibunya
(Supartini, 2004).
Banyak anak yang melakukan masturbasi pada usia ini untuk
kesenangan fisiologis dan membentuk hubungan yang kuat dengan orang
tua lain jenis, tetapi mengidentifikasi orang tua sejenis. Anak usia
prasekolah merupakan pengawas yang cermat tetapi kemampuan
interpretasinya buruk sehingga anak dapat mengenali tetapi tidak dapat
memahami aktivitas seksual. Apabila anak menanyakan tentang seks maka
orang tua harus menjawab pertanyaan mengenai seks dengan sederhana
dan jujur, hanya memberikan informasi yang anak tanyakan dan
penjelasan lebih rincinya dapat diberikan nanti serta sebelum menjawab
pertanyaan anak, orang tua harus mengklarifikasi kembali apa yang
sebenarnya ditanyakan dan dipikirkan anak tentang subjek spesifik
(Muscari, 2005).
Anak usia prasekolah ini mengalami fase yang ditandai dengan
kecemburuan dan persaingan terhadap orang tua sejenis dan cinta terhadap
biasanya berakhir pada akhir periode usia prasekolah dengan identifikasi
kuat pada orang tua sejenis (Freud, 1905 dalam Muscari, 2005).
5. Perkembangan Psikososial
Berdasarkan teori Psikososial Erikson (1963 dalam Muscari, 2005)
menyatakan bahwa krisis yang dihadapi anak usia antara 3 dan 6 tahun
disebut “inisiatif versus rasa bersalah”, yakni anak berupaya menguasai
perasaan inisiatif dengan dukungan orang tua dalam imajinasi dan
aktivitas karena orang terdekat anak usia prasekolah adalah keluarga.
Wong (2008) menyatakan bahwa tahap inisiatif ini berkaitan dengan tahap
falik Freud dan dicirikan dengan perilaku yang instrusif dan penuh
semangat, berani berupaya, dan imajinasi yang kuat. Anak-anak
mengeksplorasi dunia fisik dengan semua indera dan kekuatan mereka.
Mereka membentuk suara hati dan tidak lagi hanya dibimbing oleh pihak
luar, terdapat suara dari dalam yang memperingatkan dan mengancam.
Perkembangan inisiatif ini diperoleh dengan cara mengkaji lingkungan
melalui kemampuan inderanya. Anak mengembangkan keinginan dengan
cara eksplorasi terhadap apa yang ada disekelilingnya. Hasil akhir yang
diperoleh adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu sebagai
prestasi, arahan dan tujuan (Supartini, 2004 dan Wong, 2008).
Perasaan bersalah akan timbul pada anak apabila anak tidak mampu
berprestasi sehingga merasa tidak puas atas perkembangan yang tidak
tercapai (Supartini, 2004).Perasaan bersalah pun muncul ketika orang tua
diterima. Ansietas dan ketakutan terjadi ketika pemikiran dan aktivitas
anak tidak sesuai dengan harapan orang tua (Muscari, 2005).
Hubungan anak dengan orang lain semakin meluas pada masa ini.
Anak tidak saja menjalin hubungan dengan orang tua, tetapi juga dengan
kakek-nenek, saudara kandung, dan guru-guru di sekolah. Anak perlu
melakukan interaksi yang teratur dengan teman sebaya untuk membantu
mengembangkan keterampilan sosial (Muscari, 2005).
6. Perkembangan Moral
Perkembangan moral anak usia prasekolah sudah menunjukkan adanya
rasa inisiatif, konsep diri yang positif serta mampu mengidentifikasi
identitas dirinya (Hidayat, 2007). Supartini (2004) menjelaskan bahwa
anak usia ini secara psikologis mulai berkembang superego, yaitu anak
mulai berkurang sifat egosentrisnya (Supartini, 2004).
Kohlberg (1968 dalam Wong, 2008) menyatakan bahwa usia ini
termasuk ke dalam tahap prakonvensional, yakni anak-anak
mengintegrasikan label baik/buruk dan benar/salah yang terorientasi
secara budaya dalam konsekuensi fisik atau konsekuensi menyenangkan
dari tindakan mereka.
Awalnya anak-anak menetapkan baik atau buruknya suatu tindakan
dari konsekuensi tindakan tersebut. Mereka menghindari hukuman dan
mematuhi tanpa mempertanyakan siapa yang berkuasa untuk menentukan
bahwa perilaku yang benar terdiri atas sesuatu yang memuaskan
Unsur-unsur keadilan, memberi dan menerima serta pembagian yang adil juga
terlihat pada tahap ini, namun hal tersebut diinterpretasikan dengan cara
yang sangat praktis dan konkret tanpa kesetiaan, rasa terima kasih, atau
keadilan (Wong, 2008).
Perasaan bersalah muncul pada tahap ini dan penekanannya adalah
pada pengendalian eksternal. Standar moral anak usia ini adalah apa yang
ada pada orang lain, dan anak mengamati mereka untuk menghindari
hukuman atau mendapatkan penghargaan (Muscari, 2005).
B. Toilet Training 1. Pengertian
Toilet training merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu
mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar
(Hidayat, 2008). Menurut Suherman (2000) toilet training merupakan
latihan moral yang pertama kali diterima anak dan sangat berpengaruh
pada perkembangan moral anak selanjutnya. Berdasarkan pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa toilet training merupakan upaya dalam
melakukan buang air kecil dan buang air besar di toilet, dimana pelatihan
ini dapat membentuk moral anak.
2. Kesiapan Toilet Training
Ada beberapa kesiapan anak yang perlu dikaji baik kesiapan fisiologis
maupun kesiapan psikologis sebelum anak memulai toilet training (Wong,
a. Kesiapan fisik
1) Kontrol volunter sfingter anal dan uretral, biasanya pada usia 18
sampai 24 bulan.
2) Mampu tidak mengompol selama 2 jam, jumlah popok yang basah
berkurang, tidak mengompol selama tidur siang.
3) BAB teratur.
4) Keterampilan motorik kasar yaitu duduk, berjalan, dan berjongkok.
5) Keterampilan motorik halus yaitu membuka pakaian.
b. Kesiapan Mental
1) Mengenali urgensi BAB atau BAK.
2) Keterampilan komunikasi verbal atau nonverbal untuk
menunjukkan saat basah atau memiliki urgensi BAB atau BAK.
3) Keterampilan kognitif untuk menirukan perilaku yang tepat dan
mengikuti perintah.
c. Kesiapan Psikologis
1) Mengekspresikan keinginan untuk menyenangkan orang tua.
2) Mampu duduk di toilet selama 5 sampai 10 menit tanpa bergoyang
atau terjatuh.
3) Keingintahuan mengenai kebiasaan toilet orang dewasa atau kakak.
4) Ketidaksabaran akibat popok yang kotor oleh feses atau basah;
ingin untuk segera diganti.
d. Kesiapan Orang tua
1) Mengenali tingkat kesiapan anak.
3) Ketiadaan stress atau perubahan keluarga, seperti perceraian,
pindah rumah, sibling baru, atau akan bepergian.
3. Teknik Mengajarkan Toilet Training
Berikut ini beberapa teknik yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam
melatih anak buang air kecil dan buang air besar setelah orang tua
mengetahui tanda-tanda kesiapan anak melakukan toilet training yaitu :
a. Teknik Lisan
Teknik lisan merupakan usaha untuk melatih anak dengan cara
memberikan instruksi pada anak dengan kata-kata sebelum atau
sesudah buang air kecil dan besar. Teknik lisan ini mempunyai nilai
yang cukup besar dalam memberikan rangsangan untuk buang air kecil
atau buang air besar, dimana dengan lisan ini persiapan psikologis
pada anak akan semakin matang dan akhirnya anak mampu dengan
baik dalam melaksanakan buang air kecil dan buang air besar
(Hidayat, 2008).
b. Teknik Modelling
Teknik modelling merupakan usaha melatih anak dalam melakukan
buang air kecil atau buang air besar dengan memberikan contoh,
seperti menggunakan boneka (Hidayat, 2008 dan Warner, 2006).
Teknik ini memiliki kekurangan yakni apabila contoh yang diberikan
salah sehingga akan dapat diperlihatkan pada anak akhirnya anak juga
mempunyai kebiasaan yang salah (Hidayat, 2008). Untuk itu,
c. Teknik pemilihan tempat duduk untuk eliminasi, misalnya :
1) Tempat duduk berlubang (potty chair) dan/atau penggunaan toilet.
Tempat duduk berlubang untuk eliminasi yang tidak ditopang oleh
benda lain memungkinkan anak merasa aman (Stark, 1994 dalam
Wong, 2008).
2) Tempat duduk portable yang diletakkan di atas toilet biasa, yang
memudahkan transisi dari kursi berlubang untuk eliminasi ke toilet
biasa dan menempatkan bangku panjang yang kecil di bawah kaki
untuk membantu menstabilkan posisi anak (Wong, 2008).
3) Menempatkan kursi berlubang untuk eliminasi di kamar mandi dan
membiarkan anak mengamati ekskresinya ketika dibilas ke dalam
toilet untuk menghubungkan aktivitas ini dengan praktik yang
biasa (Wong, 2008).
d. Teknik yang lain adalah :
1) Menghadapkan anak ke tangki toilet memberi dukungan tambahan.
Anak lelaki biasa memulai toilet training dalam posisi berdiri atau
duduk di kursi berlubang untuk eliminasi di toilet. Anak meniru
perilaku ayahnya dalam BAK selama masa prasekolah merupakan
dorongan motivasi yang sangat kuat bagi anak untuk melakukan
toilet training (Wong, 2008).
2) Melakukan observasi pada saat anak merasakan BAK dan BAB.
3) Ajak anak ke kamar mandi.
5) Dudukkan anak di atas pispot atau orang tua duduk atau jongkok
dihadapannya sambil mengajak bicara atau bercerita.
6) Berikan pujian jika anak berhasil, namun apabila gagal jangan
disalahkan dan dimarahi.
7) Biasakan akan pergi ke toilet pada jam-jam tertentu.
8) Beri anak celana yang mudah dilepas dan dipasangkan kembali
(Hidayat, 2008).
Sesi latihan ini harus dibatasi 5 sampai 10 menit, orang tua harus
menunggu anaknya dalam melakukan toilet training dan kebiasaan sanitasi
harus dilakukan setiap kali selesai eliminasi (Wong, 2008).
Teknik-teknik di atas merupakan bentuk nyata dari perilaku orang tua
dalam melatih anak buang air kecil maupun buang air besar secara mandiri
di toilet atau kamar mandi.
4. Hal yang perlu Diperhatikan Selama Toilet Training
Menurut Hidayat (2008) dalam melakukan pengkajian kebutuhan
buang air kecil dan besar, terdapat beberapa hal-hal yang perlu
diperhatikan selama toilet training, diantaranya :
a. Hindari pemakaian popok sekali pakai atau diaper dimana anak akan
merasa aman.
b. Ajari anak mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan buang
air besar, misalnya “pup” dan buang air kecil, misalnya “pipis”.
c. Mendorong anak melakukan rutinitas ke kamar mandi seperti cuci
d. Jangan marah bila anak gagal dalam melakukan toilet training.
5. Dampak Keberhasilan Toilet Training
Seorang anak yang berhasil melakukan toilet training memiliki
beberapa keuntungan sebagai berikut :
a. Anak memiliki kemampuan mengontrol BAK dan BAB.
b. Anak memiliki kemampuan menggunakan toilet pada saat ingin BAK
atau BAB.
c. Toilet training menjadi awal terbentuknya kemandirian anak secara
nyata sebab anak sudah bisa melakukan sendiri hal-hal seperti BAB
atau BAK.
d. Toilet training membuat anak dapat mengetahui bagian-bagian tubuh
serta fungsinya (Warga, 2007).
6. Dampak Kegagalan Toilet Training
Kegagalan dalam melakukan toilet training ini memiliki dampak yang
kurang baik pada anak seperti anak akan terganggu kepribadiannya,
misalnya anak cenderung bersifat retentive dimana anak cenderung
bersikap keras kepala bahkan kikir. Sikap tersebut dapat disebabkan oleh
sikap orang tua yang sering memarahi anak pada saat buang air besar atau
buang air kecil atau melarang anak saat bepergian. Apabila orang tua
santai dalam memberikan aturan dalam toilet training maka anak akan
dapat mengalami kepribadian eksprensif dimana anak lebih tega,
dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Hidayat, 2008). Kegagalan toilet
training pun akan menyebabkan anak mengalami enuresis atau
mengompol (Aziz, 2006).
C. Kebiasaan Mengompol 1. Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008) kebiasaan
adalah sesuatu yang biasa dikerjakan dan dilakukan secara berulang untuk
hal yang sama. Mengompol dalam istilah medis disebut enuresis (Aziz,
2006). Enuresis atau mengompol adalah pengeluaran urin tanpa sengaja
pada umur dimana saat pengendalian pengeluaran urin seharusnya dapat
dilakukan atas kemauannya sendiri (Behrman dkk, 1999). Wong (2008)
enuresis adalah keluarnya urin yang disengaja atau tidak disengaja di
tempat tidur (biasanya di malam hari) atau pada pakaian di siang hari dan
terjadi pada anak-anak yang usianya secara normal telah memiliki kendali
terhadap kandung kemih secara sadar.
Menurut Hidayat (2008) mengompol ini lebih dikenal dengan istilah
Enuresis Fungsional yang merupakan gangguan dalam pengeluaran urin
yang involunter pada siang atau malam hari pada anak yang berumur lebih
dari empat tahun tanpa adanya kelainan fisik maupun penyakit organik.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV
(DSM-IV) (American Psychiatric Assosiation (APA), 1994 dalam Daulay, 2008)
a. Buang air kecil yang berulang pada siang dan malam hari di tempat
tidur atau pakaian.
b. Buang air kecil yang sebagian besar tidak disengaja, tetapi
kadang-kadang disengaja. Sekurang-kurangnya terjadi 2 kali dalam 1 minggu
selama ≥ 3 bulan, atau harus menyebabkan kesulitan yang signifikan di
bidang sosial, akademik atau fungsi penting lainnya.
c. Anak tersebut harus mencapai usia dimana berkemih secara normal
seharusnya telah dicapai, yaitu usia kronologis paling sedikit 5 tahun
sedangkan pada anak dengan keterlambatan perkembangan, usia
mental paling sedikit 5 tahun.
d. Enuresis yang terjadi pada anak tidak berhubungan dengan efek
fisiologis dari suatu zat atau kondisi kesehatan secara umum
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebiasaan
mengompol (enuresis) merupakan perilaku atau tindakan yang sering
dilakukan anak dalam pengeluaran urin dengan sengaja atau tidak sengaja
tanpa adanya latihan buang air kecil meskipun secara normal telah
memiliki kendali terhadap kandung kemih dan tanpa adanya gangguan
organik.
2. Penyebab
Berikut ini adalah penyebab yang mengakibatkan timbulnya masalah
mengompol yakni :
a. Faktor organik, termasuk gangguan struktural saluran kemih, infeksi
haluaran urin, seperti pada gagal ginjal kronis atau penyakit sel sabit.
Volume kandung kemih anak berkisar antara 300 sampai 350 ml
adalah cukup untuk menahan urin pada malam hari. Kapasitas kandung
kemih anak dapat ditentukan dengan cara meminta anak untuk
berkemih di dalam gelas ukur setelah menahan urin selama mungkin.
Kapasitas kandung kemih normal (dalam ons) adalah usia anak
ditambah 2, misalnya kapasitas normal kandung kemih anak berusia 6
tahun adalah 8 ons (Wong, 2008).
b. Faktor emosional. Menurut Aziz (2006) gangguan emosional dapat
muncul di rumah atau sekolah, akibatnya anak merasa tidak nyaman
dan mengalami ketegangan yang tinggi sehingga dapat memicu anak
mengompol.
c. Faktor keluarga. Enuresis memiliki kecenderungan keluarga yang kuat
(Wong, 2008).
d. Pelatihan buang air (toilet training) yang tidak tepat, misalnya orang
tua yang terlalu cepat memberikan pelatihan buang air kecil dapat
menyebabkan anak mengalami gangguan mengompol atau orang tua
yang mengabaikan toilet training, misalnya kurang perhatian dan
kepedulian pada anak sehingga menyebabkan anak menjadi
mengompol karena mereka merasa mendapat perhatian walaupun
sebentar (Aziz, 2006). Menurut Behrman dkk (1999) salah satu contoh
toilet training yang tidak tepat misalnya, orang tua yang menuntut
secara paksa anak dilatih buang air segera dapat menimbulkan respons
Namun, orang tua yang tidak cukup dekat pada kebutuhan anak untuk
memberikan dukungan secara tepat latihan buang air juga dapat
mengurangi upaya anak untuk menahan kencing.
e. Stres psikologis kronik. Keadaan ini tidak terkait dengan pengalaman
pelatihan buang air tapi terjadi selama periode anak belajar berjalan,
juga dapat mengganggu kemampuan anak untuk mengontrol BAK
(Behrman dkk, 1999).
f. Stres sosial, seperti kepadatan penghuni yang berlebihan, imigrasi,
ketidakberuntungan sosioekonomi, dan kondisi psikopatologi keluarga
(Behrman dkk, 1999).
3. Jenis Enuresis
Enuresis dapat dibagi menjadi 2 tipe, yakni :
a. Menetap (atau enuresis primer), yakni pada malam hari anak tidak
pernah kering (selalu mengompol) (Behrman, 1999). Menurut Aziz
(2006) bahwa tipe ini disebut enuresis nokturnal (mengompol yang
terjadi di malam hari). Enuresis tetap pada malam hari ini sering akibat
pelatihan buang air tidak tepat atau tidak memadai. Enuresis nokturnal
terbukti terjadi pada seluruh siklus tidur. Enuresis nokturnal biasanya
berhenti pada usia antara 6 dan 8 tahun, walaupun kadang-kadang
mengompol ini berlanjut sampai masa remaja (Wong, 2008).
b. Regresif (atau enuresis sekunder), yakni anak yang telah dapat
mengendalikan untuk sekurang-kurangnya 1 tahun mulai mengompol
enuresis diurnal (mengompol yang terjadi di siang hari). Tipe ini
dipercepat oleh peristiwa-peristiwa lingkungan yang penuh tekanan,
seperti pindah ke rumah baru, konflik perkawinan, kelahiran saudara
kandung, atau kematian dalam keluarga. Mengompol demikian adalah
sebentar-sebentar (intermitten) dan sementara; prognosisnya lebih baik
dan penatalaksanaannya lebih mudah daripada anak dengan
mengompol primer (Behrman dkk, 1999).
4. Faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Mengompol
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebiasaan
mengompol pada anak adalah sebagai berikut :
a. Faktor biologis
Faktor biologis ini meliputi faktor organik dan faktor
keturunan/genetik. Faktor organik misalnya kerusakan saraf
kongenital, masalah struktural pada sistem genitourinari, infeksi
saluran kemih atau kandung kemih dan beberapa penyakit kronik
seperti diabetes, kejang atau penyakit sel sabit “sickle cell disease”
dapat menyebabkan anak mengalami enuresis (Walker, 1995 dalam
Schroeder, 2002).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa ahli
menunjukkan bahwa enuresis primer bisa terjadi akibat faktor
keturunan. Apabila kedua orang tua mempunyai riwayat enuresis maka
77% kemungkinan anak mereka mengalami hal yang sama. Apabila
sekitar 44% kemungkinan anak akan terpengaruh. Namun, apabila
tidak ada satupun orang tua yang pernah mengalami enuresis, maka
kemungkinan anak terkena enuresis hanya 15% (Baldew, 1984 dalam
Kurniawati dkk, 2007). Berdasarkan penelitian lain, anak beresiko
mengalami enuresis secara genetik dikarenakan adanya mutasi gen
pada kromosom 13 (DSM-IV-TR, 2000).
b. Faktor psikologis
Enuresis merupakan hasil dari gangguan emosi, konflik psikologis
atau ansietas (Pierce, 1971 dalam Schroeder, 2002). Menurut
Tambunan (2005 dalam Daulay, 2008) bahwa enuresis sekunder sering
dihubungkan sebagai akibat stres psikologik sedangkan pada enuresis
primer peranan psikologik sangat kecil. Stres psikologik dapat berupa
pindah ke rumah baru, konflik perkawinan, kelahiran saudara kandung,
atau kematian dalam keluarga (Aziz, 2006).
Peranan enuresis sebagai penyebab gangguan emosi pada anak
telah terbukti melalui berbagai penelitian. Anak dengan enuresis
merasa harga dirinya berkurang dan kurang percaya diri terutama pada
anak yang sudah besar dan anak perempuan. Menurunnya rasa percaya
diri pasien enuresis dapat diperberat oleh sikap orang tua yang kurang
toleran terhadap keadaan anaknya (Tambunan, 2005 dalam Daulay,
c. Faktor keluarga
Perkembangan intelektual anak yang berjalan dengan pesat pada
masa usia prasekolah akan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan
(Hurlock, 1974 dalam Sulistyaningsih, 2005). Keluarga merupakan
lingkungan terdekat bagi anak, terutama orang tua khususnya ibu
(Muscari, 2005). Ibu berperan sebagai pendidik pertama dan utama
dalam keluarga sehingga ibu perlu dibekali pengetahuan dan
keterampilan agar mengerti dan terampil dalam melaksanakan
pengasuhan anak sehingga dapat bersikap positif dalam membimbing
tumbuh kembang anak secara baik dan sesuai dengan tahap
perkembangannya (Soendjajo, 2003 dalam Dwijayanti, 2008).
Pengetahuan yang dimiliki oleh ibu dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti usia, pekerjaan, tingkat pendidikan, dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2003)
Faktor tingkat pendidikan orang tua merupakan sesuatu yang besar
pengaruhnya terhadap perkembangan anak (Hurlock, 1974 dan
Haditono, 1979 dalam Sulistyaningsih, 2005). Tingkat pendidikan
orang tua ini berkorelasi positif dengan cara mereka mengasuh anak,
sementara pengasuhan anak berhubungan dengan perkembangan anak.
Hal ini berarti semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua akan
semakin baik pula cara pengasuhan anak, dan akibatnya perkembangan
anak terpengaruh berjalan secara positif. Sebaliknya, semakin rendah
sehingga perkembangan anak berjalan kurang menguntungkan
(Sulistyaningsih, 2005).
Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa ibu
dengan cukup usia memiliki tingkat kematangan dalam berpikir dan
bekerja (Hurlock, 1998 dalam Nursalam dan Pariani, 2001). Selain itu,
tingkat pendidikan mempengaruhi seberapa besar pengetahuan ibu
dalam hal ini adalah penerapan toilet training dalam upaya mengatasi
kebiasaan mengompol anak. Menurut DSM IV orang tua yang
memiliki anak yang mengompol biasanya kurang memperhatikan
proses toilet training, bahkan cenderung menyalahkan anaknya jika
anak mengompol sehingga semakin membuat anak menjadi tertekan,
bahkan anak berusaha menyembunyikan celana atau linennya jika anak
mengompol, karena takut dimarahi atau disalahkan (DSM-IV-TR,
2000).
5. Penatalaksanaan
Berikut ini beberapa cara untuk menghilangkan atau mengatasi
kebiasaan mengompol adalah sebagai berikut :
a. Obat-obatan, misalnya :
1) Obat antidepresan trisiklik imipramin (Tofranil) digunakan untuk
menghambat urinasi,
2) Obat antikolinergik lain, yaitu oksibutinin, mengurangi kontraksi
kandung kemih yang bebas hambatan dan mungkin membantu bagi
3) Desmopresin nasal semprot (DDAVP), analog dengan vasopressin,
mengurangi haluaran urin di malam hari sampai volume yang
kurang dari kapasitas kandung kemih fungsional (Wong, 2008).
b. Pelatihan kandung kemih, sebaiknya jangan dilakukan terlalu dini
tetapi tidak mengabaikan toilet training juga (Aziz, 2006).
c. Pembatasan atau eliminasi cairan setelah makan malam (Wong, 2008).
d. Bangun di malam hari untuk berkemih. Cara ini perlu diperhatikan
karena membangunkan anak secara berulang-ulang untuk
mengantarkannya ke kamar mandi adalah berguna hanya pada
beberapa anak dan lebih lanjut dapat menimbulkan dan
membangkitkan amarah pada anak atau orang tua. Agar dapat
menghindari masalah tersebut dapat dilakukan dengan cara mengontrol
buang air kecil anak dengan lebih baik, misalnya dalam waktu-waktu
tertentu, setiap jarak berapa jam membangunkan anak untuk diantar ke
kamar mandi (Aziz, 2006).
e. Beberapa jenis peralatan elektrik yang dirancang untuk membuat
respon refleks yang dapat dikondisikan guna membangunkan anak
pada saat mulai berkemih (Wong, 2008).
f. Pemberian hadiah/imbalan pada anak untuk tidak mengompol pada
malam hari, misalnya orang tua memberikan hadiah kecil untuk anak
yang tidak mengompol pada satu atau dua malam; jika
keberhasilannya semakin meningkat maka hadiah yang lebih besar
g. Hukuman atau penghinaan terhadap anak oleh orang tua atau orang
lain harus benar-benar dihindari (Behrman dkk, 1999). Cara ini harus
dihindari karena orang tua yang menghukum dan memarahi anak jika
anak mengompol tidak akan memperbaiki keadaan karena akan
membuat anak merasa cemas dan merasa bersalah, akibatnya muncul
ketegangan sehingga anak megalami kebiasaan mengompol (Aziz,
2006).
h. Mengajak bicara anak bahwa mengompolnya bukanlah suatu penyakit,
tetapi hanya kebiasaan anak kecil yang dapat diperbaiki jika anak mau
berusaha. Apabila anak sudah dapat diajak bicara, akan lebih
mempermudah penanganannya karena kunci untuk menyelesaikan
semua masalah adalah pada cara mengomunikasikan masalah itu
sendiri. Orang tua harus mampu mengomunikasikan kebiasaan buruk
anak ini dengan penuh kasih sayang dan perhatian sehingga anak
memiliki hasrat yang kuat untuk keluar dari kebiasaan itu (Aziz, 2006).
i. Mencari sumber stres anak. Tindakan ini dilakukan apabila semua
tindakan sudah dilakukan. Apabila sudah ditemukan sumber stres anak
maka tindakan orang tua dan guru adalah menurunkan tingkat stres
anak. Untuk itu, diperlukan kedekatan dengan anak (Aziz, 2006).
j. Memberikan kasih sayang dan ketenangan anak sebelum tidur.
Berbincang-bincang atau mendongeng akan membuat anak merasa
nyaman dan tidur dengan perasaan santai dan senang (Aziz, 2006).
k. Pemberlakuan konsekuensi untuk anak yang sudah cukup mampu