• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Ibu dalam Menerapkan Toilet Training dengan Kebiasaan Mengompol pada Anak Usia Prasekolah di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Ibu dalam Menerapkan Toilet Training dengan Kebiasaan Mengompol pada Anak Usia Prasekolah di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

DENGAN KEBIASAAN MENGOMPOL

PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DI RW 02

KELURAHAN BABAKAN KOTA TANGERANG

Skripsi Diajukan Sebagai Tugas Akhir Strata-1 (S-1) pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Oleh :

SRI FITDIYAH NINGSIH

108104000056

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

v

Nama : SRI FITDIYAH NINGSIH

Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 15 April 1989

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl. Perintis Kemerdekaan Gg. Teladan IV RT 003 RW 02 No. 6 Babakan – Tangerang 15118

Anak ke : 3 dari 3 bersaudara

Telepon : 085693641348

E-mail : clievied_niezs@yahoo.comatau

srifitdiyah@gmail.com

Riwayat Pendidikan :

1. TK Al- Husna Kota Tangerang tahun 1993-1995

2. SD Negeri Tangerang 2 tahun 1995-2001

3. Madrasah At-Taqwa Tangerang tahun 1997-2001

4. SMP Negeri 17 Tangerang tahun 2001-2004

5. SMA Negeri 7 Tangerang tahun 2004-2007

6. S1 Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008-2012

Pengalaman Organisasi :

1. Anggota Pramuka SMP Negeri 17 Tangerang tahun 2001-2004

2. Bendahara OSIS SMP Negeri 17 Tangerang tahun 2002-2003

3. Anggota Paskibra SMA Negeri 7 Tangerang tahun 2004-2007

4. Bendahara OSIS SMA Negeri 7 Tangerang tahun 2005-2006

5. Staf Divisi Infokom BEMJ Ilmu Keperawatan tahun 2009-2010.

6. Ketua Departemen Informasi dan Komunikasi BEMJ Ilmu Keperawatan

(7)

vi Skripsi, September 2012

Sri Fitdiyah Ningsih, NIM: 108104000056

Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Ibu dalam Menerapkan Toilet Training dengan Kebiasaan Mengompol pada Anak Usia Prasekolah

di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang

xxi + 110 halaman +16 tabel+ 2 gambar+ 5 lampiran

ABSTRAK

Kebiasaan mengompol merupakan kondisi yang sering terjadi pada anak usia prasekolah, padahal pada usia ini anak sudah dapat mengontrol buang air kecilnya. Salah satu upaya mengatasi kebiasaan ini adalah toilet training. Agar penerapan toilet training berjalan baik, perlu adanya pemahaman dan tindakan yang nyata tentang toilet training dari orang tua terutama ibu, karena ibu adalah orang terdekat bagi anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dan perilaku ibu dalam menerapkan toilet training dengan kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan metode cross sectional. Sampel yang digunakan sebanyak 82 responden. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik total sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner, kemudian data dianalisis menggunakan uji chi square dengan komputerisasi. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang toilet training dengan kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah (p = 0,232) dan ada hubungan antara perilaku ibu dalam menerapkan toilet training dengan kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah (p = 0,041). Agar anak dapat mengatasi kebiasaan mengompolnya maka perlu adanya penerapan toilet training yang baik oleh ibu.

Kata kunci : Anak usia prasekolah, Ibu, Kebiasaan mengompol, Pengetahuan, Perilaku, Toilet training

(8)

vii Undergraduate Thesis, September 2012

Sri Fitdiyah Ningsih, NIM: 108104000056

The Relationship between Mother’s Knowledge and Behavior in Implementing Toilet Training with Enuresis Habit in Preschool Age Children in RW 02 Babakan Tangerang

xxi + 110 pages + 16 tables + 2 pictures + 5 attachments

ABSTRACT

Enuresis is the condition which is frequently happened in preschool children, where at this age children are should be able to control the urine. One of the effort to overcome this habit is toilet training. The good application of a toilet training need a real action from parents especially mother, because mother is the closest person to the child. This study aimed to determine the relationship between knowledge and behavior of mother in implementing toilet training with enuresis habit in preschool children in RW 02 Babakan Tangerang. This research is a quantitative study with cross sectional method. The sample used in this study was 82 respondent. This study was using the total sampling technique. Data collected using questionnaires, and were analyzed using chi square test with computerization. The results showed no correlation between mother knowledge about toilet training with enuresis habit in preschool age children (p = 0.232) and there was a correlation between the behavior of mother implementing toilet training with enuresis habit in preschool age children (p = 0.041). In order to overcome this enuresis habit, it is necessary for mother to implementing a good toilet training.

Key Word : Preschool age children, Mother, Enuresis Habit, Knowledge, Behavior, Toilet training

(9)

viii

Skripsi ini ku persembahkan..

Untukmu…

Mama, Bapak, dan Teteh Enchi khususnya kepadamu,,,

Kakakku tercinta,,Indriyati,,,

Ku tak dapat berkata apapun kecuali kata “Terima Kasih”

Terima Kasih atas pengorbanan, ketulusan dan keikhlasanmu

selama ini...

Terima Kasih atas jasamu yang tak mungkin dapat ku balas,,,

(10)

ix

Assalamu’alaikum wr.wb

Alhamdulillahi rabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Ibu dalam

Menerapkan Toilet Training dengan Kebiasaan Mengompol pada Anak Usia

Prasekolah di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang”.

Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan besar Nabi

Muhammad SAW yang telah menjadi suri tauladan sehingga penulis tetap

semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam penyelesaian skipsi, penulis

sadar bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai

pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. DR (hc). Dr. Muhammad Kamil Tadjuddin, Sp. And, selaku Dekan

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. dr. H.M. Djauhari W, AIF., PFK, selaku Pembantu Dekan Bidang Akademik

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes, selaku Pembantu Dekan Bidang

Administrasi Umum Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

(11)

x Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Tien Gartinah, MN, selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan

(PSIK) FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Ibu Irma Nurbaeti, S.Kep, MKep, Sp.Mat, selaku Sekretaris Program Studi

Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan

Pembimbing Akademik penulis selama perkuliahan.

7. Ibu Rita Yuliani S.Kp., M.Si. selaku pembimbing I yang telah meluangkan

waktu dan mencurahkan pikirannya untuk memberikan masukan, nasihat,

petunjuk dan arahan serta motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi

ini.

8. Ibu Maulina Handayani S.Kp., M.Sc. selaku pembimbing II yang telah

meluangkan waktu dan mencurahkan pikirannya untuk memberikan masukan,

nasihat, petunjuk dan arahan serta motivasi kepada penulis dalam metodologi

penyusunan skripsi ini.

9. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah mengajarkan dan membimbing penulis, serta

staff akademik (Bapak Azib Rosyidi S. Psi dan Ibu Syamsiah) atas bantuannya

yang telah memudahkan penulis dalam proses pembelajaran di PSIK UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

10. Segenap jajaran staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan UIN yang telah banyak membantu dalam menyediakan

(12)

xi

12. Segenap responden yang telah bersedia meluangkan waktu untuk mengisi

kuisioner.

13. Orang tua tercinta (Bapak Uci Sanusi dan Ibu Sumaryati) yang telah

memberikan kasih sayang tulus dan selalu mendoakan serta memberikan

motivasi tiada hentinya kepada penulis.

14. Kakak – kakak penulis (Teteh Indriyati, Teteh Sri Budiarti dan Ka Wanto)

yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materiil serta doa yang

tiada henti.

15. Ade Sulistyawan yang telah menjadi motivator sehingga penulis selalu

semangat dalam menyusun skripsi ini.

16. Keponakan penulis (Nisrina Al-Habsyi dan Irestha Felladivany) yang telah

menjadi inspirasi dalam menyusun skripsi ini.

17. Teman-teman angkatan 2008 (Wensil, Nurfatimah, Selly, Novi, Pia, Sri K,

Ika, Kiki dan semuanya) yang telah bersama-sama dengan penulis melewati

hari-hari baik suka maupun duka dalam menyelesaikan perkuliahan di PSIK

UIN Jakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya. Untuk

itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Jakarta, September 2012

(13)

xii

Halaman

PERNYATAAN PERSETUJUAN ……… i

LEMBAR PENGESAHAN ……… ii

LEMBAR PERNYATAAN ……… iv RIWAYAT HIDUP ……….. v

C. Pertanyaan Penelitian ……….. 8

D. Tujuan ………. 9

1. Tujuan Umum ………... 9

2. Tujuan Khusus ……….. 9

E. Manfaat ………... 10

1. Bagi Ilmu Pengetahuan ………. 10

2. Bagi Profesi Keperawatan ………. 10

3. Bagi Kelurahan Babakan Kota Tangerang ……...………. 10

4. Bagi Peneliti ……...………... 10

5. Bagi Peneliti Selanjutnya ……….. 11

(14)

xiii

1. Pertumbuhan Fisik ……… 12

2. Perkembangan Motorik ………. 13

3. Perkembangan Kognitif ……...………. 14

4. Perkembangan Psikoseksual ………. 16

5. Perkembangan Psikososial ……… 17

6. Perkembangan Moral ……… 18

B. Toilet Training ……… 19

1. Pengertian ………. 19

2. Kesiapan Toilet Training ………... 19

3. Teknik Mengajarkan Toilet Training ……… 21

4. Hal yang perlu Diperhatikan selama Toilet Training ………… 23

5. Dampak Keberhasilan Toilet Training ……….. 24

6. Dampak Kegagalan Toilet Training ……….. 24

C. Kebiasaan Mengompol (Enuresis) ……….. 25

1. Pengertian ……….. 25

2. Penyebab ………..………. 26

3. Jenis Enuresis ……… 28

4. Faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Mengompol (Enuresis) ……… 29

5. Penatalaksanaan …………..……….. 32

D. Pengetahuan ……… 35

1. Pengertian ……….. 35

2. Tingkatan Pengetahuan ………. 36

3. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan …………... 37

E. Perilaku ………... 39

1. Pengertian ………. 39

2. Proses Pembentukan Perilaku ………... 40

3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seseorang ……….. 41

F. Penelitian Terkait ……… 45

(15)

xiv

A. Kerangka Konsep ……… 50

B. Hipotesis ……….. 51

C. Definisi Operasional ……… 52

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ……… 60

A. Desain Penelitian ………. 60

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ...………... 60

C. Populasi dan Sampel Penelitian ……….. 61

D. Instrumen Penelitian ………63

E. Uji Validitas dan Reliabilitas Penelitian ………. 68

1. Uji Validitas ………. 68

2. Uji Reliabilitas ………. 69

3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ……….. 70

F. Teknik Pengumpulan Data ………. 71

G. Pengolahan Data ……… 73

H. Analisis Data ……….. 74

1. Analisis Univariat ……… 74

2. Analisis Bivariat ……….. 75

I. Etika Penelitian ……….. 76

BAB V HASIL PENELITIAN ………. 79

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………... 79

1. Gambaran Umum RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang ………... 79

2. Gambaran Umum Karakteristik Responden ………. 80

a) Usia Ibu ………...…… 80

b) Tingkat Pendidikan Ibu ………... 81

c) Status Pekerjaan Ibu ……… 83

d) Usia Anak ……… 84

(16)

xv

2. Gambaran Perilaku Ibu dalam Menerapkan Toilet Training … 89

3. Gambaran Kebiasaan Mengompol ……… 92

C. Analisis Bivariat ……….. 93

1. Hubungan Pengetahuan Ibu tentang Toilet Training dengan Kebiasaan Mengompol pada Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) ……… 93

2. Hubungan Perilaku Ibu dalam Menerapkan Toilet Training dengan Kebiasaan Mengompol pada Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) ………... 94

BAB VI PEMBAHASAN ……….. 96

A. Keterbatasan Penelitian ……….. 96

B. Gambaran Karakteristik Responden ……….. 97

1. Usia Ibu ……… 97

2. Tingkat Pendidikan Ibu ……… 98

3. Status Pekerjaan Ibu ………. 99

4. Usia Anak ……… 100

5. Jenis Kelamin Anak ……….... 100

C. Hasil Analisis Univariat ……… 101

1. Gambaran Pengetahuan Ibu tentang Toilet training ………... 101

2. Gambaran Perilaku Ibu dalam Menerapkan Toilet training …102 3. Gambaran Kebiasaan Mengompol pada Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) ………. 103

D. Hasil Analisis Bivariat ……….. 103

1. Hubungan Pengetahuan Ibu tentang Toilet training dengan Kebiasaan Mengompol (Enuresis) pada Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) ……….. 103

(17)

xvi

A. Kesimpulan ……….. 108

B. Saran ……….... 109

(18)

xvii BAB = Buang Air Besar

BAK = Buang Air Kecil

DSM-IV-TR = Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV-Text

Revision

RT = Rukun Tetangga

RW = Rukun Warga

(19)

xviii

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian ………. 49

(20)

xix

Tabel 3.1 Definisi Operasional ……….. 52

Tabel 4.1 Indikator pengukuran pengetahuan ibu tentang toilet training …. 64

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi usia ibu yang memiliki anak usia prasekolah di

RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang Tahun 2012

……… 78

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi ibu yang memiliki anak usia prasekolah

berdasarkan tingkat pendidikan di RW 02 Kelurahan Babakan Kota

Tangerang Tahun 2012 ………..…... 79

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi ibu yang memiliki anak usia prasekolah

berdasarkan kategori tingkat pendidikan di RW 02 Kelurahan

Babakan Kota Tangerang Tahun 2012 ……….. 80

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Ibu yang Memiliki Anak Usia Prasekolah

Berdasarkan Status Pekerjaan di RW 02 Kelurahan Babakan Kota

Tangerang Tahun 2012 ………. 81

Tabel 5.5 Distribusi frekuensi ibu yang memiliki anak usia prasekolah

berdasarkan kategori status pekerjaan di RW 02 Kelurahan Babakan

Kota Tangerang Tahun 2012 ………. 82

Tabel 5.6 Distribusi frekuensi usia anak prasekolah di RW 02 Kelurahan

Babakan Kota Tangerang Tahun 2012 ………. 82

Tabel 5.7 Distribusi frekuensi anak usia prasekolah berdasarkan jenis kelamin di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang Tahun 2012 ……. 83

Tabel 5.8 Distribusi frekuensi pengetahuan ibu tentang toilet training di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang Tahun 2012 ………. 83

Tabel 5.9 Distribusi frekuensi responden berdasarkan kategori pengetahuan ibu tentang toilet training di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang

Tahun 2012 ………. 86

Tabel 5.10 Distribusi frekuensi perilaku ibu dalam menerapkan toilet training di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang Tahun 2012 ………. 86

Tabel 5.11 Distribusi frekuensi responden berdasarkan kategori perilaku ibu dalam menerapkan toilet training di RW 02 Kelurahan Babakan

(21)

xx

Tabel 5.13 Hubungan pengetahuan ibu tentang toilet training dengan kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah (3-6 tahun) di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang Tahun 2012 ……….. 90

(22)

xxi

Lampiran 1 Surat Permohonan Izin Pengambilan Data

Lampiran 2 Surat Izin Pengambilan Data dari Kelurahan Babakan Kota

Tangerang

Lampiran 3 Lembar persetujuan menjadi responden penelitian (Informed

consent)

Lampiran 4 Kuesioner penelitian

(23)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua istilah yang berbeda,

namun keduanya tidak dapat dipisahkan dan bersifat interdependen (Potter &

Perry, 2005). Pertumbuhan didefinisikan sebagai bertambahnya ukuran fisik

dan struktur tubuh seseorang karena bertambahnya jumlah dan besarnya sel

secara kuantitatif, seperti pertambahan ukuran berat badan, tinggi badan dan

lingkar kepala. Perkembangan didefinisikan sebagai pertambahan kematangan

fungsi dari masing-masing tubuh dan bersifat kualitatif, seperti kemampuan

anak untuk tengkurap, duduk, berjalan, berbicara, memungut benda-benda di

sekelilingnya, serta kematangan emosi dan sosial anak (Nursalam, 2008).

Menurut Wong (2000 dalam Supartini 2004), perkembangan anak terdiri

dari periode prenatal (mulai konsepsi sampai usia kehamilan 40 minggu),

periode bayi (sejak lahir sampai usia 12 bulan), periode kanak-kanak awal

(usia 1 tahun sampai 6 tahun), periode kanak-kanak pertengahan (usia 6 tahun

sampai 11-12 tahun), dan periode kanak-kanak akhir (usia 11-12 tahun sampai

18 tahun). Periode kanak-kanak awal terdiri atas masa toddler, yaitu usia anak

1 sampai 3 tahun dan masa prasekolah, yaitu antara 3 sampai 6 tahun

(Supartini, 2004).

Pertumbuhan dan perkembangan masa kanak-kanak terjadi sangat cepat.

Hal ini disebabkan karena adanya stimulus internal, yaitu dari hereditas dan

(24)

pengalaman hidup dan elemen dari lingkungan yang didapatkan oleh anak

(Potter & Perry, 2005).

Perkembangan fisik anak usia prasekolah lebih lambat dan relatif menetap.

Sistem tubuh sudah matang dan keterampilan motorik seperti berjalan, berlari,

melompat menjadi semakin luwes, namun otot dan tulang belum begitu

sempurna, serta pada masa ini anak sudah mulai terlatih untuk toileting

(Supartini, 2004). Menurut teori Perkembangan Psikoseksual Sigmund Freud

(1905 dalam Wong, 2008) menjelaskan bahwa usia prasekolah termasuk

dalam fase falik, dimana genitalia menjadi area yang menarik dan area tubuh

yang sensitif. Pada fase ini anak sudah dapat melakukan buang air kecil dan

buang air besar di tempatnya. Pada periode ini pula, konsep diri anak sudah

mulai berkembang, terjadi peningkatan kontrol diri dan penguasaan, lebih

banyak bergerak, peningkatan kemandirian dan sudah siap untuk melakukan

toilet training (Potter & Perry, 2005).

Toilet training merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu

mengontrol buang air kecil dan buang air besar (Hidayat, 2008). Latihan ini

mulai dilakukan pada anak usia 1-3 tahun, karena pada usia ini kemampuan

sfingter uretra untuk mengontrol rasa ingin buang air kecil mulai berkembang

(Supartini, 2004). Latihan ini dapat dilakukan oleh sebagian besar anak secara

mandiri pada akhir periode prasekolah (Muscari, 2005).

Keberhasilan toilet training memberikan beberapa keuntungan bagi anak,

seperti dapat mengontrol buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB),

awal terbentuknya kemandirian sehingga anak bisa melakukan sendiri BAK

(25)

(Warga, 2007). Toilet training juga penting dalam perkembangan kepribadian

anak, karena toilet training merupakan latihan moral pertama kali yang

diterima anak dan sangat berpengaruh pada perkembangan moral selanjutnya

(Suherman, 2000).

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan program toilet training antara

lain motivasi orang tua dan kesiapan anak secara fisik, psikologis maupun

secara intelektual (Hidayat, 2008). Widayatun (1999 dalam Subagyo dkk,

2008) menjelaskan bahwa motivasi orang tua sendiri dipengaruhi oleh faktor

intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik merupakan dorongan yang

berasal dari dalam diri seseorang yaitu berupa pengetahuan, sikap, keadaan

mental, dan kematangan usia sedangkan faktor ekstrinsik yaitu berupa sarana,

prasarana, dan lingkungan (Subagyo dkk, 2008).

Pengetahuan orang tua terutama ibu sangat berperan dalam menciptakan

perilaku yang baik bagi anak-anaknya karena orang tua adalah cerminan bagi

anak. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Hidayat (2010) pada 58 ibu

yang memiliki anak usia prasekolah di TK Al-Azhar Medan menjelaskan

bahwa gambaran pengetahuan ibu tentang toilet training pada anak usia

prasekolah secara umum di tempat tersebut adalah baik (60,3%). Hal ini

diketahui dari kesuksesan anak dalam melakukan daytime control yaitu

mampu menjaga dan mengatur BAB dan BAK di toilet sepanjang hari, tanpa

menggunakan popok atau alat bantu lain. Hasil penelitian lain yang telah

dilakukan oleh Nursila (2007) pada 40 orang tua yang memiliki anak berusia

3-5 tahun menjelaskan bahwa keluarga dengan pengetahuan tinggi memiliki

(26)

memiliki 66,7% anak masih mengompol sehingga penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan pengetahuan orang tua dengan

kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah.

Proses toilet training yang dilakukan oleh orang tua dapat mengalami

kegagalan pada anak. Kegagalan toilet training mungkin disebabkan oleh

beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal dapat berupa

abnormalitas kongenital saluran kemih, infeksi saluran kemih, poliuria atau

neurogenic bladder (Hull, 2008) sedangkan faktor eksternal dapat berupa

faktor keluarga terutama orang tua dimana kurangnya perhatian dan

kepedulian orang tua sehingga toilet training ini terabaikan ataupun pelatihan

toilet training yang terlalu dini (Aziz, 2006).

Kegagalan toilet training yang disebabkan oleh toilet training yang terlalu

dini dapat beresiko menimbulkan infeksi saluran kemih (ISK) (Natalia, 2006).

Selain itu, kegagalan toilet training dapat menyebabkan anak kurang mandiri,

memiliki sikap egois, keras kepala, kikir, cenderung ceroboh, dan seenaknya

dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Hidayat, 2008). Menurut Aziz (2006)

kegagalan toilet training juga dapat menyebabkan anak mengalami enuresis

atau mengompol.

Enuresis atau mengompol adalah pengeluaran urin tanpa sengaja pada usia

dimana saat pengendalian pengeluaran urin seharusnya dapat dilakukan atas

kemauannya sendiri (Behrman dkk, 1999). Wong (2008) menyatakan

mengompol adalah keluarnya urin yang disengaja atau tidak disengaja di

tempat tidur (biasanya di malam hari) atau pada pakaian di siang hari dan

(27)

terhadap kandung kemih secara sadar. Menurut Hidayat (2008) mengompol

ini lebih dikenal dengan istilah Enuresis Fungsional yang merupakan

gangguan dalam pengeluaran urin secara tidak sadar pada siang atau malam

hari pada anak yang berusia lebih dari empat tahun tanpa adanya kelainan fisik

maupun penyakit organik.

Anak usia 3 tahun secara umum sudah mampu mengendalikan kandung

kemih pada siang hari dan sekitar 75% anak usia 3,5 tahun ini sudah tidak

mengompol pada malam hari, dikarenakan pengendalian mengompol pada

malam hari biasanya tercapai pada usia 2,5 – 3,5 tahun. Pada usia 4,5 tahun,

kurang lebih 88% anak sudah mampu mengendalikan kandung kemih secara

adekuat dan tidak mengompol lagi saat tidur malam. Anak usia 5 tahun akan

buang air kecil 5-8 kali sehari dan mereka akan menolak buang air kecil bila

bukan pada tempatnya dan sekitar 98,5% pada usia ini sudah mampu

mengendalikan kandung kemihnya secara sempurna (Noer, 2006). Hull (2008)

menyatakan bahwa sekitar 10% anak usia 5 tahun masih mengompol dan

bahkan kurang dari 5% masih mengompol pada usia 10 tahun. Behrman dkk

(1999) juga menyatakan bahwa prevalensi anak yang mengompol pada usia 5

tahun adalah 7% laki-laki dan 2% wanita.

Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati dkk (2007) pada anak usia

prasekolah (4-5 tahun) di TK Sekar Ratih Krembangan Jaya Selatan, Surabaya

menyatakan bahwa terdapat 52% anak mengompol dengan frekuensi sering

sekali, 4% sering, 36% jarang dan 8% sangat jarang. Kebiasaan mengompol

ini apabila berlangsung lama dan panjang, akan mengganggu pencapaian tugas

(28)

Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti di

Rukun Tetangga (RT) 003 Rukun Warga (RW) 02 Kelurahan Babakan Kota

Tangerang pada tanggal 12 Februari 2012 kepada 10 orang ibu yang memiliki

anak usia prasekolah (3-6 tahun) secara random, didapatkan hasil bahwa 6

orang (60%) ibu tidak mengajarkan anak pergi ke toilet dan membiarkan

anaknya mengompol, 3 orang (30%) ibu telah menyuruh anaknya untuk pergi

ke toilet tetapi tetap saja anaknya masih mengompol, dan hanya 1 orang

(10%) ibu yang menyuruh dan mengajak anaknya pergi ke toilet dan diketahui

anaknya jarang mengompol.

Berdasarkan fenomena di atas dapat dilihat bahwa masih kurangnya

perhatian orang tua terutama ibu terhadap proses toilet training sehingga

masih banyak anak usia prasekolah (3-6 tahun) yang memiliki kebiasaan

mengompol di daerah tersebut, padahal pada usia 3-6 tahun ini seharusnya

anak sudah dapat melakukan buang air kecil secara mandiri di tempat yang

semestinya (toilet atau kamar mandi).

Kurangnya perhatian ibu menunjukkan perilaku ibu yang kurang peduli

terhadap proses toilet training. Perilaku tersebut mungkin disebabkan akibat

rendahnya tingkat pengetahuan ibu tentang toilet training. Hal ini sesuai

dengan teori Bloom yang dipaparkan oleh Notoatmodjo (1997 dalam Sunaryo,

2004) bahwa perilaku memiliki 3 domain yakni cognitive, affective dan

psychomotor, dimana cognitive domain diukur dari knowledge (pengetahuan).

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya

perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan

(29)

anak usia prasekolah (Piaget, 1969 dalam Wong, 2008) menunjukkan bahwa

anak usia tersebut mulai berpikir praoperasional bersifat konkret dan nyata.

Anak membutuhkan tindakan nyata karena mereka menginterpretasikan objek

dan peristiwa dari segi hubungan mereka terhadap objek tersebut, oleh karena

itu ibu harus mengajarkan toilet training kepada anak secara langsung dengan

mempraktekkannya dan anak disuruh mengikuti serta memahami perilaku

tersebut sehingga anak lebih termotivasi dan akhirnya anak mulai

menghilangkan kebiasaan mengompol.

Berdasarkan hal di atas dan dilihat pula besarnya dampak yang

ditimbulkan akibat kegagalan toilet training serta belum banyaknya penelitian

terkait toilet training dan kebiasaan mengompol maka peneliti merasa tertarik

untuk meneliti tentang “Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Ibu dalam

Menerapkan Toilet Training dengan Kebiasaan Mengompol Pada Anak Usia

Prasekolah di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang”.

Penelitian ini lebih memusatkan pada salah satu rukun warga yang ada di

wilayah Kelurahan Babakan Kota Tangerang karena sesuai dengan hasil studi

pendahuluan yang telah dilakukan bahwa terdapat sekitar 60% anak masih

mengompol di daerah tersebut.

B. Rumusan masalah

Toilet training merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu

mengontrol buang air kecil dan buang air besar (Hidayat, 2008). Kegagalan

toilet training dapat menyebabkan kerugian psikologis bagi anak dan dapat

(30)

mengompol adalah keluarnya urin yang disengaja atau tidak disengaja di

tempat tidur (biasanya di malam hari) atau pada pakaian di siang hari dan

terjadi pada anak-anak yang usianya secara normal telah memiliki kendali

terhadap kandung kemih secara sadar.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati dkk (2007) terhadap anak

usia prasekolah (4-5 tahun) menunjukkan sebanyak 52% anak mengompol

dengan frekuensi sering sekali. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah

dilakukan oleh peneliti di RT 003 RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang

pada tanggal 12 Februari 2012 kepada 10 orang ibu yang memiliki anak usia

prasekolah (3-6 tahun), didapatkan hasil bahwa 6 orang (60%) ibu tidak

mengajarkan anak pergi ke toilet dan membiarkan anaknya mengompol.

Tingginya angka anak prasekolah yang masih mengompol serta masih

kurangnya pengetahuan ibu tentang toilet training yang dicerminkan dari

perilaku yang salah seperti kurangnya perhatian dan kepedulian ibu terhadap

toilet training, membuat peneliti merumuskan masalah penelitian ini yakni

adakah hubungan antara pengetahuan dan perilaku ibu dalam menerapkan

toilet training dengan kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah (3-6

tahun) di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran karakteristik responden di RW 02 Kelurahan

Babakan Kota Tangerang ?

2. Bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang toilet training di RW 02

(31)

3. Bagaimana gambaran perilaku ibu dalam menerapkan toilet training di

RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang ?

4. Bagaimana gambaran kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah

(3-6 tahun) di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang ?

5. Adakah hubungan antara pengetahuan ibu tentang toilet training dengan

kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah (3-6 tahun) di RW 02

Kelurahan Babakan Kota Tangerang ?

6. Adakah hubungan antara perilaku ibu dalam menerapkan toilet training

dengan kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah (3-6 tahun) di

RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang ?

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan pengetahuan dan perilaku ibu dalam

menerapkan toilet training dengan kebiasaan mengompol pada anak usia

prasekolah di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang.

2. Tujuan Khusus

a. Melihat gambaran karakteristik responden di RW 02 Kelurahan

Babakan Kota Tangerang.

b. Melihat gambaran pengetahuan ibu tentang toilet training di RW 02

Kelurahan Babakan Kota Tangerang.

c. Melihat gambaran perilaku ibu dalam menerapkan toilet training di

(32)

d. Melihat gambaran kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah di

RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang.

e. Mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu tentang toilet training

dengan kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah di RW 02

Kelurahan Babakan Kota Tangerang.

f. Mengetahui hubungan antara perilaku ibu dalam menerapkan toilet

training dengan kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah di

RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi ilmu pengetahuan

Menambah referensi tentang toilet training pada anak usia prasekolah.

2. Bagi profesi keperawatan

Dapat menjadi bahan referensi untuk pengembangan ilmu

keperawatan, terutama pada bidang keperawatan anak terkait toilet

training.

3. Bagi Kelurahan Babakan Kota Tangerang

Dapat menjadi bahan informasi sehingga dapat memberikan

penyuluhan kesehatan pada ibu dan anak.

4. Bagi peneliti

Dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang

penerapan toilet training pada anak usia prasekolah yang masih

(33)

5. Bagi peneliti selanjutnya

Dapat menjadi informasi tambahan atau gambaran untuk penelitian

selanjutnya yang berhubungan dengan penerapan toilet training pada

anak usia prasekolah.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan desain penelitian kuantitatif-analitik, dengan

metode cross sectional. Data dikumpulkan dengan cara penyebaran kuesioner

terkait pengetahuan dan perilaku ibu dalam menerapkan toilet training dengan

kebiasaan mengompol pada anak usia prasekolah (3-6 tahun). Populasi pada

penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki anak usia prasekolah (3-6

tahun) di RW 02 Kelurahan Babakan Kota Tangerang dengan kriteria inklusi

sampel meliputi ibu yang memiliki anak prasekolah usia 3-6 tahun, bersedia

menjadi responden dan bertempat tinggal di wilayah RW 02 Kelurahan

Babakan Kota Tangerang. Teknik sampling yang digunakan adalah sampling

(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Prasekolah

Pertumbuhan didefinisikan sebagai bertambahnya ukuran fisik dan

struktur tubuh seseorang karena bertambahnya jumlah dan besarnya sel secara

kuantitatif, seperti pertambahan ukuran berat badan, tinggi badan dan lingkar

kepala. Perkembangan didefinisikan sebagai pertambahan kematangan fungsi

dari masing-masing tubuh dan bersifat kualitatif, seperti kemampuan anak

untuk tengkurap, duduk, berjalan, berbicara, memungut benda-benda di

sekelilingnya, serta kematangan emosi dan sosial anak (Nursalam, 2008).

Menurut Wong (2008) Perkembangan diartikan sebagai perubahan dan

perluasan secara bertahap, perkembangan tahap kompleksitas dari yang lebih

rendah ke yang lebih tinggi, peningkatan dan perluasan kapasitas seseorang

melalui pertumbuhan, maturasi dan pembelajaran.

Anak usia prasekolah termasuk dalam masa kanak-kanak awal yang terdiri

dari anak usia 3 sampai 6 tahun (Wong, 2008). Perkembangan pada masa ini

sangat penting, dimana masa ini merupakan masa emas atau “golden age”.

Berdasarkan beberapa teori pertumbuhan dan perkembangan anak maka

pertumbuhan dan perkembangan anak usia prasekolah meliputi :

1. Pertumbuhan Fisik

Secara umum anak usia prasekolah yang sehat adalah anak yang

ramping, periang dan cekatan serta memiliki sikap tubuh yang baik.

(35)

misalnya, rata-rata anak usia 4 tahun adalah 101,25 cm. Pertambahan berat

badan rata-rata adalah 2,3 kg per tahun, misalnya berat badan rata-rata

anak usia 4 tahun adalah 16,8 kg (Muscari, 2005).

Volume berkemih pada usia ini rata-rata 500 sampai 1000 mL/hari.

Anak usia prasekolah sudah mulai terlatih untuk toileting dan sudah

mampu melakukan toilet training dengan mandiri pada akhir periode

prasekolah. Beberapa anak mungkin masih mengompol di celana dan

sebagian besar lupa untuk mencuci tangannya untuk membilas (Muscari,

2005 dan Supartini, 2004).

Seorang anak tidak dapat mengontrol buang air kecilnya secara total

sampai dia berusia 4 atau 5 tahun. Anak laki-laki umumnya lebih lambat

mengontrol buang air kecil daripada anak perempuan. Pengontrolan

berkemih di siang hari lebih mudah dicapai daripada pengontrolan

berkemih di malam hari dan terjadi lebih dini pada proses perkembangan

anak, biasanya pada usia 2 tahun (Potter & Perry, 2005).

Anak dalam fase usia ini seharusnya sudah mampu mengenali

penuhnya kandung kemih mereka, menahan urin selama 1 sampai 2 jam

dan mengomunikasikan keinginannya untuk berkemih kepada orang

dewasa. Anak kecil memerlukan pengertian, kesabaran dan konsistensi

orang tuanya (Potter & Perry, 2005).

2. Perkembangan Motorik

Perkembangan motorik dibagi menjadi 2 jenis, yaitu motorik kasar dan

(36)

bertambah baik, misalnya anak sudah dapat melompat dengan satu kaki,

melompat dan berlari lebih lancar serta dapat mengembangkan

kemampuan olahraga seperti meluncur dan berenang (Muscari, 2005).

Perkembangan motorik halus menunjukkan perkembangan utama yang

ditunjukkan dengan meningkatnya kemampuan menggambar, misalnya

pada usia 3 tahun, anak dapat membangun menara dengan 9 atau 10 balok,

membuat jembatan dari 3 balok, meniru bentuk lingkaran, dan

menggambar tanda silang (Muscari, 2005).

Fase usia ini anak tetap beresiko pada cedera meskipun tidak terlalu

rentan seperti anak toddler, namun orang tua dan orang dewasa lainnya

harus tetap menekankan tindakan keamanan. Anak usia prasekolah ini

mendengarkan orang dewasa, mampu memahami serta memperhatikan

tindakan pencegahan karena anak usia ini merupakan pengamat yang

cermat dan meniru orang lain sehingga orang dewasa perlu “melakukan

apa yang mereka ajarkan” tentang masalah keamanan (Muscari, 2005).

3. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif (berpikir) sudah mulai menunjukkan

perkembangan. Anak sudah mempersiapkan diri untuk memasuki sekolah,

tampak sekali kemampuan anak belum mampu menilai sesuatu

berdasarkan apa yang mereka lihat. Anak membutuhan pengalaman

belajar dengan lingkungan dan orang tuanya (Hidayat, 2007).

Berdasarkan teori Kognitif Piaget (1969 dalam Muscari, 2005)

(37)

praoperasional karena tahapan ini dimulai dari usia 2 tahun sampai 7

tahun. Tahapan ini memiliki dua fase yakni prakonseptual dan intuitif,

yaitu :

a. Fase prakonseptual (usia 2-4 tahun) yakni anak membentuk konsep

yang kurang lengkap dan logis dibandingkan dengan konsep orang

dewasa. Anak membuat klasifikasi yang sederhana, menghubungkan

satu kejadian dengan kejadian yang simultan (penalaran transduktif

misalnya semua wanita yang berperut besar pasti hamil) dan anak

menampilkan pemikiran egosentrik. Wong (2008) menyatakan bahwa

egosentrisme merupakan ciri yang menonjol pada tahap ini dalam

perkembangan intelektual, hal ini bukan berarti egois atau berpusat

pada diri sendiri, tetapi ketidakmampuan untuk menempatkan diri di

tempat orang lain. Selain itu, pada usia ini pemikiran mereka

didominasi oleh apa yang mereka lihat, dengar, atau alami.

b. Fase intuitif (usia 4-7 tahun) yakni anak mulai menunjukkan proses

berpikir intuitif (anak menyadari bahwa sesuatu adalah benar, tetapi

tidak dapat mengatakan/mengetahui alasan untuk melakukannya),

mampu membuat klasifikasi, menjumlahkan, menghubungkan

objek-objek, dan mampu menginterpretasikan objek dan peristiwa dari segi

hubungan mereka atau penggunaan mereka terhadap objek tersebut

serta mulai menggunakan banyak kata yang sesuai, tetapi kurang

memahami makna sebenarnya, misalnya anak usia 3 tahun rata-rata

telah mengucapkan 900 kata, berbicara kalimat dengan tiga atau empat

(38)

4. Perkembangan Psikoseksual

Freud (1905 dalam Wong, 2008) menyatakan bahwa anak usia

prasekolah termasuk ke dalam tahap falik dimana kepuasan anak berpusat

pada genitalia dan masturbasisehingga genitalia menjadi area tubuh yang

menarik dan sensitif. Anak mulai mempelajari adanya perbedaan jenis

kelamin perempuan dan laki-laki dengan mengetahui adanya perbedaan

alat kelamin. Anak sering meniru ibu atau bapaknya untuk memahami

identitas gender, misalnya dengan menggunakan pakaian ayah dan ibunya

(Supartini, 2004).

Banyak anak yang melakukan masturbasi pada usia ini untuk

kesenangan fisiologis dan membentuk hubungan yang kuat dengan orang

tua lain jenis, tetapi mengidentifikasi orang tua sejenis. Anak usia

prasekolah merupakan pengawas yang cermat tetapi kemampuan

interpretasinya buruk sehingga anak dapat mengenali tetapi tidak dapat

memahami aktivitas seksual. Apabila anak menanyakan tentang seks maka

orang tua harus menjawab pertanyaan mengenai seks dengan sederhana

dan jujur, hanya memberikan informasi yang anak tanyakan dan

penjelasan lebih rincinya dapat diberikan nanti serta sebelum menjawab

pertanyaan anak, orang tua harus mengklarifikasi kembali apa yang

sebenarnya ditanyakan dan dipikirkan anak tentang subjek spesifik

(Muscari, 2005).

Anak usia prasekolah ini mengalami fase yang ditandai dengan

kecemburuan dan persaingan terhadap orang tua sejenis dan cinta terhadap

(39)

biasanya berakhir pada akhir periode usia prasekolah dengan identifikasi

kuat pada orang tua sejenis (Freud, 1905 dalam Muscari, 2005).

5. Perkembangan Psikososial

Berdasarkan teori Psikososial Erikson (1963 dalam Muscari, 2005)

menyatakan bahwa krisis yang dihadapi anak usia antara 3 dan 6 tahun

disebut “inisiatif versus rasa bersalah”, yakni anak berupaya menguasai

perasaan inisiatif dengan dukungan orang tua dalam imajinasi dan

aktivitas karena orang terdekat anak usia prasekolah adalah keluarga.

Wong (2008) menyatakan bahwa tahap inisiatif ini berkaitan dengan tahap

falik Freud dan dicirikan dengan perilaku yang instrusif dan penuh

semangat, berani berupaya, dan imajinasi yang kuat. Anak-anak

mengeksplorasi dunia fisik dengan semua indera dan kekuatan mereka.

Mereka membentuk suara hati dan tidak lagi hanya dibimbing oleh pihak

luar, terdapat suara dari dalam yang memperingatkan dan mengancam.

Perkembangan inisiatif ini diperoleh dengan cara mengkaji lingkungan

melalui kemampuan inderanya. Anak mengembangkan keinginan dengan

cara eksplorasi terhadap apa yang ada disekelilingnya. Hasil akhir yang

diperoleh adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu sebagai

prestasi, arahan dan tujuan (Supartini, 2004 dan Wong, 2008).

Perasaan bersalah akan timbul pada anak apabila anak tidak mampu

berprestasi sehingga merasa tidak puas atas perkembangan yang tidak

tercapai (Supartini, 2004).Perasaan bersalah pun muncul ketika orang tua

(40)

diterima. Ansietas dan ketakutan terjadi ketika pemikiran dan aktivitas

anak tidak sesuai dengan harapan orang tua (Muscari, 2005).

Hubungan anak dengan orang lain semakin meluas pada masa ini.

Anak tidak saja menjalin hubungan dengan orang tua, tetapi juga dengan

kakek-nenek, saudara kandung, dan guru-guru di sekolah. Anak perlu

melakukan interaksi yang teratur dengan teman sebaya untuk membantu

mengembangkan keterampilan sosial (Muscari, 2005).

6. Perkembangan Moral

Perkembangan moral anak usia prasekolah sudah menunjukkan adanya

rasa inisiatif, konsep diri yang positif serta mampu mengidentifikasi

identitas dirinya (Hidayat, 2007). Supartini (2004) menjelaskan bahwa

anak usia ini secara psikologis mulai berkembang superego, yaitu anak

mulai berkurang sifat egosentrisnya (Supartini, 2004).

Kohlberg (1968 dalam Wong, 2008) menyatakan bahwa usia ini

termasuk ke dalam tahap prakonvensional, yakni anak-anak

mengintegrasikan label baik/buruk dan benar/salah yang terorientasi

secara budaya dalam konsekuensi fisik atau konsekuensi menyenangkan

dari tindakan mereka.

Awalnya anak-anak menetapkan baik atau buruknya suatu tindakan

dari konsekuensi tindakan tersebut. Mereka menghindari hukuman dan

mematuhi tanpa mempertanyakan siapa yang berkuasa untuk menentukan

bahwa perilaku yang benar terdiri atas sesuatu yang memuaskan

(41)

Unsur-unsur keadilan, memberi dan menerima serta pembagian yang adil juga

terlihat pada tahap ini, namun hal tersebut diinterpretasikan dengan cara

yang sangat praktis dan konkret tanpa kesetiaan, rasa terima kasih, atau

keadilan (Wong, 2008).

Perasaan bersalah muncul pada tahap ini dan penekanannya adalah

pada pengendalian eksternal. Standar moral anak usia ini adalah apa yang

ada pada orang lain, dan anak mengamati mereka untuk menghindari

hukuman atau mendapatkan penghargaan (Muscari, 2005).

B. Toilet Training 1. Pengertian

Toilet training merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu

mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar

(Hidayat, 2008). Menurut Suherman (2000) toilet training merupakan

latihan moral yang pertama kali diterima anak dan sangat berpengaruh

pada perkembangan moral anak selanjutnya. Berdasarkan pengertian di

atas dapat disimpulkan bahwa toilet training merupakan upaya dalam

melakukan buang air kecil dan buang air besar di toilet, dimana pelatihan

ini dapat membentuk moral anak.

2. Kesiapan Toilet Training

Ada beberapa kesiapan anak yang perlu dikaji baik kesiapan fisiologis

maupun kesiapan psikologis sebelum anak memulai toilet training (Wong,

(42)

a. Kesiapan fisik

1) Kontrol volunter sfingter anal dan uretral, biasanya pada usia 18

sampai 24 bulan.

2) Mampu tidak mengompol selama 2 jam, jumlah popok yang basah

berkurang, tidak mengompol selama tidur siang.

3) BAB teratur.

4) Keterampilan motorik kasar yaitu duduk, berjalan, dan berjongkok.

5) Keterampilan motorik halus yaitu membuka pakaian.

b. Kesiapan Mental

1) Mengenali urgensi BAB atau BAK.

2) Keterampilan komunikasi verbal atau nonverbal untuk

menunjukkan saat basah atau memiliki urgensi BAB atau BAK.

3) Keterampilan kognitif untuk menirukan perilaku yang tepat dan

mengikuti perintah.

c. Kesiapan Psikologis

1) Mengekspresikan keinginan untuk menyenangkan orang tua.

2) Mampu duduk di toilet selama 5 sampai 10 menit tanpa bergoyang

atau terjatuh.

3) Keingintahuan mengenai kebiasaan toilet orang dewasa atau kakak.

4) Ketidaksabaran akibat popok yang kotor oleh feses atau basah;

ingin untuk segera diganti.

d. Kesiapan Orang tua

1) Mengenali tingkat kesiapan anak.

(43)

3) Ketiadaan stress atau perubahan keluarga, seperti perceraian,

pindah rumah, sibling baru, atau akan bepergian.

3. Teknik Mengajarkan Toilet Training

Berikut ini beberapa teknik yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam

melatih anak buang air kecil dan buang air besar setelah orang tua

mengetahui tanda-tanda kesiapan anak melakukan toilet training yaitu :

a. Teknik Lisan

Teknik lisan merupakan usaha untuk melatih anak dengan cara

memberikan instruksi pada anak dengan kata-kata sebelum atau

sesudah buang air kecil dan besar. Teknik lisan ini mempunyai nilai

yang cukup besar dalam memberikan rangsangan untuk buang air kecil

atau buang air besar, dimana dengan lisan ini persiapan psikologis

pada anak akan semakin matang dan akhirnya anak mampu dengan

baik dalam melaksanakan buang air kecil dan buang air besar

(Hidayat, 2008).

b. Teknik Modelling

Teknik modelling merupakan usaha melatih anak dalam melakukan

buang air kecil atau buang air besar dengan memberikan contoh,

seperti menggunakan boneka (Hidayat, 2008 dan Warner, 2006).

Teknik ini memiliki kekurangan yakni apabila contoh yang diberikan

salah sehingga akan dapat diperlihatkan pada anak akhirnya anak juga

mempunyai kebiasaan yang salah (Hidayat, 2008). Untuk itu,

(44)

c. Teknik pemilihan tempat duduk untuk eliminasi, misalnya :

1) Tempat duduk berlubang (potty chair) dan/atau penggunaan toilet.

Tempat duduk berlubang untuk eliminasi yang tidak ditopang oleh

benda lain memungkinkan anak merasa aman (Stark, 1994 dalam

Wong, 2008).

2) Tempat duduk portable yang diletakkan di atas toilet biasa, yang

memudahkan transisi dari kursi berlubang untuk eliminasi ke toilet

biasa dan menempatkan bangku panjang yang kecil di bawah kaki

untuk membantu menstabilkan posisi anak (Wong, 2008).

3) Menempatkan kursi berlubang untuk eliminasi di kamar mandi dan

membiarkan anak mengamati ekskresinya ketika dibilas ke dalam

toilet untuk menghubungkan aktivitas ini dengan praktik yang

biasa (Wong, 2008).

d. Teknik yang lain adalah :

1) Menghadapkan anak ke tangki toilet memberi dukungan tambahan.

Anak lelaki biasa memulai toilet training dalam posisi berdiri atau

duduk di kursi berlubang untuk eliminasi di toilet. Anak meniru

perilaku ayahnya dalam BAK selama masa prasekolah merupakan

dorongan motivasi yang sangat kuat bagi anak untuk melakukan

toilet training (Wong, 2008).

2) Melakukan observasi pada saat anak merasakan BAK dan BAB.

3) Ajak anak ke kamar mandi.

(45)

5) Dudukkan anak di atas pispot atau orang tua duduk atau jongkok

dihadapannya sambil mengajak bicara atau bercerita.

6) Berikan pujian jika anak berhasil, namun apabila gagal jangan

disalahkan dan dimarahi.

7) Biasakan akan pergi ke toilet pada jam-jam tertentu.

8) Beri anak celana yang mudah dilepas dan dipasangkan kembali

(Hidayat, 2008).

Sesi latihan ini harus dibatasi 5 sampai 10 menit, orang tua harus

menunggu anaknya dalam melakukan toilet training dan kebiasaan sanitasi

harus dilakukan setiap kali selesai eliminasi (Wong, 2008).

Teknik-teknik di atas merupakan bentuk nyata dari perilaku orang tua

dalam melatih anak buang air kecil maupun buang air besar secara mandiri

di toilet atau kamar mandi.

4. Hal yang perlu Diperhatikan Selama Toilet Training

Menurut Hidayat (2008) dalam melakukan pengkajian kebutuhan

buang air kecil dan besar, terdapat beberapa hal-hal yang perlu

diperhatikan selama toilet training, diantaranya :

a. Hindari pemakaian popok sekali pakai atau diaper dimana anak akan

merasa aman.

b. Ajari anak mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan buang

air besar, misalnya “pup” dan buang air kecil, misalnya “pipis”.

c. Mendorong anak melakukan rutinitas ke kamar mandi seperti cuci

(46)

d. Jangan marah bila anak gagal dalam melakukan toilet training.

5. Dampak Keberhasilan Toilet Training

Seorang anak yang berhasil melakukan toilet training memiliki

beberapa keuntungan sebagai berikut :

a. Anak memiliki kemampuan mengontrol BAK dan BAB.

b. Anak memiliki kemampuan menggunakan toilet pada saat ingin BAK

atau BAB.

c. Toilet training menjadi awal terbentuknya kemandirian anak secara

nyata sebab anak sudah bisa melakukan sendiri hal-hal seperti BAB

atau BAK.

d. Toilet training membuat anak dapat mengetahui bagian-bagian tubuh

serta fungsinya (Warga, 2007).

6. Dampak Kegagalan Toilet Training

Kegagalan dalam melakukan toilet training ini memiliki dampak yang

kurang baik pada anak seperti anak akan terganggu kepribadiannya,

misalnya anak cenderung bersifat retentive dimana anak cenderung

bersikap keras kepala bahkan kikir. Sikap tersebut dapat disebabkan oleh

sikap orang tua yang sering memarahi anak pada saat buang air besar atau

buang air kecil atau melarang anak saat bepergian. Apabila orang tua

santai dalam memberikan aturan dalam toilet training maka anak akan

dapat mengalami kepribadian eksprensif dimana anak lebih tega,

(47)

dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Hidayat, 2008). Kegagalan toilet

training pun akan menyebabkan anak mengalami enuresis atau

mengompol (Aziz, 2006).

C. Kebiasaan Mengompol 1. Pengertian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008) kebiasaan

adalah sesuatu yang biasa dikerjakan dan dilakukan secara berulang untuk

hal yang sama. Mengompol dalam istilah medis disebut enuresis (Aziz,

2006). Enuresis atau mengompol adalah pengeluaran urin tanpa sengaja

pada umur dimana saat pengendalian pengeluaran urin seharusnya dapat

dilakukan atas kemauannya sendiri (Behrman dkk, 1999). Wong (2008)

enuresis adalah keluarnya urin yang disengaja atau tidak disengaja di

tempat tidur (biasanya di malam hari) atau pada pakaian di siang hari dan

terjadi pada anak-anak yang usianya secara normal telah memiliki kendali

terhadap kandung kemih secara sadar.

Menurut Hidayat (2008) mengompol ini lebih dikenal dengan istilah

Enuresis Fungsional yang merupakan gangguan dalam pengeluaran urin

yang involunter pada siang atau malam hari pada anak yang berumur lebih

dari empat tahun tanpa adanya kelainan fisik maupun penyakit organik.

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV

(DSM-IV) (American Psychiatric Assosiation (APA), 1994 dalam Daulay, 2008)

(48)

a. Buang air kecil yang berulang pada siang dan malam hari di tempat

tidur atau pakaian.

b. Buang air kecil yang sebagian besar tidak disengaja, tetapi

kadang-kadang disengaja. Sekurang-kurangnya terjadi 2 kali dalam 1 minggu

selama ≥ 3 bulan, atau harus menyebabkan kesulitan yang signifikan di

bidang sosial, akademik atau fungsi penting lainnya.

c. Anak tersebut harus mencapai usia dimana berkemih secara normal

seharusnya telah dicapai, yaitu usia kronologis paling sedikit 5 tahun

sedangkan pada anak dengan keterlambatan perkembangan, usia

mental paling sedikit 5 tahun.

d. Enuresis yang terjadi pada anak tidak berhubungan dengan efek

fisiologis dari suatu zat atau kondisi kesehatan secara umum

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebiasaan

mengompol (enuresis) merupakan perilaku atau tindakan yang sering

dilakukan anak dalam pengeluaran urin dengan sengaja atau tidak sengaja

tanpa adanya latihan buang air kecil meskipun secara normal telah

memiliki kendali terhadap kandung kemih dan tanpa adanya gangguan

organik.

2. Penyebab

Berikut ini adalah penyebab yang mengakibatkan timbulnya masalah

mengompol yakni :

a. Faktor organik, termasuk gangguan struktural saluran kemih, infeksi

(49)

haluaran urin, seperti pada gagal ginjal kronis atau penyakit sel sabit.

Volume kandung kemih anak berkisar antara 300 sampai 350 ml

adalah cukup untuk menahan urin pada malam hari. Kapasitas kandung

kemih anak dapat ditentukan dengan cara meminta anak untuk

berkemih di dalam gelas ukur setelah menahan urin selama mungkin.

Kapasitas kandung kemih normal (dalam ons) adalah usia anak

ditambah 2, misalnya kapasitas normal kandung kemih anak berusia 6

tahun adalah 8 ons (Wong, 2008).

b. Faktor emosional. Menurut Aziz (2006) gangguan emosional dapat

muncul di rumah atau sekolah, akibatnya anak merasa tidak nyaman

dan mengalami ketegangan yang tinggi sehingga dapat memicu anak

mengompol.

c. Faktor keluarga. Enuresis memiliki kecenderungan keluarga yang kuat

(Wong, 2008).

d. Pelatihan buang air (toilet training) yang tidak tepat, misalnya orang

tua yang terlalu cepat memberikan pelatihan buang air kecil dapat

menyebabkan anak mengalami gangguan mengompol atau orang tua

yang mengabaikan toilet training, misalnya kurang perhatian dan

kepedulian pada anak sehingga menyebabkan anak menjadi

mengompol karena mereka merasa mendapat perhatian walaupun

sebentar (Aziz, 2006). Menurut Behrman dkk (1999) salah satu contoh

toilet training yang tidak tepat misalnya, orang tua yang menuntut

secara paksa anak dilatih buang air segera dapat menimbulkan respons

(50)

Namun, orang tua yang tidak cukup dekat pada kebutuhan anak untuk

memberikan dukungan secara tepat latihan buang air juga dapat

mengurangi upaya anak untuk menahan kencing.

e. Stres psikologis kronik. Keadaan ini tidak terkait dengan pengalaman

pelatihan buang air tapi terjadi selama periode anak belajar berjalan,

juga dapat mengganggu kemampuan anak untuk mengontrol BAK

(Behrman dkk, 1999).

f. Stres sosial, seperti kepadatan penghuni yang berlebihan, imigrasi,

ketidakberuntungan sosioekonomi, dan kondisi psikopatologi keluarga

(Behrman dkk, 1999).

3. Jenis Enuresis

Enuresis dapat dibagi menjadi 2 tipe, yakni :

a. Menetap (atau enuresis primer), yakni pada malam hari anak tidak

pernah kering (selalu mengompol) (Behrman, 1999). Menurut Aziz

(2006) bahwa tipe ini disebut enuresis nokturnal (mengompol yang

terjadi di malam hari). Enuresis tetap pada malam hari ini sering akibat

pelatihan buang air tidak tepat atau tidak memadai. Enuresis nokturnal

terbukti terjadi pada seluruh siklus tidur. Enuresis nokturnal biasanya

berhenti pada usia antara 6 dan 8 tahun, walaupun kadang-kadang

mengompol ini berlanjut sampai masa remaja (Wong, 2008).

b. Regresif (atau enuresis sekunder), yakni anak yang telah dapat

mengendalikan untuk sekurang-kurangnya 1 tahun mulai mengompol

(51)

enuresis diurnal (mengompol yang terjadi di siang hari). Tipe ini

dipercepat oleh peristiwa-peristiwa lingkungan yang penuh tekanan,

seperti pindah ke rumah baru, konflik perkawinan, kelahiran saudara

kandung, atau kematian dalam keluarga. Mengompol demikian adalah

sebentar-sebentar (intermitten) dan sementara; prognosisnya lebih baik

dan penatalaksanaannya lebih mudah daripada anak dengan

mengompol primer (Behrman dkk, 1999).

4. Faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Mengompol

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebiasaan

mengompol pada anak adalah sebagai berikut :

a. Faktor biologis

Faktor biologis ini meliputi faktor organik dan faktor

keturunan/genetik. Faktor organik misalnya kerusakan saraf

kongenital, masalah struktural pada sistem genitourinari, infeksi

saluran kemih atau kandung kemih dan beberapa penyakit kronik

seperti diabetes, kejang atau penyakit sel sabit “sickle cell disease”

dapat menyebabkan anak mengalami enuresis (Walker, 1995 dalam

Schroeder, 2002).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa ahli

menunjukkan bahwa enuresis primer bisa terjadi akibat faktor

keturunan. Apabila kedua orang tua mempunyai riwayat enuresis maka

77% kemungkinan anak mereka mengalami hal yang sama. Apabila

(52)

sekitar 44% kemungkinan anak akan terpengaruh. Namun, apabila

tidak ada satupun orang tua yang pernah mengalami enuresis, maka

kemungkinan anak terkena enuresis hanya 15% (Baldew, 1984 dalam

Kurniawati dkk, 2007). Berdasarkan penelitian lain, anak beresiko

mengalami enuresis secara genetik dikarenakan adanya mutasi gen

pada kromosom 13 (DSM-IV-TR, 2000).

b. Faktor psikologis

Enuresis merupakan hasil dari gangguan emosi, konflik psikologis

atau ansietas (Pierce, 1971 dalam Schroeder, 2002). Menurut

Tambunan (2005 dalam Daulay, 2008) bahwa enuresis sekunder sering

dihubungkan sebagai akibat stres psikologik sedangkan pada enuresis

primer peranan psikologik sangat kecil. Stres psikologik dapat berupa

pindah ke rumah baru, konflik perkawinan, kelahiran saudara kandung,

atau kematian dalam keluarga (Aziz, 2006).

Peranan enuresis sebagai penyebab gangguan emosi pada anak

telah terbukti melalui berbagai penelitian. Anak dengan enuresis

merasa harga dirinya berkurang dan kurang percaya diri terutama pada

anak yang sudah besar dan anak perempuan. Menurunnya rasa percaya

diri pasien enuresis dapat diperberat oleh sikap orang tua yang kurang

toleran terhadap keadaan anaknya (Tambunan, 2005 dalam Daulay,

(53)

c. Faktor keluarga

Perkembangan intelektual anak yang berjalan dengan pesat pada

masa usia prasekolah akan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan

(Hurlock, 1974 dalam Sulistyaningsih, 2005). Keluarga merupakan

lingkungan terdekat bagi anak, terutama orang tua khususnya ibu

(Muscari, 2005). Ibu berperan sebagai pendidik pertama dan utama

dalam keluarga sehingga ibu perlu dibekali pengetahuan dan

keterampilan agar mengerti dan terampil dalam melaksanakan

pengasuhan anak sehingga dapat bersikap positif dalam membimbing

tumbuh kembang anak secara baik dan sesuai dengan tahap

perkembangannya (Soendjajo, 2003 dalam Dwijayanti, 2008).

Pengetahuan yang dimiliki oleh ibu dapat dipengaruhi oleh beberapa

faktor seperti usia, pekerjaan, tingkat pendidikan, dan sebagainya

(Notoatmodjo, 2003)

Faktor tingkat pendidikan orang tua merupakan sesuatu yang besar

pengaruhnya terhadap perkembangan anak (Hurlock, 1974 dan

Haditono, 1979 dalam Sulistyaningsih, 2005). Tingkat pendidikan

orang tua ini berkorelasi positif dengan cara mereka mengasuh anak,

sementara pengasuhan anak berhubungan dengan perkembangan anak.

Hal ini berarti semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua akan

semakin baik pula cara pengasuhan anak, dan akibatnya perkembangan

anak terpengaruh berjalan secara positif. Sebaliknya, semakin rendah

(54)

sehingga perkembangan anak berjalan kurang menguntungkan

(Sulistyaningsih, 2005).

Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa ibu

dengan cukup usia memiliki tingkat kematangan dalam berpikir dan

bekerja (Hurlock, 1998 dalam Nursalam dan Pariani, 2001). Selain itu,

tingkat pendidikan mempengaruhi seberapa besar pengetahuan ibu

dalam hal ini adalah penerapan toilet training dalam upaya mengatasi

kebiasaan mengompol anak. Menurut DSM IV orang tua yang

memiliki anak yang mengompol biasanya kurang memperhatikan

proses toilet training, bahkan cenderung menyalahkan anaknya jika

anak mengompol sehingga semakin membuat anak menjadi tertekan,

bahkan anak berusaha menyembunyikan celana atau linennya jika anak

mengompol, karena takut dimarahi atau disalahkan (DSM-IV-TR,

2000).

5. Penatalaksanaan

Berikut ini beberapa cara untuk menghilangkan atau mengatasi

kebiasaan mengompol adalah sebagai berikut :

a. Obat-obatan, misalnya :

1) Obat antidepresan trisiklik imipramin (Tofranil) digunakan untuk

menghambat urinasi,

2) Obat antikolinergik lain, yaitu oksibutinin, mengurangi kontraksi

kandung kemih yang bebas hambatan dan mungkin membantu bagi

(55)

3) Desmopresin nasal semprot (DDAVP), analog dengan vasopressin,

mengurangi haluaran urin di malam hari sampai volume yang

kurang dari kapasitas kandung kemih fungsional (Wong, 2008).

b. Pelatihan kandung kemih, sebaiknya jangan dilakukan terlalu dini

tetapi tidak mengabaikan toilet training juga (Aziz, 2006).

c. Pembatasan atau eliminasi cairan setelah makan malam (Wong, 2008).

d. Bangun di malam hari untuk berkemih. Cara ini perlu diperhatikan

karena membangunkan anak secara berulang-ulang untuk

mengantarkannya ke kamar mandi adalah berguna hanya pada

beberapa anak dan lebih lanjut dapat menimbulkan dan

membangkitkan amarah pada anak atau orang tua. Agar dapat

menghindari masalah tersebut dapat dilakukan dengan cara mengontrol

buang air kecil anak dengan lebih baik, misalnya dalam waktu-waktu

tertentu, setiap jarak berapa jam membangunkan anak untuk diantar ke

kamar mandi (Aziz, 2006).

e. Beberapa jenis peralatan elektrik yang dirancang untuk membuat

respon refleks yang dapat dikondisikan guna membangunkan anak

pada saat mulai berkemih (Wong, 2008).

f. Pemberian hadiah/imbalan pada anak untuk tidak mengompol pada

malam hari, misalnya orang tua memberikan hadiah kecil untuk anak

yang tidak mengompol pada satu atau dua malam; jika

keberhasilannya semakin meningkat maka hadiah yang lebih besar

(56)

g. Hukuman atau penghinaan terhadap anak oleh orang tua atau orang

lain harus benar-benar dihindari (Behrman dkk, 1999). Cara ini harus

dihindari karena orang tua yang menghukum dan memarahi anak jika

anak mengompol tidak akan memperbaiki keadaan karena akan

membuat anak merasa cemas dan merasa bersalah, akibatnya muncul

ketegangan sehingga anak megalami kebiasaan mengompol (Aziz,

2006).

h. Mengajak bicara anak bahwa mengompolnya bukanlah suatu penyakit,

tetapi hanya kebiasaan anak kecil yang dapat diperbaiki jika anak mau

berusaha. Apabila anak sudah dapat diajak bicara, akan lebih

mempermudah penanganannya karena kunci untuk menyelesaikan

semua masalah adalah pada cara mengomunikasikan masalah itu

sendiri. Orang tua harus mampu mengomunikasikan kebiasaan buruk

anak ini dengan penuh kasih sayang dan perhatian sehingga anak

memiliki hasrat yang kuat untuk keluar dari kebiasaan itu (Aziz, 2006).

i. Mencari sumber stres anak. Tindakan ini dilakukan apabila semua

tindakan sudah dilakukan. Apabila sudah ditemukan sumber stres anak

maka tindakan orang tua dan guru adalah menurunkan tingkat stres

anak. Untuk itu, diperlukan kedekatan dengan anak (Aziz, 2006).

j. Memberikan kasih sayang dan ketenangan anak sebelum tidur.

Berbincang-bincang atau mendongeng akan membuat anak merasa

nyaman dan tidur dengan perasaan santai dan senang (Aziz, 2006).

k. Pemberlakuan konsekuensi untuk anak yang sudah cukup mampu

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian ………………………………………. 49
Tabel 5.12 Distribusi frekuensi kebiasaan mengompol anak usia prasekolah di
Gambar 2.1 Kerangka Teori Pengetahuan dan Perilaku Ibu dalam Menerapkan Toilet Training dengan Kebiasaan Mengompol (Enuresis) pada Anak Usia Prasekolah (Wong, 2008; Behrman dkk, 1999, Notoatmodjo, 2003; Sunaryo, 2004; Muscari, 2005; dan Aziz, 2006 )
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu tentang Toilet training dengan kecenderungan perilaku BAB dan BAK pada anak usia

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan sebagian besar dukungan orang tua terhadap keberhasilan toilet training pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi Sine 1 Sragen

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dukungan orang tua dengan keberhasilan toilet training pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi Sine 1 Sragen. Metode

Sedangkan perbedaanya pada variabel bebas, penelitian ini sikap ibu tentang pelaksanaan toilet training pada anak usia toodler, pengambilan sampel menggunakan

Berdasarka analisa disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara motivasi dengan perilaku ibu dalam melakukan toilet training anak usia toddler di dusun

Pemahaman tersebut akan dilihat dari pengetahuan ibu akan pentingnya toilet training , penentuan kesiapan psikologis dan fisiologis anak, usia dimulainya pelatihan, cara

Selain faktor diatas keberhasilan toilet training pada anak juga dipengaruhi oleh pola asuh orangtua yang mengabaikan toilet training pada malam hari, hal ini

Untuk membuktikan hipotesis penelitian adanya hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan praktik toilet training pada ibu yang mempunyai anak usia toddler , maka analisa