• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tokoh Konfusianisme

Dalam dokumen Tokugawa Dan Konfusianisme (Halaman 48-63)

KONFUSIANISME DAN FEODALISME

2.4 Tokoh Konfusianisme

Yang menjadi tokoh utama yang mempelopori dan menyebarkan ajaran Konfusianisme adalah Konfusius sendiri. Yang mengajarkan banyak hal mengenai kebajikan yang akhirnya ditulis dalam buku kumpulan kata-kata bijaknya, Analects. Setelah Konfusius banyak bermunculan orang-orang yang mempelajari dan mendalami ajarannya. Beberapa dari mereka semakin menyempurnakannya walau ada juga yang memberi penafsiran berbeda-beda. Mereka antara lain adalah sebagai berikut.

1. Mensius (Mengzi )

Mensius (371-289 SM) dianggap oleh sebagian besar sejarawan sebagai Konfusian agung nomor dua. Ia menyebarkan Konfusianisme lebih jauh lagi dengan memberikan sumbangan pemikirannya yang unik. Ia hidup pada suatu periode kekacauan politik di Cina yang serupa dengan keadaan di masa Konfusius. Banyak kerajaan kecil yang saling bertarung silih berganti untuk mendapatkan kekuasaan dan tanah, sehingga menimbulkan ketidaktenteraman dan kesulitan besar bagi rakyat biasa.

Mensius dilahirkan di wilayah yang sama dengan Konfusius. Namanya yang sesungguhnya adalah Mang-tzu, tetapi lalu dilatinkan sehingga di Barat ia lebih dikenal dengan nama Latin, Mensius. Ayah Mensius telah berumur ketika menikahi ibunya, dan meninggal ketika Mensius masih sangat kecil. Ibu Mensius adalah seorang wanita yang luar biasa dan dilukiskan sebagai panutan tentang bagaimana seharusnya seorang ibu dan dialah yang menyemangati Mensius untuk serius terhadap pendidikan. Ketika akhirnya Mensius menikah dan mempunyai keluarga sendiri, ia tetap mempertahankan hubungan dengan ibunya selama hidupnya.

Mensius mempelajari Konfusianisme di bawah seorang murid Tzu Szu, cucu laki-laki Konfusius. Mensius mengajarkan agar para pemimpin untuk secara tulus

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

memperhatikan rakyatnya. Ia mengajarkan jika penguasa bermurah hati dan meningkatkan taraf hidup orang banyak, rakyat akan memberikan dukungan sepenuhnya pada pemerintah. Mensius tidak percaya bahwa raja dapat memerintah dengan kekerasan. Langit memberikan mandat kepada penguasa agar mereka dapat berkuasa. Jika mereka memerintah dengan kemurahan hati dan keadilan, dengan sendirinya rakyat akan tetap setia. Jika tidak, berarti penguasa itu telah melanggar mandatnya, dan rakyat berhak untuk memberontak. Ia menasihati para pemimpin agar mengawali pemerintahannya dengan kebaikan.

Mensius percaya pada prinsip demokrasi. Ia mengusulkan agar semua orang diperlakukan setara, begitu pula kehendak dan kesejahteraan rakyat dijadikan esensi dari sebuah negara. Yang diinginkan oleh rakyat merupakan sesuatu yang utama. Penguasa seharusnya berbagi sumber daya dengan rakyat, memerintah dengan hati dan bukannya dengan pedang. Pemerintah diktatorial pada akhirnya akan gagal.

Menurut Mensius, ketika orang memandang rendah dirinya sendiri, maka orang lain akan memandang rendah pula. Sebaliknya jika orang belajar menghormati orang lain, harus lebih dulu menghormati diri sendiri. Orang itu sendiri yang menciptakan banyak persoalan melalui pikiran dan perasaannya mengenai diri sendiri. Perasaan negatif atas diri sendiri akan menjerumuskan seseorang ke dalam lumpur konflik dan kekacauan. Terlebih dahulu mengembangkan kesadaran terhadap diri sendiri adalah langkah pertama. Mensius mendapati bahwa orang sering bekerja dengan sedikit sekali kesadaran atas diri sendiri maupun tindakan mereka. “Sebagian besar orang melakukan sesuatu tanpa mengetahui apa yang mereka lakukan dan terus melakukannya tanpa pikiran apapun terhadap hal-hal yang mereka lakukan. Mereka melakukannya sepanjang hidup tanpa pernah memahami Jalan (Mensius dalam Simpkins, 2000:26)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Dengan tegas Mensius menyatakan bahwa sifat manusia itu baik. Ia percaya bahwa semua orang memiliki perasaan bahwa mereka tidak dapat menyaksikan orang lain menderita. Banyak yang membantah anggapan ini karena banyaknya kejahatan di dunia, namun Mensius menjawab bahwa walau sifat alami manusia itu baik, namun ada kalanya orang berpaling dari hal positif tanpa menyadarinya. Pengalaman hidup mempengaruhi mereka. Mensius bersikap optimis tentang potensi manusia dengan meyakini satu hal, yaitu meskipun pengaruh negatif lingkungan akan mengalihkan seseorang dari kebaikan batin, tetapi dia selalu dapat meraih kembali kebaikan itu. Manusia sebenarnya memiliki pengetahuan intuitif mengenai hal yang benar dan salah. Ia dapat mengolah sifat alaminya yang lebih baik, demikian menurut Mensius.

Pribadi yang unggul adalah “pribadi jen”. Serupa dengan Konfusius, Mensius mempercayai jen sebagai ciri untuk menjadi manusia dalam pengertiannya yang paling baik. Jen inilah yang membedakan manusia dari binatang—yakni kemampuan untuk berperilaku dengan murah hati, kasih sayang, dan menghormati orang lain. Orang bijak adalah orang yang murah hati dan menghormati sesama. Karenanya individu jen memenuhi pikiran mereka dengan cinta dan rasa hormat. Praktis kualitas ini dimulai dalam keluarga, terutama dari orangtua. Kepatuhan anak kepada orangtuanya merupakan nilai penting di mata kaum Konfusian.

2. Hsün-tzu (Xun-zi )

Hsün-tzu (298-238) mengambil jalur berbeda dengan Konfusian lain. Ia mengatakan bahwa sifat alami manusia pada dasarnya buruk, tetapi dapat diperbaiki. Karena hal ini, karya Hsün-tzu tidak menjadi bagian dari karya klasik Konfusian. Ia bersikeras bahwa manusia dilahirkan dengan perasaan, dorongan, dan nafsu untuk benci

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

dan dengki terhadap orang lain. Kalau dibiarkan tidak tertangani, kecenderungan dalam diri akan menciptakan bencana. Bagi Hsün-tzu, kecenderungan ini tidak dapat dihindari. Belajar adalah harapan bagi umat manusia. Orang dapat menjadi beradab melalui guru yang baik dan budaya yang mengalami evolusi. Berbeda dengan Konfusius dan Mensius yang berpendapat bahwa pendidikan dimaksudkan untuk memperbaiki kodrat, maka Hsün-tzu percaya bahwa pendidikan berfungsi untuk mengubah sifat yang jahat menjadi baik. Hsün-tzu percaya bahwa semua orang diberkahi dengan kecerdasan, dan melalui pengarahan sadar atas dorongan negatif untuk menjadi baik, manusia dapat berkembang. Dan ia juga sangat percaya akan budaya manusia. Melalui pengaturan dalam sebuah sistem yang luhur dan positif, manusia dapat menjadi baik serta menjalani kehidupan yang beradab dan bahagia.

Salah satu kontribusi Hsün-tzu pada Konfusianisme adalah analisisnya terhadap pembetulan sebutan nama. Istilah ini merujuk pada penggunaan bahasa dan istilah yang benar. Konfusius dan Mensius sama-sama mengakui masalah ini, tetapi hanya Hsün-tzu yang mengembangkan solusinya. Hsün-tzu percaya bahwa setiap sebutan atau nama seharusnya menunjuk pada sesuatu hal yang khas. Kebingungan akan muncul jika kata yang sama digunakan untuk melukiskan hal-hal yang berbeda atau kerap kali saling bertolak belakang.

Hsün-tzu memberikan banyak contoh bagaimana sebutan nama dan benda saling berhubungan. Terkadang dua hal memiliki penampilanyang sama, padahal benar-benar berbeda. Jumlah kasus ini, keduanya harus mendapatkan sebutan atau nama yang berbeda. Sebaliknya sejumlah hal tampaknya berbeda, padahal sesungguhnya sama, hanya saja dengan waktu yang berlainan. Misalnya, seorang pemuda bertumbuh menjadi tua, tetapi ia tetap orang yang sama. Hsün-tzu percaya bahwa ketika orang

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

bersedia untuk menggunakan kata-kata dengan benar dan jernih, maka akan terbentuk lebih banyak kerjasama dan berkurangnya salah paham.

3. Tung Chung-shu

Tung Chung-shu (179-104 SM) adalah seorang penyatu Konfusian di masa kekuasaan dinasti Han. Ia meredam paham otoritarianisme Hsün-tzu dengan pandangan Mensius tentang sifat alami manusia yang positif, sehingga terbentuk integrasi dari kedua teori yang optimistis mengenai potensi manusia dalam hubungan yang realistis. Tung berpendapat bahwa sifat manusia memiliki potensi baik, tetapi tidak secara otomatis menjadi nyata. Tung percaya bahwa dengan pemerintahan yang bermoral dan bijaksana, maka masyarakat dapat membantu orang untuk memenuhi potensi positif menjadi baik.

Tung percaya bahwa Langit, Bumi, dan manusia terhubung satu sama lain, seperti halnya tangan dan kaki yang terhubung ke tubuh. Ia meningkatkan status manusia dengan menganggap manusia sebagai duplikat Langit, baik fisik maupun mental. Cara manusia mewujudkan kesempurnaan adalah melalui ritual dan musik- budaya. Tung percaya bahwa manusia melengkapi Langit. manusia adalah bagian dari kosmos yang tidak terpisahkan.

Tung mencocokkan Konfusianisme dengan dua gagasan penting di jamannya, teori Yin-Yang dan Lima Unsur. Tung berpendapat bahwa alam semesta terdiri dari sepuluh bagian, yaitu Langit, Bumi, Yin, Yang, Lima Unsur (kayu, api, tanah, logam, dan air), serta manusia. Orang terus-menerus terbenam dalam Yin dan Yang, ibarat ikan yang hidup di dalam air. Segala sesuatu yang terjadi adalah akibat dari Yin dan Yang

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

beserta semua gerakannya. Tidak ada yang tetap. Satu-satunya yang tetap hanyalah berubahnya segala sesuatu.

4. Chou Tun-I (Zhou Dun-yi )

Chou Tun-I (1017-1073) adalah pelopor Neo-Konfusianisme. Ia mengintegrasikan I-Ching bersama teori Taoisme tentang Ying-Yang, dan Tao sehingga menghasilkan sejumlah gagasan yang menjadi dasar bagi Neo-Konfusianisme.

Chou dipengaruhi oleh Taoisme dan Zen. Ia mencintai segenap kehidupan. Ia begitu mendalaminya dengan menghormati alam yang apa adanya sehingga ia tidak pernah memangkas rumput di luar jendelanya. Ia mengajar dan sangat mempengaruhi dua bersaudara Cheng yang belakangan menjadi pendiri dua aliran Neo-Konfusianisme yang saling berlainan. Buddhisme memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pemikiran Chou sehingga kedua bersaudara itu menyebutnya sebagi “penganut Zen yang malang” (Chan dalam Alexander Simpkins, 2000:45). Kejeniusan Chou diperlihatkan dalam mengintegrasikan gagasan Buddhis maupun Taois sambil mempertahankan fondasi Konfusianisme yang kuat.

Chou menganut pandangan kosmologis dalam Konfusianisme. Ia menciptakan Diagram Keutamaan Tertinggi atau Tai-chi Tu yang digunakan oleh kaum Taois. Ia menjelaskan bahwa Keutamaan Agung selalu menghasilkan Yang melalui gerakan. Ketika kegiatan telah mencapai batasnya, Keutamaan Agung selalu menghasilkan Yin dan segala sesuatunya menjadi tenang. Siklus ini terus berulang dan terus-menerus bergerak di antara kegiatan dan ketenangan. Lima Unsur muncul dari gerakan di antara

Yin dan Yang. Semuanya berasal dari Keutamaan Agung dan dalam kaitan ini menyatu

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Seperti halnya kaum Buddhis berusaha mencapai suatu keberadaan yang ideal— yakni menjadi Buddha—maka Chou mendorong kaum Neo-Konfusian untuk berjuang menjadi orang bijaksana, yakni manusia yang sempurna. Semua manusia dianugerahi kecerdasan dan kesadaran beserta lima prinsip moral di dalam sifat alami mereka, yaitu jen, kebaikan, kesantunan, kebijaksanaan, dan kesetiaan. Orang bijak mengembangkan kualitas ini dan mempelajari cara untuk mengekspresikannya di dalam kehidupan sehari-hari. Bagitu kualitas ini berkembang, boleh dikatakan bahwa orang bijak ini akan menikmati peruntungan yang baik. Orang yang melanggar prinsip ini akan menghadapi nasib buruk dan tidak bahagia. Seperti halnya kaum Konfusian yang terdahulu, Chou pun percaya bahwa ketulusan adalah fondasi yang membuat segala proses berjalan.

5. Chang Tsai (Zhang zai )

Chang Tsai (1020-1077) adalah cendekiawan abad kesebelas lainnya yang ikut menentukan arah aliran Neo-Konfusianisme. Selama masa kecilnya di Ch’ang-an— sekarang Shensi di Cina—ia mencurahkan diri mempelajari Konfusianisme. Tetapi kemudian ia tidak puas terhadap filsafat ini dan mempelajari Buddhisme serta Taoisme. Ia mempelajari kembali karya klasik Konfusian, terutama I Ching dan The Doctrine of

the Mean. Cheng bersaudara belajar padanya sehingga ia ikut memberikan pengaruhnya

pada perumusan dua aliran Neo-Konfusianisme.

Teori kosmologis Chang berbeda dengan Chou. Bagi Chang, kekuatan moral yang disebutnya sebagai chi sama saja dengan Keagungan Utama. Ia menganggap bahwa segala hal lainnya seperti Yin-Yang, sedangkan Lima Unsur hanyalah aspek chi. Dipengaruhi oleh Buddhisme dan Taoisme, Chang percaya bahwa semua benda material dimulai dari kehampaan agung yang terwujud sebagai suatu keselarasan antara

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

kegiatan dan ketenangan, Segala sesuatunya menyatu menjadi sesuatu yang tunggal, yakni Jalan (Tao). Meskipun Satu, alam semesta mewujud dengan cara-cara individual yang unik.

Seperti kaum Konfusian lainnya, Chang menempatkan umat manusia sebagai pemeran utama. Langit dan Bumi adalah orangtua universal. Langit adalah ayah bagi Chang dan Bumu adalah ibunya. Ia memandang segala sesuatu yang mengisi alam semesta sebagai bagian dari sifat alaminya. Semua orang adalah saudaranya dan segala sesuatu adalah sahabatnya. Chang percaya bahwa seharusnya manusia saling mencintai dengan sesamanya serta memperlakukan segala sesuatu dan setiap orang sebagai anggota keluarga tercinta atau sahabat.

Orang dapat hidup selaras dengan alam semesta dengan semata menjalani hidup yang normal dan alami, melakukan tugas mereka sebagai anggota masyarakat dan dunia. Jika tidak mampu melakukannya, kata Chang, maka manusia akan tetap berada dalam mimpi seumur hidup, Akibatnya, manusia tidak akan bangkit menjadi orang bijak yang sejati yang sesungguhnya dapat dicapai.

6. Cheng Bersaudara

Cheng bersaudara, yaitu Cheng-Hao (1032-1085) dan Cheng-I ( 1033- 1108) adalah murid Chou Tun-I dan keponakan Chang Tsai. Cheng-I percaya bahwa prinsip hukum alam mengatur segala sesuatunya dari dalam, memberikan pola pada berbagai ciptaan hidup. Ia mendirikan aliran Neo-Konfusianisme rasional, yakni Aliran Prinsip. Aliran yang didirikannya dikembangkan dengan sempurna oleh Chu Hsi. Filsafat ini disebut Aliran Cheng-Chu.

Sementara itu Cheng-Hao memimpikan suatu pikiran universal yang menyatukan segala sesuatu dan mengembangkan pandangan metafisika mengenai

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

ketunggalan yang mengarah pada aliran Neo-Konfusianisme yang idealistis. Ajarannya dikembangkan oleh Lu Chiu-yuan (1139-1193) dan kelak dievolusikan lagi oleh Wang Yang-ming. Aliran ini menjadi Aliran Lu-wang yang dikenal juga sebagai Aliran Pikiran.

Cheng-Hao memiliki tabiat yang sangat berbeda dengan adiknya, Cheng-I. Sementara Cheng-I sangat keras, kritis, dan tegar bersikukuh mempertahankan pendapatnya, maka Cheng-Hao adalah lelaki yang lembut, hangat, suka bersepakat dan toleran. Perbedaan kepribadian inilah yang mungkin telah mencuatkan berbedanya penekanan mereka pada penafsiran terhadap Konfusianisme.

Perbedaan utama dalam teori kedua bersaudara itu adalah Cheng-Hao berfokus pada pengolahan pikiran kita sendiri, maka Cheng-I menekankan pengolahan diri dengan pembelajaran dan pengetahuan. Cheng-I percaya bahwa prinsip terdapat pada segala sesuatu dan bahwa pembelajaran adalah jalan untuk memahami prinsip-prinsip ini. Secara tulus menerapkan pembelajaran pada diri sendiri menjadi sesuatu yang utama, karena segala sesuatu—dari hal yang paling kecil hingga yang paling luas— memuat prinsip. Semakin seseorang belajar, maka ia semakin memahami prinsip itu.

Cheng-Hao merasa telah melakukan terobosan paling penting dengan menglihkan perhatiannya ke dalam batinnya sendiri, sehingga ia percaya bahwa mengembangkan batin sendiri adalah sesuatu yang lebih penting. Ia berusaha untuk menjadi tenang dan tidak memihak. Ia berusaha untuk mengembangkan konsentrasi yang serius dan tulus, maka mereka akan mengenali ketunggalan segala sesuatu. Cheng- Hao menyatakan prinsip dan pikiran itu satu.

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Chu Hsi (1130-1200), murid Cheng-I, adalah cendekiawan terkemuka dari aliran Neo-Konfusianisme rasional dan merupakan salah satu tokoh Neo-Konfusianisme yang paling penting serta berpengaruh. Chu Hsi dilahirkan di sebuah keluarga intelektual. Ia mempelajari Buddhisme dan Taoisme, lalu kembali ke Konfusianisme. Doktrinnya menggabungkan berbagai aspek dari teori-teori itu.

Setelah Tao diterima dan dihayati sepenuhnya, berasal dari Langit untuk ditetapkan di dunia manusia, maka dunia realitas objektif pun tidak lagi diperlakukan semata sebgai dunia objek. Sebaliknya, dunia terdiri dari eneri yang berbentuk materi dan disertai dengan prinsip.

Pola bentuk yang ideal terwujud pada benda aktual yang nyata. Contoh berikut menjelaskan hal itu. Tujuan dari pesawat adalah terbang. Rancangan bentuknya mendukung pesawat untuk terbang. Pesawat penumpang memiliki li individual yang berbeda dengan pesawat tempur. Pesawat jumbo jet tidak akan dapat menjadi pesawat tempur yang baik. Tiap jenis pesawat memiliki li individualnya sendiri, selain memiliki

li ideal yang umum bagi semua pesawat, yakni suatu fungsi li yang utama.

Terbang, pada saat terjadi, adalah aksinya, tetapi bukan li. Walau demikian, aksi atau tindakan adalah suatu fungsi li, sehingga tindakan tergantung pada li. Jadi orang harus mencari prinsip agar dapat bertindak dengan benar. Prinsip itu dapat ditemukan di dalam tindakan, tetapi prinsip tidak berasal dari tindakan.

Dalam teori Chu Hsi, li sebagai prinsip itu melekat dalam materi, tidak terpisahkan darinya. Teori itu menyatakan bahwa li menghasilkan substansi yang disebut chi. Substansi tidak akan ada tanpa li, tetapi li sendiri tidak membutuhkan substansi. Ekspresi yang sesungguhnya ada di dunia adalah chi, sedangkan potensi dalam bentuk ideal adalah li. Prinsip bukan hanya melekat pada substansi. Prinsip juga

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

melekat dalam materi sosial. Segala sesuatu yang orang lakukan seyogianya dituntun oleh prinsip.

Tao Langit, Tao Bumi, dan Tao Manusia sama-sama mengikuti Tao Universal, mengerahkan sifat alaminya dengan prinsip batin. Li memang unggul, tetapi bukan yang tertinggi. Li menciptakan substansi, tetapi bukan penguasanya. Pikiranlah yang menjadi penguasa. Chu Hsi menyatakan bahwa tanpa pikiran, prinsip tidak memiliki tempat untuk menetap.

Menurut Chu Hsi, orang bijak perlu berupaya untuk menyempurnakan diri dengan secara tulus mengembangkan pengetahuan. Pengambangan pengetahuan ini dicapai dengan penyelidikan yang dikombinasikan dengan pikiran analitis guna mencari makna sejati dari segala hal.

Seperti halnya Mensius, Chu Hsi percaya bahwa sifat alami manusia pada dasarnya baik, yakni sesuatu yang dianugerahkan oleh Langit. Tindakan sosial yang tulus dan sesuai dengan keluhuran cinta, kebaikan, kesantunan serta kebijaksaan adalah adalah Tao yang terdapat pada interaksi manusia. Tujuan dari pembelajaran dan pendidikan moral yang dianjurkan Chu Hsi adalah menyingkirkan pandangan salah dan ketidaktahuan yang merintangi bersinarnya sifat alami kita yang baik.

Karena itu Chu Hsi sangat menyadari pentingnya fokus dan konsentrasi yang memungkinkan sifat alami batin kita terealisasi dalam keadaan yang tulus dan murni.

Sifat alami pikiran adalah cinta, jen. Tao Langit yang mutlak adalah sesuatu yang mendahului etika, mendahului cinta, dan mendahului kebaikan.

Tao adalah ketulusan dan nilai. Dan sumber dari nilai terdapat di dalm sifat alami, bukan terpisah darinya. Tao merujuk pada sifat alami mistis yang terdapat pada segala hal. Karena itu tidak diperlukan pembedaan, walau deskripsi mengenai hal ini tampaknya membedakan antara manifestasi individual dengan hakikat transendental.

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Tao adalah keduanya—hakikat yang menyatu. Akar dan buahnya merupakan suatu sifat alami hakikat yang tunggal, tanaman yang sama. Buahnya tidak mungkin dihasilkan tanpa terjadinya kontak dengan akarnya, dalam kehidupan sehari-hari.

Hubungan manusia berkaitan erat dengan Tao, cinta, ketulusan, dan hukum. Semua itu adalah bagian dari sifat alami yang sejati, tidak terpisah atau hampa. Segalanya harus dihormati dan terlibat dengan tulus.

“Chu Hsi mendorong kita untuk berpikir positif dalam rangka menjadi benar dan jujur terhadap realitas. Yang penting adalah pikiran dan tindakan kita. Yang sangat penting dalam kaitan ini adalah hal-hal yang kita lakukan dan cara kita memperlakukan orang lain dalam kehidupan sehari-hari kita. Chu Hsi mengembalikan fokus kita pada kehidupan kita yang pribadi, kehidupan sehari-hari, agar hidup dan berhubungan dengan orang lain dengan tulus dan serius. Seharusnya kita menjalani peran kita dalam struktur kehidupan sosial dengan antusias dan cinta sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan yang tercerahkan.” (Simpkins 2000, 58-59)

8. Lu Hsiang-shan ( )

Lu Chiu-yuan ( 1139-1193), juga dikenal sebagai Lu Hsiang-shan, adalah penduduk asli Provinsi Kongsi. Di depan umum, ia bertentangan dengan Chu Hsi mengenai beberapa konsep, tetapi secara pribadi mereka berteman. Aliran Neo- Konfuasianisme yang dianut Lu, yaitu Aliran Lu-wang, mempercayai mungkinnya penerangan yang spontan, yang mana kepercayaan ini bertolak belakang dengan aliran Chu Hsi yang menekankan mutlaknya pembelajaran dan penggalian lebih dalam dan bertahap untuk mencapai penerangan. Dalam sebuah teks kuno yang menjelaskan konsep yu dan chou, Lu membaca bahwa yu mengacu pada titik-titik arah kompas hasil kombinasi arah atas dan bawah, sedangkan chou merujuk pada objek-objek masa lalu,

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

masa kini, serta masa depan. Lu mengalami penerangan spontan dari konsep-konsep ini. Ia menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta berada dalam ruang lingkup tugasnya; dan ruang lingkup tugasnya mencakup semua kejadian di alam semesta. (Fung Yu-lan dalam Simpkins, 2000:59)

Kemudian Lu mencapai pemahaman yang lebih mendalam bahwa alam semesta adalah pikirannya dan pikirannya adalah alam semesta. Bagi Lu, li bukanlah hakikat yang ada di dalam batin atau sifat alami. Li adalah pikiran. Dan segalanya adalah pikiran.

9. Wang Yang-ming ( )

Wang Yang-ming (1472-1529), mengembangkan Aliran Lu-wang dalam Konfusianisme. Pada masa awalnya, ia mencoba mengikuti gagasan Chu Hsi untuk

Dalam dokumen Tokugawa Dan Konfusianisme (Halaman 48-63)

Dokumen terkait