Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
TOKUGAWA DAN KONFUSIANISME
SKRIPSI
Skripsi ini Diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana
Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh:
MELDA HUTABARAT
NIM: 010708003
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA JEPANG S-1
MEDAN
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Pujian syukur hanyalah bagi Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat, berkat dan
kasih-Nya yang besar dalam hidup saya yang sampai saat ini tetap mengiringi langkah
saya. Tiada kata yang cukup besar untuk menggambarkan betapa besar kuasa dan kasih
yang dinyatakan-Nya dalam hidup saya.
Saya mampu menyelesaikan skripsi ini juga atas dukungan dan doa dari
orang-orang terdekat. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera
Utara atas kesempatan yang diberikan pada saya menuntut ilmu di Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara.
2. Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. selaku Ketua Jurusan Sastra Jepang dan
Pembimbing Satu atas kesabaran dan waktu yang anda sediakan untuk membimbing
dalam mengerjakan skripsi saya, juga untuk ilmu yang anda berikan selama
mengajar saya dan teman-teman di kelas.
3. Drs. Nandhi S. selaku Pembimbing Dua atas bimbingan dan waktu yang anda
sediakan untuk membimbing dalam mengerjakan skripsi saya selama ini, juga untuk
ilmu yang anda berikan selama anda mengajar saya dan teman-teman di kelas.
4. Seluruh dosen Jurusan Sastra Jepang Dra. Adriana Hasibuan, Drs. Pujiono, Drs.
Amin Sihombing, Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum., Drs. H. Yuddi Adrian M. atas
bimbingannya selama saya menuntut ilmu di Jurusan Satra Jepang.
5. Kedua orangtua saya, T. Hutabarat dan R. Nainggolan, atas doa, pengertian, dan
dukungannya selama ini. Adik-adik saya, Marta, Palti, Rohani, dan Manuel atas
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
6. Saudara-saudara dari UKM KMK USU seluruh unit pelayanan — terkhusus UP FS
— KTB Metanoia-Megumi, KK Hikaru-Entheos-Fa’Omasi, dan KK Amazia atas
doa dan dukungannya selama ini.
7. Sahabat doa dan kakakku, Saden Silitonga dan Iventura Tamba atas doa dan
dukungannya selama ini.
8. Untuk semua orang yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih banyak.
Tuhan yang akan membalas setiap budi baik saudara dan rekan-rekan selama ini.
Tentulah masih banyak kekurangan dalam skripsi ini walau saya sudah
semampunya mengerjakannya, dengan segala kerendahan hati saya menerima setiap
kritikan dan masukan untuk semakin dapat menyempurnakan penelitian ini, juga untuk
semakin mendalami ilmu mengenai kebudayaan Jepang.
Medan, 27 September 2007
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Menurut E. B. Taylor dalam Joko Tri Prasetya (1991:29), kebudayaan adalah
keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain, serta
kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan Jepang juga mengandung hal-hal tersebut di atas, yaitu ilmu
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, dan lain-lain. Kebudayaan Jepang yang terus
dipertahankan hingga saat ini oleh bangsa Jepang, tidak hanya dari hasil kebudayaan
asli nenek moyang mereka yang turun-temurun, namun juga banyak mendapat pengaruh
dari kebudayaan negara lain. Yang paling banyak memberikan kontribusinya dalam
memperkaya kebudayaan Jepang adalah negara besar terdekatnya, yaitu Cina. Kalau
ditelusuri dari sejarahnya, maka hubungan Jepang dengan Cina sudah terjalin sejak abad
ke-5 pada kekuasaan Yamato. Pada abad ke-5, kekuasaan Yamato diperluas ke Korea
dengan mengirimkan ekspedisi militer mereka ke sana, oleh Jing , permaisuri yang
berkuasa pada masa itu menggantikan suaminya, Kaisar Chuai yang telah meninggal.
Hubungan dengan Korea itu memungkinkan masuknya pengaruh Cina ke Jepang dalam
bentuk tulisan dan huruf Cina (kanji ), ilmu Konfusius, kalender, teknik irigasi dan
agama Buddha. Hal ini karena pada masa itu Korea baru saja lepas dari masa
pendudukan Cina Dinasti Han dan masih kuat melekat pengaruh kebudayaan Cina
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
abad ke-5 mempunyai pengaruh yang mendalam pada masyarakat Jepang. Tetapi sejak
awal sejarahnya, Jepang menunjukkan kemampuan tinggi untuk menyesuaikan segala
apa yang masuk dari luar dengan apa yang diperlukan sendiri. Namun, sekalipun Jepang
berhasil menyesuaikan kebudayaan Cina dengan kepentingan Jepang sendiri, pengaruh
itu tak dapat dihilangkan sepanjang sejarah Jepang. Maka tak mengherankan, menurut
Sayidiman Suryohadiprojo (1982:11), apabila hingga kini Jepang merasa dirinya dekat
dengan bangsa Cina dibandingkan dengan bangsa-bangsa Asia lainnya.
Sebenarnya ada banyak sekali ajaran-ajaran para pemikir dari Cina yang sangat
berkembang tidak hanya di negara asalnya sendiri tapi juga di seluruh negara di dunia,
khususnya di negara Timur. Beberapa pemikir Cina yang sangat terkenal tidak hanya di
jamannya tapi juga sampai sekarang antara lain Lao-Tzu (Taoisme), Khong Fu Tzu
(Konfusius), dan lain-lain. Pemikir Cina yang paling besar memberi kontribusinya
dalam dasar berpikir orang Jepang adalah Khong Fu Tzu. Di negeri asalnya, Cina,
ajaran Konfusius sangat berkembang dan sangat mempengaruhi seluruh segi kehidupan
bangsa Cina bahkan sampai saat ini. Namun di Jepang ajaran ini kurang berkembang
bila dibandingkan dengan Buddha atau Shinto, meskipun demikian sebenarnya tanpa
kita ketahui ajaran Konfusius pun sangat berperan besar dalam perjalanan panjang
sejarah bangsa Jepang.
Menurut Koentjaraningrat (1962:220-222), kepercayaan (religi) adalah suatu
sistem bagaimana masyarakat melakukan berbagai aktivitas spiritual dalam rangka
berkomunikasi dengan Sang Pencipta untuk memperoleh kekuatan dari luar dirinya,
sebab manusia percaya kepada suatu kekuatan gaib yang dianggap lebih tinggi dari
padanya sehingga manusia melakukan berbagai hal dengan cara yang beraneka untuk
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Menurut Sayidiman Suryohadiprojo (1982:196-197), Jepang memiliki berbagai
kepercayaan yang dianut oleh warganegaranya. Mulai dari kepercayaan kuno yang
diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun maupun kepercayaan yang terus
bermunculan sesuai perkembangan jaman, juga kepercayaan yang berasal dari negara di
luar Jepang. Sebut saja Shinto, Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme, dan Kristen.
Agama Jepang asli adalah Shinto ( ) yang artinya “jalannya para dewa”. Tetapi
kemudian masuk agama Buddha melalui Cina dan Korea pada pertengahan abad
ke-enam. Menurutnya lagi, sekarang orang Jepang pada umumnya tak ada yang hanya
beragama Shinto atau Buddha saja, melainkan menganut kedua-duanya, Bahkan sering
ditambah lagi dengan agama Kristen terutama sejak selesainya Perang Dunia II.
Umpamanya saja, perkawinan dilakukan dalam agama Shinto, tetapi kemudian ada
upacara seperti Kristen, sedangkan kalau orang meninggal upacara dilakukan menurut
agama Buddha. Di rumah-rumah, terutama di daerah pedesaan, terdapat altar Shinto dan
Buddha bersama-sama. Orang yang pergi ke kuil Shinto dan Buddha, mungkin juga ke
gereja. Namun, Shinto dan Buddhisme merupakan kepercayaan terbesar yang dipeluk
oleh masyarakat Jepang.
Menurut H. Byron Earhart (1982:1), Jepang beragama politheis, memeluk
banyak kepercayaan dan agama. Tidak seperti negara-negara lainnya yang memeluk
agama monotheis, di Jepang agama tidak diorganisir memiliki kitab, bangunan, maupun
upacara keagamaan tertentu, melainkan Jepang meliputi sejumlah tradisi yang beberapa
asli dari Jepang dan beberapa mengimport, beberapa sangat terorganisir dan beberapa
tidak secara formal melembagakan. Dari waktu ke waktu tradisi ini saling berhubungan
membentuk suatu warisan kepercayaan tersendiri, dan Byron menyebutnya dengan
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Cukup banyak penelitian yang dilakukan untuk kedua kepercayaan terbesar di
Jepang ini karena memang memiliki pengaruh yang besar juga bagi bangsa Jepang,
bahkan sampai saat ini. Namun secara khusus dalam penulisan ini akan dibahas
mengenai Konfusianisme, yang juga berkembang di Jepang dan tentu memiliki
pengaruh, baik besar atau kecil.
Konfusius saat ini dipercayai sebagai salah satu bentuk kepercayaan. Walaupun
pada awalnya ajaran konfusius dari Cina ini sebenarnya merupakan kumpulan kata-kata
bijak dari seorang pemikir terkenal pada masa Dinasti Zhou bernama Khong Fu Tzu,
yang artinya “Guru bermarga Khong”, dan pada dasarnya bukan merupakan bentuk
kepercayaan ataupun agama. Khong Fu Tzu banyak mengajarkan tentang suatu
pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia sehingga bisa
hidup secara harmonis. Namun karena ajarannya sangat baik pada zaman itu dan banyak
yang mengikuti ajarannya, ia mulai dianggap sebagai nabi yang membawa ajaran baru
yang dianggap masyarakat bahkan pemerintah sangat cocok untuk diterapkan dalam
kehidupan masyarakat pada masa itu. Maka Khong Fu Tzu pun dianggap pendiri agama
baru, yaitu Khong Hu Cu, atau di barat dikenal sebagai Konfusius.
Pada masa Khong Fu Tzu hidup, negaranya sedang mengalami kekacauan.
Terjadi berbagai penyimpangan yang dilakukan pemerintah, disintegrasi negara,
pemberontakan dan terjadi begitu banyak kejahatan, serta banyak orang hidup tanpa
aturan yang jelas. Kondisi sosial Cina pada masa itu menampilkan ketidakteraturan,
degradasi moral, dan anarki intelektual. Menanggapi kondisi jamannya, pemikiran
Khong Fu Tzu terfokus kepada bagaimana memecahkan masalah-masalah sosial yang
dihadapi negaranya. Perbaikan dan reformasi kondisi masyarakat menjadi pokok
perhatian utama pada ajaran-ajaran Khong Fu Tzu. Salah satu pemikiran Khong Fu Tzu
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
pembetulan nama-nama. Bagi Khong Fu Tzu pembetulan nama ini merupakan usaha
utama yang harus dilakukan dalam memperbaiki masyarakat (Bagus Takwin, 2001:57).
Semasa hidupnya, Khong Fu Tzu senang mengembara dan mencari pengetahuan
dari berbagai pengalaman. Ia pernah menjadi pejabat negara namun pernah juga
menjadi orang buangan karena perbedaan pandangan dengan penguasa, hingga akhirnya
menjadi seorang guru pengelana. Maka ajarannya pun menyebar luas ke seluruh negeri
Cina pada jamannya saat ia menjadi seorang guru pengelana ditemani oleh
murid-muridnya yang setia padanya.
Ajaran Konfusius tidak hanya menyebar di Cina namun juga sampai ke Jepang
melalui Korea yang terlebih dulu telah mempelajari ajaran ini. Pada sekitar abad 5
sampai abad 6, yaitu pada zaman Yamato, banyak orang datang dari Semenanjung
Korea dan Cina lalu menetap di Jepang. Para pendatang ini kemudian dijadikan warga
negara Jepang oleh pemerintah dan mereka dipekerjakan di perusahaan umum,
peternakan, tekstil dan lain-lain. Secara khusus mereka juga bekerja di kantor
pemerintahan, mereka menulis catatan, penghitungan, bahkan dokumen diplomatik
dengan menggunakan Kanji, sehingga mulai zaman ini setiap kemajuan teknologi dan
pengetahuan orang Jepang dapat diketahui melalui dokumen tertulis. Bersamaan dengan
kedatangan mereka ini semakin memudahkan untuk membawa masuk buku agama
Konfusius, patung dan kitab suci agama Buddha dari Cina melalui Korea ke Jepang.
Dalam sejarah Jepang, pada jaman Yamato di masa pemerintahan Sh tokutaishi,
dibuat undang-undang yang dipengaruhi ajaran Buddhisme juga Konfusianisme, yaitu
Kenp j shichij ( undang-undang dasar 17 pasal). Pada jaman Edo, yaitu di
masa kejayaan Tokugawa, ajaran ini cukup berkembang, bahkan pemerintah sampai
mengijinkan dibangunnya sebuah sekolah tinggi Konfusius di Edo. Mereka menyuruh
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
ajaran konfusius pada jaman ini menjadi Neo-Konfusius yang ajarannya tidak jauh
berbeda dengan ajaran dalam Konfusius namun mendapat pengaruh dari ajaran Buddha.
Pada jaman Edo pemegang tertinggi pemerintahan bukan dalam tangan Tenn
atau Kaisar, tapi pada Pemimpin Tertinggi Militer (seiitaishogun ), yaitu
Tokugawa Ieyasu. Tenn hanya sebagai lambang pemerintahan saja tanpa memiliki
wewenang apapun dalam pemerintahan. Ini karena Tokugawa Ieyasu, seorang daimy
kecil di Mikawanokuni (prefektur Aichi), memenangkan peperangan pada pertempuran
hebat di Sekigahara pada tahun 1600, setelah meninggalnya Hidey shi, mengalahkan
keluarga Toyotomigata. Tiga tahun kemudian dia diangkat menjadi sh gun oleh Tenn
Heika dan bermarkas di Edo yang kemudian menjadi pusat kekuasaan politik dan
militer Jepang. Selama masa pemerintahannya, Tokugawa banyak melakukan
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berhubungan dengan politik, sosial, pendidikan,
hukum, dan lain-lain di tengah-tengah maraknya perkembangan Konfusianisme. Hal
inilah yang akan berusaha diteliti melalui skripsi yang berjudul “Tokugawa dan
Konfusianisme”.
1.2 Perumusan Masalah
Dengan banyaknya ajaran Konfusius yang sangat mempengaruhi kehidupan
bangsa Cina hingga saat ini, bahkan di tengah-tengah perkembangan ilmu dan
teknologi, maka sebagai ajaran yang juga berkembang di Jepang, Konfusius tentu
memberikan pengaruh dalam kehidupan bangsa Jepang sejak masuknya ke Jepang. Dan
pengaruh itu mungkin saja masih terus dapat dirasakan oleh bangsa Jepang bahkan
hingga dewasa ini namun akan lebih difokuskan pada masa rezim Tokugawa. Maka
yang menjadi pertanyaan mendasar pada penelitian ini adalah:
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
2. Inti ajaran Konfusianisme yang diterima masyarakat pada jaman Edo.
3. Apa saja pengaruh atau peranan dari ajaran Konfusius terhadap kehidupan
masyarakat pada jaman Edo.
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Ajaran Konfusius yang sesungguhnya berasal dari Cina, namun sangat besar
dampak ajarannya tidak hanya di Cina tetapi juga di negara lain, seperti Asia, bahkan
Eropa sangatlah menarik perhatian penulis. Ajaran ini tidak hanya mempengaruhi
hal-hal dalam hubungan sosial, namun juga berperan dalam politik maupun pemerintahan.
Banyak gagasan maupun hasil pemikiran Konfusius yang diterapkan dalam segala
bidang khususnya untuk mengatur hubungan manusia yang satu dengan manusia yang
lain. Namun ajaran Konfusius telah banyak mendapat pengaruh dari ajaran-ajaran
tambahan lain, baik yang ditambahkan dari murid-muridnya maupun pihak keluarganya.
Penulis akan berusaha mencari literatur lengkap mengenai ajaran Konfusius tanpa
mendapat pengaruh apapun dari pihak lain untuk mendapat literatur yang akurat.
Penulis hanya akan membatasi ruang lingkup masalah pada perkembangan ajaran ini di
Jepang terkhusus pada jaman Edo, lalu pengaruh-pengaruh apa yang diberikan oleh
ajaran ini terhadap kebudayaan asli Jepang yang mempengaruhi kehidupan masyarakat
Jepang pada masa itu.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
a. Tinjauan Pustaka
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:17), ajaran berasal dari kata ajar
yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut) yang
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
nasihat; petuah; petunjuk; paham. Ajaran yang biasanya berasal dari seorang tokoh atau
lebih ini banyak menjadi acuan dalam berbagai bidang, misalnya hukum, sosial, ilmu
pengetahuan dan teknologi, budaya, agama, dan lain-lain.
Ajaran yang diberikan oleh Konfusius adalah berupa kata-kata bijaksana yang
banyak berhubungan dengan bagaimana seharusnya manusia yang satu berhubungan
dengan manusia lainnya, juga mengajarkan pemerintahan yang ideal, dan lain-lain.
Ajarannya berkembang dari sebuah filsafat menjadi sebuah kepercayaan oleh para
pengikutnya karena kemudian dia dianggap sebagai nabi yang membawa ajaran baru.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:856), kepercayaan berasal dari
kata percaya yang berarti mengakui atau yakin bahwa sesuatu memang benar atau
nyata, yang mendapat imbuhan ke-an, sehingga artinya adalah anggapan atau keyakinan
bahwa sesuatu yang dipercaya itu benar atau nyata.
Dalam buku Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan menurut James W.
Fowler yang disadur Agus Cremers (1995:45), James W. Fowler mengatakan,
“Kepercayaan hendak dimengerti secara dinamis. Kepercayaan ini meliputi kenyataan
bahwa pribadi menemukan arti atau ditemukan oleh arti itu. Kepercayaan mencakup
baik konstruksi aktif atas keyakinan dan komitmen maupun sikap pasif dalam
menerimanya. Kepercayaan mencakup segala ekspresi religius eksplisit dan seluruh
pembentukan kepercayaan, dan juga segala cara untuk menemukan dan mengarahkan
diri pada koherensi dalam lingkungan yang paling akhir, namun tidak bersifat religius”
(Fowler, E.FDT, 1988:30)
Masih menurut Fowler dalam Agus Cremers (1995:47), “Kepercayaan adalah
suatu yang universal... ciri dari seluruh hidup, tindakan, dan pengertian diri semua
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
berkeagamaan’ atau sebagai ‘orang yang tidak percaya pada apapun’”
(Fowler/Keen/Berryman, ed., Life Maps, 1978:14-101)
Bersama Cantwell Smith, Fowler dalam Agus Cremers (1995:47-48)
membedakan antara faith, beliefs, dan religion. Menurutnya, faith dapat diuraikan
secara tepat sebagai sesuatu yang terpisah dari penjelmaan konkret ajaran doktrinal,
keyakinan-keyakinan dan pernyataan kepercayaan (beliefs), maupun dari seluruh
ekspresinya dalam berbagai upacara dan simbol keagamaan (religion). Belief
merupakan keseluruhan isi keyakinan dan pandangan religius yang diungkapkan dalam
sejumlah representasi tertentu dan dianggap benar sebagi ajaran resmi agama yang
bersangkutan. Belief adalah suatu tindakan pengetahuan yang didasarkan pada suatu
tingkat evidensi yang rendah.
Religion diartikan sebagai suatu kumpulan tradisi kumulatif di mana semua
pengalaman religius dari masa lampau dipadatkan dan diendapkan ke dalam seluruh
sistem bentuk ekspresi tradisional yang bersifat kebudayaan dan lembaga. Sistem
bentuk ekspresi tersebut meliputi seluruh simbol, upacara, peranan, dan cara hidup
konkret khas yang senantiasa harus direfleksikan dan dihidupkan kembali agar semua
itu tidak merosot menjadi fosil mati dan kosong belaka. Religi atau sistem keagamaan
merupakan sarana perwujudan “kepercayaan” yang bersifat tradisional dan terikat erat
pada faktor-faktor historis, sosial, ekonomi, dan budaya ekstern. Tetapi religi dapat
berfungsi juga sebagai penyokong, penyalur, dan acuan bagi segala perasaan dan
hubungan kita dengan Yang Transenden. Religi yang demikian itu dapat menyalurkan
dan mengarahkan seluruh cinta dan keinginan kita untuk berpartisipasi terhadap Yang
Ilahi. Namun, religi tidak memiliki ciri personal yang merupakan inti dari faith.
Faith adalah perbuatan percaya yang intens, fundamental, dan sangat pribadi di
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
transenden (KBBI: di luar segala kesanggupan manusia) yang ultim, dengan penuh cinta
dan kesetiaan. Faith adalah “orientasi seluruh pribadi” dan “merupakan cara
fundamental untuk percaya dan menanggapi hidup, entah terjadi dalam bentuk
keagamaan tradisional, seperti Kristen dan Islam, atau tidak”. Jika faith merupakan
suatu tindakan fundamental dari kepercayaan hidup dan kesetiaan eksistensional, faith
dapat dipandang sebagai “kepercayaan hidup” atau “kepercayaan eksistensional” yang
jauh lebih fundamental dan pribadi daripada religion dan belief. Bahkan faith menjadi
sumber dan asal yang memungkinkan serta mendasari religion maupun belief.
Ajaran Konfusius merupakan pengaruh terbesar terhadap sejarah panjang bangsa
Tionghoa selama dua ribu tahun ini. Ajaran Konfusius ini disatukan oleh para
murid-muridnya setelah dia meninggal menjadi sebuah buku, sehingga terciptalah Literatur
Lengkap Ajaran Konfusius yang kemudian dijadikan sebagai kitab suci oleh para
pengikutnya. Literatur lengkap ajaran Konfusius ini lebih dikenal sebagai Analects.
Yang oleh para pengikut ajaran Konfusius dijadikan sebagai kitab suci.
Konfusius, nama latin yang diberikan oleh bangsa Eropa, lahir tahun 551 SM
dan meninggal tahun 479 SM. Nama marganya adalah Kong dan nama panggilannya
Qiu. Ia tinggal di Negara Bagian Lu (sekarang ini Qufu di Provinsi Shantong), dan
keturunan bangsawan. Ayahnya menjabat sebagai pejabat pemerintahan Negara Bagian
Lu. Ayah Konfusius meninggal ketika ia baru berusia tiga tahun, membuat masa
kecilnya miskin. Namun ia anak yang rajin serta penuh rasa ingin tahu, yang memiliki
dorongan untuk memperbaiki dirinya. Ia pun segera fasih dalam literatur nenek moyang
dan menguasai topik-topik yang dipelajarinya.
Ia pecahkan monopoli para bangsawan atas pendidikan dengan mendirikan
sebuah lembaga pendidikan swasta yang menerima murid dari berbagai bidang
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
pendidikan. Karena alasan ini, Konfusius menjadi pengurus ibukota sebagai “Saga para
Guru”. Ketika berusia 47 tahun, Konfusius menjadi pengurus ibukota dan memerintah
wilayah Qufu. Belakangan ia dipromosikan menjadi Menteri Pekerjaan Umum dan
Menteri Kehakiman. Ketika berusia 54 tahun, ia menjadi Pejabat Anggota Dewan
Kehormatan Negara Bagian Lu. Namun, selama periode tersebut, pemerintahan
bergelimang dalam hiburan serta menelantarkan urusan-urusan negara. Karena kecewa,
Konfusius meninggalkan Negara Bagian Lu dan memimpin para muridnya dalam suatu
tur ke negara-negara bagian, berusaha meyakinkan para tuan tanah feodal yang mereka
kunjungi, akan filsafatnya dalam pemerintahan. Dalam perjalanan tersebut, ia
mengunjungi tujuh negara bagian termasuk Wei, Zhao, Song, Zheng, Cheng, Cai, dan
Chu. Setelah 14 tahun, ketika Konfusius sudah mencapai usia 68 tahun, ia pulang ke
Negara Bagian Lu, dan mencurahkan diri dalam mengedit serta mengajarkan literatur
klasik.
Konfusius hidup di masa akhir dari Masa Musim Semi serta Musim Gugur
(tahun 770 SM hingga tahun 476 SM). Ini adalah periode ketika Dinasti Zhou merosot
dan para tuan tanah feodal menguasai negara-negara bagian. Perang serta anarki
merajalela di seluruh negeri. Ini adalah masa ketika adat istiadat keagamaan diabaikan,
musik dicemooh, dan kekacauan merajalela. Konfusius mengkhotbahkan gagasan
tentang kebajikan, dengan harapan untuk membawa perubahan terhadap masa yang
kacau secara politik maupun sosial itu. Filsafat politik Konfusius didasarkan pada
pendidikan moral masing-masing individu. Ia dorong setiap orang untuk berupaya
berbuat baik dan mempengaruhi orang lain karenanya.
Kitab yang dipandang suci dalam agama Konfusius terdapat dalam kanon-kanon
(KBBI: karya drama yang dianggap ciptaan asli seorang penulis (2002: 502))
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
secara tradisional dikaitkan dengan masa ajaran Konfusius atau sebelumnya, dan Ssu
Shu (empat kitab) yang berisi ajaran-ajaran Konfusius. Kelima kanon klasik itu adalah
sebagai berikut.
1. Shu Ching (Shu jing )
Kitab ini merupakan kitab sejarah yang berisi kronologi peristiwa-peristiwa purbakala
tentang istana dan adat istiadat. Kitab ini memiliki nilai-nilai yang sangat berharga
bagi para ahli sejarah untuk melacak kehidupan anak manusia masa dua ribu tahun
sebelum masehi.
2. Shih Ching (Shi jing )
Kitab ini merupakan kitab sajak, karena di dalamnya terdapat tidak kurang dari tiga
ratus nyanyian dan sajak-sajak pemujaan yang menggambarkan masa-masa awal
keberagamaan orang Tiongkok.
3. I Ching (Yi jing )
Kitab perubahan. Di dalamnya terdapat rangkaian diagram berdasar garis-garis penuh
dan garis-garis putus. Kitab ini pada dasarnya dimaksudkan untuk keperluan ramalan
(horoscope).
4. Li Chi (Liji)
Ini adalah kitab kebaktian yang merupakan petunjuk pelaksanaan upacara-upacara
yang bersifat kultus dan upacara-upacara di dalam istana.
5. Chun Chiu (Chun qiu )
Bermakna musim semi dan musim gugur. Kitab ini berisi catatan kronologis
peristiwa-peristiwa dalam wilayah Lu sejak 722 SM, sampai 481 SM, yakni pada
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Sedangkan keempat kitab yang berisi ajaran-ajaran Konfusius adalah:
1. Lun Yu ( )
Terdiri dari dua puluh bab, dan kebanyakan isinya berupa anekdot-anekdot singkat
dari Konfusius, dalam bentuk dialog dengan para murid atau tokoh-tokoh lainnya.
Selain itu, dalam kitab ini juga ditemukan gambaran tentang bagaimana sikap
Konfusius dalam menghadapi persoalan. Karenanya kitab ini dipandang sebagai
sumber primer dalam mempelajari biografi Konfusius. Kitab ini disusun sekitar 70
tahun setelah dia meninggal. Kitab ini kemudian dikenal dengan Analects.
2. Ta Hsueh (Daxue )
Pelajaran terbesar, yang disusun oleh cucu Konfusius yang bernama Tzu Szu, suatu
karya besar tentang etika dan politik dan merupakan pengembangan dari pembahasan
sebuah bab dalam Li Chi.
3. Chung Yung (Zhong yong )
Suatu kitab keselarasan. Kitab ini disusun oleh Tzu Szu, berisi doktrin atau ajaran
tentang makna dan kesusilaan.
4. Meng Tze ( )
Suatu kitab yang disusun oleh Meng Tze yang sangat terkenal. Literatur Barat
menyebutnya dengan Mencius.
Pemerintah berasal dari bahasa Latin gubernare yang artinya mengemudi
(sebuah kapal). Jadi “memerintah” di sini berarti mengemudikan. Kata bendanya adalah
governance (Latin: gubernantia), menunjukkan metode atau sistem pengemudian atau
manajemen organisasi.
Apter dalam “The International Encyclopedia of The Social Sciences” (1972)
dalam KYBERNOLOGY (2003:71) mengatakan pemerintah adalah sekelompok orang
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Talizuduhu Ndraha dalam bukunya KYBERNOLOGY: Ilmu Pemerintahan Baru
(2003:73-74) menyimpulkankan pendekatan produk atau fungsional bertolak dari
kebutuhan manusia yang oleh karena kondisi masyarakat masih sedemikian lemah dan
tak berdaya (powerless) sehingga kebutuhan tersebut belum mampu mereka penuhi
sendiri (barang dan jasa), juga bertolak dari kenyataan bahwa kepentingan yang satu
cenderung merugikan kepentingan yang lain dan produk yang oleh karena sifatnya dan
demi keadilan dan kemanusiaan, tidak dapat di-provide oleh lembaga privat atau
masyarakat umum, melainkan semata-mata hanya oleh lembaga khusus dan khas
(spesifik). Produk yang dimaksud adalah jasa publik yang tidak dapat diprivatisasikan
dan layanan-civil. Proses penyediaan (providing) produk itu kepada setiap orang tepat
pada saat diperlukan, itulah yang disebut pemerintahan. Organ yang dianggap mampu
menjalankan proses tersebut secara bertanggung jawab itulah yang disebut pemerintah.
Menurut H. Abu Ahmadi (1997:166), pemerintah adalah badan yang berhak
mengatur dan berwenang merumuskan serta melaksanakan peraturan yang mengikat
warganya.
Menurut Taliziduhu Ndraha (2003:492), kebijakan adalah pilihan terbaik dalam
batas kompetensi dan secara formal mengikat, sedangkan kebijaksanaan adalah pilihan
terbaik dalam memecahkan masalah berdasarkan hati nurani, secara etik dan moral
mengikat. Sehingga beliau menyimpulkan kebijakan pemerintah adalah pilihan terbaik
usaha untuk memproses nilai pemerintahan yang bersumber pada kearifan pemerintahan
dan mengikat secara formal, etik, dan moral, diarahkan guna menepati
pertanggungjawaban aktor pemerintahan di dalam lingkungan pemerintahan.
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Dalam mengerjakan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian
historis (Historical Research), yaitu kajian logik terhadap peristiwa-peristiwa setelah
peristiwa itu terjadi. Menurut Sumadi Suryabrata (1983:16) tujuan penelitian ini adalah
untuk membuat rekontruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif, dengan cara
mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasikan, serta mensistesiskan bukti-bukti
untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan kuat. Penulis menggunakan
pendekatan ini oleh karena penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ajaran
Konfusius yang berasal dari Cina terhadap kebudayaan Jepang dan bagaimana
perkembangan ajaran ini di Jepang terkhusus pada jaman Edo. Keseluruhan peristiwa di
dalamnya suda h terjadi (historis).
Penulis juga menggunakan pendekatan penelitian sosiologis, karena pembahasan
dalam pendekatan ini mencakup golongan sosial yang berperan, jenis hubungan sosial,
konflik berdasarkan kepentingan, pelapisan sosial, peranan dan status sosial, dan
sebagainya (Dudung Abdurrahman, 1999:11). Menurut Weber dalam Dudung
Abdurrahman (1999:11) tujuan penelitian ini adalah memahami arti subyektif dari
perilaku sosial, bukan semata-mata menyelidiki arti obyektifnya. Penulis menggunakan
pendekatan ini adalah untuk mengetahui pengaruh ajaran ini terhadap kehidupan
masyarakat melalui inti ajarannya yang diterima masyarakat pada masa itu.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui perkembangan ajaran Konfusius dan tokoh yang sangat
berpengaruh mengembangkan ajaran ini di Jepang pada jaman Edo.
2. Mengetahui pengaruh atau peranan dari ajaran Konfusius terhadap sejarah
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
3. Mengetahui inti ajaran Konfusianisme yang diterima masyarakat Jepang pada
pada jaman Edo.
b. Manfaat Penelitian
1. Menambah wawasan mengenai ajaran Konfusius dan perkembangannya di
Jepang terkhusus pada jaman Edo.
2. Menambah wawasan mengenai sejarah Jepang terkhusus yang berhubungan
dengan Konfusianisme.
1.6 Metode Penelitian
Dalam mengerjakan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian
deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan peristiwa atau gejala apa adanya.
Menurut Saifuddin Azwar (1998:7) tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan
secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai
bidang tertentu. Penelitian ini berusaha menggambarkan situai atau kejadian. Data yang
dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari
penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi.
Penulis menggunakan metode ini oleh karena penelitian ini akan membuat suatu
gambaran yang sistematik dan akurat tentang hubungan antara ajaran Konfusius dan
perkembangannya di Jepang serta pengaruhnya pada masyarakat pada masa itu dan bila
ada, pengaruhnya juga pada masyarakat dewasa ini.
Selain itu untuk pengumpulan data penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan, yaitu dengan mencari data tertulis yang berhubungan dengan ajaran-ajaran
atau kata-kata bijak Konfusius serta pengaruh apa yang diberikan selama
perkembangannya di Jepang. Sumber-sumber tertulis ini didapat dari berbagai buku,
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
penyebaran ajaran ini serta sejarah Jepang yang terfokus pada perkembangan ajaran
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
BAB II
KONFUSIANISME DAN FEODALISME
2.1 Konfusianisme
Khong Fu Tzu (K shi ), yang lebih tepat dikenal sebagai K’ung Ch’iu (oleh
Eropa diberi nama latin Konfusius), lahir pada tahun 551 SM di Tsou sebuah kota kecil
di Negera Bagian Lu yang sekarang dinamakan Provinsi Shantung. Ia lahir dan besar di
masa Dinasti Chou di Cina (sekitar tahun 1100-221 SM).
Sejarah politik bangsa Chou yang rumit dan panjang mula-mula berkembang di
sekelompok negeri feodal yang keceraiberaiannya dan keragamannya tercermin dalam
ciri khas sosial-budaya Dinasti Chou. Bangsa Chou yang asli adalah bangsa setengah
pengembara, tetapi keberhasilan mereka menaklukkan wilayah Cina pada abad kedua
belas dikatakan awal era baru karena bangsa Chou-lah yang diakui sebagai pihak yang
memantapkan piramida kekuasaan kekaisaran yang memerintah Cina di masa lalu.
Sistem tersebut adalah sistem yang boleh dikatakan tidak terusik selama hampir dua
ribu tahun.
Namun, bahkan kekuatan tak tertandingi yang dimiliki para penakluk itu tidak
sepadan dengan luasnya wilayah yang mereka perintah sekarang. Berangsur-angsur
kekuatan politik dan hak untuk memerintah menjadi kekuasaan beberapa negeri, dan
pengakuan kekuasaan pusat, yakni pengadilan Chou, telah menjadi formalitas usang,
sebagaimana halnya sistem feodalisme.
Perkembangan Dinasti Chou dapat dianggap sebuah paradoks, karena di kala
kemajuan umat manusia mencapai puncaknya, sifat manusia yang tak manusiawi dan
integritasnya malah sepertinya mencapai titik paling rendah. Dinasti Chou menjadi saksi
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
penciptaan sistem irigasi pokok, pembangunan kanal dan jalan yang lebih baik,
perkembangan uang, dan sistem tulis-menulis. Pada sebagian masa dinasti tersebut yang
dinamakan Chou Timur (770-221 SM), kebudayaan dan kesenian tumbuh pesat. Untuk
pertama kalinya seni dekorasi menampilkan benda bergambar seperti adegan perburuan,
sesuatu yang merupakan tonggak sejarah yang bernilai seni.
Runtuhnya feodalisme dan bangkitnya sejumlah negeri yang merdeka
menciptakan kelompok tuan tanah dan saudagar, dan karena itu terciptalah sumber yang
subur berupa para begawan kesenian. Seni kerajinan berkembang, dalam bentuk
perunggu dan pernis, sutra berhiaskan lukisan, tatahan emas dan perak dan batu giok,
hiasan batu-batuan setengah mulia. Kaum berada mengisi kehidupan mereka dengan
kemewahan yang dihasilkan dari laba yang mereka raih, mempekerjakan orang untuk
menciptakan perhiasan, perabotan rumah, senjata perang, dan pernak-pernik untuk
upacara pemakaman.
Pamer kemewahan dalam kehidupan kaum berada ini sungguh sangat kontras
dengan kemelaratan dan kekurangan yang dialami rakyat jelata yang kadang menjadi
korban kerja paksa. Kekuasaan pemerintahan digenggam erat oleh kelompok
bangsawan baru yang terpelajar namun tak berperikemanusiaan. Beberapa diantaranya
menyalahgunakan wewenang tersebut, mencari kesenangan dari bisnis tragis dengan
mengobarkan peperangan. Sikap dingin para pemimpin terhadap masalah yang dihadapi
para petani menciptakan masyarakat yang semakin terpuruk, yang berhadapan dengan
lingkungan kecemburuan kecil dan pertikaian politik di antara para pemimpin dan
negeri, diwarnai pengkhianatan, kemerosotan akhlak, dan korupsi. Masa dan rakyat
memekik, mendambakan tujuan dan arah yang baru.
Keluarga Konfusius sama sekali bukan keluarga berada, meskipun konon dia
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
pejuang yang cukup terkenal. Ia telah tua dan menikah dengan seorang perempuan yang
memberinya sembilan anak perempuan. Cemas karena tidak mempunyai anak laki-laki
untuk melanjutkan marganya, ia meminta Yen Chëng Tsai yang konon keturunan Po
Ch’in, putra Pangeran Chou, dengan nama keluarga Chi, untuk menikah dengannya.
Perkawinannya ini akhirnya dikaruniai seorang anak laki-laki, yaitu Konfusius.
Konfusius lahir dengan benjolan di dahinya sehingga dia diberi nama Ch’iu (bukit).
Di saat berusia 15 tahun, Konfusius bertekad membaktikan dirinya untuk
belajar, dan mungkin dalam lubuk hatinya sudah bergolak semangat luhur untuk
menciptakan perubahan dan keadilan bagi semua orang, konsep yang dipegangnya
teguh sepanjang hayatnya yang sarat dengan kekecewaan.
Karena dibesarkan dalam suasana yang dapat dikatakan miskin, Konfusius
memandang dunia dari kacamata seseorang yang pernah mengalami kenyataan yang
amat pahit. Usianya baru 3 tahun saat ayahnya meninggal, dan Konfusius kemudian
dibesarkan oleh ibunya yang terpaksa harus bekerja rangkap untuk menafkahi keluarga.
Dalam berbagai tahap kehidupannya, Konfusius memanfaatkan kemampuannya sebagai
seorang anak gembala, gembala sapi, jurutulis, dan petugas pembukuan.
Konfusius menikah pada usia 19 tahun dengan seorang dara bernama Chi Kuan.
Putra sulungnya lahir setahun kemudian, ia memberinya nama K’ung Li Po-yu yang
berarti ikan gurami karena Pangeran Chou memberinya seekor ikan gurami sebagai
hadiah. Belakangan ikan gurami menjadi lambang Konfusianisme. Po-yu meninggal
pada usia 50 tahun dan Konfusius yang hidup sampai usia 75 tahun, masih hidup setelah
kematian putaranya. Anak laki-laki Po-yu, Tzu Szu menjadi salah satu murid terbaik
Konfusius. Karena anaknya sendiri lebih dulu wafat daripada dirinya, cucunyalah yang
meneruskan menyebarkan filsafatnya. Tzu Szu adalah penulis The Doctrine of Mean
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Pada usia 22 tahun, Konfusius merintis pendirian sekolah yang dipandang
sebagai sekolah swasta pertama, memberikan pencerahan bagi mereka yang mau
menyimak tentang berbagai pandangannya mengenai perilaku pribadi, pemerintahan,
dan keadilan yang ditegakkan oleh hukum. Mungkin yang terpenting adalah
keyakinannya yang terus tumbuh mengenai pentingnya pendidikan bagi masyarakat,
yang mungkin berasal dari sikapnya yang amat mementingkan pembelajaran, dan
kesadaran bahwa hanya melalui pendidikanlah bisa dicapai kesetaraan sejati di antara
umat manusia. Dia berpendapat bahwa pendidikan yang menyeluruh akan menghasilkan
manusia seutuhnya, dan dia menyerap aspek moral dalam pendidikan sama banyaknya
dengan aspek ajaran yang terkandung dalam pendidikan itu sendiri. Karenanya
Konfusius membuka lebar pintu sekolahnya bagi siapapun yang tulus berkehendak
untuk belajar. Bayaran yang diterimanya kecil sekali dan ia memang tidak menuntut
bayaran, sehingga murid-murid hanya membayar sesuai dengan kemampuan mereka.
Karena memang murid-muridnya kebanyakan dari kalangan bawah.
Sebagai inspirasinya untuk masa kini dan masa mendatang, dia menengok ke
masa lalu, kepada kepemimpinan legendaris Pangeran Chou, arsitek Dinasti Chou.
Dalam pandangannya mengenai perubahan, Konfusius menggalakkan keadilan hukum
bagi semua orang sebagai sokoguru kehidupan dalam dunia ideal, yang menjadi tempat
terwujudnya prinsip-prinsip kemanusiaan, kesantunan, keimanan, pengabdian anak, dan
indahnya sifat budiman, kejujuran, kesetiaan, dan sifat dapat dipercaya.
Pandangannya tentang pemerintah adalah bahwa setiap warga negara harus
memiliki peran yang sudah ditetapkan, dan menjalankan peran tersebut dalam
perjalanan hidupnya, bahwa setiap pemerintah harus arif, menyediakan standar hidup
yang baik bagi rakyatnya, dan menggalakkan pendidikan budi pekerti dan tata krama.
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Yao yang legendaris (sekitar 2300 SM) dan penerusnya, Kaisar Shun (sekitar 2200 SM),
yang kearifan dan sikap welas asihnya sangat terkenal, dan yang masa pemerintahannya
konon menciptakan ‘era keemasan di masa lampau’.
Sebagaimana kebiasaan di jamannya, Konfusius memupuk seni yang luhur, dan
dia menganggap musik sebagai kunci keharmonisan yang bersifat universal, dan ia
mulai mempelajarinya secara mendalam pada usia 29 tahun. Menurut Konfusius, musik
adalah cerminan manusia unggul, dan menyerupai watak yang sesungguhnya, yang
dapat mengungkapkan keculasan dan kemunafikan. Pada akhirnya, Konfusius
memadukan musik ke dalam filsafatnya untuk memperlihatkan kemampuan musik
dalam mempengaruhi seseorang agar menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk.
Konfusius juga berpendapat bahwa hakikat upacara kebaktian seharusnya lebih bersifat
rohaniah dan bukan lahiriah, pastilah karena pengalamannya menyaksikan betapa
berlebihannya formalitas pelaksanaan ritual pada jamannya.
Konfusius berkonsultasi dengan Lao-tzu, pendiri Taoisme yang legendaris dan
penulis buku Tao Te Ching, untuk mempelajari cara menyelenggarakan upacara dan
musik. Lao-tzu adalah penulis Perpustakaan Kerajaan dan lebih tua 50 tahun daripada
Konfusius sendiri. Kaitan antara Taoisme dan Konfusianisme terbayang dalam
konsultasi yang terjadi di antara keduanya. Kendati kedua aliran filsafat ini saling
berselisih selama bertahun-tahun, sesungguhnya Taoisme dan Konfusianisme pada
akhirnya saling mengevolusikan interpretasikan baru yang menyatukan unsur tiap-tiap
aliran. Hal ini akan tercermin di kemudian hari dalam gerakan Konfusian dan
Neo-Taois. Masing-masing memiliki hal-hal yang kurang pada pihak lainnya.
Kekuatan kata-katanya berhasil menarik ke dekat Konfusius sejumlah penganut
yang terus bertumbuh, yang pada akhirnya berjumlah tiga ribu orang, dan tujuh puluh
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Mereka memiliki posisi penting dalam mencatat ucapan sang guru dan menyebarkan
ajarannya.
Terdapat pertikaian yang terus-menerus di antara sejumlah negeri pada masa
Konfusius. Di negerinya sendiri, yakni di Lu, kekuatan politik diturunkan dari
pemerintah ke tangan tiga keluarga bangsawan, yang bernama keluarga Mëng-Sun,
Shu-Sun, dan Chi-Sun.
Pembaharuan sosial dan moral yang digalakkan oleh Konfusius tidak
mendapatkan penerimaan universal, terutama dalam lingkungan kekuasaan dan
keinginan yang kuat untuk mengimplementasikan berbagai pandangannya dalam
kedudukan di pemerintahan tidak terpenuhi. Maka, konon, pada usianya yang ke-35, dia
meninggalkan Lu ditemani Pangeran Chao yang berumur pendek, yang kalah dalam
pergumulan kekuasaan yang pahit, lalu menuju negeri Ch’i, dan di situlah Konfusius
bermukim selama delapan tahun.
Ketika kembali ke Lu pada usia 43, Konfusius memulai pengumpulan dan
penyuntingan karya sastranya yang secara keseluruhan dinamakan enam karya klasik:
The Odes ( ), The Book ( ), The Book of Change ( ), The Books of Rites ( ),
The Book of Music ( ), dan The Spring and Autumn Annals ( ).
Akhirnya pada usia 51, Konfusius ditunjuk sebagai walikota Chung Tu di Lu.
Dalam waktu satu tahun, prestasinya sangat mengesankan sehingga dia naik pangkat
menduduk i jabatan di Kantor Pekerjaan Umum, kemudian di Kantor Pengadilan Tinggi
di negeri Lu.
Namun, di masa bakti Konfusius di lingkungan politik dapat dikatakan singkat.
Sekitar tahun 497 SM, dia sekali lagi meninggalkan Lu, ditemani oleh pengikutnya yang
paling setia, mungkin dipicu oleh buruknya keadaan spiritual dan moral yang
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Konfusius memang ditakdirkan untuk berkelana dari satu negeri ke negeri
lainnya selama tiga belas tahun berikutnya, terus-menerus mencari ke mana-mana,
mencari tatanan yang tepat untuk mewujudkan berbagai pemikirannya. Namun rupanya
hal itu tidak ditakdirkan untuk terjadi.
Setelah beranjak tua dan lelah, dia kembali lagi ke Lu pada 484 SM, ketika
usianya sudah 68 tahun, jelas sangat kecewa oleh pengalamannya menghadapi dunia
yang serakah dan sinis, tetapi tetap memegang teguh pandangannya yang luhur. Dia
terus mengajar, dan kebajikan kata-katanya, sebagaimana yang didokumentasikan oleh
para pengikutnya, akan terus hidup selamanya, merupakan warisannya yang tak pernah
mati bagi masa depan. Pada tahun terakhir hidupnya, Konfusius menyunting I Ching.
Konfusius meninggal pada 479 SM dan dimakamkan di Ch’ü Fu. Dewasa ini
tempat peristirahatannya yang terakhir itu telah menjadi Hutan K’ung yang sangat
indah, konon meliputi tanah sepanjang delapan kilometer di masa sekarang ini, yang
pada awalnya hanya berupa beberapa pohon yang ditanam oleh murid-muridnya untuk
mengenang Konfusius.
Demikian pulalah ajaran Konfusius merebak, dari asalnya pada era klasik yang
terus bertahan, dan pada akhirnya melampaui berbagai ajaran lain pada 140 SM, ketika
ajaran Konfusius diakui secara resmi sebagai satu-satunya filosofi.
Namun barulah pada tahun 5 M Konfusius dihormati secara anumerta melalui
Perintah Kaisar untuk pertama kalinya, yaitu oleh Kaisar Ping dari dinasti Han yang
memujinya sebagai ‘yang dihormati dan cendekia’. Bahkan pada Dinasti Han
Konfusianisme menjadi filsafat resmi negara Cina. Orang besar ini menerima
penghormatan utama beberapa abad kemudian, pada tahun 739 M, ketika Kaisar Hsüan
dari Dinasti T’ang menghormati Konfusius untuk keunggulan ajarannya, dan
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Pada dinasti Ch’ing, Kaisar Hsüan dari Dinasti T’ang menghormati Konfusius
dengan menganugerahinya gelar ‘Maha Guru Segala Jaman’. Mungkin inilah gelar yang
paling pantas untuk orang yang kearifannya telah menjadi kekuatan yang membimbing
kehidupan dan pemikiran rakyat Cina selama lebih dari 2000 tahun. Benang emas
filosofi moral dan politiknya menjadi unsur yang integral dalam masyarakat dunia.
2.2 Inti Ajaran Konfusianisme
Menurut Boye de Mente (1989:26) Konfusius mendasarkan ajarannya pada
penghormatan terhadap tradisi, pada tingkatan yang terutama didasarkan pada hubungan
antara anggota keluarga dan antara rakyat dan penguasanya.
Masih menurut Boye de Mente, semua hubungan ini ditetapkan dengan suatu
ketentuan tingkah laku yang kaku yang dinamakan Li atau ‘etiket’, yang didasarkan
pada kepatuhan anak pada orangtua, kepatuhan pada upacara yang telah ditentukan, dan
kepatuhan pada seorang penguasa yang memerintah dengan persetujuan rakyat yang
diperintah yang mengakui kebajikan dan kemampuannya. Dasar terakhir dari sistem
Konfusius adalah latihan dan pengalaman yang terus-menerus dalam seni kebudayaan
seperti musik, tulisan indah, melukis, dan kesusastraan sebagai bagian dari pendidikan
moral yang penting untuk menaikkan manusia dari tingkat kebiadaban.
Menurut C. Alexander Simpkins dan Annelen Simpkins (2000:65) ajaran pokok
Konfusian berkisar antara cara hidup dan cara menjalani hubungan. Kehidupan
sehari-hari menjadi fokus utama ajarannya. Membuat kehidupan menjadi yang terbaik adalah
sasarannya. Konfusius menunjukkan cara untuk menghadapi masalah dan cara untuk
berubah sehingga manusia dapat membangkitkan inti batin kebijaksanaan, potensi
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Mereka membagikan pokok ajaran Konfusius sebagai berikut.
1. Jen ( jin)
Jen adalah kemurahan hati, cinta yang agung, mengekspresikan Tao
kemanusiaan. Jen adalah sumber utama keluhuran: kebijaksanaan, cinta, belas kasih,
kesetaraan. Jen adalah sumber utama keluhuran yang terwujud sebagai yi atau kebaikan.
Moralitas berawal dari cinta kasih. Jen menunjuk pada kemanusiaan, sifat alami
manusia sendiri, dan selalu mencakup hal-hal lainnya. Jen adalah kualitas yang unik
pada manusia dan membedakannya dari binatang.
Konfusius dan Mensius percaya bahwa sifat alami manusia pada hakikatnya
baik, walau perbuatan manusia dapat saja negatif. Dengan upaya pribadi dan pelajaran
dari budaya, orang dapat menjadi baik.
Mencius mengatakan bahwa orang yang bijak tidak memiliki musuh. Jen
memerlukan kebajikan yang altruistik, tulus, dan bersimpati terhadap sesama. Menjalani
hidup sesuai dengan jen berarti hidup yang sinkron dan selaras dengan kebajikan penuh
cinta yang ada di dalam diri.
Cinta yang mengorbankan segalanya tanpa pamrih terhadap keluarga kita adalah
prinsip yang utama. Kepatuhan anak, inti dari budaya Cina, adalah ekspresi jen dalam
keluarga. Ketika seorang memperlakukan keluarganya dengan jen berarti dia melakukan
kebajikan, menyatukan keluarganya, komunitasnya, negerinya, dan akhirnya seluruh
dunia dengan kebajikan yang penuh cinta kasih.
Jen memiliki dua kutub aspek tindakan praktis yang saling berhubungan —
chung dan shu— yang membimbing seseorang dalam hal-hal yang seharusnya
dilakukan maupun hal-hal yang tidak perlu dilakukan. Chung atau jalan tengah adalah
sesuatu yang positif dan jernih. Serupa dengan aturan emas, chung menuntun perilaku
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
baik sesuai dengan standar yang sejati, yakni dengan kebajikan. Juga memampukan
agar mengembangkan rasa kebaikan, yakni hal-hal yang seharusnya dilakukan sesuai
dengan hubungan peranannya di dalam kehidupan dan lingkungan hidup.
Memperlakukan sesama dengan empati dan sungguh-sungguh. Chung bersifat aktif,
positif, dan tegas: bertindak sesuai dengan cinta dan respek yang bajik, tanpa pamrih
dan dengan tulus. Standar penilaian untuk memilih dan menentukan hal-hal yang
seyogianya dilakukan adalah sesuatu yang telah ada di dalam diri manusia itu, menyatu
dengan sifat alaminya. Pilihan mengenai cara memperlakukan orangtua, keluarga, atau
sesama manusia di dalam hubungan harus sesuai dengan standar itu.
Shu adalah kutub yin dari jen, kesediaan untuk menerima, panduan untuk
bertingkah laku. Shu berarti menjalani hidup dengan altruisme tanpa mengharapkan
sifat timbal baliknya. Shu biasa disebut Aturan Perak, yaitu jangan melakukan sesuatu
kepada orang lain kalau anda tidak mau orang lain melakukan hal itu terhadap anda.
2. Li ( ri) dan Wen
Li adalah keluhuran yang fundamental—yakni bentuk atau prinsip. Li
diekspresikan sebagai kesopanan, perilaku, bentuk hubungan, dan tindakan. Li
mencakup ritual, adat-istiadat, dan pola hidup. Chu Hsi percaya bahwa li dan chi adalah
dasar dari segala yang ada. Li telah ditafsirkan dengan banyak cara, tetapi maknanya
selalu kembali pada hakikat bentuk, yakni bentuk yang ada di dalam diri manusia.
Dalam Konfusianisme, bentuk adalah yang utama. Bentuk adalah prinsip dan
prinsip adalah bentuk. Bentuk dianggap sebagai lambang kebijaksanaan sejati, atau
persepsi yang tercerahkan.
Dalam situasi sosial, li adalah roh atau semangat yang memberikan makna atau
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Berbeda dengan filsafat Barat yang memisahkan yang ideal dari yang nyata,
Konfusianisme menghubungkan keduanya. Kofusianisme mengajarkan bahwa bentuk
suatu objek nyata di dunia ini terkait erat dan diciptakan oleh bentuknya sendiri. Bentuk
hadir lebih dulu, barulah hakikat mengikuti. Bentuk diekspresikan melalui bentuk nyata
di dunia ini, bukan sebagai sesuatu ideal yang melaluinya. Di sini li ada.
Adat kebiasaan, ritual, dan tradisi sama-sama mengandung li, tetapi li sendiri
tidak terbatas pada bentuk, kebiasaan, ritual, atau tradisi itu sendiri. Li adalah roh dari
kebiasaan, ritual, atau tradisi itu sendiri. Karenanya Konfusius percaya mempelajari
hal-hal klasik yang diikuti dengan partisipasi penuh hormat dalam ritual, kebiasaan, dan
tradisi akan menuju pada pemahaman yang tercerahkan. Menyelidiki sifat alami segala
hal akan membantu orang yang dengan tulus melakukan pencarian, sehingga mereka
memahami li tertentu yang terdapat pada semua itu, dan pada gilirannya akan
menemukan li itu sendiri.
Li terwujud sebagai bentuk hubungan di dalam masyarakat. Prinsip li dalam sifat
alami manusia mendorong manusia untuk menentukan baik dan buruk, benar dan salah
di dalam perilakunya. Kepatuhan anak dan kasih sayang adalah suatu konsekuensi
langsung dari li yang melekat dalam hubungan umat manusia.
Konfusius sangat mencintai seni, menganggap seni memiliki salah satu pengaruh
yang paling besar terhadap manusia. Ketika dikombinasikan dengan li, wen (budaya dan
seni) membantu manusia mengolah keselarasan dan mempromosikan keluhuran. Di
antara seni yang dirujuk sebagai wen adalah musik, hasil pertukangan, puisi, arsitektur,
semua kualitas estetis dan berbudaya dalam karya cipta manusia.
Seni memiliki daya untuk membebaskan roh dan mengentaskan kemanusiaan ke
tingkat yang terbaik. Cinta dan rasa hormat Konfusius terhadap seni berasal dari
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
jika anda pernah berdiri di depan Patung liberty, mengunjungi Louvre, memperhatikan
lukisan karya Lembrandt, atau mendengarkan simfoni Beethoven, mungkin akan terasa
seperti melayang. Jiwa anda terasa dihargai ketika anda membiarkan diri merasakannya
dengan penuh penghayatan dan lembut. Seni adalah salah satu aspek penting dalam
budaya manusia dan seharusnya kita melibatkan diri kita sendiri di dalamnya (Simpkins,
2000:81).
3. Chung ( )
Chung adalah tengah-tengah atau pusat yang merupakan titik keseimbangan,
semacam indera keenam dalam sifat kemanusiaan. Chung adalah sesuatu yang bersifat
aktif, positif, dan menunjukkan Jalan. Konfusius dan Mensius menyatakan bahwa
kodrat manusia yang sepenuhnya berkembang adalah standar, upaya batin yang jujur
untuk mendapatkan kebenaran, kompas untuk menemukan arah yang harus ditempuh
dalam perjalanan hidup manusia.
Jalan tengah adalah pusat kepribadian, yakni garis yang menjadi standar untuk
pengolahan diri. Simpkins memberinya contoh sebagai berikut. Misalnya meskipun
penguasa bijak diharapkan menetapkan standar bagi rakyatnya, tetapi standar yang
digunakan oleh si pemimpin sendiri ada di dalam batinnya. Tuan tanah hingga petani
sama-sama memiliki standar perilaku di pusat mereka, sifat manusia yang bajik.
Jalan tengah adalah pusat yang menengahi hal-hal ekstrem. Konfusius dan
Mensius menasihati orang agar terjadi keseimbangan. Karena dalam keseimbangan
ditemukan kebijaksanaan (Simpkins, 2000:88).
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Chün-tzu (orang bijak) adalah manusia sejati yang benar-benar tulus dan jujur
terhadap sifat alaminya. Konfusius percaya bahwa ketulusan muncul lebih dulu. Tidak
seorang pun dapat menempuh jalur menuju menuju tercapainya kebijaksanaan jika ia
tidak memiliki ketulusan.
Semua orang pernah melakukan kesalahan, tetapi sedikit saja yang bersikap
rendah hati dengan mengakui ketika mereka salah dan memperbaiki tindakan mereka
yang salah. Konfusius menekankan sikap yang rendah hati dan jujur, terutama ketika
tidak ada orang lain yang meyaksikannya untuk menegurnya atau mendisiplinkannya.
Sifat alami manusia pada dasarnya baik. Mengekspresikan hal-hal yang posititif
dari sifat alami manusia adalah pilihan yang dianugerahkan dalam perjalanan hidup.
Mengembangkan diri seutuhnya pada jalur Konfusian berarti tidak sekedar belajar
menghargai kebaikan yang tidak kentara di dalam diri sendiri, melainkan juga mencintai
jalan hidup yang sesuai dengannya. (Alexander Simpkins, 2000:93)
Konfusius berprinsip seseorang harus menyelesaikan peran yang dimainkannya
di dalam kehidupan ini, apapun peran yang dijalaninya. Jika ingin mengembangkan diri
menjadi manusia sejati, sesorang perlu belajar untuk hidup dengan bijaksana,
menyatukan hal-hal terbaik yang diberikan pengetahuan ke dalam dirinya.
Kalangan Neo-Konfusian menambahkan dimensi lain dalam pembelajaran
ketika mempelajari prinsip melalui li. Orang bijak berusaha memahami segala hal
seputar dunia dengan mengeksplorasi prinsip yang merupakan hakikat di balik segala
hal. Dengan demikian, pengertian yang diperoleh tidak pernah dangkal. Pikiran yang
mendalam dan cermat harus selalu disertai dengan pembelajaran. Pembelajaran tanpa
berpikir itu menyia-nyiakan waktu, sedangkan berpikir tanpa belajar merupakan sesuatu
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Salah satu hal yang dimiliki orang bijak adalah kemuliaan. Kemuliaan adalah
soal perilaku, bukannya sesuatu yang melekat dalam diri ketika manusia dilahirkan.
Kemuliaan adalah tindakan, hal-hal yang manusia lakukan, bukannya sesuatu yang
diwariskan berdasarkan keturunan. Seseorang bergerak menuju arah kualitas yang
dimiliki kaum bijak, apabila ia mengembangkan kehangatan dan kebaikan yang sejati
dan ramah. Dengan menjadi tenang dan tenteram di dalam batin, orang bijak
menginspirasi orang lain untuk sepenuhnya merasa tenteram.
Orang bijak yang sejati adalah orang yang tenang dan tenteram. Ketenangan
diperoleh karena dapat menemukan hal-hal yang positif dalam situasi maupun dalam
watak orang lain. Orang yang lebih mulia menekankan kualitas positif pada orang lain
dan membantu mereka menjadi demikian. Orang biasa hanya melihat hal-hal negatif.
Orang lain dapat dipengaruhi secara positif oleh kekuatan batin orang bijak.
Kualitas baik yang dimulai dari batin individu dimaksudkan untuk membantu orang lain
secara umum. Karenanya Konfusius mendorong murid-muridnya untuk sepenuhnya
mengembangkan kemanusiaan yang termuat dalam sifat alami mereka yang terdalam,
bukan sekedar untuk perkembangan pribadi, melainkan juga demi perkembangan
sesama. Akan selalu ada harapan bagi dunia, tidak peduli betapa terkadang hidup
tampak begitu berat, jika manusia meningkatkan diri.
2.3 Feodalisme
Menurut Roderick Martin (1993:165) masyarakat feodal adalah masyarakat yang
militeristis yang hidup di “atas” tanah yang terpecah belah. Ciri utama sistem feodal
adalah penyerahan diri seseorang ke tangan orang lain sekedar untuk memperoleh
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
petani biasanya berupa pemberian pinjaman sebidang tanah. Penyerahan diri ini terjadi
pada dua tingkatan: raja menerima penyerahan diri dari para tuan tanah dan tuan tanah
menerima penyerahan diri dari para petani (M. Bloch dalam Martin, 1993:166).
Di Jepang masa feodal berlangsung selama kira-kira tujuh ratus tahun. Di awali
dari jaman Kamakura hingga jaman Edo. Keberlangsungan feodalisme di Jepang
hampir sama di setiap jamannya, yaitu dipimpin oleh seorang Sh gun (pemimpin militer
atau pemerintahan Buke), sehingga pemerintahannya berbentuk pemerintahan militer,
namun memiliki sifat “feodal” yang tidak sama. Pada masa Kamakura masih ada
semacam perimbangan antara istana, yang mewakili sisa-sisa pemerintahan kerajaan,
dan Bakufu ( ), lembaga yang digunakan sh gun untuk menjalankan kekuasaannya.
Pada masa Muromachi, meski raja dan sh gun sama-sama tinggal di ibu kota, Jepang
bergeser lebih jauh menuju tipe pemerintahan dan masyarakat feodal sejati. Pada masa
Edo mulai peralihan ke negara modern, meski lembaga vasal (tuan tanah) tetap menjadi
kunci status sosial dan kekuasaan. Ketiga tahap ini didahului dengan masa-masa perang
saudara. (W.G. Beasly, 2003:94)
Awal dimulainya feodalisme di Jepang adalah dengan terbentuknya Bushi pada
jaman Heian akhir, yang merupakan para samurai yang mempunyai kekuatan militer
untuk menjaga tanah milik pribadi di wilayahnya. Kaum samurai ini membentuk
komunitas bushi yang mengutamakan suku terkuat dan berpengaruh, diantaranya yang
terkuat adalah suku Genji dan Heishi.
Lewat pertengahan abad ke-11, kekuasaan yang diktator dari keluarga
Fujiwara—yang mendapat kedudukan dalam pemerintahan karena mengawinkan anak
perempuannya dengan putra mahkota. Karena putra mahkota naik tahta saat dia masih
kecil, maka Fujiwara menjadi wali Kaisar memimpin pemerintahan bahkan hingga
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
yang memegang kepemimpinan dalam pemerintahan— menjadi lemah. Setelah Kaisar
Shirakawa turun tahta dan menjadi j k ( ), yang kemudian melanjutkan politik
dengan menggunakan goshoj k yang disebut dewan (pemerintahan dewan). Karena
yang memegang kekuasaan secara nyata adalah goshoj k maka jabatan wali dan
penasehat Kaisar tinggal nama saja.
Pada pertengahan abad ke-12, terjadi pertentangan kaisar dengan j k , juga
perkelahian dalam keluarga Fujiwara, yang kemudian berperang di dalam kota dan
mendapat dukungan dari kaum samurai Genji dan Heishi—disebut perang H gen-Heiji
(1156-1159). Pada masa ini kaum samurai pun berkembang.
Taira Kiyomori yang mengalahkan orang-orang j k dan Genji dalam perang
H gen-Heiji menggenggam kekuasaan politik yang mengganti keluarga Fujiwara dan
j k . Kiyomori pada tahun 1167 menjadi perdana menteri dan seluruh keluarganya pun
diberi kedudukan tinggi di istana kekaisaran. Kemudian membangun pelabuhan Hy go
(di K be), melakukan perdagangan dengan Cina (kekaisaran S ch ), dan
menghasilkan keuntungan besar. Kaum Heishi diberi tanah garapan yang banyak, dan
mempunyai pengaruh yang kuat.
Kaisar Goshirakawah yang memiliki ketidakpuasan terhadap cara kerja Heishi
memanggil lagi kaum Genji yang melarikan diri dari wilayah yang dihancurkan dalam
perang H gen-Heiji, yang kemudian memulai perang kembali dengan kaum Heishi.
Minamoto Yoritomo, Minamoto Yoshitsune adik laki-lakinya dan Minamoto Yoshinaka
sepupunya menyerang kaum Heishi di setiap tempat di seluruh negeri. Keluarga Heishi
dihancurkan pasukan militer Yoshitsune di wilayah Dannoura (Selat Shimonoseki di
Yamaguchi-ken) yang dinamakan perang Dannoura (Dannoura no tatakai) dalam
sebuah pertempuran laut atau lebih tepatnya pertempuran antara samurai di dalam
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Minamoto Yoritomo yang menang terhadap keluarga Heishi membuat daerah
basis di Kamakura (perfektur Kamagawa), dan memulai persiapan penguasaan seluruh
negeri. Kemudian, Yoshitsune mengkhianati Yoritomo, dia melarikan diri dan ditolong
oleh keluarga Fujiwara di sh (wilayah T hoku) yang akhirnya berhasil dihancurkan.
Pada tahun 1192 Yoritomo diangkat menjadi seiitai sh gun oleh istana kekaisaran dan
memulai pemerintahan bushi di Kamakura. Pemerintahan itu disebut dengan Bakufu
(Pemerintahan Sh gun). Pemerintahan Kamakura yang dimulai oleh Yoritomo
berlangsung kira-kira selama 140 tahun.
Yoritomo memberikan tanah kepada samurai yang giat berperang, mengikat
mereka sebagai pengikut (yang disebut gokenin ) dalam hubungan atasan dan
bawahan (shujukankei ). Sementara itu ia mengangkat orang-orang
berpengaruh sebagai pegawai pemerintahan (shugo-jit · ) di setiap wilayah.
Shugo (gubernur-militer) bertanggung jawab menjaga ketertiban umum terutama di
provinsinya dengan melatih gokenin, jit bertugas mengawasi dan memungut pajak dari
tanah milik pribadi (sh en ) memastikan semua pajak dibayar pada waktunya oleh
tuan tanah tempat ia mengabdi. Para samurai di masa damai tinggal di desa pertanian,
melatih petani cara bertani, dan melakukan latihan perang. Kemudian di masa perang
mereka pergi ke Kamakura berperang untuk sh gun, disebut Izakamakura.
Setelah Yoritomo meninggal kekuasaan pemerintahan Bakufu berpindah kepada
keluarga H j di tempat kelahiran Masako, yaitu istri Yoritomo. Setelah membunuh
Sanetomo, yaitu generasi ketiga Sh gun —putera kedua Yoritomo— keluarga H j
mengangkat Sh gun dengan memilih anak-anak bangsawan yang lalu dikirim ke Ky to
ketika mencapai usia dewasa. Dengan cara ini sh gun, seperti halnya kaisar, menjadi
pemimpin-perlambang Kemudian pemerintahan yang sebenarnya mengangkat keluarga
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Awal abad ke-13 mantan kaisar Gotoba berpikir untuk menghidupkan kembali
pemerintahan yang berpusat pada kaisar. Ia menghimpun dukungan di kalangan para
samurai di Jepang tengah dan barat lalu menyerang Kant (disebut perang J ky , 1221).
Tetapi pasukan Gotoba dikalahkan mentah-mentah oleh pasukan H j Yoshotoki dan
pengaruh keluarga H j atas Bakufu kembali menjadi kuat. Setelah perang ini,
dibuatlah undang-undang yang disebut j eishikimoku (goseibaishikimoku). Karena
undang-undang ini menetapkan tentang hak dan kewajiban gokenin maka ini menjadi
undang-undang pertama Buke. Banyak sh en milik mantan kaisar yang disita, beberapa
tidak lama kemudian dikembalikan kepada pemilik masing-masing tetapi diletakan di
bawah pengawasan gokenin, selebihnya dibagi-bagikan kepada keluarga H j dan
sekutu-sekutunya. Kekuasaan dan imbalan penghasilan untuk jit dirinci dengan jelas,
yang menyiratkan ancaman bagi penghasilan kaisar dan para bangsawan di istana. Ahli
waris Yoshitoki, Yasutoki, ditempatkan di Ky to sebagai gubernur dengan nama
jabatan Rokuhara Tandai. Go-Toba diasingkan, dan kaisar yang sedang berkuasa
diganti dengan kaisar baru yang ditentukan oleh Kamakura.
Awal abad ke-13, Kubhilai Khan dari suku mongol menguasai negara Cina, ia
mulai memulihkan martabat internasional Cina yang dicerminkan oleh sistem upeti, dan
berpikir bahwa Jepang adalah bagian dari Cina. Karenanya ia mengirimkan sepucuk
surat kepada “raja” Jepang, memerintahkan agar Jepang mengirim utusan ke Cina untuk
menyampaikan rasa hormat kepadanya. H j Tokimune yang memangku jabatan wali
-raja saat itu di Kamakura, tidak mempedulikan surat itu. Akibatnya Kubhilai Khan
mengirim armada dan mendarat di utara Ky sh pada tahun 1274, namun mereka kalah.
Pada tahun 1275 dan 1279 utusan baru dari raja Mongol tiba di Jepang dan menuntut
agar Jepang tunduk. Para utusan itu dihukum mati. Kemudian pada tahun 1281 datang
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
pantai Ky sh . Dua bulan kemudian angin besar datang dan memporak-porandakan
kapal-kapal Mongol dan menenggelamkannya. Bangsa Jepang menyebutnya Kamikaze
(angin surga/dewa).
Selama peperangan itu bakufu mengalami banyak kerugian dalam ekonomi,
kemudian wilayah yang diserang Mongol menjadi tanah sitaan. Gokenin yang banyak
dirugikan dalam peperangan ini tidak mendapat bagian dari barang rampasan perang
maupun tanah yang disita. Mereka merasa tidak puas dengan bakufu yang dianggap
tidak tahu berterima kasih, sehingga mereka tidak mau lagi patuh pada bakufu. Hal ini
menyebabkan kekuatan bakufu melemah. Melihat melemahnya pengaruh bakufu, kaisar
Go-Daigo memanggil para gokenin yang tidak puas dengan keluarga H j dan memulai
perang melawan bakufu. Tahun 1333 bakufu Kamakura runtuh.
Tahun 1334, Kaisar Godaigo memulai politik yang baru dengan berpusat pada
kaisar (Genmunoshinsei). Tetapi para samurai yang membentuk politik Buke memiliki
ketidakpuasan terhadap politik ini. Ashikaga Takauji yang masih mempunyai kekuatan
lebih pada waktu jatuhnya pemerintahan Bakufu melakukan pemberontakan dengan
mengumpulkan para samurai, dan masuk menyerang Ky to. Tentara kaisar mengalami
kekalahan dan melarikan diri ke Yoshino (perfektur Nara).
Tahun 1336, Takauji menaikkan ke atas tahta sang kaisar yang baru pilihannya
sendiri di Ky to (Kekaisaran Utara), dan pada tahun 1338 menjadi sh gun, membuka
pemerintahan Bakufu di Muromachi dekat Ky to. Pemerintahan militer keluarga
Ashikaga ini membuat rumah yang indah yang disebut dengan Hana no Gosho di
Muromachi Ky to dibuat oleh generasi ketiga shogun, yaitu Ashikaga Yoshimitsu, cucu
dari Takauji. Jaman ini disebut jaman Muromachi.
Di lain pihak, Kaisar Godaigo melarikan diri ke Yoshino membawa serta regalia