• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tokoh – Tokoh yang Menganut Teori Sibernetik

Dalam dokumen dan prilaku abnormal. Praktik (Halaman 96-99)

Teori Belajar Sibernetik A. Pengertian Belajar Menutut Teori Sibernetik

B. Tokoh – Tokoh yang Menganut Teori Sibernetik

Asumsi lain dari teori sebernetik adalah bahwa tidak ada satu proses belajarpun yang ideal untuk segala situasi, dan yang cocok untuk semua siswa. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sisitem informasi.

Implementasi teori sibernetik dalam kegiatan pembelajaran sibernetik telah dikembangkan oleh beberapa tokoh, diantaranya yaitu:

i. Teori Pemrosesan Informasi

Dalam upaya menjelaskan bagaimana suatu informasi (pesan pengajaran) diterima, disandi, diterima, disimpan, dan dimunculkan kembali dari ingatan serta dimanfaatkan jika diperlukan, telah dikembangkan sejumlah teori dan model pemrosesan informasi oleh pakar seperti Biehler dan Snowman (1986); Baine (1986) dan Tennyson (1989). Teori-teori tersebut umumnya berpijak pada tiga asumsi Lusiana (dalam Budiningsih, 2005) yaitu:

ii. Bahwa antara stimulus dan respon terdapat suatu seri tahapan pemrosesan informasidi man pada masing-masing tahapan dibutuhkan sejumlah waktu tertentu.

iii. Stimulus yang diproses melalui tahapan-tahapan tadi akan mengalami perubahan bentuk ataupun isinya.

iv. Salah satu dari tahapan mempunyai kapasitas yang terbatas.

Dari tiga asumsi tersebut dikembangkan teori tentang komponen struktur dan pengatur strategi yang tersimpan di dalam ingatan dan dapat digunakan setiap saat diperlukan. Komponen pemrosesan informai dipilih menjadi tiga berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas, bentuk informasi, serta proses terjadinya “lupa”. Ketiga komponen tersebut adalah:

Teori Belajar

a. Sensory Receptor (SR)

Sensory Receptor merupakan sel tempat partama kali informasi diterima dari luar. Di dalam SR informasi ditangkap dalam bentuk aslinya, informai hanya dapat bertahan dalam waktu yang sangat singkat, dan informasi tadi mudah terganggu atau terganti.

b. Working Memory (WM)

Working Memory (WM) diasumsikan mampu menangkap informasi yang diberi perhatian (attention) oleh individu. Karakteristik WM adalah bahwa 1) ia memiliki kapasitas yang terbatas, lebih kurang 7 slots. Informasi di dalamnya hanya mampu bertahan kurang lebih 15 detik apabila tanpa upaya pengulangan atau rehearsal; 2) informasi dapat disandi dalam bentuk yang berbeda dari stimulus aslinya. Asumsi pertama berkaitan dengan penataan jumlah informasi, sedangkan asumsi kedua berkaitan dengan penataan jumlah informasi, sedangkan asumsi kedua berkaitan dengan peran proses control. Artinya, agar informasi dapat bertahan dalam WM, maka upayakan jumlah informasi tidak melebihi kapsitas WM disamping melakukan rehearsal. Sedangkan penyandian pada tahapan WM, dalam bentuk verbal, visual, ataupun sematik, dipengaruhi oleh peran proses control dan seseorang dapat dengan sadar mengendalikannya.

c. Long Term Memory (LTM)

Long Term Memory (LTM) diasumsikan ; 1) berisi semua pengetahuan yang telah dimiliki oleh individu, 2) mempunyai kapasitas tidak terbatas, dan 3) bahwa sekali informasi disimpan didalam LTM ia tidak akan pernah terhapus atau hilang. Persoalan “lupa” pada tahapan ini disebabkan oleh kesulitan atau kegagalan memunculkan kembali (retrieval failure) informasi yang diperlukan. Dikemukakan oleh Howard (1983) (dalam Budiningsih, 2005) bahwa informasi disimpan di dalam LTM dalam bentuk prototype, yaitu suatu struktur representasi pengetahuan yang telah dimiliki yang berfungsi sebagai kerangka untuk mengkaitkan pengetahuan baru. Dengan ungkapan lain, Tennyson (1989) (dalam Budiningsih, 2005)mengemukakan dalam proses penyimpanan informasi merupakan proses mengasimilasikan pengetahuan baru peda pengetahuan yang tekah dimiliki, yang selanjutnya bise berfungsi sebagai dasar pengetahuan (knowledge base).

Ausubel, 1968 (dalam Budiningsih, 2005) mengemukakan bahwa perolehan pengetahuan baru merupakan fungsi struktur kognitif yang telah dimiliki individu. Reigeluth dan Stein, 1983 mengatakan bahwa pengetahuan ditata didalam struktur kognitif secara herarkhis.

Ini berarti pengetahuan yang lebih umum dan abstrak yang diperoleh lebih dulu oleh individu dapat mempermudah perolehan pengetahuan baru yang lebih rinci. Implikasinya di dalam pembelajaran, samakin baik cara

Teori Belajar

penataan pengetahuan sabagai dasar pengatahuan yang akan datang kemudian, semakin mudah pengetahuan tersebut ditelusuri dan dimunculkan kembali pada saat diperlukan.

Reigeluth, Bunderson dan Merrill, 1977 (dalam Budiningsih, 2005) mengembangkan suatu strategi penataan isi atau materi pelajaran yang berurusan dengan empat bidang masalah, yaitu; pemilihan (selection), penataan urutan (sequencing), rangkuaman (summary) , dan sintesis (synthesizing). Menurut mereka,

1. Jika isi mata pelajaran yang ditata dengan menggunakan urutan dari umum kerinci, maka isi atau materi pelajaran isi-isi lain yang lebih rinci. Hal ini sesuai dengan struktur representasi informasi di dalam LTM, sehingga akan mempermudah proses penelusuran kembali informasi.

2. Jika rangkuman diintegrasikan ke dalam srategi penataan isi atau meteri pelajaran, maka ia akan berfungsi menunjukan kepada siswa (si Belajar) informasi mana yang perlu diberi parhatian disamping menghemat kapasitas WM.

Ada tujuh komponen strategi teori elaborasi yang dikembangkan oleh Reugeluth dan Stein yang berpijak pada kajian tentang teori pemrosesan informasi Degeng (dalam Budiningsih, 2005) yaitu ; 1) urutan elaborative, 2) urutan prasyarat belajar, 3) rangkuman, 4) sintesis, 5) analogi, 6) pengaktif strategi kognitif, dan 7) control belajar. Sedangkan prinsip-prinsip yang mendasari model elaborasi meliputi:

a. Penyajian kerangka isi pelajaran (epitome), yaitu suatu upaya untuk menunjukan bagian-bagian utama pelajaran dan hubungan di antaranya, yang disajikan pada awal pelajaran.

b. Elaborasi secara bertahap, berkaitan dengan tahapan dalam melakukan elaborasi isi pengajaran. Elaborasi tahap pertama akan mengelaborasi bagian-bagian yang tercakup pada elaborasi tahap pertama, dan seterusnya.

c. Bagian terpenting disajikan pertama kali. Penting tidaknya suatu bagian ditentukan oleh sumbangannya untuk memahami keseluruhan isi pelajaran. Dalam pelaksanaannya tentunya tidak meninggalkan persyaratan belajar.

d. Cakupan optimal elaborasi, yaitu tingkat kedalaman dan kelulusan elaborasi serta kemudahannya dalam membuat sintesis.

e. Penyajian pensintesis secara bertahap. Setiap kali melakukan elaborasi dimaksudkan untuk menunjukan hubungan di antara konstruk-konstruk yang lebih rinci yang baru dipelajari, serta mununjukan konteks elaborasi dalam epitome, sehingga suatu pengajaran akan diterima lebih dalam dipelajari di dalam konteksnya.

Teori Belajar

f. Penyajian pensintesis. Jadi pensintesis supaya disesuaikan dengan tipe isi pelajaran. Maksudnya, pensintesis yany fungsinya sebagai pengkait satuan-satuan konsep, prosedur atau prisip, supaya disesuaikan. Seperti struktur konseptual digunakan untuk konsep, struktur procedural untuk prosedur, dan struktur teoretik untuk prinsip.

g. Tahapan pemberian rangkuaman. Rangkuman yang dimaksudjan untuk mengadakan tinjauan ulang mengenahi isi pelajaran yang sudah dipelajari, supaya diberikan sebelum menyajikan pensisntesis.

Dalam dokumen dan prilaku abnormal. Praktik (Halaman 96-99)