2.5. LIDOKAIN
2.5.4. Toksisitas Lidokain
Pada kardiovaskular lidokain menekan dan memperpendek periode refrakter efektif dan lama potensial aksi dari sistem His-Purkinje dan otot ventrikel secara bermakna, tetapi kurang berefek pada atrium. Lidokain menekan aktifitas listrik jaringan aritmogenik yang terdepolarisasi, sehingga lidokain sangat efektif untuk menekan aritmia yang berhubungan dengan depolarisasi, tetapi kurang efektif terhadap aritmia yang terjadi pada jaringan dengan polarisasi normal (fibrilasi atrium).
Efek toksisitas jantung yang diakibatkan oleh tingginya konsentrasi plasma+ obat anestesi lokal dapat terjadi karena obat-obatan ini menghambat saluran Na jantung. Pada konsentrasi rendah obat anestesi lokal, efek pada saluran Na+ ini mungkin memperbesar sifat antidisritmia jantung dari obat-obat anestesi ini.
Tetapi jika konsentrasi plasma obat anestesi lokal berlebihan, saluran Na+ jantung cukup dihambat sehingga konduksi dan automatisasi menjadi di depresi dan merugikan. Memperlambatnya impuls kardiak melalui jantung yang ditunjukan dengan pemanjangan interval P-R dan komplek QRS pada elektrokardia. Toksisitas pada jantung dihubungkan terhadap efek langsung pada otot jantung yaitu kontraktilitas, automatisasi, ritme dan konduktivitas jantung.51-55 Dosis intra vena 2-4 mg/kgbb terhadap kontraktilitas jantung pada manusia minimal.51
2.5.4.2. Efek terhadap SSP
Gejala awal dari komplikasi pada SSP adalah rasa tebal lidah, agitasi, disorientasi, euphoria, pandangan kabur, dan mengantuk kemudian bila kadar lidokain menembus sawar darah otak timbul gejala seperti vertigo, tinnitus, twictching otot dan jika konsentrasi plasma melebihi dari >5µgr/ml, kejang umum dapat terjadi. Kejang biasanya berlangsung singkat dan berespon baik dengan diazepam, dan sangat penting untuk mencegah hypoxemia. Dalam mencegah nyeri Lidokain mempunyai dua mekanisme di peripheral dan sentral nervus system. Di peripheral Lidokain menginhibisi transduksi neural, inhibisi migrasi leukosit, menurunkan pelepasan mediator inflamasi dan menekan albumin extravassasi, sementara di sentral memblok aktivasi neural di dorsal horn, kemudian memodulasi pelepasan neurotransmitter excitatory.
Gambar 2.5-3 Hubungan tanda dan gejala anestesi lokal dengan konsentrasi plasma lidokain51
Lidokain sebagai analgetik selain inhibisi sodium channel juga blok N-
Methyl-D-Aspartat (NMDA).56
2.6.KLONIDIN
2.6.1. Struktur,rumus bangun
Klonidin sautu senyawa imidazole57 agonis α2-adrenergik selektif parsial (α2:α1=220:1) yang bekerja secara sentral (gambar 2.6-1) yang mempunyai aksi sebagai obat anti hipertensi karena kemampuannya untuk menurunkan pengeluaran sistem saraf simpatetik dari sistem saraf pusat (SSP). Obat ini terbukti sangat efektif untuk pengobatan pasien-pasien dengan hipertensi berat atau renin dependent disease. Dosis lazim untuk orang dewasa adalah 0,2-0,3 mg peroral. Obat ini dapat menimbulkan sedasi, mengurangi kebutuhan obat-obat anestesi dan memperbaiki status hemodinamik perioperatif (menurunkan tekanan darah dan laju jantung sebagai respon terhadap stimulus pembedahan) serta stabilisasi simpatoadrenal.
Gambar 2.6-1 Rumus bangun klonidin58
Sebagai tambahan, reseptor α2 yang berada di medulla spinalis memodulasi jalur nyeri yang menghasilkan efek analgesia. Penggunaan klonidin secara rutin sebagai adjuvant anestesia dan kelengkapan untuk sedasi paska operasi tanpa menimbulkan adanya depresi ventilasi menjadi terbatas oleh karena waktu paruhnya yang relative panjang yaitu 6 – 10 jam. Obat lain yang mempunyai
H N N NH Cl Cl
waktu paruh yang lebih singkat yaitu 2 – 3 jam dan lebih poten daripada klonidin adalah deksmedetomidin.58
2.6.2. Farmakokinetik
Klonidin diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian oral dan mencapai konsentrasi puncak plasma dalam 60 sampai 90 menit. Waktu paruh eliminasi klonidin berkisar antara 9 – 12 jam. Kira-kira 50% dimetabolisme di hati menjadi metabolit yang inaktif, sementara sisanya dikeluarkan melalui urin dalam bentuk yang tidak diubah.57,58 Alpha-methyldopa dimetabolisme menjadi α- methylnorepinephrine yang bersifat sangat agonis terhadap reseptor α2 dan
memiliki selektifitas 10 kali lipat terhadap reseptor α-2adrenoreseptor daripada
terhadap α-1adrenoreseptor.57 Beberapa ligand memiliki cincing imidazol yang
memfasilitasi ikatan pada reseptor imidazole-preferring nonadrenergik, demikian
juga halnya terhadap α-2
2.6.3. Mekanisme kerja
adrenoreseptor. Durasi efek hipotensif setelah dosis tunggal peroral sekitar 8 jam. Sedangkan pemberian transdermal memerlukan waktu sekitar 48 jam untuk mencapai konsentrasi terapetik plasma.58
Alfa-2adrenergik agonis menimbulkan efek klinis dengan berikatan pada
reseptor α-2 yang memiliki 3 subtype, yaitu alfa2A, alfa2B, dan alfa2C, yang terdistribusi dimana-mana, dan uniknya masing-masing reseptor (walaupun tidak semua) berkaitan dengan lainnya dalam aksi alfa-2 agonis. Reseptor Alfa2A memediasi untuk terjadinya efek sedasi, analgesia, dan simpatolisis, sementara reseptor alfa2B memediasi vasokonstriksi dan mungkin berefek antishivering. Sedangkan reseptor alfa2C memiliki nilai terapetik pada kelainan yang berhubungan dengan meningkatnya respon yang “mengejutkan” dan defisit sensorimotor gating seperti pada penyakit schizophrenia, gangguan attention deficit hyperactivity, gangguan stress pasaka trauma, dan gangguan akibat putus obat. Ringkasan respon yang dapat dimediasi oleh reseptor α-2 adrenergik dapat
dilihat pada gambar 2.6-2 berikut. Lokasi untuk efek sedasi berada pada lokus seruleus yang berada pada batang otak, sementara lokasi utama untuk aksi analgetik mungkin berada pada medulla spinalis, walaupun terdapat bukti yang jelas bahwa lokasi ini juga terdapat di perifer dan supraspinal. Di jantung, aksi
yang dominan dari α-2
Pada pembuluh darah perifer, kerja α-
agonis adalah dapat menurunkan takikardia (melalui blokade pada saraf kardioakselerator) dan menimbulkan bradikardi (melalui aksi vagomimetiknya).
2 adrenergik dapat sebagai vasodilator maupun vasokonstriktor. Kerja vasodilator melalui efek simpatolisis, sedangkan efek vasokonstriknya dimediasi melalui reseptor-reseptor yang ada sel smooth muscle pembuluh darah.59
Gambar 2.6-2 Respon yang dapat dimediasi oleh reseptor –reseptor α2-adrenergik59
2.6.3.1.Efek pada sistem saraf pusat (SSP) Efek Sedatif
Salah satu reseptor alfa-2 yang paling tinggi densitasnya berada di lokus seruleus pontin, yang merupakan sumber penting dari sistem saraf simpatis yang menginervasi forebrain dan modulator vital dari sistem kewaspadaan.58,60 Belakangan diketahui bahwa lokus seruleus ini merupakan daerah utama yang betanggung jawab terjadinya efek sedatif.61,62 Efek sedatif yang ditimbulkan oleh alfa-2 agonis sangat mungkin mencerminkan adanya inhibisi pada nukleus ini.60 Kualitas sedasi yang dihasilkan oleh alfa-2
Efek ansiolotik
agonis berbeda dengan efek sedasi yang ditimbulkan oleh obat-obat seperti midazolam dan propofol, yang mana obat-obat tersebut bekerja pada reseptor gamma-aminobutyric acid (GABA). Obat yang mengaktivasi reseptor GABA akan menyebabkan kesadaran yang berkabut dan dapat menimbulkan agitasi, toleransi dan ketergantungan.58
Karekteristik lain dari efek alfa-2 agonis adalah ansiolotik yang sebanding dengan yang dihasilkan oleh senyawa benzodiazepine.63,64 Klonidin juga dapat mendepresi gangguan panik pada manusia. Akan tetapi, pada pemberian dosis besar justru dapat menimbulkan respon ansiogenik karena bersifat nonselektif yang dapat mengaktivasi reseptor alfa-1
Efek analgetik
.57
Mekanisme kerja klonidin dalam menghasilkan efek analgesia diduga dengan mengaktivasi alfa-2 reseptor postsinaptik yang berada pada substansia gelatinosa medulla spinalis.58 Efek analgesia yang poten ini melibatkan reseptor- reseptor yang berlokasi pada supraspinal maupun spinal. Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa klonidin menghasilkan analgesia yang lebih poten dari pada yang dihasilkan oleh morfin. Selanjutnya, efek analgesia dari alfa-2 agonis akan
Kombinasi klonidin dengan opioid narkotik akan menyebabkan kebutuhan pada masing-masing obat dalam dosis yang lebih rendah sehingga mengurangi insidensi dan keparahan dari efek samping obat.57 Kemampuan klonidin untuk memodifikasi fungsi saluran potasium di dalam SSP (sehingga membrane sel menjadi terhiperpolarisasi) mungkin merupakan mekanisme yang sangat penting dalam menurunkan kebutuhan akan obat anestesi.58
2.6.3.2. Efek pada kardiovaskuler
Klonidin dapat menimbulkan hipotensi dan bradikardi melalui SSP. Mekanisme terjadinya efek tersebut mungkin melibatkan inhibisi outflow simpatetik dan potensiasi terhadap aktifitas saraf parasimpatetik. Akan tetapi, bagaimana tepatnya mekanisme kerja ini terjadi belumlah diketahui secara pasti. Sementara itu, nukleus traktus solitaries (yang diketahui berfungsi untuk memodulasi kendali otonomik termasuk aktifitas vagal) merupakan lokasi sentral yang penting untuk aksi dari alfa-2
Klonidin menstimulasi neuron inhibitori alfa-
agonis.65 Nukleus lain yang juga terlibat dalam mekanisme ini antara lain lokus seruleus66, dorsal motor nucleus dari nervus vagus67,68, dan nukleus retikularis lateralis69,70, semuanya mungkin juga memediasi terjadinya hipotensi dan atau bradikardi.66
2 adrenergik yang berada di pusat vasomotor medulla. Sebagai akibatnya, terjadi penurunan outflow sistem saraf simpatetik dari SSP ke jaringan perifer. Hal ini akan bermanifestasi terjadinya vasodilatasi perifer dan penurunan tekanan darah sistemik, laju jantung, dan curah jantung. Reseptor alfa-2 terdapat pada pembuluh darah memediasi terjadinya vasokonstriksi, sedangkan yang terdapat pada ujung-ujung saraf pada sistem saraf simpatetik perifer dapat menghambat pelepasan norepineprin. Penurunan tekanan darah yang dihasilkan oleh klonidin lebih menonjol pada penurunan tekanan darah sistolik dibandingkan dengan tekanan darah diastolik. Kemampuan klonidin untuk menurunkan tekanan darah sistemik tanpa menimbulkan paralisis refleks kompensasi homeostatic merupakan suatu hal yang
sangat menguntungkan. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus juga dipertahankan selama pemakaian klonidin.58
2.6.3.3. Efek pada sistem respirasi Alfa-2
2.6.3.4. Efek pada sistem endokrin
agonis memiliki efek depresan yang minimal terhadap ventilasi dan tidak mempotensiasi efek depresan ventilasi yang ditimbulkan oleh opioid. Akan tetapi pemberian klonidin dan fentanil intravena secara simultan, dapat menyebabkan akumulasi dari fentanil, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya depresi ventilasi.71 Klonidin secara signifikan tidak mepotensiasi depresi ventilasi yang diinduksi oleh pemberian morfin.72
Alfa-2
2.6.3.5. Efek pada sistem renal
agonis menurunkan outflow simpatoadrenal dan dapat menekan terjadinya stress response setelah stimulasi pembedahan.73 Obat ini juga menginhibisi pelepasan insulin dari sel-sel beta pankreas secara langsung, akan tetapi kejadian ini tidak berdampak terjadinya hiperglikemia berat.57
Alfa-2 agonis menginduksi dieresis, baik pada hewan coba maupun pada manusia. Mekanismenya dengan cara inhibisi pelepasan antidiuretic hormone (ADH), antagonisme kerja ADH pada tubulus renalis, serta meningkatkan laju filtrasi glomerulus. Belakangan diketahui bahwa alfa-2
2.6.4. Efek samping
agonis menginduksi pelepasan atrial natriuretic factor yang juga berperan pada mekanisme diuresis obat ini.57
Efek samping yang paling sering terjadi pada pemberian klonidin adalah sedasi dan serostomia. Pasien-pasien yang diberikan klonidin akan bermanifestasi dengan rendahnya kadar katekolamin plasma dalam merespon stimulus pembedahan dan terkadang membutuhkan pemberian antikolinergik intravena
untuk mengatasi terjadinya bradikardia. Efek samping lain adalah rash pada kulit (skin rash), terkadang terjadi impotensi, serta hipotensi ortostatik walaupun jarang.
2.6.5. Hipertensi rebound
Penghentian pengobatan dengan klonidin secara tiba-tiba dapat berdampak terjadinya hipertensi rebound yang dapat terjadi segera dalam waktu 8 jam atau paling lambat dalam waktu 36 jam setelah penghentian dosis terakhir. Fenomena ini paling mungkin terjadi pada pasien-pasien yang mendapat > 1.2 mg klonidin dalam sehari. Meningkatnya tekanan darah sistemik mungkin berhubungan dengan peningkatan > 100% dari konsentrasi katekolamin yang bersirkulasi dan terjadinya vasokonstriksi perifer yang hebat. Gejala-gejala seperti kegelisahan, diaphoresis, nyeri kepala, nyeri abdomen, dan takikardi sering mendahului pada kenaikan tekanan darah sistemik. Hipertensi rebound seringnya dapat dikendalikan dengan melanjutkan kembali terapi klonidin atau dengan pemberian obat-obat vasodilator seperti hidralazin atau nitroprussid. Penghentian pemberian klonidin sebaiknya dilakukan dengan menurunkan dosis secara bertahap sampai 7 hari atau lebih. Blokade beta-adrenergik dapat memperhebat keparahan hipertensi
rebound dengan cara memblok efek vasodilatsi beta-2 dari katekolamin dan
membiarkan efek vasokonstriksi alfanya bekerja. Berbeda dengan obat antidepresan trisiklik, obat ini juga dapat mempehebat keparahan hipertensi
rebound dengan mekanisme yang berbeda yaitu berhubungan dengan penghentian
klonidin yang tiba-tiba. Tentunya, obat antidepresan trisiklik dapat mempotensiasi efek penekanan terhadap norepineprin.58