B. PENELITIAN UTAMA
3. Total Mikroba (TPC)
Analisis mikrobiologis dapat menunjukkan jumlah koloni mikroba yang tumbuh dalam bahan makanan sehingga mempengaruhi daya terima produk pada konsumen. Adapun pemaparan jumlah koloni total mikroba yang terbentuk pada tahu selama 3 hari penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 3. 0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 1 2 3 4
Umur Simpan (hari
T o ta l M ik ro b a [ lo g (k o lo n i/ m l) ]
kontrol asetat 5% Laktat 10% campuran asetat-laktat 3 2
1 0
Gambar 3. Total mikroba tahu pada penelitian pendahuluan
Analisis mikrobiologi yang dilakukan pada penelitian pendahuluan ini adalah analisis TPC (Total Plate Count). Analisis mikrobiologi tahu menunjukkan bahwa tahu tanpa perlakuan (kontrol) pada hari 0 memiliki nilai TPC 4.8 x 105 koloni/ml. Sedangkan pada penyimpanan hari 1, 2, dan 3 nilai TPC tahu kontrol mengalami kenaikan secara drastis yaitu : 3.7 x 106 koloni/ml ; >2.5 x 107 koloni/ml ; dan >2.5 x 107 koloni/ml. Menurut SNI 01-3142-1992, jumlah maksimum total mikroba pada tahu adalah 1.0 x 106 koloni/ml. Berdasarkan persyaratan tersebut, maka setelah hari ke-1, tahu kontrol sudah tidak layak dikonsumsi.
Nilai TPC pada kontrol dan sampel hari ke-0 menunjukkan nilai total mikroba awal pada produk tahu tersebut. Nilai mikroba awal dari suatu produk pangan sangat mempengaruhi umur simpan dari produk tersebut. Nilai total mikroba awal dari produk tahu menjadi hal penting untuk diamati karena tahu memiliki pH di bawah netral (3-6), kadar air tinggi, dan banyak mengandung protein sehingga bakteri mudah berkembang (Frazier dan Westhoff, 1978).
Tahu X memiliki nilai TPC pada hari 1, 2, dan 3 yaitu : 1.6 x 105 koloni/ml, 2.7 x 105 koloni/ml, dan 1.7 x 106 koloni/ml. Walaupun pada hari ketiga total mikroba pada tahu X melebihi persyaratan SNI, tetapi penampakan tahu secara umum belum terlihat adanya tanda-tanda kerusakan.
Tahu Y memiliki nilai TPC pada hari 1, 2, dan 3 yaitu : 2.6 x 105 koloni/ml ; 2.2 x 106 koloni/ml ; dan 2.2 x 107 koloni/ml. Berdasarkan hasil tersebut, maka setelah hari kedua tahu Y sudah tidak layak dikonsumsi. Tahu Z memiliki nilai TPC pada hari 1, 2, dan 3 yaitu : 1.8 x 105 koloni/ml ; 2.0 x 106 koloni/ml ; dan 2.0 x 107 koloni/ml. Sama halnya dengan tahu Y, setelah hari kedua, tahu Z sudah tidak layak dikonsumsi.
Pengamatan pada kontrol hari ke-1 permukaannya sudah mulai berlendir, mulai terdeteksi bau tidak enak, dan teksturnya menjadi lunak. Sedangkan pada sampel tahu Y dan Z mulai berlendir pada hari kedua. Tahu X belum terlihat adanya lendir pada permukaannya pada hari ketiga. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), jumlah populasi mikroba pada saat terbentuknya lendir adalah 3.0 x 106 sampai 3.0 x 108 kol/ml sampel dan jumlah populasi mikroba saat terdeteksi bau kurang enak adalah 1.2 x 106 sampai 1.2 x 108 kol/ml.
Hasil analisis sidik ragam hari pertama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara perlakuan pengawet (X, Y, dan Z) dalam hal jumlah mikroba yang dihasilkan (Lampiran 23). Namun, jumlah mikroba yang dihasilkan oleh ketiga perlakuan tersebut berbeda secara signifikan dengan kontrol.
Hasil analisis sidik ragam hari kedua menunjukkan jumlah mikroba tahu Z tidak berbeda secara signifikan dengan tahu Y (Lampiran 24). Namun, Jumlah mikroba dari kedua tahu tersebut (Y dan Z) berbeda secara signifikan dengan tahu X. Secara keseluruhan, jumlah mikroba tahu dengan perlakuan pengawetan (X, Y, dan Z) masing-masing berbeda dengan kontrol.
Hasil analisis sidik ragam hari ketiga menunjukkan bahwa tahu X memiliki jumlah mikroba paling sedikit dan berbeda secara signifikan dengan tahu Y, Z, dan kontrol (Lampiran 25). Jumlah mikroba pada tahu Y dan Z secara signifikan tidak berbeda dengan kontrol.
Nilai total mikroba (TPC) yang tinggi (>1.0 x 10 6 kol/ml) menunjukkan adanya kerusakan tahu oleh mikroba dalam jumlah yang besar. Mikroba penyebab utama kerusakan tahu adalah bakteri (Shurtleff dan Aoyagi, 1975). Datson et al., (1977) menemukan adanya bakteri asam laktat (bakteri yang bersifat gram positif, tidak membentuk spora, berbentuk bulat dan batang, berpasangan atau berantai) pada tahu yang disimpan pada suhu 15o, 10o, dan 5oC. Kerusakan tahu oleh bakteri asam laktat ini dapat ditandai dari permukaan tahu yang berlendir, tekstur menjadi lunak, kekompakan berkurang, warna menjadi pucat, serta penampakan menjadi tidak cerah (Prastawa et al., 1980).
Dari data yang disajikan tadi, maka dapat disimpulkan bahwa pengawet asam asetat 5% (X) sangat efektif digunakan dalam menghambat pertumbuhan mikroba, karena sampai hari ke-3, tahu yang diberikan perlakuan larutan pengawet masih layak untuk dikonsumsi dan memiliki total mikroba yang belum melebihi standar SNI. Keefektifan dari asam asetat dalam mereduksi jumlah mikroba ini disebabkan oleh nilai pKa yang tinggi sehingga jumlah asam dari asam asetat yang mampu berdifusi lebih banyak ke dalam permukaan tahu, sehingga bakteri kehilangan kemampuan untuk bertahan hidup. Dari ketiga formula larutan yang digunakan, dapat disimpulkan bahwa efektifitas asam asetat 5% > campuran asam asetat dan laktat > asam laktat 10%, dalam menghambat pertumbuhan mikroba.
4. Pengamatan Visual
Uji keawetan tahu secara visual merupakan uji mutu sensori tahu yang dilakukan dengan mengacu pada Tabel 8 dengan menggunakan 5 orang panelis. Nilai mutu sensori tahu yang dibuat dengan cara mengamati dan mencatat perubahan atribut penampakan, warna, rasa, bau, dan tekstur selama penyimpanan. Uji keawetan tahu secara visual ini sangat erat hubungannya dengan kelayakan tahu secara organoleptik untuk dikonsumsi.
Pada penelitian ini, peneliti mengamati sampel tahu segar tanpa pengawet yang kemudian dikonversikan menjadi nilai-nilai mutu sensoris yang dijadikan acuan penilaian uji keawetan sampel tahu secara visual. Nilai-nilai mutu sensoris yang dijadikan acuan peneliti dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil pengamatan uji keawetan sampel tahu pada beberapa perlakuan jenis pengawet yang ditambahkan dapat dilihat pada Gambar 4.
0 1 2 3 4
kontrol Asetat 5%(X) Laktat 10% (Y) Campuran Asetat-Laktat (Z) Perlakuan Pengawetan U m u r S im p a n ( H a ri )
Gambar 4. Grafik hasil uji keawetan secara sensori pada sampel tahu
dengan beberapa jenis pengawet asam organik
Hasil yang diperoleh pada Gambar 4 menunjukkan bahwa sampel tahu kontrol memiliki umur simpan selama 1 hari, tahu X memiliki umur simpan selama 3 hari, serta tahu Y dan Z memiliki umur simpan selama 2 hari.
Mutu sensori tahu yang dapat dikatakan baik selama penyimpanan adalah tahu yang memiliki penampakan halus tanpa lendir, tekstur yang kompak dan kenyal, berwarna putih cerah, serta memiliki rasa dan aroma khas tahu segar. Sedangkan mutu sensori tahu yang buruk yaitu timbul lendir di permukaan tahu, tektur tidak kompak dan lunak, adanya kapang, serta memiliki bau dan rasa yang masam.
Pelendiran pada tahu disebabkan oleh terjadinya kontaminasi dari golongan bakteri pembentuk lendir (slime forming bacteria) yang umumnya bersifat aerobik. Bakteri yang termasuk ke dalam golongan ini antara lain beberapa spesies dari Pseudomonas, Alcaligenes, Lactobacillus, Streptococcus, dan Koliform (Frazier dan Westhoff, 1978). Pada tahu kontrol, lendir mulai timbul pada hari ke-1, lendir pada tahu Y dan Z mulai timbul pada hari ke-2, dan lendir pada tahu X mulai timbul pada hari ke-3.
Bau basi/busuk pada tahu kontrol mulai timbul pada hari ke-1. Sedangkan bau basi pada tahu X mulai timbul pada hari ke-3. Bau basi pada tahu Y dan Z mulai timbul pada hari ke-2. Bau basi terutama disebabkan oleh aktivitas golongan bakteri koliform dan beberapa spesies bakteri yang bersifat putrefactive seperti Clostridium dan Pseudomonas menghasilkan bau busuk. Penyimpangan-penyimpangan bau ini terjadi akibat hidrolisis komponen protein dan asam-asam amino secara lanjut yang menghasilkan senyawa-senyawa dan gas-gas yang mempunyai citarasa yang tidak disukai. Senyawa-senyawa dan gas-gas hasil hidrolisis tersebut antara lain senyawa sulfida seperti metil dan etil sulfida, hidrogen disulfida (H2S); senyawa amine seperti histamine, tyramine, piperidine, putrescine, dan cavaderine; serta senyawa-senyawa lain seperti amonia (NH3), indole, skatol, dan asam-asam lemak (Frazier dan Westhoff, 1978).
Analisis penentuan nilai sensori dilakukan secara subjektif terhadap 5 orang panelis. Nilai sensori pada tahu menunjukkan bahwa tahu tanpa perlakuan (kontrol) pada hari 0 memiliki nilai warna, tekstur, rasa, dan aroma normal tahu yang masih baik. Begitu pula pada penyimpanan hari 1 warna, tekstur, rasa, dan aromanya masih baik. Pada hari ke-2,
warna tahu masih sedikit cerah, teksturnya lembek, terbentuk sedikit lendir pada permukaannya, aroma dan rasanya sedikit hambar. Pada hari ke-3, warna tahu tidak cerah, teksturnya lembek, terbentuk lendir, timbul aroma dan rasa yang busuk, serta sudah mulai ditumbuhi kapang (Lampiran 5).
Tahu yang dicelupkan pada asam asetat 5% pada hari 1 memiliki warna yang cerah, teksturnya kompak, sedikit terasa asam pada after taste, dan aroma asam sedikit tercium. Pada hari ke-2 dan 3, warna tahu masih cerah, teksturnya kompak, namun rasa dan aromanya tidak dapat diterima karena terasa asam pada after taste dan aromanya asam sangat menyengat. Hal ini dikarenakan asam asetat bersifat asam dan volatil (Lampiran 5).
Tahu yang dicelupkan pada asam laktat 10% pada hari 1, 2, dan 3 memiliki warna yang masih cerah dan tekstur masih kompak. Namun rasa dan aromanya tidak dapat diterima karena terasa sangat asam dan aromanya sangat asam. Rasa dan aroma asam pada tahu yang diberi perlakuan pencelupan dalam asam laktat ini lebih tinggi dibandingkan tahu yang dicelupkan dalam asam asetat. Hal ini dikarenakan asam laktat yang dipakai konsentrasinya tinggi, selain itu juga asam laktat memiliki aroma gurih yang khas (Lampiran 5).
Tahu yang dicelupkan pada campuran asam asetat dan laktat pada hari 1, 2, dan 3 memiliki nilai warna dan tekstur yang baik (warnanya cerah dan teksturnya kompak). Namun rasa dan aromanya tidak dapat diterima karena tahu terasa sangat asam dan aroma asam yang timbul sangat menyengat. Hal ini dikarenakan porsi asam laktat yang bersifat lebih asam dalam campuran lebih tinggi (2/3) dibandingkan dengan asam asetat (1/3) (Lampiran 5).
Berdasarkan hasil pengamatan, ternyata adanya gejala pelendiran dan bau basi adalah tanda awal terjadinya kerusakan pada tahu. Timbulnya gejala-gejala kerusakan ini menunjukkan bahwa tahu tidak layak untuk dikonsumsi. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa pengawet asam asetat 5% memiliki ketahanan terbaik dalam menjaga tahu dari kerusakan dibandingkan dengan pengawet laktat 10% dan campuran asetat-laktat.
Data yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan ini menunjukkan bahwa formula larutan pengawet asam asetat 5% sudah sangat efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba dan mempertahankan keawetan tahu sampai 3 hari. Hal ini dapat dilihat dari nilai TPC yang terkecil dibandingkan pengawet yang lain. Namun, penerimaan sensorinya masih buruk dalam hal rasa dan aroma, dimana masih terasa/tercium rasa dan aroma asam menyengat yang berasal dari asam asetat itu sendiri, bukan disebabkan oleh kebusukan yang timbul pada tahu. Tahu yang diberi pengawet asam laktat maupun campuran asetat-laktat juga menghasilkan rasa dan aroma asam yang menyengat. Namun, rasa dan aroma asam tahu yang dicelupkan dalam asetat 5% ini lebih dapat diterima dibandingkan dengan tahu yang dicelupkan dalam asam laktat 10% ataupun campuran asam laktat-asetat.
Hal yang dapat disimpulkan pada penelitian pendahuluan yaitu asam asetat dipilih untuk menjadi pengawet lebih lanjut pada penelitan utama dengan melakukan pengurangan konsentrasinya agar memiliki nilai organoleptik yang lebih dapat diterima (tidak timbul lagi rasa dan aroma asam).
B. PENELITIAN UTAMA
Data pada penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa asam asetat glasial merupakan jenis pengawet yang paling efektif untuk menghambat pertumbuhan mikroba dibandingkan dengan asam laktat dan campuran asetat-laktat. Hal ini dikarenakan nilai pKa dari asam asetat paling tinggi dibandingkan dengan jenis asam organik yang lain sehingga nilai aktivitas antimikrobanya pun juga paling tinggi. Oleh karena itu, asam asetat glasial dipilih sebagai pengawet lebih lanjut untuk tahap penelitian utama bersama dengan cuka pasar.
Cuka pasar dipilih sebagai pengawet untuk tahap penelitian utama karena sifat anti mikrobanya yang relatif sama dengan asam asetat glasial, harganya yang lebih murah dari asam asetat glasial serta konsumen sering memakainya. Harga cuka pasar berkisar pada Rp. 5.000/L (25%) dan harga
asam asetat glasial berkisar Rp. 25.000/L (98%). Cuka pasar merupakan suatu senyawa yang mengandung asam asetat dan sering digunakan oleh konsumen sebagai bahan tambahan untuk peningkatan citarasa asam.
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian pendahuluan, ternyata pada konsentrasi 5%, asam asetat sudah mampu meningkatkan umur simpan tahu selama 3 hari. Hal ini dapat dilihat dari total mikroba yang dihasilkan paling kecil dibandingkan dengan perlakuan pengawet asam organik lainnya. Namun, masalah yang timbul adalah rasa asam yang dihasilkan masih begitu tajam. Untuk mengantisipasi hal tersebut, dilakukan pengurangan konsentrasi asam asetat atau cuka pasar. Konsentrasi asam asetat glasial dan cuka pasar yang digunakan untuk penelitian utama adalah 2%, 2.5%, dan 3%.
1. pH
Nilai pH tahu dengan perlakuan pengawet asam asetat glasial dan cuka pasar dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.
3 4 5 6 7 1 2 3 4
Umur Simpan (Hari)
p
H
kontrol asetat glasial 2%(A1)
asetat glasial 2.5%(A2) asetat glasial 3%(A3)
3 2
1 0
Gambar 5. Nilai pH tahu dengan pengawet asam asetat glasial selama
penyimpanan
Berdasarkan analisis sidik ragam hari ke-1 pada menunjukkan bahwa pencelupan tahu ke dalam asetat glasial 2%, 2.5%, dan 3% memberikan nilai pH yang berbeda secara signifikan terhadap nilai pH tahu kontrol (Lampiran 29). Nilai pH tahu dengan asam asetat 2.5% tidak
berbeda secara signifikan dengan pH tahu asetat 3%. Nilai pH tahu asetat glasial 2.5% dan 3% ini berbeda secara signifikan dengan tahu asetat 2%. Hasil analisis sidik ragam hari ke-2 (Lampiran 30) menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan terhadap nilai pH tahu pada masing-masing sampel tahu. Analisis sidik ragam hari ke-3 (Lampiran 31) menunjukkan bahwa pH tahu asetat 3%, 2.5%, dan kontrol adalah sama dan berbeda dengan tahu asetat 2%.
Berdasarkan pada Gambar 5, nilai pH tahu kontrol pada hari ke-0 sebelum pencelupan yaitu sebesar 6.40 dan cenderung menurun selama 3 hari penyimpanan. Pada tahu yang mendapat perlakuan pencelupan ke dalam larutan asam asetat glasial, ternyata tahu dengan asam asetat glasial 3% (A3) memiliki pH terendah dibandingkan dengan asetat 2.5% (A2) dan 2% (A1) pada hari ke-1, 2, dan 3 pengamatan. Hal ini dikarenakan konsentrasi asam asetat pada tahu A3 paling tinggi dibandingkan yang lain sehingga asam yang diterima tahu lebih banyak dan menyebabkan penurunan pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan A1 dan A2.
Kisaran pH tahu yang mendapat perlakuan pengawetan dengan asam asetat glasial untuk semua konsentrasi ini hanya berada pada level 4-5, sehingga hanya efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan belum efektif untuk menghambat kapang. Kapang dapat tumbuh optimal pada pH di bawah 3. 3 4 5 6 7 1 2 3 4
umur simpan (hari)
p
H
kontrol cuka pasar 2%(B1) cuka pasar 2.5%(B2) cuka pasar 3%(B3)
3 2
1 0
Gambar 6. Nilai pH tahu dengan pengawet cuka pasar selama
Hasil analisis sidik ragam hari pertama (Lampiran 32) menunjukkan bahwa pH tahu cuka pasar 3% dan 2.5% adalah sama dan berbeda secara signifikan dengan pH tahu cuka pasar 2% dan kontrol, sedangkan nilai pH tahu cuka pasar 2% tidak berbeda dengan kontrol. Nilai pH tahu tertinggi pada hari pertama adalah tahu kontrol (5.16) dan terendah adalah tahu cuka pasar 3% (4.54). Hasil analisis sidik ragam hari kedua (Lampiran 33) menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok nilai pH yang memiliki nilai pH yang tidak berbeda. Kelompok pertama adalah asetat 3% dan asetat 2.5%, serta kelompok kedua adalah kontrol, dan asetat 2%. Nilai pH terendah pada hari kedua adalah tahu asetat 3% (4.29) dan tertinggi adalah tahu asetat 2% (4.75). Hasil analisis sidik ragam hari ketiga (Lampiran 34) menunjukkan bahwa nilai pH tahu asetat 3% berbeda secara nyata dengan pH tahu asetat 2.5%, 2%, serta kontrol. Nilai pH tertinggi adalah tahu kontrol (4.53) dan terendah adalah tahu asetat 3% (4.18).
Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa nilai pH tahu kontrol pada hari ke-0 sebelum pencelupan adalah 6.40 dan cenderung menurun selama 3 hari penyimpanan. Pada tahu yang mendapat perlakuan pencelupan ke dalam larutan cuka pasar, ternyata tahu dengan cuka pasar 3% (B3) memiliki pH terendah dibandingkan dengan cuka pasar 2.5% (B2) dan 2% (B1) pada hari ke-1, 2, dan 3 pengamatan. Hal ini dikarenakan konsentrasi cuka pasar pada tahu B3 paling tinggi dibandingkan yang lain sehingga asam yang diterima tahu lebih banyak dan menyebabkan penurunan pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan B1 dan B2.
Kisaran pH tahu yang mendapat perlakuan pengawetan dengan cuka pasar untuk semua konsentrasi ini hanya berada pada level 4-5, sehingga hanya efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan belum efektif untuk menghambat kapang. Kapang dapat tumbuh optimal pada pH di bawah 3.
Dari Gambar 5 dan Gambar 6 dapat dilihat bahwa konsentrasi pengawet memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap nilai pH tahu. Semakin tinggi konsentrasi pengawet, nilai pH akan semakin rendah yang
menyebabkan jumlah mikroba akan menjadi rendah pula. Hal ini dikarenakan kebanyakan mikroba khususnya bakteri tidak tahan dengan kondisi asam, sehingga pertumbuhannya menjadi terhambat.
Konsentrasi yang tinggi dari suatu asam organik yang digunakan pada tahu akan menyebabkan kenaikan nilai pKa (persentase asam yang tidak terurai). Hal ini menyebabkan kemampuan mikrobial pun meningkat. Asam organik yang memiliki pKa lebih tinggi maka banyaknya molekul yang tidak terdisosiasi dalam larutan lebih banyak, sehingga pH larutan menjadi asam. Oleh karena itu, proton yang jumlahnya lebih banyak akan masuk ke dalam sitoplasma sel mikroorganisme. Untuk mencegah terjadinya penurunan pH dan denaturasi di dalam sel, proton-proton yang berada di dalam sel berusaha dikeluarkan oleh sel mikroorganisme. Pertumbuhan sel mikroorganisme menjadi lebih lambat bahkan berhenti sama sekali karena dibutuhkan energi untuk mengeluarkan proton dari dalam sel. (Eklund, 1989; Fardiaz, 1989).
Keasaman atau pH tahu mengalami perubahan dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Tahu yang disimpan sampai dengan hari ketiga cenderung mengalami penurunan baik pada tahu yang diawetkan dengan asam asetat glasial maupun cuka pasar. Apabila waktu penyimpanan diperlama sampai hari ke-5, maka akan terjadi kenaikan nilai pH yang tidak terlalu tinggi. Perubahan pH pada tahu ini disebabkan oleh aktivitas mikroba terutama dari golongan pembentuk asam dan golongan proteolitik. Peningkatan keasaman atau penurunan pH terutama disebabkan oleh aktivitas bakteri asam laktat (Datson et al., 1977). Hidrolisis protein secara enzimatis oleh golongan mikroba proteolitik cenderung menyebabkan peningkatan derajat kebasaan (Frazier dan Westhoff, 1978).
Pola perubahan pH selama lima hari penyimpanan menunjukkan aktivitas laktik yang masih dominan sampai penyimpanan hari ke-3. Namun, keasaman yang dihasilkan tidak cukup tinggi, dimana rata-rata pH berada sekitar 4-5. Keadaan ini masih memungkinkan pertumbuhan beberapa mikroba lain , seperti kapang dan golongan proteolitik yang
tahan asam (acid proteolitik). Golongan mikroba proteolitik tahan asam antara lain Micrococcus, Streptococcus faecalis var liquefaciens (termasuk bakteri laktik enterokoki yang bersifat termodurik), dan beberapa spesies Bacillus pembentuk spora dan dapat memfermentasi laktosa (Frazier dan Westhoff, 1978). Aktivitas proteolisis dari bakteri ini dapat menghambat pertumbuhan laktik sehingga produksi asam akan berkurang. Penurunan produksi asam yang disertai dengan degradasi protein secara lanjut cenderung menyebabkan peningkatan pH selama penyimpanan.
Berdasarkan hasil yang disajikan pada Gambar 5 dan Gambar 6, maka dapat disimpulkan bahwa asam asetat glasial 3% dan cuka pasar 3% paling efektif untuk menurunkan pH tahu sampai dengan 4-5, sehingga lemampuan antimikroba dari kedua konsentrasi pengawet ini juga paling tinggi. Namun demikian nilai pH dari kedua konsentrasi pengawet ini tidak berbeda secara signifikan, oleh karena itu direkomendasikan untuk menggunakan cuka pasar 3% saja karena harganya lebih murah dibandingkan dengan asam asetat glasial 3%.
2. Total Asam Tertitrasi (TAT)
Analisis total asam tertitrasi (TAT) merupakan analisis untuk mengukur kandungan seluruh asam yang terlarut dalam bahan pangan. Nilai TAT pada tahu yang dicelupkan dalam pengawet asam menunjukkan seberapa banyak asam yang mampu berdifusi ke dalam tahu sehingga dapat diketahui seberapa banyak aktivitas asam untuk menghambat pertumbuhan mikroba. Nilai TAT dalam penelitian utama ini dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.
Analisis penentuan nilai TAT tahu dengan menggunakan pengawet asam asetat glasial menunjukkan bahwa tahu tanpa perlakuan (kontrol) pada hari 0 memiliki nilai TAT 2.90 %. Sedangkan pada penyimpanan hari 1, 2, dan 3, nilai TAT kontrol mengalami kenaikan secara terus-menerus yaitu : 3.41% ; 6.44%; dan 7.09 %. Kenaikan nilai TAT ini disebabkan oleh penurunan mutu tahu karena adanya aktivitas
mikrobiologis dari bakteri asam laktat, sehingga total asam yang terkandung pada tahu semakin tinggi (Frazier dan Westhoff, 1978). Tahu A1 mengalami kenaikan nilai TAT pada hari 1, 2, dan 3 yaitu : 3.87% ; 7.09% ; dan 7.73%. Tahu A2 juga mengalami kenaikan nilai TAT pada hari 1, 2, dan 3 yaitu : 5.80% ; 7.73% ; dan 7.73%. Demikian pula dengan tahu A3 mengalami kenaikan nilai TAT pada hari 1, 2, dan 3 yaitu : 7.73% ; 8.38% ; dan 8.38%.
Tahu A1, A2, dan A3 memiliki nilai TAT yang lebih besar daripada nilai TAT pada kontrol. Hal ini disebabkan oleh asam dari larutan pengawet yang berdifusi ke dalam tahu tersebut. Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada Gambar 6, dapat dilihat bahwa tahu dengan asetat 3% (A3) memiliki nilai TAT yang lebih besar dibandingkan dengan tahu asetat 2.5% (A2) maupun tahu asetat 2% (A1) pada hari pertama, kedua, maupun ketiga. Jumlah asam yang terkandung dalam tahu asetat 3% lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya, sehingga aktivitas antimikrobanya juga lebih tinggi.
Kenaikan nilai TAT yang drastis pada tahu A1 dan A2 pada hari kedua dan ketiga bukan disebabkan oleh asam yang berdifusi ke dalam tahu dari asam pengawet, tetapi lebih dikarenakan oleh asam yang ditimbulkan oleh bakteri asam laktat. Sedangkan tahu A3 pada hari ketiga belum menunjukkan timbulnya asam oleh bakteri asam laktat.
0 2 4 6 8 10 1 2 3 4
Umur simpan (hari)
T o ta l A s a m T e rt it ra s i (% )
kontrol asetat glasial 2%(A1) asetat glasial 2.5%(A2) asetat glasial 3%(A3)
3 2
1 0