• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Andung Pada Upacara Kematian MBT Saat In

Keberadaan andung pada upacara kematian saat ini sangat sulit ditemukan. Ini terlihat dengan adanya pergeseran dan perubahan budaya yang di pengaruhi oleh mobilitas zaman yang cepat dan begitu sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat. Tradisi andung pada upacara kematian MBT pada saat sekarang sudah sangat sulit ditemukan. Pada upacara kematian saat sekarang yang paling sering terlihat adalah anggota keluarga yang mangangguk bobar (menanggis histeris), tangis terisak isak. Tradisi andung ini dianggap tidak sesuai lagi untuk zaman sekarang atau generasi muda selalu mengungkapkan dengan pernyataan sudah ketinggalan zaman (Wawancara dengan Op. Yohana, Percut Sei Tuan, 10 April 2012). Seperti telah diuraikan pada bab II pendahuluan bahwa andung dianggap hal yang mengandung magis sehingga dianggap hal itu sipelebegu dan kuno.

Berdasarkan pengamatan peneliti melihat ada beberapa faktor yang mengakibatkan pergeseran dan perubahan pada tradisi andung saat ini.

5.1.1 Agama

Menurut Lumbantobing (1996: 62) ketakutan terhadap roh orang yang sudah mati adalah merupakan alasan pokok menyebabkan dilakukannya andung karena dia (yang ditangisi) sudah jadi asing dan berada di bawah kekuasaan setan maut. Sekarang hal itu sudah jarang bahkan sangat sulit ditemukan.

Pada kepercayaan tradisional, andung difungsikan sebagai penghormatan terhadap orang yang meninggal karena setiap orang meninggal jika diandungi dianggap memiliki derajat yang tinggi. Pergeseran dan perubahan ini terjadi setelah masuknya agama kristen oleh pendeta Jerman ke Tanah Batak abad ke 19 seperti yang telah diuraikan dalam bab dua masuknya misionaris Eropah ke tanah Batak. Para pendeta Jerman ini menganggap bahwa ‘mangandung’ adalah perbuatan yang menunjukkan kekurangan percayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga mangandung diidentikkan dengan keputusasaan. Kegiatan tradisi andung pada upacara kematian MBT tersebut dianggap seperti sipelebegu (mempercayai hantu), kuno dan layaknya orang yang tidak memiliki harapan.

Hal ini juga sependapat dengan Sihombing (1997:338) “Alai di tingki on, nang pe so dilarang huria, ndang dihalomohon godangan bei, ala ndang adong be saonari “na manarik di andung, ai so adong be tarida unsur-unsur kesenian di na mangandung i. Hibul holan papuashon arsak nama dohot roha na putus asa, gabe maralo tu paragamaon.” (Tapi pada saat sekarang, meskipun tidak dilarang jemaat gereja, tidak banyak yang melakukan lagi, karena tidak ada menariknya lagi andung itu, tidak ada unsur-unsur kesenian lagi saat meratap. Hanya memuaskan perasaan putus asa saja, sehingga jadi berlawanan dengan agama).

Oleh karena itu pada waktu meratap dihadapan orang yang telah meninggal lagu ratapan itu diinterupsi oleh lagu gereja dengan dinyanyikan bersama-sama, seperti pada upacara kematian keluarga Tumanggor- Saentis tanggal 21 Maret 2012 saat si ibu (istri dari yang meninggal) mulai menanggis dengan histeris dan bernyanyi menceritakan perjalanan hidupnya dengan sang suami yang meninggal tiba-tiba, salah seorang yang melayat tersebut berkata mari kita bernyanyi dari buku nyanyian dan dengan spontan pelayat yang hadir saat itu bernyanyi bersama-sama.

Keberadaan agama ini juga sangat mendukung untuk tidak melakukan andung (wawancara dengan Op Patricia Hutagaol, 15 April 2012). Demikian juga halnya pada upacara kematian Op. Pirlo saat Op. Rohani meratapi mayat tersebut MBT yang hadir saat itu mengatakan “ah dang masa be i songoni”(sudah tidak zamannya lagi sekarang). Menurut Op. Simon Gultom (wawancara tanggal 16 Maret 2012) tradisi andung di daerah desa itu sudah tidak begitu dianggap sakral lagi karena masyarakat sudah menganut agama dan penutur andung pun juga sudah semakin sulit ditemukan di desa itu.

5.1.2 Pendidikan

Pendidikan yang tinggi juga mempengaruhi tradisi andung untuk tidak dilakukan dalam upacara kematian. Pendidikan menunjukkan wawasan generasi muda sekarang berfikir untuk yang lebih logis. Masyarakat Batak Toba di Onan Runggu lebih memilih untuk pergi keluar dari desanya untuk melanjutkan pendidikan ke daerah kota dan bahkan untuk mencari pekerjaan juga lebih memilih pergi ke kota seperti Pem. Siantar, Medan dan luar Sumatera Utara (wawancara Op. Simon Gultom tanggal 16 Maret 2012). Hal ini yang membuat mereka tidak mengetahui lagi apa sesungguhnya andung itu. Pendapat ini juga senada dengan hasil wawancara Op. Yohana-percut Sei Tuan 10 April 2012, tidak hanya generasi muda yang tidak tahu andung bahkan sebagian MBT yang tua juga tidak mengenal apa sebenarnya andung tersebut. Sekarang yang kita lihat meskipun hanya yang tua-tua yang mengetahui tentang andung dan tapi itu pun tidak semua pandai menjadi pangandung “penutur”.

Generasi muda sekarang dengan pendidikan yang sudah tinggi dan terbiasa dengan kehidupan kota yang penuh dengan gaya modern juga mengganggap bahwa andung itu sudah tidak zamannya lagi . Bahkan mereka juga mengganggap itu adalah perbuatan yang tidak beragama karena dalam kehidupan ini kita harus pasrah akan kematian yang kelak memang harus kita hadapi. Pendidikan yang semakin tinggi mendukung keberadaan andung juga menjadi terkikis.

5.1.3. Bahasa

Pergeseran yang paling nyata adalah bahasa andung yang merupakan ciri khas dari tradisi andung juga tidak pernah lagi terdengar pada saat suasana duka/kematian melainkan bahasa batak sehari-hari (hata somal) yang lebih dominan. Seperti pada upacara kematian keluarga Tumanggor daerah saentis pada tanggal 21 Maret 2012 (gambar peta 3), istri dari yang meninggal tidak bisa mangandungi dengan menggunakan hata andung (bahasa Batak halus) yang dilakukannya adalah menanggis, begitu juga dengan anak-anaknya tak satupun yang mampu mengandungi kepergian bapaknya, mereka mengekspresikan kesedihannya dengan hanya menanggis dan berkata-kata dalam bahasa Indonesia.

Semakin sedikitnya orang yang mampu mangandungi juga merupakan salah satu bergesernya tradisi andung. Mangandung bukanlah meratap tanggis seperti biasa, keahlian mangandung itu lahir secara spontan dan bahasa yang digunakan juga bahasa Batak yang halus (hata andung) memang tidak semua tahu tentang bahasa ini. Inilah yang menjadi salah satu ciri dari andung (Wawancara Op. Rohani tanggal 16 Maret 2012 ). Op Rohani-sipenutur andung pandai mangandungi sejak masih kecil,

dia sering mendengar wanita lain yang ada di lingkungannya meratap/mangandungi. Kedua orang tuanya bukanlah pandai mangandungi. Dia mempelajari andung karena sering mendengar dan belajar secara sendiri. Ini menunjukkan bahwa kebiasaan mendengar juga bisa melatih menjadi pangandung “penutur”. Begitu juga dengan Ny. Sidabutar br. Simanjuntak bahwa dia mulai mempelajari andung sejak anak laki- laki pertamanya meninggal “sidanggollon khi do na mambahen ahu gabe malo mangandungi” (kesedihan ku itulah yang membuat aku pandai mangandungi). Kenangan-kenangan bersama putranya itulah yang selalu diingatnya dan dia merasa kehilangan. Itulah awalnya dia mulai pandai mangandungi dan bahasa andung yang didapatnya juga semakin bertambah.

Menurut Op. Rohani kesulitan dalam mempelajari bahasa andung pada saat sekarang adalah tidak dibiasakannya berbahasa Batak dalam sebuah komunitas sebagai alat komunikasi yang penting dalam sehari-hari. Biasanya dalam keluarga bahasa Batak Toba disebut bahasa ibu sedangkan dalam praktik sehari-hari bahasa Indonesia-lah yang selalu dipakai dalam berkomunikasi sehari-hari. Kebiasaan berbahasa Batak biasanya dimulai dari keluarga sebagai bahasa Ibu dan juga lingkungannya. Generasi sekarang khususnya MBT sudah jarang menggunakan bahasa Batak Toba sebagai bahasa komunikasi sehari-hari bahkan ada yang malu untuk berbahasa Batak meskipun dia orang Batak Toba ( wawancara dengan Op. Patricia , 15 April 2012). Hal ini jugalah yang menyebabkan bahasa Batak tersebut akan semakin hilang begitu saja. Bagaimana generasai muda sekarang bisa jadi seorang penutur andung sedangkan hata somal (bahasa sehari hari) saja tidak bisa.

Keahlian seorang penutur andung harus mampu menggunakan bahasa andung (hata andung) yaitu bahasa Batak yang halus. Dengan sirnanya kelembutan berbahasa juga berdampak pada perilaku orang Batak itu sendiri. Tidak heran perilaku orang sekarang menjadi sangat kasar dan verbal. Sebab bahasa Batak yang digunakan saat ini adalah bahasa Batak yang sudah berevolusi alias dipangkas dari kelembutan sastra umpasa (pepatah) maupun andung. Sepanjang tradisi lisan itu masih hidup di sebuah komunitas maka selama itu juga bahasa andung pada komunitas itu masih hidup. jadi jika bahasa etnik ini juga hilang maka sastra lisan MBT tersebut sebagai bahasa bagian dari kebudayaan itu akan hilang juga.

5.1.4 Budaya

Pada upacara kematian, bila istri atau anaknya tidak mangandungi orang tuanya dikatakan tidak tahu adat (na so maradat) hal ini menunjukkan bahwa tidak ada lunggun ( kesediahan) di tengah-tengah keluarga tersebut. Pelayat yang hadir akan memberikan kritikan “bereng jo ndang adong lunggun aroha di akka boru nai” (lihat dulu tak ada kesedihan diantara anak-anak gadisnya) bahkan ada yang mengatakan “ndang adong na marholong ni roha tu na tua tua na” (tak ada kasih sayang orang ini ama orang tuanya). Ternyata andung itu juga dianggap budaya Batak yang dulunya sangat penting dalam hubungan anak dan orang tua. Hasil wawancara dengan Op. Patricia Hutagaol pada tanggal 15 April 2012 disimpulkan bahwa bukan dengan hal mangandungi seseorang itu dikatakan beradat tetapi semasa hidup yang meninggal itu seharusnya dilakukan hal yang terbaik seperti titah Tuhan yang ke lima “ Hormatilah orang tuamu supaya lanjut umur mu di bumi yang

diberikan Tuhan kepada mu” ini tertulis dalam Firman Tuhan yaitu merupakan titah kelima dari hukum taurat menurut ajaran Agama kristen. Bukan pada saat dia sudah mati yang kemudian diekspresikan melalui andung. Hal inilah yang selalu bertentangan dengan ajaran agama.

Namun sekarang berbeda jika ada yang mangandungi orang tidak menggangap itu lagi sebagai sebuah kebutuhan dalam ritual kematian melainkan mencela dengan mengatakan sipelebegu (hantu). Dan jika ada mang-andungi langsung di sela dengan ende huria (lagu gereja) seperti penelitian Hodges “ganti andung gabe ende huria”. Dan jika pun ada itu bukanlah sebagai penghormatan lagi bagi yang meninggal tapi hanya sekedar mencurahkan isi hatinya yang sedih dengan luapan emosi. Tradisi andung pada jaman sekarang tidak dianggap lagi sebagai tradisi yang penting atau sakral dalam sebuah upacara kematian. Budaya-budaya luar juga sangat mempengaruhi generasi MBT saat sekarang seperti halnya rosbang tempat meninggal juga sudah modern bisa dihiasi dengan bunga-bunga dekorasi seperti bunga melati dan peti mati yang lebih mewah sehingga berkesan kematian itu sebagai ekspresi kebanggaan untuk menyenangkan pelayat saja.

Pergeseran dan perubahan tradisi andung juga terlihat pada tanda – tanda/simbol-simbol penentu (sign Vehicles) seperti gerakan tangan ketika saat meratapi yang meninggal. Konon, si-pangandung akan menggerakkan tangannya secara teratur dan berulang-kali, yaitu dari arah si mati ke arah jantungnya sendiri dengan makna untuk mengambil sahala/tuah/berkat dari orang mati kepada dirinya atau kepada keturunannya. Gerakan ini disebut mangalap tondi ni na mate/mangalap

sahala ni na mate. Selain gerakan ini, orang yang meratap terkadang menyentuh pipi (muka) mayat (video 2 Percut Sei tuan), terkadang bergoyang-goyang, atau menggerakkan tangan dengan kuat dan penuh perasaan sambil meratap. Semua gerakan ini, dan yang lain juga, merupakan suatu aspek komunikatif (sign vehicle) dari kegiatan meratap dalam ritus kematian MBT (Hodges. 2001:13-14). Namun sekarang gerakan tangan diubah seiring dengan lagu ratapan (andung) diganti dengan lagu-lagu gereja agar arah dan posisi tangan dibalikkan. Perubahan ini, dijelaskan mempunyai makna bahwa kuasa/berkat/keuntungan dari syair lagu gereja di masukkan ke dalam tubuh orang yang mati itu.

5.1.5. Ekonomi

Pola hidup yang makin berorientasi kepada hal-hal yang bersifat ekonomis juga merupakan salah satu bergesernya andung. Saat sekarang telah banyak mengekspresikan kesedihan melalui sebuah lagu atau disebut andung-andung dan dianggap lebih ekonomis dan praktis tanpa memperhatikan seni dan sastranya. Andung-andung juga dianggap sebagai ratapan kesedihan tanpa di depan mayat. Bentuk andung tersebut dikemas dalam sebuah CD yang dengan mudah di dapat dipasarkan dan mudah mendapatkannya. Hal ini juga mendukung generasi muda untuk mendengarkan andung-andung melalui CD dan kesedihan yang mereka alami itu sudah terekspresikan, meskipun bahasa Batak yang digunakan tidaklah seperti bahasa andung yang merupakan bahasa Batak halus dan bahkan lembut. Hal ini jugalah yang mendukung bahwa tradisi andung semaking hilang dengan bercirikan bahasa andung. Generasi muda sekarang menggangap lebih praktis dan ekonomis

bila andung-andung tersebut sudah dikemas dalam bentuk CD. Namun bukan berarti CD tersebut harus diputar pada upacara kematian.

Dokumen terkait