• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi atau Kebiasaan Merantau dalam Masyarakat Binongko

Budaya merantau cukup akrab di Nusantara terutama orang-orang yang tinggal di pulau-pulau Indonesia. Yang menarik dalam budaya ini adalah biasanya masing-masing daerah punya ciri khas tersendiri yang harus dilakukan sebelum merantau. Banyak faktor yang mendorong orang-orang untuk pergi dari tempat asal atau kelahirannya menuju tempat lain. Secara umum adalah faktor ekonomi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, faktor pendidikan, faktor peperangan, serta bencana alam.

Wakatobi misalnya, budaya merantau sangat melekat kuat pada masyarakat karena pada dasarnya keadaan alam dan geografis yang tidak mendukung untuk kegiatan pertanian. Di Wakatobi, merantau bisa dikatakan telah menjadi salah satu bagian dari budaya masyarakat, alasan utama untuk merantau adalah alasan ekonomi dan alasan pendidikan yang lebih baik.

Migrasi masyarakat kepuluan Wakatobi menuju Timur atau Barat mencapai daerah tujuan dan mendiami suatu daerah dengan strata ekonomi rendah. Sebagai contoh migrasi orang Wakatobi di Maluku, merekalah yang membuka wilayah baru di Teluk dan Kota Ambon. Tantui adalah perkampungan orang Wakatobi (Kepulauan Tukang Besi) di wilayah pesisir Teluk Ambon.

Sampai sebelum terjadinya konflik tahun 1999-2000, bagian kota Ambon yakni Wai Halong, yang semula kosong, hampir semuanya merupakan pemukiman orang Buton. Pekerjaan mereka kebanyakan dari tukang becak, penjual barang kelontong dan hasil bumi berskala kecil. Dalam kenyataan mereka memang menyadari akan hal itu. Bahkan ungkapan “Binungku” atau “Orang Binongko”

berarti posisi "rendah" dan berarti juga sebagai "ejekan" jadi bersifat pejoratif di kalangan masyarakat Pribumi Ambon.

Berkat keuletannya dalam bekerja dan "semangat juang pantang menyerah" yang besar, orang Buton dapat meraih keberhasilan, meskipun berskala kecil, dalam berbagai bidang kehidupan (Zuhdi dkk, 2009).

Perkembangan dalam masyarakat terus berjalan dan perubahan suatu keniscayaan, apalagi bagi aktor atau agensi sekecil apapun perannya terus merasa tidak puas terhadap struktur yang membelenggu, maka demikianlah dengan fenomena orang

Buton di Ambon, Dalam perkembangannya kini banyak pujian yang diberikan orang Ambon untuk keberhasilan orang Buton. Selain orang Bugis, orang Buton kini menguasai perekonomian di Pasar Merdeka Ambon.

Migrasi menuju barat tidak seperti kenyataan yang diperoleh para migrant menuju Timur. Tidak ada keberhasilan atau kesuksesan yang besar yang pernah dicatatkan oleh para perantau yang menuju barat. Akan tetapi negara Singapore dan Malaysia mencatat bahwa para migrant gelap Indonesia yang datang ke Negaranya berasa dari wilayah Kepulauan Buton. Di Samarinda Kalimantan Timur, Tarakan, Nunukan, bahkan Tawau Malaysia banyak dijumpai perkampungan Buton.

Sebelum melakukan perantauan, biasanya anak-anak muda yang ingin yang ingin merantau diberikan sebuah bekal oleh orang tua masing-masing untuk jadi pegangan dalam perantauan. Selain bekal materi yang diberikan, bekal mental tidak lupa untuk diberikan kepada pemuda-pemuda yang hendak melakukan perantauan ke negeri orang. Bekal materi berupa dana yang cukup dan skill tertentu sedangakan bekal mental adalah salah satunya berupa petua-petua atau falsafah merantau ini. Namanya adalah falsafah tara, turu, toro. Sebagaimana dikemukakan oleh Informan La Isa Wadia yang menyatakan bahwa:“Semua anak Binongko itu, harus merantau maksudnya harus keluar kampung untuk mengubah nasib keluarga ke arah yang lebih baik. Sebelum merantau, anak-anak muda diberikan bekal oleh orang tua untuk jadi pegangan dalam perantauan. Selain bekal materi yang diberikan, bekal mental tidak lupa untuk diberikan kepada pemuda-pemuda yang hendak merantau ke negeri orang. Bekal meteri berupa

dana yang cukup dan skill tertentu sedangakan bekal mental adalah salah satunya berupa petua-petua atau falsafah merantau ini, namanya adalah falsafah tara, turu, toro (La Nuhu, Wawancara, 18 Desember 2016).

Tara, turu, toro adalah falsafah atau petua yang menjadi pedoman hidup dan harus dipegang dan dimiliki oleh orang-orang Binongko atau Wakatobi secara keseluruhan yang ingin merantau di negeri orang. Falsafah ini diberikan oleh para oran tua kepada anaknya yang hendak merantau ke negeri orang dengan alasan tertentu, seperti menempuh pendidikan ataupun memperbaiki keadaan ekonomi.

Tara, turu, toro, berasal dari bahasa lokal Wakatobi yang mempunyai makna lebih dalam jika dikaji secara menyeluruh. Ada tiga komponen yang harus dimiliki oleh pemuda-pemuda Wakatobi yang hendak melakukan perantauan yaitu falsafah tara, turu, toro. Sebagaimana dijelaskan oleh informan bernama La Nuhu bahwa:“Tara secara bahasa artinya kuat atau tangguh, inilah salah satatu komponen yang harus dimiki oleh orang-orang perantau dari Wakatobi untuk tangguh, gigih, tidak pantang menyerah menghadapi tantangan hidup di negeri orang ketika mencari nafkah ataupun menyelesaikan pendidikan yang lebih bagus untuk membangun daerah ketika kembali dari perantauan. Semangat ini akan menjadi salah satu bekal mental yang harus diterapkan di perantauan. Turu dalam bahasa Indonesia artinya adalah mengalir, baik hati, sopan dan santun, patuh pada peraturan. Tidak cukup dengan tangguh serta kuat dalam menghadapai tantangan di perantauan, namun diperlukan juga kebaikan hati, saling menyapa dan menyayangi satu sama lain untuk bisa mewujudkan itu semua. Toro artinya adalah lurus, dan tidak neko-neko. Selain harus kuat dan berhati baik dan ramah terhadap

sesama, yang harus dimiliki adalah kemampuan spiritual yang tinggi dalam artian tidak lupa menjalankan perintah agama yang menjadi landasan dasar dari kehidupan olehnya itu poin ini berapa pada poin terakhir” (Wawancara, 19 Desember 2016)

Semangat ini, yang selalu dibawa oleh para perantau dari Binongko khususnya dan Wakatobi umumnya. Falsafah ini menjadi motivasi terhadap cara menyelesaikan masalah dan pantang menyerah dalam menempuh hidup di perantauan. Pantang untuk kembali jika tidak membawa kesuksesan. Tetapi mengutamakan hati yang luhur, berbagi terhadap sesama dan tidak meninggalkan agama dan terus berada pada jalur kehidupan yang baik.

54

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada Bab terdahulu, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Awal kedatangan Orang Binongko ke Kelurahan Lemo Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara terjadi sekitar tahun 1950-an ketika kapal berlayar menuju Surabaya dihantam badai dan terdampar di Pantai Lemo dan penumpangnya memilih menetap di Kelurahan Lemo sampai sekarang.

2. Penyebab migrasi Orang Binongko ke Kelurahan Lemo adalah sebagai berikut:

a. Faktor kebetulan, yaitu karena kapal yang digunakan untuk berlayar menuju Surabaya karam di Teluk Kolengsusu, para awak menyelamatkan diri dan menetap di Kelurahan Lemo.

b. Faktor budaya, dalam budaya merantau orang Binongko ada prinsip

“pantang pulang sebelum berhasil”. Perantauan menuju Surabaya dianggap gagal, para perantau malu untuk kembali ke Binongko sehingga memilih tinggal dan membawa serta keluarga untuk menetap di Kelurahan Lemo.

c. Faktor ekonomi, yaitu karena tuntutan hidup keluarga, sehingga mereka memilih pindah Ke Kelurahan Lemo, mengingat kehidupan ekonomi di Binongko kurang menjanjikan.

d. Faktor geografis, Kelurahan Lemo Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara sebagai daerah yang dituju yang disamping letaknya dekat dengan

pulau Binongko, juga wilayah ini memiliki potensi alam yang menguntungkan, yaitu tanahnya subur serta ketersediaan air akan kebutuhan pokok sangat cukup.

3. Kondisi kehidupan ekonomi orang Binongko di Kelurahan Lemo pada saat ini sudah baik, mereka bertani, menjadi tukang besi, dan berdagang. Hal ini terbukti dengan bangunan rumah yang layak huni, anak-anak yang sekolah pada jenjang tinggi, dan memiliki aset pertanian (lahan kebun).

4. Tradisi atau kebiasaan merantau bagi orang Binongko masih berlangsung sampai saat ini. Dalam melaksanakan budaya merantau, para pemuda diberikan bekal materi maupun bekal mental, berupa petua-petua/falsafah tara, turu, toro. Ketika merantau ada prinsip yang dipegang:pantang kembali ke kampung halaman sebelum sukses di perantauan.

B. Saran-Saran

Sebagai saran, penulis mengharapkan:

1. Kepada peneliti yang relevansi dengan judul ini agar dapat lebih mengembangkan hasil penilitian ini dengan lebih luas lagi, sehingga dapat menghasilkan suatu fakta sejarah yang tuntas.

2. Kepada generasi muda khususnya putra-putri daerah yang sedang menuntut ilmu di perguruan Tinggi, baik yang ada di Universitas Haluoleo maupun di perguruan Tinggi lainya di tanah air, diharapkan agar dapat terpanggil meneliti berbagai macam sejarah dan budaya daerah untuk memperkaya khasanah sejarah dan budaya Sulawesi Tenggara.

3. Kepada pihak-pihak terkait, khususnya pemerintah daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara agar senantiasa dapat menginventarisasikan dan mempublikasikan sejarah sosial kemasyarakatan, khususnya yang berkaitan dengan migrasi suku-suku bangsa yang ada di daerah ini, sehingga dapat lebih diketahui masyarakat luas dan agar dapat dilakukan pendekatan-pendekatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan di daerah ini, dalam upaya membangun masyarakat yang aman dan sejahtera, khususnya dalam wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara. Sebagaimana telah dikemukakakn dari berbagai faktor pendorong tersebut, maka tidak akan lepas dengan adanya faktor penarik di daerah tujuan. Adanya faktor pendorong dapat berarti merupakan faktor positif yang dimiliki oleh daerah tujuan.

C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sejarah di Sekolah

Dokumen terkait