• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.6 Transformasi Vektor Rekombinan ke E. coli BL21

Vektor rekombinan (pET-32b(+)-IFNα2a) dari klon transforman 2 dengan insert yang benar selanjutnya ditransformasikan ke sel E. coli galur BL21(DE3) sebagai inang ekspresi. Sistem ekspresi untuk produksi protein rekombinan dalam E. coli melalui kombinasi antara vektor dan galur E. coli sebagai inang ekspresi (Sørensen dan Mortensen, 2005). Proses transformasi dilakukan dengan perlakuan kejut panas (heat shock) pada suhu 42⁰C selama 90 detik (Radji, 2011). Hasil dari transformasi selanjutnya ditumbuhkan pada media padat LB yang telah ditambahkan ampisilin.

A B

C D

E

Gambar 4.15. Hasil Transformasi Vektor Rekombinan pada E. coli BL21(DE3).

Keterangan: (A) Inokulasi 20 µl; (B) Inokulasi 50 µl; (C) Inokulasi 80 µl; (D) Inokulasi 350 µl; (E) Kontrol negatif.

Hasil transformasi vektor rekombinan ke inang ekspresi sel kompeten E. coli BL21(DE3) diinokulasikan pada media LB padat yang mengandung ampisilin dengan metode sebar. Hasil transformasi vektor rekombinan (pET-32b(+)-IFNα2a) dari klon transforman 2 ke sel kompeten E. coli BL21(DE3) menunjukkan diperolehnya banyak klon transforman (Gambar 4.15). Banyaknya klon transforman yang tumbuh menunjukkan bahwa proses transformasi yang dilakukan berhasil dengan baik. Escherichia coli merupakan inang umum yang digunakan untuk produksi protein rekombinan, meskipun terdapat gen yang kurang efisien apabila diekspresikan pada organisme ini (Srivastva et al., 2005).

4.7 Skrining dan Verifikasi Klon Transforman di E coli BL21 (DE3)

Klon transforman E. coli BL21(DE3) yang diperoleh diseleksi menggunakan media padat LB selektif yang mengandung ampisilin. Verifikasi

masuknya vektor rekombinan pET-32b(+)-IFN α2a pada inang ekspresi E. coli BL21(DE3) dilakukan dengan menggunakan metode PCR colony screening. Klon transforman dipilih 7 secara acak dan dilakukan PCR skrining menggunakan primer pET_Screen_F dengan pET_Screen_R dan IFN_NcoI_F dengan IFN_XhoI_R. Hasil dari PCR colony screening kemudian dilakukan pengecekan dengan metode elektroforesis pada medium agarosa 1%.

1 2 3 4 5 6 7 8

Gambar 4.16 Elektroforesis Hasil PCR Skrining dengan Primer pET_Screen_F dan pET_Screen_R pada Klon Transforman E. coli BL21(DE3).

Keterangan: (1) Marker; (2) Klon 1; (3) Klon 2; (4) Klon 3; (5) Klon 4; (6) Klon 5; (7) Klon 6; (8) Klon 7.

1 2 3 4 5 6 7 8

Gambar 4.17 Elektroforesis Hasil PCR Skrining dengan Primer IFN_NcoI_F dan IFN_XhoI_R pada Klon Transforman E. coli BL21(DE3).

Keterangan: (1) Marker; (2) Klon 1; (3) Klon 2; (4) Klon 3; (5) Klon 4; (6) Klon 5; (7) Klon 6; (8) Klon 7.

1000 pb 1500 pb 500 pb 750 pb 1100 pb 510 pb

Metode PCR colony screening pada ketujuh klon transforman di E. coli BL21(DE3) dilakukan menggunakan metode yang serupa dengan PCR colony screening pada klon transforman di E. coli DH5α. Elektroforesis hasil PCR skrining dengan primer pET_Screen_F dan pET_Screen_R pada ketujuh klon transforman diperoleh pita yang berukuran sekitar 1100 pb (Gambar 4.16). Hal ini menunjukkan bahwa vektor rekombinan (pET-32b(+)-IFNα2a) telah masuk ke inang ekspresi E. coli BL21(DE3). Ketujuh klon transforman juga dilakukan PCR skrining dengan menggunakan primer IFN_NcoI_F dan IFN_XhoI_R diperoleh pita berukuran 510 pb yang mana merupakan ukuran gen human ifn α2a (Gambar 4.17). Keselruhan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa vektor rekombinan (pET-32b(+)-IFNα2a) telah berhasil ditranformasikan pada inang ekspresi E. coli BL21(DE3) dengan baik.

4.8 Ekspresi, Isolasi dan Karakterisasi Protein Rekombinan Human IFN α2a Klon transforman E. coli BL21(DE3) yang telah dipastikan mempunyai vektor rekombinan (pET-32b(+)-IFNα2a) selanjutnya dilakukan uji ekspresi protein. Ketujuh klon transforman dilakukan uji ekspresi protein pada skala kecil dengan menggunakan medium produksi yaitu media LB cair 10 ml yang ditambah ampisilin dan diinkubasi pada suhu 37⁰C. Induksi dilakukan dengan penambahan IPTG pada kultur sel yang telah mencapai OD600 sekitar 0,5 dengan konsentrasi akhir IPTG 1 mM. Reagen IPTG berfungsi melepas represi promotor sehingga diperoleh ekspresi protein rekombinan dalam jumlah yang tinggi (Grompe et al., 1998). Pemanenan kultur dilakukan pada waktu 1, 2, dan 3 jam setelah inkubasi. Isolasi protein rekombinan human IFN α2a dilakukan pada protein yang terlarut pada medium kultivasi (supernatan) dan protein tidak terlarut (pelet). Pelet selanjutnya diresuspensi menggunakan bufer PBS 1x. Hasil isolasi protein pada supernatan dan pelet kemudian dianalisis menggunakan SDS-PAGE yang dilanjutkan dengan Western blot atau pewarnaan CBB.

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Gambar 4.18 Western Blot Klon 1 Inkubasi 37⁰C IPTG 1 mM.

Keterangan: (1) Pelet 0 jam; (2) Supernatan 0 jam; (3) Marker; (4) Pelet 1 jam; (5) Supernatan 1 jam; (6) Pelet 2 jam; (7) Supernatan 2 jam; (8) Pelet 3 jam;

(9) Supernatan 3 jam.

Hasil SDS PAGE yang dilanjutkan Western blot pada klon 1 yang diinkubasi pada suhu 37⁰C dengan induksi IPTG 1 mM menunjukkan terdapatnya pita tebal pada pelet dan pita tipis pada supernatan yang mempunyai berat molekul sekitar 36 kDa (Gambar 4.18). Pita tersebut merupakan berat molekul dari protein rekombinan IFN α2a yang terfusi dengan thioredoxin dan 6x histidin. Pendeteksian terdapatnya protein rekombinan IFN α2a pada Western blot menggunakan antibodi monoklonal anti interferon α yang spesifik. Waktu 0 jam merupakan level basal ekspresi protein sebelum dilakukan induksi. Hasil yang diperoleh juga menunjukkan bahwa inkubasi pada suhu 37⁰C dengan induksi IPTG 1 mM maka protein rekombinan human IFN α2a lebih dominan diekspresikan dalam bentuk tidak terlarut.

Ekspresi protein rekombinan sebagai protein terfusi mempunyai manfaat dapat dibuat konstruksi gen yang lebih menguntungkan, memungkinkan ekspresi level tinggi protein terlarut (Kapust dan Waugh, 1999) dengan menurunkan kecenderungan pembentukan badan inklusi (Lilie et al., 1998). Formasi pelipatan dan pembentukan ikatan disulfida pada protein target dapat ditingkatkan dengan fusi thioredoxin pada E. coli galur defisiensi thioredoxin reductase (trxB) (Fathallah et al., 2009). Banyak protein yang normalnya diproduksi dalam bentuk tidak terlarut pada E. coli menjadi lebih terlarut jika difusikan dengan sekuen

N-20 kDa 30 kDa 36 kDa 60 kDa 80 kDa 120 kDa 35 kDa

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 4.19 Pewarnaan CBB Klon 2, 3, 6, dan 7 Inkubasi 37⁰C IPTG 1 mM. Keterangan: (1) Pelet 3 jam klon 7; (2) Supernatan 3 jam klon7; (3) Supernatan 3

jam klon 6; (4) Pelet 3 jam klon 6; (5) Supernatan 3 jam klon 2; (6) Pelet 3 jam klon 2; (7) Supernatan 3 jam klon 3; (8) Pelet 3 jam klon 3; (9) Pelet 0 jam klon 3;

(10) Marker.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 4.20 Pewarnaan CBB Klon 4 dan Klon 5 Inkubasi 37⁰C IPTG 1 mM. Keterangan: (1) Supernatan 4 jam klon 5; (2) Supernatan 3 jam klon 5; (3) Supernatan 4 jam klon 4; (4) Supernatan 3 jam klon 4; (5) Marker;

(6) Pelet 4 jam klon 5; (7) Pelet 3 jam klon 5; (8) Pelet 4 jam klon 4; (9) Pelet 3 jam klon 4; (10) Pelet 0 jam klon 4.

Hasil elektroforesis SDS-PAGE dengan pewarnaan CBB pada klon 2, 3, 6, dan klon 7 dengan membandingkan waktu inkubasi 3 jam setelah induksi IPTG juga menunjukkan adanya pita tebal yang mempunyai berat molekul sekitar 36 kDa pada pelet (Gambar 4.19). Hasil elektroforesis SDS-PAGE dengan pewarnaan CBB pada klon 4 dan klon 5 dengan membandingkan waktu inkubasi 3 jam dan 4 jam setelah induksi IPTG juga menunjukkan terdapatnya pita tebal yang mempunyai berat molekul sekitar 36 kDa pada pelet (Gambar 4.20). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa inkubasi pada suhu 37⁰C dengan induksi

36 kDa 36 kDa

IPTG 1 mM klon 2, 3, 4, 5, 6, dan klon 7 maka protein rekombinan human IFN α2a yang lebih dominan diekspresikan dalam bentuk tidak terlarut sama seperti hasil ekspresi pada klon 1.

Hasil uji ekspresi skala kecil pada klon 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan klon 7 menunjukkan bahwa protein rekombinan human IFN α2a telah berhasil diekspresikan pada sel E. coli BL21(DE3). Pita tebal protein terdapat pada E. coli setelah dilakukan induksi dengan IPTG. Hal ini menunjukkan bahwa overproduksi protein rekombinan human IFN α2a telah berhasil dilakukan. Protein rekombinan yang diperoleh dalam bentuk protein terfusi sehingga mengalami penambahan berat molekul. Protein rekombinan human IFN α2a mempunyai berat molekul 19 kDa dengan fusi tagnya mempunyai berat molekul 17 kDa sehingga berat molekul total adalah 36 kDa. Penelitian Yu-Ling Sun et al. (2011) tentang ekspresi rabbit neutrophil peptide-1 dalam vektor pET-32b(+) pada inang E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS menyatakan bahwa fusi Trx-(His)6 -tag mempunyai ukuran sekitar 17 kDa setelah dilakukan pemotongan menggunakan enterokinase. Ekspresi rabbit neutrophil peptide-1 dengan induksi IPTG 1 mM pada suhu 37⁰C dihasilkan protein terlarut setelah dilakukan ekstraksi dengan disonikasi.

Klon 3 selanjutnya dipilih dan dilakukan uji ekspresi lebih lanjut menggunakan variasi suhu 28⁰C, 30⁰C, dan 37⁰C dengan induksi IPTG 1 mM. Pemanenan kultur setelah induksi dilakukan pada waktu 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 jam, dan kultur semalam. Variasi suhu dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk mencari optimasi suhu pada ekspresi protein rekombinan human IFN α2a terfusi sehingga diperoleh hasil ekspresi protein rekombinan human IFN α2a yang maksimal. Pemanenan kultur dilakukan pada berbagai waktu inkubasi bertujuan untuk mencari waktu yang tepat untuk pemanenan sehingga diperoleh hasil ekspresi maksimal protein rekombinan human IFN α2a.

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Gambar 4.21 Pewarnaan CBB Pelet Klon 3 Inkubasi 37⁰C IPTG 1 mM. Keterangan: (1) Pelet 10 jam; (2) Pelet 9 jam; (3) Pelet 8 jam; (4) Pelet 7 jam;

(5) Pelet 6 jam; (6) Pelet 5 jam; (7) Pelet 4 jam; (8) Pelet 3 jam; (9) Marker.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 4.22 Pewarnaan CBB Supernatan Klon 3 Inkubasi 37⁰C IPTG 1 mM. Keterangan: (1) Marker; (2) Supernatan 0 jam; (3) Supernatan 3 jam; (4) Supernatan 4 jam; (5) Supernatan 5 jam; (6) Supernatan 6 jam; (7) Supernatan

7 jam; (8) Supernatan 8 jam; (9) Supernatan 9 jam; (10) Supernatan 10 jam.

Hasil SDS PAGE dengan pewarnaan CBB pada klon 3 yang diinkubasi pada suhu 37⁰C dengan induksi IPTG 1 mM menunjukkan terdapatnya pita yang mempunyai berat molekul sekitar 36 kDa (Gambar 4.21 dan Gambar 4.22). Perbandingan hasil ekspresi protein pada supernatan dan pelet menunjukkan bahwa ekspresi protein rekombinan human IFN α2a dengan waktu pemanenan 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 jam setelah induksi lebih dominan diekspresikan dalam bentuk tidak terlarut yaitu terdapat pada pelet sel.

36 kDa 36 kDa

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 4.23 Western Blot Klon 3 Inkubasi 30⁰C IPTG 1 mM.

Keterangan: (1) Marker; (2) Pelet 0 jam; (3) Pelet 5 jam; (4) Supernatan 5 jam; (5) Pelet 6 jam; (6) Supernatan 6 jam; (7) Pelet 7 jam; (8) Supernatan 7 jam;

(9) Pelet semalam; (9) Supernatan semalam.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 4.24 Pewarnaan CBB Klon 3 Inkubasi 30⁰C IPTG 1 mM. Keterangan: (1) Pelet 4 jam; (2) Pelet 3 jam; (3) Pelet 2 jam; (4) Pelet 1 jam; (5) Marker; (6) Supernatan 4 jam; (7) Supernatan 3 jam; (8) Supernatan 2 jam;

(9) Supernatan 1 jam; (10) Supernatan 0 jam.

Hasil SDS PAGE dengan pewarnaan CBB pada klon 3 yang diinkubasi pada suhu 30⁰C dengan induksi IPTG 1 mM menunjukkan terdapatnya pita yang mempunyai berat molekul sekitar 36 kDa (Gambar 4.23 dan Gambar 4.24). Perbandingan hasil ekspresi protein pada supernatan dan pelet menunjukkan bahwa ekspresi protein rekombinan human IFN α2a dengan waktu pemanenan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 jam dan semalam setelah induksi lebih dominan diekspresikan dalam bentuk tidak terlarut pada pelet sel.

36 kDa

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 4.25 Pewarnaan CBB Pelet Klon 3 Inkubasi 28⁰C IPTG 1 mM. Keterangan: (1) Pelet semalam; (2) Pelet 8 jam; (3) Pelet 7 jam; (4) Pelet 6 jam;

(5) Pelet 5 jam; (6) Pelet 4 jam; (7) Pelet 3 jam; (8) Pelet 2 jam; (9) Marker; (10) Pelet 0 jam.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 4.26 Pewarnaan CBB Supernatan Klon 3 Inkubasi 28⁰C IPTG 1 mM. Keterangan: (1) Pelet 1 jam; (2) Marker; (3) Supernatan 2 jam; (4) Supernatan 3

jam (5) Supernatan 4 jam; (6) Supernatan 5 jam; (7) Supernatan 6 jam (8) Supernatan 7 jam; (9) Supernatan 8 jam; (10) Supernatan semalam.

Hasil SDS PAGE dengan pewarnaan CBB pada klon 3 yang diinkubasi pada suhu 28⁰C dengan induksi IPTG 1 mM menunjukkan terdapatnya pita yang mempunyai berat molekul sekitar 36 kDa (Gambar 4.25 dan Gambar 4.26). Perbandingan hasil ekspresi protein pada supernatan dan pelet menunjukkan bahwa ekspresi protein rekombinan human IFN α2a dengan waktu pemanenan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 jam dan semalam setelah induksi lebih dominan diekspresikan dalam bentuk tidak terlarut yaitu terdapat pada pelet sel.

36 kDa

Keberhasilan ekspresi protein rekombinan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya plasmid dengan fusi tag yang digunakan, galur E. coli untuk inang ekspresi dan sifat protein yang diekspresikan. Beberapa strategi yang berbeda dapat digunakan tergantung pada kebutuhan protein untuk diekspresikan. Ekspresi protein yang toksik pada sel inang dapat menyebabkan lisisnya sel sehingga hasil yang diperoleh kurang optimal (Tolia dan Joshua-Tor, 2006). Pada penelitian ini telah berhasil dilakukan ekspresi protein rekombinan human IFN α2a pada E. coli galur BL21(DE3).

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 4.27 Pewarnaan CBB Pelet Klon 3 Suhu 28⁰C, 30⁰C, 37⁰C IPTG 1 mM. Keterangan: (1) Marker; (2) Pelet 3 jam (28⁰C); (3) Pelet 4 jam (28⁰C); (4) Pelet

5 jam (28⁰C); (5) Pelet 3 jam (30⁰C); (6) Pelet 4 jam (30⁰C); (7) Pelet 5 jam (30⁰C); (8) Pelet 3 jam (37⁰C); (9) Pelet 4 jam (37⁰C); (10) Pelet 5 jam (37⁰C).

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 4.28 Western Blot Pelet Klon 3 Suhu 28⁰C, 30⁰C, 37⁰C IPTG 1 mM. Keterangan: (1) Marker; (2) Pelet 3 jam (28⁰C); (3) Pelet 4 jam (28⁰C); (4) Pelet

5 jam (28⁰C); (5) Pelet 3 jam (30⁰C); (6) Pelet 4 jam (30⁰C); (7) Pelet 5 jam (30⁰C); (8) Pelet 3 jam (37⁰C); (9) Pelet 4 jam (37⁰C); (10) Pelet 5 jam (37⁰C).

36 kDa

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 4.29 Western Blot Supernatan Klon 3 Suhu 28⁰C, 30⁰C, 37⁰C IPTG 1 mM.

Keterangan: (1) Marker; (2) Supernatan 3 jam (28⁰C); (3) Supernatan 4 jam (28⁰C); (4) Supernatan 5 jam (28⁰C); (5) Supernatan 3 jam (30⁰C); (6) Supernatan 4 jam (30⁰C); (7) Supernatan 5 jam (30⁰C); (8) Supernatan 3 jam

(37⁰C); (9) Supernatan 4 jam (37⁰C); (10) Supernatan 5 jam (37⁰C).

Hasil SDS PAGE klon 3 dengan pewarnaan CBB (Gambar 4.27) dan Western blot (Gambar 4.28) yang membandingkan hasil ekspresi protein rekombinan human IFN α2a pada pelet sel yang diinduksi IPTG 1 mM dengan variasi suhu 28⁰C, 30⁰C, dan 37⁰C menunjukkan bahwa ekspresi optimal diperoleh pada suhu inkubasi 37⁰C dengan rentang waktu pemanenan antara 3 sampai 5 jam setelah induksi. Hasil SDS PAGE klon 3 dengan Western blot (Gambar 4.29) yang membandingkan hasil ekspresi protein rekombinan human IFN α2a pada supernatan yang diinduksi IPTG 1 mM dengan variasi suhu 28⁰C, 30⁰C, dan 37⁰C menunjukkan bahwa ekspresi maksimal diperoleh pada suhu inkubasi 30⁰C dengan waktu pemanenan 3 jam setelah induksi.

Kuantifikasi data tingkat ekspresi pada penelitian ini dilakukan dengan cara analisis densitometri pita hasil Western blot pada pelet (Gambar 4.28) dan supernatan (Gambar 4.29) menggunakan sistem digitalisasi automatik program UN-SCAN-IT Gel versi 6.1. Kuantifikasi yang dilakukan yaitu dengan membandingkan hasil piksel total pada masing-masing sampel yang terdeteksi sehingga dapat dibandingkan tingkat ekspresi pada masing-masing perlakuan dan diketahui hasil yang maksimal. Piksel total merupakan jumlah total keseluruhan piksel dalam area pita.

Tabel 4.1

Hasil Kuantifikasi Tingkat Ekspresi pada Pelet dan Supernatan.

Hasil kuantifikasi menggunakan program UN-SCAN-IT menunjukkan bahwa piksel total tertinggi pada pelet diperoleh pada suhu inkubasi 37⁰C dengan waktu pemanenan 5 jam, sedangkan piksel total tertinggi pada supernatan diperoleh pada suhu inkubasi 30⁰C dengan waktu pemanenan 3 jam (Tabel 4.1). Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa ekspresi protein rekombinan human IFN α2a yang diinduksi IPTG 1 mM dengan variasi suhu 28⁰C, 30⁰C, dan 37⁰C menunjukkan hasil ekspresi maksimal pada pelet sel diperoleh pada suhu inkubasi 37⁰C dengan waktu pemanenan 5 jam setelah induksi. Hasil ekspresi maksimal pada supernatan diperoleh pada suhu inkubasi 30⁰C dengan waktu pemanenan 3 jam setelah induksi. Berdasarkan keseluruhan hasil penelitian, maka hasil terbaik ditunjukkan pada ekspresi protein rekombinan human IFN α2a yang diinduksi IPTG 1 mM pada suhu inkubasi 37⁰C dengan waktu pemanenan 5 jam setelah induksi.

Isolasi protein human IFN α2a pada pelet sel pada penelitian ini dilakukan dengan pemecahan dinding sel bakteri menggunakan metode sonikasi. Sonikasi merupakan aplikasi gelombang ultrasonik untuk mengaduk partikel dalam suatu sampel yang dapat digunakan untuk mempercepat pelarutan suatu materi dengan memecah reaksi intermolekuler. Isolasi pada pelet sel bertujuan untuk mengetahui protein human IFN α2a diekspresikan dalam bentuk terlarut atau bentuk agregrat yang tidak terlarut (badan inklusi) pada sitoplasma. Isolasi badan inklusi

Perlakuan Piksel Total Pelet Supernatan 3 jam (28⁰C) 143960 71505 4 jam (28⁰C) 154760 77770 5 jam (28⁰C) 149549 82115 3 jam (30⁰C) 142012 129810 4 jam (30⁰C) 135055 87573 5 jam (30⁰C) 150057 65391 3 jam (37⁰C) 148327 39584 4 jam (37⁰C) 173122 24274 5 jam (37⁰C) 181773 18872

dilakukan dengan metode sentrifugasi dan solubilisasi menggunakan bufer yang mengandung guanidine hydrochloride dan merkaptoetanol.

1 2 3 4 5

Gambar 4.30 Pewarnaan CBB Hasil Isolasi Protein dari Pelet.

Keterangan: (1) Badan inklusi; (2) Pencucian ke 2; (3) Pencucian ke 1; (4) Protein terlarut; (5) Marker.

Hasil SDS PAGE dengan pewarnaan CBB menunjukkan bahwa pita protein rekombinan human IFN α2a yang mempunyai berat molekul sekitar 36 kDa lebih banyak diekspresikan dalam bentuk terlarut dibandingkan bentuk badan inklusi (Gambar 4.30). Pada proses pencucian yang pertama juga masih menunjukkan terdapatnya protein rekombinan human IFN α2a (Gambar 4.30 no 3). Hal ini bisa disebabkan pada proses pengambilan supernatan masih terdapatnya sisa-sisa pada tabung. Hasil penelitian yang telah diperoleh menunjukkan bahwa protein rekombinan human IFN α2a lebih dominan diekspresikan dalam bentuk terlarut di sitoplasma. Ekspresi protein rekombinan dalam bentuk terlarut mempunyai keuntungan diantaranya yaitu proses purifikasinya lebih menghemat biaya dan tidak memakan waktu daripada refolding dan purifikasi pada badan inklusi (Fathallah et al., 2009). Data peneletian yang sebelumnya menyatakan bahwa protein IFN α yang diekspresikan pada E.coli seringnya dalam bentuk badan inklusi dalam sitoplasma (Swaminathan dan Khanna, 1999; Bedarrain et al., 2001; Srivasta et al., 2005).

Berbagai strategi untuk meningkatkan kelarutan protein rekombinan yang diproduksi pada E. coli dapat dilakukan dengan cara pembatasan agregrasi invivo protein yang diantaranya melaui kultivasi pada temperatur yang lebih rendah,

penurunan konsentrasi penginduksi, dan sistem ekspresi dengan promotor yang indusibel. Level induksi yang rendah juga dilaporkan dapat meningkatkan kelarutan protein yang diekspresikan (Baneyx dan Mujacic, 2004). Oleh karena itu, perlu dilakukan optimasi faktor-faktor lingkungan seperti temperatur, media, dan konsentrasi penginduksi dalam mengekspresikan suatu gen. Pada penelitian ini telah berhasil diperoleh protein terfusi rekombinan human IFN α2a dalam bentuk terlarut di sitoplasma yang diekspresikan pada inang E. coli BL21(DE3) menggunakan media LB dengan suhu inkubasi 37⁰C dan waktu pemanenan 5 jam setelah induksi IPTG 1 mM.

Dokumen terkait