• Tidak ada hasil yang ditemukan

KLONING GEN HUMAN INTERFERON ALPHA 2a PADA VEKTOR pet-32b(+) DAN EKSPRESI PADA Escherichia coli TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KLONING GEN HUMAN INTERFERON ALPHA 2a PADA VEKTOR pet-32b(+) DAN EKSPRESI PADA Escherichia coli TESIS"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

KLONING GEN HUMAN INTERFERON ALPHA 2a PADA

VEKTOR pET-32b(+) DAN EKSPRESI PADA Escherichia coli

TESIS

ARIZAH KUSUMAWATI 1006787092

FAKULTAS FARMASI

PROGRAM S2 ILMU KEFARMASIAN DEPOK

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

KLONING GEN HUMAN INTERFERON ALPHA 2a PADA

VEKTOR pET-32b(+) DAN EKSPRESI PADA Escherichia coli

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Farmasi

ARIZAH KUSUMAWATI 1006787092

FAKULTAS FARMASI

PROGRAM STUDI S2 ILMU KEFARMASIAN DEPOK

(3)
(4)
(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmatNya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. Saya menyadari banyaknya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, perkenankanlah saya dengan setulus hati mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

(1) Prof. Dr. Maksum Radji, M.Biomed., Apt. dan Dr. Adi Santoso, M.Sc., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penelitian dan penyusunan tesis ini; (2) Prof. Dr. Yahdiana Harahap, MS., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Indonesia;

(3) Prof. Dr. Effionora Anwar, MS., Apt., selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kefarmasian Fakultas Farmasi Universitas Indonesia yang telah memberikan dorongan untuk menyelesaikan program S2 Ilmu Kefarmasian; (4) Dr. Amarila Malik, M.Si., Apt., Dr. Herman Suryadi, MS., Apt., dan Dr.

Mahdi Jufri, M.Si., Apt. selaku Dewan penguji yang telah banyak memberikan penilaian maupun saran-saran untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini;

(5) Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menjadi peserta tugas belajar program pasca sarjana dan memfasilitasi saya demi kelancaran penelitian tesis ini;

(6) Kementerian Riset dan Teknologi yang telah memberikan bantuan dana pendidikan kepada saya untuk dapat mengikuti program tugas belajar S2 Ilmu Kefarmasian di Universitas Indonesia;

(7) Ayah, Ibu, Kakak, Mertua dan Suami yang senantiasa memberikan doa, semangat dan kasih sayang kepada saya;

(7)

(8) Teman-teman di Laboratorium Terapetik Protein dan Vaksin atas bantuan yang telah diberikan selama melaksanakan penelitian di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI;

(9) Semua pihak yang telah memberikan bantuan hingga tesis ini dapat diselesaikan.

Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Depok, 2 Januari 2013 Penulis

(8)
(9)

ABSTRAK

Nama : Arizah Kusumawati Program Studi : S2 Ilmu Kefarmasian

Judul : Kloning Gen Human Interferon Alpha 2a pada Vektor pET-32b(+) dan Ekspresi pada Escherichia coli

Interferon (IFN) merupakan sitokin yang diproduksi oleh berbagai tipe sel sebagai respon rangsangan terhadap stimulasi virus, bakteri, parasit, sel tumor, atau antigen lain. Interferon α termasuk kelompok IFN tipe I yang mempunyai berbagai efek biologis yang meliputi antiviral, antitumor dan juga sebagai immunoterapetik. Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis protein rekombinan human IFN α2a melalui sistem ekspresi pada bakteria E. coli BL21(DE3). Pada gen humanifn α2a dilakukan penambahan situs pemotongan enzim restriksi Nco I dan Xho I menggunakan metode PCR, kemudian dilanjutkan dengan proses ligasi ke vektor pET-32b(+) dan selanjutnya ditransformasikan pada E. coli DH5α. Hasil sekuensing menunjukkan bahwa vektor rekombinan (pET-32b(+)-IFN α2a) memiliki urutan nukleotida yang benar. Vektor rekombinan ini selanjutnya ditransformasikan ke dalam E.coli BL21(DE3). Klon transforman yang diperoleh dikultur dan diinduksi dengan penambahan IPTG 1 mM sehingga mengekspresikan protein rekombinan human IFN α2a. Dari hasil isolasi, diperoleh protein rekombinan human IFN α2a dalam bentuk protein terfusi sehingga mempermudah proses deteksi dan purifikasi. Protein dikarakterisasi melalui metode SDS PAGE dilanjutkan dengan Western blot dan pewarnaan CBB. Pita protein rekombinan humanIFNα2a yang diperoleh berukuran 36 kDa. Hasil maksimal ditunjukkan ekspresi pada suhu 37⁰C dengan waktu inkubasi 5 jam setelah induksi.

Kata Kunci : Interferon, vektor pET-32b(+), E. coli DH5α, E. coli BL21(DE3).

xiv+74 halaman : 34 gambar; 1 tabel; 5 lampiran Daftar Pustaka : 48 (1990-2011)

(10)

ABSTRACT

Name : Arizah Kusumawati Study Program : Magister of Pharmacy

Title : Cloning Human Interferon Alpha 2a Gene at pET-32b(+) Vector and Expression in Escherichia coli

Interferon (IFN) is a cytokine produced by various cell types as a response of stimulation to viruses, bacteria, parasites, tumor cells, or other antigens. Interferon α type I IFN groups have various biological effects, including antiviral, antitumor and immunotherapeutic. The aim of this research is to synthesize recombinant human IFN α2a proteins through bacterial expression systems in E. coli BL21 (DE3). Addition genes of human IFN α2a, which are restriction enzyme cutting sites for Nco I and Xho I, are added through PCR method. This step is followed by ligation process to the pET-32b(+) vector and then transformed into E. coliDH5α. The recombinant vector (pET-32b(+)-IFN α2a) has a nucleotide right sequence after it was being sequenced, after was transformed into E. coli BL21 (DE3). Obtained transformant clones were cultured and induced by addition of IPTG 1 mM to produce the expression of recombinant human IFN α2a proteins. As result of isolation process, recombinant protein of human IFN α2a are collected in fused protein thus can simplify the detection and purification method. The proteins are characterized by the SDS PAGE method followed by Western blot and CBB staining. The results show that the recombinant human IFN α2a protein bands are exactly 36 kDa. The maximum expression results were obtained at 37⁰C with 5 hours incubation after induction process.

Key Words : Interferon, pET-32b(+) vector, E. coli DH5α, E. coli BL21(DE3)

xiv+74 pages : 34 pictures; 1 tables; 5 appendices Bibliography : 48 (1990-2011)

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………... i

HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ………...…... x

DAFTAR GAMBAR ...………... xii

DAFTAR TABEL ………... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ………... xv BAB 1 PENDAHULUAN ………... 1 1.1 Latar Belakang ...………..…... 1 1.2 Rumusan Masalah ………...… 2 1.3 Hipotesis ... 2 1.4 Tujuan Penelitian ... 3 1.5 Manfaat Penelitian ... 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ………...…...……. 4

2.1 Interferon ...……...…….... 4

2.2 Kloning dan Isolasi DNA ... 8

2.3 Vektor pET-32b(+) ... 11

2.4 Manipulasi Enzimatis DNA ... 13

2.4.1 Enzim Endonuklease Restriksi ... 13

2.4.2 Enzim DNA Ligase ... 14

2.4.3 Enzim DNA Polimerase ... 15

2.5 Amplifikasi DNA ... 15

2.6 Analisis DNA ... 17

2.6.1 Pemisahan Menggunakan Gel ... 17

2.6.2 Sekuensing DNA ... 18

2.7 Ekspresi Protein pada Escherichia coli ... 20

2.8 Analisis Protein ... 23

2.8.1 Western Blot ... 23

2.8.2 Analisis Densitometri ... 23

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 25

3.1 Tempat dan Waktu ... 25

3.2 Bahan dan Alat ... 25

3.2.1 Bahan ... 25

3.2.2 Alat ... 26

3.3 Tahap Kerja ... 26

3.3.1 Penyiapan DNA Insert ... 26

(12)

3.3.3 Pembuatan Sel Kompeten E. coli ... 29

3.3.4 Kloning Gen humanifnα2a ... 30

3.3.5 Skrining dan Verifikasi Klon Transforman di E. coli DH5α ... 31

3.3.6 Kultivasi dan Isolasi Vektor Rekombinan ... 31

3.3.7 Transformasi Vektor Rekombinan ke E. coli BL21(DE3) ... 34

3.3.8 Skrining dan Verifikasi Klon Transforman di E. coli BL21(DE3) ... 34

3.3.9 Ekspresi, Isolasi dan Karakterisasi Protein Rekombinan Human IFN α2a ... 35

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1 Penyiapan DNA Insert ... 39

4.2 Penyiapan Vektor pET-32b(+) ... 42

4.3 Kloning Gen humanifnα2a ... 44

4.4 Skrining dan Verifikasi Klon Transforman di E. coli DH5α ... 46

4.5 Kultivasi dan Isolasi Vektor Rekombinan ... 48

4.6 Transformasi Vektor Rekombinan ke E. coli BL21 BL21(DE3) ... 53

4.7 Skrining dan Verifikasi Klon Transforman di E. coli BL21(DE3) ... 54

4.8 Ekspresi, Isolasi dan Karakterisasi Protein Rekombinan Human IFN α2a ... 56

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

5.1 Kesimpulan ... 68

5.2 Saran ... 68

(13)

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 4.9 Gambar 4.10 Gambar 4.11 Gambar 4.12 Gambar 4.13 Gambar 4.14 Gambar 4.15 Gambar 4.16 Gambar 4.17 Gambar 4.18 Gambar 4.19 Gambar 4.20 Gambar 4.21 Gambar 4.22

Mekanisme Aksi Interferon ... Jalur Jak-Stat ………....

Gen humaninterferon α2a ……… ...

Vektor pET-32b(+) ………...

Elektroforesis Hasil PCR untuk Penyiapan DNA Insert ... Elektroforesis Hasil Purifikasi Produk PCR dan Hasil

Pemotongan Ganda dengan Enzim Nco I dan Xho I ... .. Elektroforesis Hasil Purifikasi Metode Fenol Kloroform

Setelah Pemotongan Ganda ... Elektroforesis Hasil Pemotongan Vektor pET-32b(+) ………

Elektroforesis Hasil Purifikasi Vektor pET-32b(+) Setelah

Pemotongan Ganda dengan Enzim Xho I dan Nco I ... Hasil Transformasi pada E. coli DH5α ... Elektroforesis Hasil PCR dengan Primer IFN_NcoI_F dan

IFN_XhoI_R pada Klon Transforman 1-11 E. coliDH5α ... Elektroforesis Hasil PCR dengan PrimerpET_Screen_F dan

pET_Screen_R pada Klon Transforman 1-11 E. coliDH5α . ... Elektroforesis Hasil Miniprep Klon Transforman di E. coli

DH5α ………. ...

Elektroforesis Skrining Metode PCR Menggunakan Primer (IFN_NcoI_F dengan pET_Screen_R) dan (Primer pET_Screen_F dengan IFN_XhoI_R) pada Hasil Miniprep Klon 1, 2, 3, 4, dan Klon 11 E. coliDH5α ………...

Elektroforesi Hasil Pemotongan Vektor Rekombinan Klon 2 .. Elektroforesis Hasil Qiagen Plasmid Maxi Kit ………...

Hasil Alignment Sekuen Klon 2 dengan Stag-18mer-primer .... Hasil Alignment Sekuen Klon 2 dengan T7terminator-

primer ……….…... Hasil Transformasi Vektor Rekombinan pada E. coli

BL21(DE3) ……….. ..

Elektroforesis Hasil PCR Skrining dengan Primer

pET_Screen_F dan pET_Screen_R pada Klon Transforman

E. coli BL21(DE3) ... Elektroforesis Hasil PCR Skrining dengan Primer

IFN_NcoI_F dan IFN_XhoI_R pada Klon Transforman E.

coli BL21(DE3) ………..

Western Blot Klon 1 Inkubasi 37⁰C IPTG 1 mM …………... Pewarnaan CBB Klon 2, 3, 6, dan 7 Inkubasi 37⁰C IPTG 1 mM ... Pewarnaan CBB Klon 4 dan Klon 5 Inkubasi 37⁰C IPTG 1 mM ………... Pewarnaan CBB Pelet Klon 3 Inkubasi 37⁰C IPTG 1 mM .... Pewarnaan CBB Supernatan Klon 3 Inkubasi 37⁰C IPTG 1 mM ……….. 5 6 8 12 39 40 41 42 43 45 47 47 48 49 50 51 52 52 54 55 55 57 58 58 60 60

(14)

Gambar 4.23 Gambar 4.24 Gambar 4.25 Gambar 4.26 Gambar 4.27 Gambar 4.28 Gambar 4.29 Gambar 4.30

Western Blot Klon 3 Inkubasi 30⁰C IPTG 1 mM... Pewarnaan CBB Klon 3 Inkubasi 30⁰C IPTG 1 mM... Pewarnaan CBB Pelet Klon 3 Inkubasi 28⁰C IPTG 1 mM... Pewarnaan CBB Supernatan Klon 3 Inkubasi 28⁰C IPTG 1 mM …...………... Pewarnaan CBB Pelet Klon 3 Suhu 28⁰C, 30⁰C, 37⁰C IPTG 1 mM ...………... Western Blot Pelet Klon 3 Suhu 28⁰C, 30⁰C, 37⁰C IPTG 1 mM ………... Western Blot Supernatan Klon 3 Suhu 28⁰C, 30⁰C, 37⁰C IPTG 1 mM …….……... Pewarnaan CBB Hasil Isolasi Protein dari Pelet ………..

61 61 62 62 63 63 64 66

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Hasil Kuantifikasi Tingkat Ekspresi pada Pelet dan

Supernatan ………... 65

(16)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5

Skema Kerja Penelitian ... Vektor pcDNA3.1+:IFN-Gene ... Hasil Sekuen Klon 2 E. coliDH5α dengan Stag-18mer- primer ... Hasil Sekuen Klon 2 E. coliDH5α dengan T7terminator- primer ... Nukleotida Human Interferon Alpha 2a (GenBank: DI084466.1) ……… 73 74 75 77 79

(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Interferon (IFN) adalah obat yang pada awalnya dikembangkan untuk terapi penyakit kanker, tetapi pada saat ini interferon juga digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit. Terapi interferon telah digunakan secara luas untuk pengobatan hepatitis kronis (hepatitis B dan C), kaposi’s sarkoma, dan karsinoma lainnya (Tae-Ok Bae et al., 1995). Interferon α termasuk interferon tipe I dan merupakan obat yang potensial untuk dikembangkan karena tingginya kebutuhan interferon α dalam pengobatan. Interferon α memiliki berbagai efek biologis meliputi antiviral, antitumor dan juga sebagai immunoterapetik (Brassard, 2002).

Interferon α2a merupakan bagian dari fokus produksi protein teraputik interferon α dengan teknologi DNA rekombinan. Beberapa penelitian sebelumnya tentang interferon α2a diantaranya adalah purifikasi dan karakterisasi rekombinan

human interferon α2a yang diproduksi dari Saccharomyces cerevisiae (Tae-Ok Bae et al., 1995), dan efek heat shock produksi rekombinan human interferon α2a pada Escherichia coli galur MSD462 dengan vektor ekspresi pZe0148 (Roy et al., 2005). Pada penelitian ini akan dilakukan kloning gen humaninterferon α2a pada vektor pET-32b(+) dan ekspresinya menggunakan inang Escherichia coli galur BL21(DE3).

Sistem pET merupakan sistem yang didesain untuk kloning dan ekspresi tingkat tinggi pada E. coli. Vektor pET-32b(+) dilengkapi dengan multipel situs restriksi, fusi sekuen thioredoxin (Trx.Tag), histidin (His•Tag), S•Tag, serta situs pemotongan thrombin dan enterokinase (pET Sistem Manual, 2006). Protein yang dihasilkan dalam bentuk protein terfusi sehingga dapat memudahkan proses deteksi dan purifikasi protein rekombinan. Tag thioredoxin pada vektor pET-32b(+) berfungsi untuk mendukung pembentukan ikatan disulfida, meningkatkan kelarutan protein, serta melindungi protein rekombinan terhadap agregasi yang tidak diinginkan selama ekspresi. Tag histidin kedepannya akan digunakan untuk purifikasi protein rekombinan. Situs pemotongan enterokinase yang terdapat di

(18)

vektor pET-32b(+) kedepannya akan digunakan untuk pemisahan antara fusi tag

dengan protein target setelah proses purifikasi.

Sebagian besar produk farmasi yang telah dipasarkan pada kelompok rekombinan interferon α diproduksi dan dipurifikasi dari E. coli (Rabhi-Essafi, 2007). Inang E. coli galur BL21(DE3) dipilih sebagai sistem ekspresi karena mempunyai berbagai keuntungan. Escherichia coli BL21(DE3) merupakan bakteri yang umum untuk ekspresi protein yang menggunakan promotor T7. DE3 menunjukkan bahwa inang merupakan lisogen dari α prophage (DE3), oleh karena itu membawa salinan kromosom gen T7 RNA polimerase di bawah kontrol promotor lacUV5 yang diinduksi dengan penambahan isopropyl-1-thio- β-D-galactopyranoside (IPTG). T7 RNA polimerase diekspresikan pada saat penambahan IPTG yang mana akan menginduksi level ekspresi tinggi protein pada vektor ekspresi dengan promotor T7 (Studier, 1991). Escherichia coli

BL21(DE3) merupakan inang umum yang digunakan untuk ekspresi protein karena defisiensi protease Lon dan OmpT, yang mana kedua protease tersebut dapat menginduksi proteolisis dari protein yang dioverekspresi (Sørensen dan Mortensen, 2005).

1.2 Rumusan Masalah

Interferon α2a adalah salah satu agen terapetik berbasis bioteknologi yang dibutuhkan dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Rekombinan interferon α2a yang beredar dan digunakan di indonesia merupakan produk impor. Oleh karena itu, sangat perlu adanya pengembangan sistem produksi rekombinan interferon α2a di dalam negeri untuk meningkatkan kemampuan produksi bahan obat berbasis bioteknologi serta mengurangi ketergantungan dari luar negeri. Pada penelitian ini dilakukan kloning gen human interferon α2a pada vektor pET-32b(+) dan ekspresi pada inang sel E. coli BL21(DE3) untuk menghasilkan protein rekombinan human interferon α2a.

1.3 Hipotesis

Sintesis protein rekombinan human interferon α2a dapat dilakukan dengan menggunakan gen sintetik humaninterferon α2a yang dikloning pada vektor

(19)

pET-32b(+) dan diekspresikan menggunakan sistem ekspresi prokariotik pada sel bakteria E. coli BL21(DE3).

1.4 Tujuan penelitian

Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk mensintesis protein rekombinan human interferon α2a melalui sistem ekspresi pada bakteria E. coli

BL21(DE3). Adapun tujuan khusus pada penelitian ini yaitu untuk mendesain vektor rekombinan pET-32b(+)-IFN α2a dan melakukan analisis ekspresi protein rekombinan humaninterferon α2a pada inang ekspresi E. coli BL21(DE3).

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu dihasilkannya protein rekombinan human

interferon α2a sehingga dapat diuji lebih lanjut untuk dapat digunakan dalam pengobatan.

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interferon

Interferon (IFN) termasuk kelompok glikoprotein yang diproduksi oleh berbagai tipe sel sebagai respon terhadap rangsangan yang diterima oleh sel. Rangsangan tersebut bisa disebabkan oleh virus, bakteri, parasit, sel tumor, atau antigen lain. Interferon mempunyai berat molekul sekitar 20-30 kDa. Interferon juga termasuk dalam golongan sitokin seperti interleukin (ILS), colony-stimulating factors dan growth factors. Sitokin bekerja pada reseptor spesifik di permukaan sel dan berfungsi sebagai pengatur kelangsungan hidup sel, proliferasi sel, diferensiasi dan aktivasi fungsional sel (Obeid dan Bouvois, 2006).

Interferon berdasarkan tipe reseptornya dikelompokkan menjadi 2 tipe. Interferon tipe I berikatan pada reseptor tipe 1, yaitu IFN alpha (α), IFN beta (β), IFN omega (ω), dan IFN tao (τ). Interferon tipe 2 berikatan pada reseptor tipe 2, yaitu IFN gamma (γ). Hampir semua tipe sel memproduksi IFN tipe I. Interferon tipe II hanya diproduksi oleh sel limfosit T dan NK-cells (Natural Killer Cells) (Jonasch dan Haluska, 2001).

Interferon memiliki aktivitas spektrum luas dan mekanisme kerjanya melalui interaksi yang komplek. Interferon mempunyai aktivitas antivirus, antitumor, berpengaruh pada metabolisme dan diferensiasi sel serta memodulasi sistem imun (Jonasch dan Haluska, 2001). Interferon dapat mencegah replikasi virus pada sel, serta dapat mengaktifkan fungsi khusus dari sel meliputi deferensiasi, pertumbuhan, pengekspresian antigen permukaan dan immunoregulasi sel (Meager, 2006). Aktivitas antivirus IFN melalui mekanisme pencegahan replikasi pada sel-sel sekitar yang terinfeksi. Pencegahan replikasi dilakukan melalui pengikatan IFN pada reseptor permukaan membran sel yang mengaktifkan gen-gen pengkode protein yang menghalangi replikasi virus. Ekspresi gen pengkode IFN terjadi melalui jalur transduksi sinyal dan aktivasi transkripsi yang dikenal dengan jalur Jak-Stat. Interferon α dan β berikatan pada tipe reseptor yang sama, sedangkan IFN γ berikatan pada tipe reseptor yang berbeda (Samuel, 2001).

(21)

Mekanisme aksi dari IFN dimulai dengan zat penginduksi IFN akan memicu sel untuk mengaktifkan gen ifn sehingga dihasilkan mRNA yang kemudian ditranslasikan menjadi protein IFN. Protein IFN selanjutnya disekresikan keluar sel. Interferon ekstraseluler akan terikat ke reseptor pada membran sel sekitarnya. Proses pengikatan IFN pada reseptor ini akan menginisiasi sinyal kaskade JAK/STAT yang selanjutnya akan menstimulasi ekspresi gen penghasil protein efektor. Protein efektor akan memediasi efek IFN sebagai antivirus, anti tumor, dan imunomodulator (Pang et al., 2005). Sel yang teraktivasi juga dapat menghasilkan protein aktivator bagi sel lain sehingga menghasilkan protein efektor (Samuel, 2001).

Gambar 2.1 Mekanisme Aksi Interferon (Pang et al., 2005).

Jalur transduksi sinyal untuk aktivasi transkripsi dan pengekspresian gen pengkode ifn yaitu melalui jalur Jak-Stat. Protein Signal Transducer and Activator of Transcription (STAT) merupakan faktor transkripsi yang dapat difosforilasi pada residu asam amino tirosin oleh enzim tirosin kinase Janus Family of Tyrosine Kinase (JAK). Protein STAT terdiri atas tujuh macam yaitu 1, Stat-2, Stat-3, Stat-4, Stat-5a, Stat-5b dan Stat-6. Protein JAK terdiri 4 macam yaitu Jak-1, Jak-2, Jak-3 dan Tyk-2 (Samuel, 2001).

Proses transduksi sinyal diinisiasi oleh pengikatan IFN pada subunit reseptor tirosin kinase. Pengikatan IFN akan mengaktivasi faktor transkripsi Jak

(22)

IFN α dan IFN β akan menghasilkan fosforilasi dan dimerisasi protein Stat-1 (p91) dan Stat-2 (p113) yang selanjutnya ditranslokasi bersama IRF-9 (p48) ke inti sel. Komplek ketiga protein ini disebut dengan IFN-Stimulated Gene Factor 3 (ISGF 3) yang dapat mengaktifkan gen-gen pengkode ifn α dan β melalui IFN-Stimulted Response Element (ISRE). Pada IFN γ kinase Jak-1 dan Jak-2 yang teraktivasi akan memfosforilasi dan menyebabkan homodimerisasi protein Stat-1 yang kemudian ditranslokasi ke inti sel. Komplek dimer ini disebut dengan Jak-1 dan Gamma Activation Factor (GAF) yang mengaktifkan gen-gen pengkode ifnγ.

Komplek GAF akan mengaktivasi gen-gen IFN γ melalui elemen Gamma-Activated Sequence (GAS) (Samuel, 2001).

Gambar 2.2 Jalur Jak-Stat (Samuel, 2001).

Interferon α dan β dibentuk oleh berbagai sel sebagai reaksi terhadap infeksi viral, bakteri, mikoplasma dan protozoa. Interferon α diproduksi oleh leukosit dan IFN β dipoduksi oleh fibroblas. Kedua IFN tersebut sama-sama dikodekan oleh gen yang terletak pada kromosom 9 manusia. Interferon α dan β berfungsi sebagai virustatis yaitu mencegah infeksi lebih lanjut dengan cara menduduki reseptor-reseptor khas pada membran sel normal sehingga tidak dapat

(23)

dipenetrasi oleh virus. Kedua IFN tersebut juga bersifat sitostatis yaitu menghambat pertumbuhan sel-sel tumor dan menstimulasi makrofag serta NK-cells (Natural Killer Cells) yang mana dapat mendeteksi sel-sel tumor dan sel-sel yang diinvasi virus dan kemudian menghancurkannya. Interferon α digunakan untuk pengobatan pada hepatitis dan jenis leukimia tertentu. Interferon β digunakan pengobatan pada penyakit multiple sclerosis (Tan Hoan Tjay, 2007).

Interferon gamma (IFN γ) diproduksi oleh limfosit T dan NK-cells dengan gen pengkode ifn γ terletak pada kromosom 12 manusia. Gen ifn γ memiliki 3 intron dan terdiri dari 146 asam amino dengan kandungan karbohidrat 30% (Arbabi, 2003). Interferon γ berfungsi sebagai immunostimulator (Tan Hoan Tjay, 2007). Interferon γ memiliki daya antiviral lebih lemah dibandingkan IFN α dan IFN β. Aktivitas biologis dari IFN γ juga dapat mencegah pertumbuhan sel neoplastik (Arbabi, 2003).

Interferon α merupakan glikoprotein yang terdiri atas 165 asam amino dalam bentuk 2a dan 2b dengan masing-masing asam amino lisin dan arginin pada posisi 23. Interferon α memiliki dua ikatan disulfida yaitu antara Cys1 ke Cys98 dan Cys29 ke Cys138 (Tae-ok Bae et al., 1995). Interferon β adalah glikoprotein yang terdiri atas 165 asam amino dalam bentuk 1a dan 1b dengan masing-masing asam amino sistein dan serin pada posisi 17. Interferon γ adalah glikoprotein yang terdiri atas 140 asam amino dengan bentuk 1a dan 1b yang memiliki masing-masing asam amino glutamin atau arginin diposisi 137 (Tan Hoan Tjay, 2007).

Interferon α2a merupakan subtipe dari IFN α yang terdiri atas 165 asam amino sistein dengan 4 sistein dan 2 ikatan disulfida. Interferon α2a adalah glikoprotein dengan berat molekul sekitar 19.000 dalton (Tae-Ok Bae et al., 1995). Struktur 3 dimensi protein IFN α2a yang ditentukan menggunakan spektroskopi nuclear magnetic resonance (NMR) pada pH 3,5 menunjukkan bahwa IFN α2a sebagian besar mengandung alpha heliks (6 alpha heliks, 65% alpha heliks) dalam struktur sekunder dan sisanya adalah kumparan koil dan loop

(24)

Gambar 2.3 Gen human interferon α2a.

(http://www.roche-australia.com/fmfiles/re7229005/downloads/anti-virals/roferon-pi.pdf)

Penggunaan IFN α2a telah disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration) untuk pengobatan non-hodgkin’s lymphoma (NHL), hairy cell leukemia, chronic myelogenous leukemia (CML), AIDS-related kaposi’s sarcoma, dan hepatitis C kronis (Jonasch dan Haluska, 2001). Banyak upaya yang telah dilakukan untuk kloning dan ekspresi rekombinan human IFN α2a pada berbagai mikroorganisme. Beberapa studi mengenai IFNα2a diantaranya dilakukan oleh Tae-Ok Bae et al. (1995) purifikasi dan karakterisasi rekombinan human IFN α2a yang diproduksi dari Saccharomyces cerevisiae, dan Roy et al. (2005) efek heat shock produksi rekombinan IFN α2a pada Escherichia coli galur MSD462 dengan vektor ekspresi pZe0148. Pada penelitian ini akan dilakukan kloning gen human ifnα2a pada vektor pET-32b(+) dan ekspresinya menggunakan inang E. coli galur BL21(DE3).

2.2 Kloning dan Isolasi DNA

Kloning DNA (deoxyribonucleic acid) merupakan proses penggandaan jumlah DNA rekombinan yang dapat melalui proses perkembangbiakan sel bakteri, sel ragi, sel mamalia (Muladno, 2010). Kloning DNA merupakan teknik

(25)

DNA rekombinan yang memungkinkan untuk dibuatnya satu DNA tertentu dalam jumlah besar dan murni. Metode kloning DNA melibatkan ligasi sekuen tertentu misalnya gen manusia ke dalam vektor. Vektor merupakan urutan DNA yang terdapat di dalam satu sel, tetapi bukan merupakan bagian dari genom sel. Pembawa kloning dengan DNA yang diklon di dalamnya akan diperbanyak dalam sel inang untuk menghasilkan sejumlah besar DNA dengan urutan spesifik yang kemudian dilakukan isolasi untuk studi selanjutnya (Grompe et al., 1998).

Vektor adalah DNA untai ganda sirkuler yang ukurannya kecil (2000-5000 pb) yang dapat bereplikasi di dalam sel inang. Vektor berdasarkan jumlah salinannya dibedakan menjadi dua yaitu vektor dengan jumlah salinan tinggi dan salinan rendah. DNA vektor murni dapat dipisahkan dari DNA genom sel inang, karena DNA vektor memiliki ukuran jauh lebih kecil. Ukuran DNA genom sel inang memiliki ukuran yang besar misalnya pada genom E. coli 1x106 pb. Vektor memiliki origin of replication (ORI) sendiri sehingga mampu memperbanyak diri dengan bantuan mesin-mesin seluler endogen. Vektor kloning juga memiliki marka untuk seleksi yang umumnya berupa gen yang membawa resistensi terhadap antibiotika tertentu. Hanya klon rekombinan yang mengandung vektor maka yang akan mampu tumbuh dalam media yang mengandung antimikroba tertentu (Grompe et al., 1998).

Vektor modern saat ini telah direkayasa sehingga memiliki beberapa situs restriksi (polylinker sites). Vektor pada saat sekarang ini telah dibuat mempunyai jumlah salinan tinggi dan memiliki ukuran 3 kb sehingga dapat menerima DNA sisipan sampai 15 kb. Kebanyakan DNA yang diklon ke dalam vektor berukuran relatif kecil kurang dari 10 kb, karena ukuran DNA yang jauh lebih besar biasanya tidak stabil. Oleh karena itu, juga dikembangkan vektor kloning yang dapat membawa DNA dengan ukuran besar diantaranya vektor kloning faga (phage), kosmid, Bacterial Artificial Chromosomes (BAC) dan Yeast Artificial Chromosomes (YAC) (Grompe et al., 1998).

Prosedur kloning suatu gen tertentu didahului dengan pemotongan DNA vektor dengan menggunakan enzim restriksi, sehingga DNA vektor sirkuler terbuka dan menjadi linier. DNA untai ganda linier lain yang diinginkan dibuat dengan ujung-ujungnya sesuai untuk diligasikan ke dalam celah sehingga

(26)

terbentuk kembali vektor sirkuler yang mengandung insert. Vektor rekombinan yang diperoleh kemudian akan dimasukkan ke dalam sel inang melalui proses transformasi (Grompe et al., 1998).

Proses pemasukan molekul DNA ke dalam sel disebut transformasi karena masuknya molekul DNA ke dalam sel dapat mengubah fenotip sel tersebut (Muladno, 2010). Proses transformasi pada bakteri dapat dilakukan dengan cara memanaskan campuran DNA dan sel bakteri yang kompeten pada suhu 42⁰C selama 1 menit (heat shock) atau dengan memberikan aliran listrik (electroporation), sehingga DNA vektor rekombinan dapat melalui dinding bakteri kemudian masuk ke dalam sel bakteri. Setelah proses transformasi selesai, bakteri ditumbuhkan pada media agar yang mengandung marka antibiotik. Pada kondisi ini, hanya sel yang mengandung vektor rekombinan yang dapat tumbuh dan membentuk koloni. Tiap koloni bakteri ini disebut klon, tiap klon diperbanyak dalam media cair untuk dilakukan isolasi DNA dalam jumlah besar. Klon yang mengandung vektor rekombinan merupakan sumber DNA yang permanen, karena sel bakteri tidak mati dan dapat terus menerus membelah tanpa batas (Grompe et al., 1998).

Isolasi DNA terdiri dari beberapa tahap yaitu (1) kultivasi sel dalam media yang sesuai; (2) pemecahan dinding sel; (3) ekstraksi DNA; (4) purifikasi DNA. Proses pemecahan dinding sel bakteri dapat dilakukan secara fisik dengan cara sonikasi maupun secara kimia dengan menggunakan enzim lisozim, etilendiamin tetra asetat (EDTA), dan sodium diodesil sulfat (SDS). Seteleh dinding sel lisis, dilanjutkan pemisahan debris sel menggunakan metode disentrifus. Metode disentrifus digunakan untuk memisahkan antara komponen sel yang tidak larut akan mengendap dan ekstrak sel dalam supernatan yang jernih. Ekstrak sel dalam supernatan selain mengandung DNA juga masih mengandung protein dan RNA, sehingga perlu untuk dimurnikan (Radji, 2011).

Proses pemurnian DNA yang umumnya dilakukan yaitu dengan penambahan larutan fenol ataupun dengan campuran fenol kloroform dengan perbandingan 1:1, untuk mengendapkan protein dengan cara disentrifus dan dihancurkan secara enzimatis dengan proteinase. Pemurnian DNA selanjutnya dengan penambahan RNAse untuk membersihkan DNA dari RNA. Molekul DNA

(27)

yang diperoleh kemudian dilakukan presipitasi menggunakan etanol absolut disimpan pada suhu -20⁰C, kemudian disentrifus untuk mengendapkan DNA dan mempermudah pemisahan (Radji, 2011).

2.3 Vektor pET-32b(+)

Sistem pET adalah sistem unggul yang dikembangkan untuk kloning dan ekspresi protein rekombinan pada E. coli. Studier et al. (1990) pertama kali menjelaskan tentang sistem ekspresi pET, yang mana telah dikembangkan untuk berbagai aplikasi ekspresi. Lebih dari 40 jenis vektor pET yang berbeda tersedia secara komersial (pET Sistem Manual, 2006). Sistem pET mencakup promotor hibrid, multipel situs kloning yang tergabung dengan fusi yang berbeda, situs pemotongan protease, dan modifikasi latar belakang genetik dari vektor pBR322 untuk berbagai tujuan ekspresi (Sørensen dan Mortensen, 2005).

Vektor pET-32b(+) merupakan sistem yang dilengkapi dengan multipel situs restriksi dan terdapat fusi sekuen thioredoxin (Trx.Tag), histidin (His•Tag), S•Tag, serta situs pemotongan thrombin dan enterokinase (pET Sistem Manual, 2006). Protein yang dihasilkan dalam bentuk protein terfusi sehingga memudahkan untuk proses deteksi dan purifikasi protein rekombinan. Tag

thioredoxin berfungsi untuk mendukung pembentukan ikatan disulfida dan meningkatkan kelarutan protein. Tag histidin 6x pada terminal N dan terminal C berfungsi untuk deteksi protein target menggunakan metode Western blot. Tag

histidin juga dapat digunakan untuk purifikasi protein target menggunakan

Immobilized metal-affinity chromatography (IMAC) dengan matriks Ni2+-NTA, Co2+-CMA (Talon) dan dielusi menggunakan imidazol (Terpe, 2002). Fusi peptida S•Tag dapat digunakan untuk uji kuantitatif, deteksi menggunakan metode

Western blot serta purifikasi protein rekombinan berdasarkan metode pemisahan afinitas. Situs pemotongan enterokinase digunakan untuk pemisahan antara fusi

(28)

Gambar 2.4 Vektor pET-32b(+).

(https://wasatch.biochem.utah.edu/chris/links/pET32.pdf)

Sistem pET dapat mengekspresikan protein tingkat tinggi karena mekanisme ekspresinya dikontrol dengan menggunakan promotor T7lac, inang

pET-32b(+)

(5899 pb)

(29)

dengan pylsS, serta penambahan glukosa ke media berdasarkan karakteristik protein target. PlysS pada inang ekspresi berfungsi untuk meningkatkan toleransi λDE3 lisogen untuk vektor dengan insert yang toksik, serta vektor menjadi lebih stabil. Vektor pET-32b(+) memiliki promotor T7lac dengan sekuen lac operator

downstream dari promotor T7. Vektor juga membawa sekuen pengkode untuk represor lac (lacI) dengan orientasi dari promotor T7lac dan lacI berbeda. Vektor apabila digunakan dalam DE3 lisogen, maka represor lac beraksi di promotor

lacUV5 dalam kromosom inang untuk menekan transkripsi gen T7 RNA

polimerase dan juga pada promotor T7lac dalam vektor untuk memblokir transkripsi gen target (pET Sistem Manual, 2006).

Vektor rekombinan ditransformasikan ke dalam galur sel E. coli yang kromosomnya mempunyai salinan gen untuk T7 RNA polimerase (T7 gen 1) untuk memproduksi protein. Inang dengan galur DE3 lisogen dipilih karena defisiensi protease, auksotrof asam amino, dapat meningkatan kelarutan, dan suplementasi kodon yang jarang (rare codon) (pET Sistem Manual, 2006).

Escherichia coli galur BL21(DE3) adalah inang yang umum untuk ekspresi protein yang menggunakan promotor T7. DE3 menunjukkan bahwa inang merupakan lisogen dari α prophage (DE3), oleh karena itu membawa salinan kromosom dari gen T7 RNA polimerase di bawah kontrol promotor lacUV5 yang diinduksi dengan penambahan isopropyl-1-thio-β-D-galactopyranoside (IPTG).

Escherichia coli BL21(DE3) adalah inang yang paling banyak digunakan untuk ekspresi protein karena defisiensi protease Lon dan OmpT (Sørensen dan Mortensen, 2005).

2.4 Manipulasi Enzimatis DNA

Manipulasi DNA dapat dilakukan secara enzimatis dengan menggunakan berbagai macan enzim diantaranya yaitu :

2.4.1 Enzim Endonuklease Restriksi

Enzim endonuklease restriksi umumnya diperoleh dari bakteri, yang mana dapat mengenal DNA untai ganda dengan urutan basa spesifik serta memotong pada tempat yang tertentu. Enzim endonuklease restriksi berfungsi untuk membatasi masuknya DNA asing dengan cara memotong DNA pada situs

(30)

restriksi yang tidak terdapat pada bakteri. Setiap enzim endonuklease restriksi dapat mengenal, mengikat dan memotong urutan basa tertentu. Urutan basa yang dipotong biasanya terdiri dari 4-8 pasang basa (pb), dan enzim endonuklease restriksi hanya memotong DNA yang mempunyai urutan basa yang benar-benar persis dengan kode tersebut. Sebagai contohnya yaitu urutan basa yang dikenal oleh enzim EcoRI adalah GAATTC. Semua situs yang memiliki urutan basa GAATTC akan dipotong oleh enzim EcoR1, namun jika ada satu basa yang berbeda misalnya CAATTC maka mampu mencegah terjadinya pemotongan. Proses pemotongan DNA dengan enzim endonuklease restriksi dapat menghasilkan potongan asimetris 5' atau 3' terbuka sehingga ujungnya kohesif (sticky end), ataupun potongan simetris sehingga ujungnya tumpul (blunt end) (Grompe et al., 1998).

Enzim endonuklease restriksi diberi nama sesuai dengan bakteri penghasilnya, misalnya EcoRI berasal dari Escherichia coli. Penggunaan enzim restriksi adalah dengan menginkubasi enzim bersama-sama dengan DNA dalam larutan bufer yang sesuai, sehingga akan dihasilkan potongan-potongan DNA dengan ukuran tertentu. Pemotongan enzim restriksi bersifat spesifik untuk urutan basa tertentu, sehingga DNA yang berbeda akan menghasilkan pola pemotongan yang khas. Pola yang khas ini dapat diketahui setelah dilakukan elektroforesis gel dan pewarnaan sehingga fragmen DNA yang berbeda-beda ukurannya dapat terlihat (Grompe et al., 1998). Enzim endonuklease restriksi sangat bermanfaat diaplikasian pada teknologi DNA rekombinan karena sangat selektif dalam memotong untai DNA (Radji, 2011).

2.4.2 Enzim DNA Ligase

Enzim DNA ligase adalah enzim yang berfungsi mengikatkan dua potong DNA secara kovalen (Grompe et al., 1998). Enzim DNA ligase merupakan enzim yang terdapat pada sistem biologis yang dapat mengkatalis pembentukan ikatan kovalen yang merekatkan kembali potongan fragmen-fragmen DNA. Enzim DNA ligase adalah salah satu enzim yang sangat penting dalam perkembangan teknologi DNA rekombinan (Radji, 2011). Enzim DNA ligase ini terutama digunakan untuk menyisipkan sepotong DNA ke dalam vektor kloning. Enzim DNA ligase yang paling banyak digunakan adalah T4 DNA ligase. Reaksi ligasi

(31)

terjadi antara gugus 3'OH dari salah satu untai DNA dengan gugus fosfat dari untai DNA pasangannya. Reaksi ligasi menggunakan ATP sebagai sumber energi (Grompe et al., 1998).

Proses ligasi menggunakan T4 DNA ligase memerlukan kofaktor ATP yang kemudian membentuk kompleks enzim-AMP. Kompleks ini menempel dan menyambung gugus 5'-fosfat dan 3'-hidroksi dengan ikatan kovalen sehingga terbentuk rantai fosfodiester (Sudjadi, 2008). Ligasi DNA hanya dapat terjadi antara dua ujung fragmen DNA yang kompatibel. Kompatibilitas inilah yang digunakan untuk mengatur ligasi beberapa fragmen DNA yang berbeda secara sekaligus dalam satu campuran reaksi (Grompe et al., 1998). Proses penyambungan fragmen DNA dengan ujung kohesif dengan enzim DNA ligase cukup efisien dan telah banyak digunakan dalam pembuatan vektor rekombinan. Pada fragmen DNA dengan ujung tumpul memerlukan kondisi ligasi yang spesial, yaitu kadar fragmen DNA harus tinggi dan larutan reaksi agak kental sehingga gerakan molekul lebih lambat (Sudjadi, 2008).

2.4.3 Enzim DNA Polimerase

Enzim DNA polimerase adalah enzim yang menggunakan satu DNA untai tunggal sebagai cetakan (template) untuk mensintesis untai kedua yang komplemen dengan cetakannya. Enzim DNA polimerase membutuhkan primer dalam mensintesis DNA baru dari arah 5' ke 3'. Primer adalah sepotong kecil DNA yang komplemen terhadap untai DNA yang akan disalin, polimerase melekat pada primer dan kemudian akan memperpanjang primer dengan cara menambahkan blok-blok deoksinukleotida dari arah 5' ke 3' (Grompe et al., 1998). Primer merupakan oligonukleotida rantai pendek yang dibuat secara sintetik dan umumnya memiliki panjang 15-32 pasang basa. Enzim DNA polimerase memiliki aktivitas optimal pada suhu 92-95⁰C dan digunakan dalam polymerase chain reaction (PCR) (Radji, 2011).

2.5 Amplifikasi DNA

Amplifikasi atau perbanyakan DNA untai ganda selain dengan menggunakan vektor kloning dalam sel inang hidup juga dapat dilakukan dengan metode polymerase chain reaction (PCR). Dengan menggunakan metode PCR

(32)

mampu diperoleh DNA dalam jumlah besar dan murni secara kimia. Metode PCR memungkinkan untuk dibuat sejumlah besar DNA dengan urutan basa tertentu dalam waktu yang singkat dan tanpa kloning. Sejumlah kecil DNA untai tunggal dapat disintesis dari nukleotida tunggal dengan bantuan oligonukleotida (Grompe

et al., 1998). Metode PCR merupakan suatu proses sintesis enzimatik untuk mengamplifikasi fragmen DNA secara in vitro. Teknik PCR dapat meningkatkan jumlah fragmen DNA hingga mencapai 106-107 kali dalam waktu singkat (Radji, 2011).

Prosedur PCR menggunakan DNA polimerase yang tahan terhadap panas (thermostable) dan dua primer oligonukleotida sintetik. Urutan DNA gen yang akan diamplifikasi harus diketahui sebagian sehingga dapat dibuat primer yang membatasi ujung DNA target. Prosedur PCR terdiri dari 3 tahap yaitu: (1) denaturasi DNA untai ganda, (2) penempelan primer ke DNA (annealing), dan (3) memperpanjang primer (extension) (Grompe et al., 1998). Ketiga tahapan siklus tersebut diatas diulang sesuai dengan jumlah siklus amplifikasi yang akan dilakukan (Radji, 2011).

Pada tahap denaturasi terjadi pemanasan pada suhu 94-98⁰C, yang mana bertujuan untuk memisahkan untai ganda DNA target menjadi untai tunggal. Untai tunggal lalu siap dihibridisasikan dengan oligonukleotida yang sesuai pada proses annealing. Pada proses annealing temperatur diturunkan sampai di bawah titik leleh hibrid DNA-oligonukleotida yaitu pada suhu sekitar 50-68⁰C. Tahapan selanjutnya yaitu setelah primer menempel maka enzim DNA polimerase dapat menyalin urutan DNA untai tunggal pada temperatur 72⁰C (extension), dengan deoksinukleotida trifosfat (dNTP) yang tersedia. Setiap untai DNA target yang ada sejak awal akan disalin dan jumlah DNA akan menjadi dua kali lipat pada akhir tiap siklus. Jadi, setelah 25-30 siklus maka urutan DNA yang diinginkan diperbanyak sampai jutaan kali lipat. DNA hasil PCR dapat divisualisasikan sebagai pita (band) pada gel agarosa dengan pengecatan menggunakan etidium bromida (EtBr), dan selanjutnya dapat digunakan untuk kloning ataupun sekuensing DNA. Perubahan temperatur berturut-turut pada PCR dilakukan pada mesin thermocycler. Satu kali proses PCR biasanya selesai dalam jangka waktu 3

(33)

jam. Oleh karena itu, metode PCR merupakan metode tercepat untuk membuat DNA tertentu untuk dilakukan studi lebih lanjut (Grompe et al., 1998).

Keterbatasan dari metode PCR diantaranya yaitu adanya salah menambahkan nukleotida oleh enzim Taq polimerase (Taq error) dan ketidakmampuan untuk mengamplifikasi fragmen DNA yang besar. Modifikasi

Taq generasi baru yang mampu mengamplifikasi sampai 20 kb dengan tingkat fidelitas tinggi dapat mengurangi kesalahan PCR dan meningkatkan kemampuan amplifikasi. Kegunaan PCR diantaranya yaitu: (1) untuk mengamplifikasi DNA pada daerah tertentu sebagai strategi rekayasa genetik; (2) memperbanyak DNA genom untuk keperluan diagnostik; (3) memperbanyak DNA untuk sekuensing; (4) untuk memnyisipkan atau membuat mutasi (site directed mutagenesis); (5) dikombinasikan dengan reverse transcription untuk mengkuantifikasi jumlah mRNA awal (RT-PCR) (Grompe et al., 1998).

2.6 Analisis DNA

Analisis DNA dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode diantaranya yaitu :

2.6.1 Pemisahan Menggunakan Gel

Teknik dasar pemisahan DNA dan RNA menggunakan elektroforesis pada sistem gel berdasarkan prinsip perbedaaan ukuran. DNA dan RNA pada pH netral bermuatan negatif dan akan bermigrasi ke arah anoda. Pada saat migrasi pada matriks polimer gel, maka fragmen kecil akan bergerak lebih cepat daripada fragmen yang besar. Migrasi elektroforetik melalui gel akan dapat memisahkan campuran fragmen DNA sehingga tampak sebagai pita-pita yang berbeda ukurannya. Matriks gel yang dapat dipakai untuk pemisahan asam nukleat diantaranya yaitu gel agarosa dan gel poliakrilamid. Gel agarosa dapat digunakan untuk pemisahan fragmen DNA berukuran 0.1-20 kb, sedangkan poliakrilamid untuk fragmen DNA berukuran 0.025-2 kb (Grompe et al., 1998). Gel agarosa mempunyai daya pemisahan lebih rendah dibandingkan dengan gel poliakrilamid, tetapi mempunyai rentang pemisahan yang lebih besar. Gel agarosa biasanya dilakukan dalam konfigurasi horisontal dalam kekuatan medan listrik dan arah tetap (Sudjadi, 2008).

(34)

Gel agarosa dibuat dengan melarutkan serbuk agarosa dalam bufer kemudian dipanaskan dan lalu dituang pada cetakan dan didiamkan sampai dingin. Setelah dingin dan mengeras, agarosa membentuk matriks dengan kerapatan yang ditentukan oleh konsentrasi agarosa. Jika medan magnet diberikan antara kedua ujung gel, maka DNA yang bermuatan negatif pada pH netral dan bergerak ke anoda. Kecepatan migrasi dari DNA tergantung dari ukuran (panjang) DNA, konformasi DNA, konsentrasi agarosa, dan besaran tegangan yang digunakan (Sudjadi, 2008). Fragmen DNA yang telah dipisahkan dengan elektroforesis gel dapat divisualisasikan dengan cara pewarnaan gel setelah elektroforesis selesai sehingga fragmen DNA dapat terlihat. Pewarna yang biasanya digunakan adalah etidium bromida yang mana dapat mengikat DNA dan akan berfluoresensi merah dibawah sinar UV (Grompe et al., 1998).

Akrilamid merupakan suatu monomer yang digunakan dalam pembuatan gel akrilamid, yang ditambahkan amonium persulfat dan distabilkan oleh TEMED, maka terjadi reaksi berantai sehingga monomer terpolimerisasi menjadi rantai panjang. Jika dalam reaksi terdapat bisakrilamid, maka reaksi menjadi bersambung melintang menjadi gel yang pori-porinya ditentukan oleh panjang rantai dan jumlah sambungan silang. Gel poliakrilamid dibuat dengan cara menuangkan antara dua lempeng kaca yang dipisahkan dengan pembatas dengan ketebalan tertentu. Elektroforesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk memisahkan protein dengan sistem vertikal (Sudjadi, 2008).

2.6.2 Sekuensing DNA

Sekuensing adalah analisis DNA yang paling detil karena menggunakan penentuan urutan basa-basa nukleotida. Teknik sekuensing DNA merupakan salah satu teknik yang penting dalam teknologi DNA rekombinan karena sangat bermanfaat untuk menentukan urutan basa nukleotida suatu gen ataupun sekuen genom total suatu sel atau organisme. Teknik sekuensing DNA untuk pengurutan basa DNA terdiri 2 macam cara yaitu (1) cara degradasi kimiawi oleh A. Maxam dan W. Gilbert di Amerika, dan (2) cara determinasi rantai oleh F. Sanger dan A.R. Coulson di Inggris (Radji, 2011).

Metode penghentian rantai dengan dideoksi (dideoxy chain termination) yang dikembangkan oleh Sanger merupakan metode yang paling banyak

(35)

digunakan. Pada mulanya DNA didenaturasi dan dipisahkan menjadi untai tunggal dengan cara pemanasan. Satu primer oligonukleotida yang telah dilabel radioaktif ditambahkan ke dalam reaksi dan akan menempel pada sekuen pasangannya pada DNA target. DNA polimerase digunakan untuk menyalin DNA untai tunggal. Penambahan dNTP dalam jumlah banyak dan sampai jenuh akan menghasilkan produk ekstensi dengan ujung terlabel radioaktif, tetapi tidak menghasilkan informasi urutan basa. Penambahan sedikit ddNTP ke dalam campuran dNTP akan dapat memberikan informasi urutan basa DNA. Dideoksinukleotida akan terinkorporasi pada ujung 3' untai DNA yang baru disintesis. DNA polimerase tidak dapat menambahkan basa baru pada ddNTP, sehingga inkorporasi ddNTP akan mengakibatkan penghentian sintesis rantai DNA. Penambahan dNTP dan ddNTP dengan rasio yang tepat memungkinkan untuk menghentikan sintesis rantai DNA pada tiap posisi nukleotida (Grompe et al., 1998).

Sebagai contohnya, jika ektensi primer dilakukan menggunakan dATP, dTTP, dGTP dan ddCTP, maka polimerase akan mensintesis untai DNA baru sampai harus menggunakan ddCTP. Inkorporasi ddCTP pada titik ini menyebabkan DNA polimerase tidak dapat melanjutkan ekstensi. Dengan demikian, panjang produk hasil ekstensi yang terlabel radioaktif menentukan posisi G pertama yang disalin. Untuk menentukan posisi G yang lainnya, maka reaksi sekuensing yang sebenarnya dilakukan dengan menggunakan campuran dCTP dan ddCTP dengan perbandingan ~200:1. Pada kondisi ini kemungkinan terjadi penghentian rantai DNA adalah ~1:200 yang terjadi ketika terdapat G pada DNA yang disekuensing. Hasilnya akan diperoleh produk ekstensi dengan berbagai panjang, yang kemudian divisualisasi dengan elektroforesis pada gel poliakrilamid. Berdasarkan pada panjang produk, maka tiap fragmen akan menentukan posisi satu G. Untuk menentukan posisi keempat basa, empat reaksi sekuensing dilakukan untuk tiap sampel. Pada tiap reaksi dicampurkan dNTP dan ddNTP yang sesuai dikombinasi dengan 3 dNTP lainnya dalam konsentrasi jenuh. Keempat reaksi sekuensing kemudian dielektroforesis bersebelahan pada gel (poliakrilamid denaturasi), sehingga hasil sekuens DNA dapat langsung dibaca (Grompe et al., 1998). Berdasarkan perbedaan migrasi masing-masing fragmen

(36)

DNA, maka akan dapat ditentukan urutan basa-basa DNAnya. Hasil sekuensing DNA merupakan urutan basa yang komplementer terhadap urutan basa-basa yang terbaca pada hasil elektroforesis (Radji, 2011).

Perkembangan teknologi modern dewasa ini telah memungkinkan dilakukannya automatisasi sekuensing DNA. Perkembangan peralatan yang ada pada saat ini telah memungkinkan dapat membaca hasil sekuensing secara langsung dan sekaligus menyimpan data ke dalam database komputer. Adanya automasisasi dapat mengurangi faktor kesalahan yang sering terjadi dalam pembacaan dan pemulisan urutan DNA secara manual. Mesin sekuensing sekarang telah menggunakan fluoresen sebagai pengganti radioaktif. Senyawa fluoresen dapat diinkorporasikan ke dalam primer sekuensing atau ke dalam nukleotida. Pada sekuensing manual menggunakan elektroforesis gel atau elektroforesis kapiler untuk memisahkan fragmen DNA berdasarkan ukurannya. Pada sekuensing otomatis deteksi fragmen DNA yang berfluoresensi dilakukan dengan bantuan sinar laser dan sinyal diproses oleh komputer (Grompe et al., 1998).

2.7 Ekspresi Protein pada Escherichia coli

Pemilihan sistem ekspresi untuk produksi protein rekombinan tergantung pada banyak faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya karakteristik pertumbuhan sel, tingkat ekspresi, modifikasi pascatranslasi, aktivitas biologis protein, dan regulasi produksi protein terapetik (Hodgson, 1993). Dalam pemilihan sistem ekspresi juga perlu mempertimbangkan rincian biaya dalam proses, desain, dan pertimbangan ekonomi lainnya (Makrides, 1996). Inang E. coli. merupakan inang pertama yang digunakan untuk kloning dan ekspresi protein rekombinan. Inang E. coli baik digunakan untuk ekspresi protein intraseluler yang relatif kecil dan tidak memerlukan modifikasi pascatranslasi yang terlalu banyak untuk membuat protein tersebut fungsional. Keuntungan sistem ekspresi pada E. coli diantaranya yaitu mudah untuk dilakukan manipulasi DNA rekombinan serta proses seleksi dan ekspresi yang cepat (Grompe et al., 1998).

Tidak setiap gen dapat diekspresikan secara efisien pada organisme E. coli. Hal ini bisa disebabkan oleh sekuen gen yang unik, stabilitas dan efisiensi

(37)

translasi mRNA, kemudahan dalam folding protein, degradasi protein oleh protease sel inang, perbedaan besar dalam penggunaan kodon antara gen asing dan di E. coli, serta potensi toksisitas protein ke inang. Kelemahan E. coli sebagai sistem ekspresi mencakup ketidakmampuannya untuk melakukan banyak modifikasi pascatranslasi pada protein eukariotik, kurangnya mekanisme sekresi untuk efisiensi pelepasan protein ke dalam medium kultur, serta keterbatasan kemampuan untuk memfasilitasi pembentukan ikatan disulfida yang luas. Di sisi lain, banyak protein eukariot yang masih memiliki aktivitas biologis dalam bentuk nonglikosilasi dan oleh karena itu dapat diproduksi dalam E. coli (Fuh et al., 1990).

Sistem ekspresi protein rekombinan E. coli merupakan sistem pilihan untuk produksi IFN α mengingat gen ifn α tidak memiliki intron, dan IFN α non

glikosilasi telah diketahui bioaktif. Escherichia coli dapat ditumbuhkan mencapai kepadatan sel yang tinggi, dan galur yang digunakan untuk produksi protein rekombinan umumnya adalah aman. Escherichia coli juga dapat menjadi pilihan untuk fermentasi skala besar. Sebagian besar produk farmasi yang telah dipasarkan pada kelompok rekombinan IFN α diproduksi dan dipurifikasi dari E. coli (Rabhi-Essafi, 2007).

Sistem ekspresi untuk produksi protein rekombinan dalam E. coli melalui kombinasi antara vektor dan galur E. coli sebagai inang ekspresi (Sørensen dan Mortensen, 2005). Protein dapat diekspresikan dengan bantuan vektor melalui induksi ekspresi menggunakan pemberian reagen seperti isopropyl-1-thio- β-D-galactopyranoside (IPTG). Reagen IPTG berfungsi melepas represi promotor sehingga mengasilkan ekspresi protein rekombinan dalam jumlah yang tinggi. Dilekatkannya protein tertentu pada molekul protein misalnya β galaktosidase dapat lebih menstabilkan protein, yang mana jika tidak dilekatkan mungkin akan terdegradasi dalam E. coli. Penambahan tag pada protein yang diekspresikan berfungsi untuk memudahkan menemukan dan mengisolasi protein setelah diekspresikan. Tag yang banyak digunakan diantaranya Glutation-S-transferase

(GST) yang dapat diisolasi menggunakan kolom glutation atau tag histidin yang diisolasi menggunakan kolom nikel (Grompe et al., 1998).

(38)

Ekspresi protein rekombinan pada dasarnya dapat diarahkan ke tiga lokasi yaitu sitoplasma, periplasma atau media kultivasi (Sørensen dan Mortensen, 2005). Protein IFN α yang diekspresikan pada E.coli seringnya dalam bentuk presipitasi agregat tidak larut dalam sitoplasma yang disebut dengan badan inklusi (Swaminathan dan Khanna, 1999; Bedarrain et al., 2001; Srivasta et al., 2005), yang umumnya merupakan protein misfolding dan secara biologis inaktif (Villaverde dan Carrio, 2003). Proses refolding dari badan inklusi kurang diinginkan karena hasil perolehan kembalinya rendah dan memerlukan optimasi kondisi refolding yang berbeda untuk setiap protein target (Middelberg, 2002). Selain itu, proses resolubilisasi tidak dapat secara penuh mengembalikan pelipatan protein dan fungsi yang optimal protein (Fathallah et al., 2009).

Beberapa bagian dari protein yang diekspresikan seperti ikatan disulfida (Lilie et al., 1998; Makrides, 1996), modifikasi pascatranslasi (Zhang et al., 1998), hidrofobisitas, muatan (net charge) dan struktur sekunder merupakan faktor-faktor yang menentukan dalam pembentukan badan inklusi (Chiti et al., 2003). Faktor-faktor lain yang juga menentukan pembentukan badan inklusi yaitu terkait dengan lingkungan tempat protein diekspresikan diantaranya pH dan temperatur (Yon, 2002). Reaksi agregasi terjadi pada suhu yang tinggi karena temperatur yang kuat dapat meningkatkan kekuatan interaksi hidrofobik sehingga membuat pelipatan protein salah (Kiefhaber et al., 1991).

Tujuan utama ekspresi protein rekombinan pada sistem bakteria adalah mendapatkan akumulasi tingkat tinggi produk terlarut protein rekombinan (Villaverde dan Carrio, 2003). Kelarutan protein target dapat dipengaruhi oleh temperatur induksi dan waktu induksi. Temperatur yang lebih rendah menjadikan level ekspresi lebih lambat sehingga terjadi peningkatkan pelipatan protein target, meskipun dapat menurunkan hasil protein target. Waktu induksi yang lama juga dapat meningkatkan ekspresi, akan tetapi dapat menginduksi proteolisis protein target, terjadinya heterogenitas sampel dan menurunkan hasil yang diperoleh (Fathallah et al., 2009).

(39)

2.8 Analisis Protein

Analisis protein dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode diantaranya yaitu :

2.8.1 Western Blot

Protein spesifik dalam campuran protein dapat diidentifikasi dengan teknik

Western blotting. Pada metode Western blotting, protein dipisahkan berdasarkan ukuran massanya dengan cara elektroforesis gel poliakrilamida SDS-PAGE (sodium dodecyl sulfate polyacrilamide gel electrophoresis) dengan sistem vertikal (Kuby, 1994). Protein yang akan dielektroforesis sebelumnya ditambah dengan SDS dan kemudian dipanaskan. Sodium dedosil sulfat merupakan suatu detergen anionik yang berguna untuk menyelubungi molekul protein. Penyelubungan protein menyebabkan terganggunya interaksi non-kovalen sehingga molekul protein dalam struktur primer. Merkaptoetanol juga ditambahkan untuk mereduksi ikatan disulfida. Kompleks SDS dengan protein yang terdenaturasi memiliki jumlah muatan negatif yang sebanding dengan ukuran protein (Sudjadi, 2008)

Kompleks protein-SDS kemudian dielektroforesis sehingga molekul protein bergerak menuju kutub positif dan terpisah berdasarkan ukuran massanya. Protein yang telah terpisahkan menjadi pita-pita pada gel poliakriamid kemudian ditransfer ke membran nitroselulosa. Proses transfer makromolekul dari gel ke membaran nitriselulosa disebut dengan proses blotting (Radji, 2011). Identifikasi protein dilakukan dengan merendam membran nitroselulosa dalam larutan yang mengandung antibodi primer, kemudian dicuci untuk menghilangkan antibodi primer yang tidak berikatan dengan protein target. Langkah selanjutnya adalah penambahan antibodi sekunder yang hanya melekat pada antibodi sekunder dan tidak melekat pada protein target. Antibodi sekunder telah terkonjugasi dengan suatu enzim yang dapat divisualisasikan dengan penambahan substrat karena dapat mengoksidasi substrat yang tidak berwarna menjadi berwarna (Sudjadi, 2008).

2.8.2 Analisis Densitometri

Densitas merupakan kemampuan sebuah material untuk menyerap atau memantulkan sinar. Densitas dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu densitas

(40)

transmisi yaitu kemampuan lapisan material untuk menyerap sinar yang datang dan densitas refleksi yaitu kemampuan lapisan material untuk memantulkan sinar yang datang. Pengukuran densitas dapat menggunakan sebuat alat ukur yang disebut densitometer. Densitometer merupakan alat yang berfungsi untuk mengukur besarnya densitas atau dengan kata lain merupakan alat yang digunakan untuk mengukur derajat kehitaman atau kepekatan (densitas optis) suatu model atau bahan semi-transparan (Siregar, 2009).

Analisis densitometri merupakan salah satu cara untuk konfirmasi hasil elektroforesis. Hasil analisis densitometri terhadap pita-pita pada gel hasil elektroforesis dapat digunakan untuk konfirmasi keberadaan pita, dan untuk kuantifikasi proporsi penyusun protein yang dielektroforesis (Aulanni’am, 2004). Suatu pita menandakan adanya akumulasi protein pada gel hasil elektroforesis diidentifikasi sebagai oleh suatu puncak (peak). Masing-masing puncak memiliki karakteristik ketinggian (height) sebagai intensitas densitograf dan luas daerah di bawah kurva (area) sebagai gambaran kuantitas protein pada pita tersebut. Ketebalan pita pada gel hasil SDS-PAGE dikuantifikasi dalam bentuk luas daerah di bawah kurva pada kurva densitograf (Mustofa et al., 2006).

Kuantifikasi intensitas pita Western blot dapat dilakukan dengan sistem digitalisasi automatik menggunakan UN-SCAN-IT. Program UN-SCAN-IT dapat mengkuantifikasi data Western blot dengan menggunakan dua metode. Metode analisis segmental memberikan informasi piksel total dan analisis pita pada setiap segmen, sedangkan analisis lane yang memberikan informasi profil densitas ekstraksi dan analisis pita untuk seluruh jalur (lane). Pada pengukuran pita dilakukan pemindaian sebagai JPEG dalam format 8 bit grayscale pada 600 dpi dan intensitas piksel. Pada pengukuran intensitas piksel dilakukan pengkoreksian terhadap latar (background). Derajat kehitaman atau kepekatan digunakan program UN-SCAN-IT untuk menganalisa pita dan diukur dalam bentuk piksel. Piksel adalah unsur gambar atau representasi sebuah titik terkecil dalam sebuah gambar grafis yang dihitung per inci. Data digital piksel total yang diperoleh dapat digunakan untuk menghitung kepadatan optik relatif pada setiap pita untuk analisis yang lebih lanjut (Rezvani et al., 2009).

(41)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Terapetik Protein dan Vaksin, Bidang Biologi Molekuler, Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Waktu pelaksaan penelitian adalah dari bulan Juli 2011 sampai Juli 2012.

3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan

Aquades, aquabides (ddH2O), nuclease free water, GoTaq Green Master

Mix (Promega), enzim restriksi Nco I, Xho I, dan Mlu I (Roche), primer IFN_NcoI_F 5' CATGCCATGGCCTGTGATCTGCCTCAAACC 3' (1st BASE), primer IFN_XhoI_R 5' CCGCTCGAGTCATTCCTTACTTCTTAAAC 3' (1st BASE), primer pET_Screen_F 5' TAATACGACTCACTATAGGGGAAT 3' (1st BASE), primer pET_Screen_R 5' TTATTGCTCAGCGGTGGCAGCAGC 3' (1st BASE), STag-18mer-primer 5' GAACGCCAGCACATGGAC 3' (Macrogen), T7terminator-primer 5' GCTAGTTATTGCTCAGCGG 3' (Macrogen), agarosa (Fermentas), marker DNA 1 kilo basa (Fermentas), loading buffer, etidium bromida (EtBr), enzim T4 DNA ligase (NEB), DNA ligation buffer (NEB),

Agarose Gel DNA Extrction Kit (Roche), metanol, etanol, kalsium klorida (CaCl2), ampisilin (Sigma), ekstrak ragi (Difco), tripton (Difco), agar bakto (Difco), isopropyl-1-thio-β-D-galactopyranoside /IPTG (Roche), natriun klorida (NaCl), sodium deodesil sulfat (SDS), akrilamid, ammonium persulfat (APS),

separating gel buffer, stacking gel buffer, tetrametil metilen diamin (TEMED), bufer elektroforesis, nitro blue tetrazolium/NBT (Promega), 5-bromo-4chloro-3-indolyl-phosphate/BCIP (Promega), Anti-α-Interferon Mouse mAb (MMHA-2)

(Calbiochem), Anti-mouse IgG (H+L) AP conjugate (Promega), etanol, metanol, gen sintetik human ifn α2a dalam vektor pcDNA3.1+:IFN-Gene (DNA 2.0 Inc., Menlo Park), vektor pET-32b(+) (Novagen), E. coli galur DH5α (Invitrogen), E. coli galur BL21(DE3) (Novagen).

(42)

3.2.2 Alat

Alat PCR (Biometra), alat elektroforeis DNA (Advance), alat elektroforeis protein (Bio-rad), Ultraviolet (UV) Transiluminator, autoklaf, inkubator shaker, penangas air, laminar, lemari pendingin -20⁰C, lemari pendingin 4⁰C, oven, mikropipet, vortex, sentrifus, cawan petri, labu erlenmeyer, tabung reaksi, tip, tabung PCR, tabung sentrifus.

3.3 Tahap Kerja

Metode yang digunakan dalam penelitian ini secara garis besar berdasarkan metode pada buku panduan pET Sistem Manual (2006).

3.3.1 Penyiapan DNA insert

Penyiapan DNA insert dilakukan dengan metode PCR menggunakan cetakan gen human ifn α2a dalam vektor pcDNA3.1+IFN-Gene. Proses PCR dilakukan dengan menggunakan sepasang primer yaitu IFN_Nco_I F 5'

CATGCCATGGCCTGTGATCTGCCTCAAACC 3' dan IFN_Xho_I R 5'

CCGCTCGAG

Produk hasil PCR selanjutnya dilakukan pengecekan dengan metode elektroforesis pada medium agarosa 1% dengan sampel hasil PCR (5 µl), ddH2O (5 µl), loading buffer (2 µl) dengan tegangan 100 volt selama kurang lebih 30 menit. Elektroforesis dilakukan sampai loading buffer mencapai dua pertiga dari panjang gel. Gel agarosa kemudian diwarnai dengan larutan EtBr dan diamati diatas sinar UV. Hasil PCR yang benar kemudian dilakukan purifikasi dengan menggunakan 2 metode yang berbeda yaitu gel (Agarose Gel DNA Extraction Kit) dan metode fenol kloroform.

TCATTCCTTACTTCTTAAAC 3' yang telah ditambahkan situs pemotongan Nco I dan Xho Iyang dicetak miring dan digaris bawahi. Proses PCR dimulai dengan dicampurkannya semua komponen yang dibutuhkan dalam reaksi ke dalam tabung PCR, yaitu ddH2O (6,5 µl), DNA (2 µl), primer IFN_NcoI_F (2 µl), primer IFN_XhoI_R (2 µl), dan GoTaq Green Master Mix (12,5 µl) sehingga volume totalnya 25µl. Reaksi PCR dilakukan dengan siklus sebagai berikut: denaturasi awal pada suhu 94⁰C selama 5 menit, denaturasi 94⁰C selama 1 menit, penempelan 55⁰C selama 1 menit, dan polimerisasi 72⁰C selama 2 menit (tiga tahap ini dilakukan sebanyak 30 siklus) serta polimerisasi akhir pada suhu 72⁰C selama 6 menit (pET Sistem Manual, 2006).

(43)

Tahapan purifikasi hasil PCR menggunakan Agarose Gel DNA Extraction Kit dilakukan berdasarkan manual (Roche) adalah:

1. Hasil PCR 60 µl dielektroforesis pada gel agarosa 1%, kemudian divisualisasikan dengan etidium bromida (EtBr).

2. Gel agarosa dilihat pada UV transiluminator, selanjutnya pita fragmen hasil PCR diambil dengan dipotong menggunakan scalpel kemudian dimasukkan ke tabung 2 ml.

3. Berat agarosa lalu ditimbang dan ditambahkan 300 µl agarose solubilisation buffer (vial 2) per 100 mg gel agarosa.

4. Sebanyak 10 µl suspensi silika (vial 1) ditambahkan ke campuran untuk mengikat DNA.

5. Campuran diinkubasi selama 10 menit pada suhu 57⁰C dan divortex setiap 2 menit.

6. Campuran selanjutnya disentrifus 12.000 rpm selama 1 menit dan supernatannya dibuang dengan pemipetan.

7. Pelet ditambahkan 500 µl nucleic acid binding buffer (vial 3) dan divortex. 8. Campuran lalu disentrifus 12.000 rpm selama 1 menit dan supernatannya

dibuang dengan pemipetan.

9. Pelet dicuci dengan 500 µl washing buffer (vial 4).

10.Campuran disentrifus 12.000 rpm selama 1 menit dan supernatannya dibuang dengan pemipetan.

11.Pelet dicuci lagi dengan 500 µl washing buffer (vial 4).

12.Campuran disentrifus 12.000 rpm selama 1 menit dan supernatannya dibuang dengan pemipetan.

13.Proses pengeringan dilakukan pada suhu kamar selama 10-15 menit.

14.Pelet dilarutkan dengan 20 µl nuclease free water dan diinkubasi 10 menit pada suhu 15-25⁰C untuk DNA insert, sedangkan untuk vektor diinkubasi 10 menit pada suhu 56-60⁰C dengan divortex setiap 2-3 menit.

15.Campuran disentrifus 12.000 rpm selama 1 menit dan supernatan diambil dan dipindahkan ke tabung baru.

(44)

Tahapan proses purifikasi hasil PCR dengan metode fenol kloroform yaitu:

1. Hasil PCR 60 µl ditambahkan ddH2O 90 µl kemudian ditambahkan 150 µl fenol kloroform dan divortex.

2. Campuran disentrifus 12.000 rpm selama 5 menit pada suhu 4⁰C.

3. Bagian atasnya diambil dan dipindahkan ke tabung baru kemudian ditambahkan etanol absolut (2,5 kali volume) dan disimpan semalam.

4. Campuran disentrifus 12.000 rpm selama 30 menit pada suhu 4⁰C dan supernatan dibuang dengan pemipetan.

5. Pelet dicuci dengan 1 ml etanol 70%, disentrifus 12.000 rpm selama 5 menit pada suhu 40C kemudian supernatan dibuang dengan pemipetan.

7. Pelet dikeringkan pada suhu kamar kurang lebih 30 menit selanjutnya dilarutkan dengan 20 µl nuclease free water.

Hasil PCR yang telah dipurifikasi kemudian dipotong menggunakan enzim restriksi Nco I dan Xho I dan dilanjutkan purifikasi dengan fenol kloroform. Proses pemotongan dimulai dengan dicampurkannya semua komponen ke dalam tabung, yaitu ddH2O (10,5 µl), bufer H (2,5 µl), hasil PCR yang telah dipurifikasi (10 µl), enzim Nco I (1 µl), enzim Xho I (1 µl) dengan volume total 25 µl dan diinkubasi pada suhu 37⁰C dalam penangas air (waterbath) selama 1 jam. Hasil dari proses pemotongan kemudian dilakukan pengecekan dengan metode elektroforesis pada medium agarosa 1% dengan sampel (2 µl), ddH2O (8 µl),

loading buffer (2 µl) dan diamati diatas sinar UV. Tahapan proses purifikasi DNA

insert yang telah dipotong dengan metode fenol kloroform yaitu:

1. DNA insert hasil pemotongan 23 µl ditambahkan ddH2O 100 µl kemudian ditambahkan 130 µl fenol kloroform dan divortex.

2. Campuran disentrifus 12.000 rpm selama 5 menit pada suhu 4⁰C.

3. Bagian atasnya diambil dan dipindahkan ke tabung baru kemudian ditambahkan etanol absolut (2,5 kali volume) dan disimpan semalam.

4. Campuran disentrifus 12.000 rpm selama 30 menit pada suhu 4⁰C, kemudian supernatan dibuang dengan pemipetan.

5. Pelet dicuci dengan 1 ml etanol 70% dan disentrifus 12.000 rpm selama 5 menit pada suhu 4⁰C kemudian supernatan dibuang dengan pemipetan.

(45)

7. Pelet dikeringkan pada suhu kamar kurang lebih 30 menit selanjutnya dilarutkan dengan 20 µl nuclease free water.

3.3.2 Penyiapan Vektor pET-32b(+)

Vektor pET-32b(+) dengan konsentrasi 300 ng/µl dilakukan pemotongan dengan enzim restriksi Nco I dan Xho I pada suhu 37⁰C selama 1 jam. Proses pemotongan vektor pET-32b(+) dimulai dengan dicampurkannya semua komponen ke dalam tabung, yaitu ddH2O (16,5 µl), bufer H (2,5 µl), vektor pET-32b(+) (4 µl), enzim Nco I (1 µl), enzim Xho I (1 µl) dengan volume total 25 µl dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 37⁰C dalam penangas air selama 1 jam. Hasil proses pemotongan kemudian dilakukan pengecekan dengan metode elektroforesis pada medium agarosa 1% dengan sampel (3 µl), ddH2O (7 µl),

loading buffer (2 µl) dan dilakukan pengamatan diatas sinar UV. Vektor pET-32b(+) yang telah dipotong kemudian dipurifikasi menggunakan fenol kloroform yang mana metodenya serupa dengan purifikasi fenol kloroform pada penyiapan DNA insert.

Vektor pET-32b(+) yang telah linearselanjutnya dilakukan tahapan ligasi dengan DNA insert (gen human ifn α2a) yang telah dipersiapkan. Reaksi ligasi terdiri dari nuclease free water (12 µl), buferT4 DNA ligase (2 µl), vektor pET-32b(+) (2 µl), DNA insert (3 µl), enzim T4 DNA ligase (1 µl) dengan volume total 20 µl dan diinkubasi pada suhu 4⁰C semalam. Hasil dari proses ligasi diharapakan dapat diperoleh vektor rekombinan pET-32b(+)-IFN α2a yang sirkuler.

3.3.3 Pembuatan Sel Kompeten E. coli

Proses pembuatan sel kompeten E. coli adalah sebagai berikut :

1. Stok beku 20 µl dari koloni tunggal E. coli diinokulasikan pada 4 ml LB cair dan ditumbuhkan pada suhu 37⁰C dikocok 200 rpm semalam.

2. Sebanyak 800 µl kultur semalam diinokulasikan pada 100 ml LB cair dan ditumbuhkan pada suhu 37⁰C dikocok 250 rpm selama 3 jam.

Gambar

Gambar 4.23  Gambar 4.24  Gambar 4.25  Gambar 4.26  Gambar 4.27  Gambar 4.28  Gambar 4.29  Gambar 4.30
Tabel 4.1  Hasil Kuantifikasi Tingkat Ekspresi pada Pelet dan
Gambar 2.1 Mekanisme Aksi Interferon (Pang et al., 2005).
Gambar 2.2 Jalur Jak-Stat (Samuel, 2001).
+7

Referensi

Dokumen terkait

carB Salmonella typhi dilakukan usaha awal dengan mengkloning gen carB Salmonella typhi menggunakan vektor ekspresi pET-16b dan sel inang Escherichia coli XL-10. Pada penelitian

Oleh karena itu disarankan agar penelitian ini dilanjutkan dengan rnemperbanyak jurnlah insert yang diligasikan dengan jumlah vektor

Salmonella typhi tidak dapat menyebabkan penyakit demam tifoid pada mencit, tetapi pada manusia, sedangkan pada Salmonella typhimurium, dapat menyebabkan penyakit

typhi masih merupakan bahan kajian ilmiah yang menarik, karena belum semua gen yang bertanggung jawab terhadap patogenesis bakteri tersebut diketahui.. typhimurium