• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tren APBD (2010 – 2014)

Dalam dokumen KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii (Halaman 31-41)

Tren APBD Tahun 2010-2014 yang telah dikonsolidasikan dapat dijelaskan sebagai berikut:

Grafik 1.6

Trend APBD TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)

Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (diolah)

2010 2011 2012 2013 2014 Pendapatan 386.338 459.893 551.946 653.512 759.476 Belanja 426.857 495.274 592.660 707.890 817.674 Surplus/defisit (40.519) (35.381) (40.714) (54.378) (58.198) Pembiayaan Netto 40.791 36.119 41.120 54.814 59.197 (200.000) 0 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 M ily ar R up ia h

Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (diolah)

Dari Grafik 1.6 di atas dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 2010-2014, pendapatan daerah setiap tahunnya meningkat rata-rata sebesar 18,42%. Pendapatan Daerah di tahun 2014 menjadi 759,48 triliun, atau meningkat sebesar Rp105,97 triliun (16,21%) dari tahun sebelumnya Rp653,51 triliun. Dalam periode yang sama, trend anggaran belanja daerah

juga mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata peningkatan 17,66%. Apabila Belanja Daerah pada tahun 2013 sebesar Rp707,89 triliun, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi sebesar Rp817,67 triliun (15,51%).

Selanjutnya, trend defisit yang dianggarkan daerah cenderung fluktuatif. Apabila dalam tahun 2010-2011 mengalami penurunan, maka setelah itu hingga tahun 2014 terus mengalami peningkatan, di mana defisit anggaran tahun 2014 meningkat 7,02%. Trend peningkatan pembiayaan netto juga relatif sama polanya setiap tahun dengan trend defisit. Sementara itu persentase pembiayaan netto pada tahun 2014 meningkat 8,00% dari tahun sebelumnya.

Grafik 1.7

Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)

Dari Grafik 1.6 di atas dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 2010-2014, pendapatan daerah setiap tahunnya meningkat rata-rata sebesar 18,42%. Pendapatan Daerah di tahun 2014 menjadi 759,48 triliun, atau meningkat sebesar Rp105,97 triliun (16,21%) dari tahun sebelumnya Rp653,51 triliun. Dalam periode yang sama, trend anggaran belanja daerah juga mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata peningkatan 17,66%. Apabila Belanja Daerah pada tahun 2013 sebesar Rp707,89 triliun, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi sebesar Rp817,67 triliun (15,51%).

Selanjutnya, trend defisit yang dianggarkan daerah cenderung fluktuatif. Apabila dalam tahun 2010-2011 mengalami penurunan, maka setelah itu hingga tahun 2014 terus mengalami peningkatan, dimana defisit anggaran tahun 2014 meningkat 7,02%. Trend peningkatan pembiayaan netto juga relatif sama polanya setiap tahun dengan trend defisit. Sementara itu persentase pembiayaan netto pada tahun 2014 meningkat 8,00% dari tahun sebelumnya.

Grafik 1.7

Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)

Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)

Komposisi setiap jenis Pendapatan Daerah beserta trend-nya terlihat pada Grafik 1.7 diatas. Secara nasional porsi

2010 2011 2012 2013 2014

PAD 71.852 90.393 112.745 140.328 180.347

Dana Perimbangan 292.281 327.368 380.984 433.213 482.221

Lain-lain Pend. Daerah yang Sah 22.205 42.132 58.218 79.971 96.908

0 100.000 200.000 300.000 400.000 500.000 M ily ar R up ia h

13

Pendahuluan

Komposisi setiap jenis Pendapatan Daerah beserta trend-nya terlihat pada Grafik 1.7 di atas. Secara nasional porsi Dana Perimbangan masih dominan setiap tahunnya, akan tetapi laju peningkatannya lebih rendah apabila dibandingkan dengan laju peningkatan PAD. Apabila PAD PAD seluruh daerah secara nasional di tahun 2010 mencapai Rp71,85 miliar, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp180,35 miliar rupiah. Secara rata-rata, peningkatan PAD tahun 2010 s.d. 2014 adalah 25,88%. Peningkatan terbesar terjadi dari tahun 2013 ke tahun 2014, yaitu meningkat 28,52%.

Untuk Dana Perimbangan, secara nasional setiap tahunnya juga mengalami peningkatan. Apabila Dana Perimbangan tahun 2010 baru mencapai sebesar Rp292,28 triliun, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp482,22. Secara rata-rata, peningkatan Dana Perimbangan tahun 2010 s.d. 2014 adalah 25,88%. Peningkatan terbesar terjadi dari tahun 2013 ke tahun 2014, yaitu meningkat 11,31%.

Selanjutnya, untuk Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah juga menunjukkan tren yang meningkat. Apabila secara nasional Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah tahun 2010 masih di kisaran Rp22,21 triliun, maka dalam kurun waktu 5 tahun hingga tahun 2014 terdapat peningkatan rata-rata per tahunnya sebesar 46,62%, sehingga pada tahun 2014 sudah mencapai Rp96,91 triliun. Hal ini berarti bahwa Lain-lain Pendapatan yang Sah tahun 2014 meningkat 21,18% dari tahun sebelumnya.

Grafik 1.8

Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014) Pendapatan Daerah per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

tahun 2014 meningkat menjadi Rp180,35 miliar rupiah. Secara rata-rata, peningkatan PAD tahun 2010 s.d. 2014 adalah 25,88%. Peningkatan terbesar terjadi dari tahun 2013 ke tahun 2014, yaitu meningkat 28,52%.

Untuk Dana Perimbangan, secara nasional setiap tahunnya juga mengalami peningkatan. Apabila Dana Perimbangan tahun 2010 baru mencapai sebesar Rp292,28 triliun, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp482,22. Secara rata-rata, peningkatan Dana Perimbangan tahun 2010 s.d. 2014 adalah 25,88%. Peningkatan terbesar terjadi dari tahun 2013 ke tahun 2014, yaitu meningkat 11,31%.

Selanjutnya, untuk Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah juga menunjukkan tren yang meningkat. Apabila secara nasional Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah tahun 2010 masih di kisaran Rp22,21triliun, maka dalam kurun waktu 5 tahun hingga tahun 2014 terdapat peningkatan rata-rata per tahunnya sebesar 46,62%, sehingga pada tahun 2014 sudah mencapai Rp96,91 triliun. Hal ini berarti bahwa Lain-lain Pendapatan yang Sah tahun 2014 meningkat 21,18% dari tahun sebelumnya.

Grafik 1.8

Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014) Pendapatan Daerah per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)

Berdasarkan data trend tahun 2010-2014, juga dapat dilihat gambaran tingkat pertumbuhan total Pendapatan Daerah beserta komponen utamanya, yaitu PAD dan Dana Perimbangan. Secara agregat pendapatan seluruh daerah per provinsi dapat

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% Ben gk ul u Papu a M alu t Su ltra Kal te ng Ma lu ku Su m bar Babe l Su m se l Ace h Ria u Ke p. R iau Kal tim Ja m bi Papu a Bar at Su lse l NT B DI Y og yak ar ta Su lbar Ja wa Te nga h NT T Ja wa Ti mu r Gor on ta lo Sul te ng Su m ut Bal i Su lut Kal se l Lam pu ng Kal bar Ja w a Bar at DKI Jak ar ta Ban te n

PAD Dana Perimbangan

Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)

Berdasarkan data trend tahun 2010-2014, juga dapat dilihat gambaran tingkat pertumbuhan total Pendapatan Daerah beserta komponen utamanya, yaitu PAD dan Dana Perimbangan. Secara agregat pendapatan seluruh daerah per provinsi dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (22,98%), lalu diikuti oleh Provinsi Banten (19,08%) dan Provinsi Jawa Barat (16,45%). Sementara itu, rata-rata pertumbuhan Pendapatan Daerah yang terendah adalah di Provinsi Kalimantan Timur (9,03%), Provinsi Kalimantan Tengah (11,53%), dan Provinsi Maluku (11,98%).

Apabila dilihat dari rata-rata pertumbuhan PAD tahun 2010-2014, Provinsi Banten merupakan provinsi yang rata-rata PADnya paling tinggi, yaitu mencapai 26,69%. Selanjutnya diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta yang mencapai 25,74%, dan Provinsi Jawa Barat yang mencapai 22,33%. Untuk daerah yang rata-rata pertumbuhan PADnya paling rendah adalah Provinsi

15

Pendahuluan

Bengkulu yang hanya mencapai 5,70%, Provinsi Papua 6,31%, dan Provinsi Maluku Utara dengan capaian 6,83%.

Di sisi lain, rata-rata pertumbuhan Dana Perimbangan tahun 2010-2014 cenderung lebih merata dan tidak berfluktuasi terlalu tajam, serta berada dalam rentang 5,52% s.d. 14,99%. Daerah dengan peningkatan Dana Perimbangan tertinggi adalah Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan daerah dengan peningkatan Dana Perimbangan terendah adalah Provinsi Kalimantan Timur.

Grafik 1.9

Trend Belanja Daerah TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)

dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (22,98%), lalu diikuti oleh Provinsi Banten (19,08%) dan Provinsi Jawa Barat (16,45%). Sementara itu, rata-rata pertumbuhan Pendapatan Daerah yang terendah adalah di Provinsi Kalimantan Timur (9,03%), Provinsi Kalimantan Tengah (11,53%), dan Provinsi Maluku (11,98%).

Apabila dilihat dari rata-rata pertumbuhan PAD tahun 2010-2014, Provinsi Banten merupakan provinsi yang rata-rata PADnya paling tinggi, yaitu mencapai26,69%. Selanjutnya diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta yang mencapai 25,74%, dan Provinsi Jawa Barat yang mencapai 22,33%. Untuk daerah yang rata-rata pertumbuhan PADnya paling rendah adalah Provinsi Bengkulu yang hanya mencapai 5,70%, Provinsi Papua 6,31%, dan Provinsi Maluku Utara dengan capaian 6,83%.

Di sisi lain, rata-rata pertumbuhan Dana Perimbangan tahun 2010-2014 cenderung lebih merata dan tidak berfluktuasi terlalu tajam, serta berada dalam rentang 5,52% s.d. 14,99%. Daerah dengan peningkatan Dana Perimbangan tertinggi adalah Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan daerah dengan peningkatan Dana Perimbangan terendah adalah Provinsi Kalimantan Timur.

Grafik 1.9

Trend Belanja Daerah TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)

Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)

2010 2011 2012 2013 2014

Belanja Pegawai 198.562 229.081 261.358 296.818 326.737

Belanja Barang dan jasa 82.007 104.116 122.422 148.171 182.523

Belanja Modal 96.179 113.523 137.525 175.808 213.670 Belanja Lain-lain 50.110 48.554 71.355 87.093 94.745 0 50.000 100.000 150.000 200.000 250.000 300.000 350.000 M ily ar R up ia h

Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)

Berdasarkan Grafik 1.9 maka dapat dilihat porsi tiap jenis Belanja Daerah setiap tahun dan trend kenaikan/penurunannya antar tahun. Apabila dicermati Belanja Pegawai (langsung dan tidak langsung) secara nasional cenderung

terus meningkat dari tahun 2010 hingga tahun 2014. Total Belanja Pegawai secara nasional tahun 2010 sebesar Rp198,56 miliar, meningkat menjadi Rp326,74 miliar di tahun 2014, dengan rata-rata peningkatan Belanja Pegawai mencapai 13,28%. Namun apabila dilihat dari persentasenya, terdapat penurunan jumlah belanja pegawai sejak tahun 2011 hingga tahun 2014, secara berturut-turut dari yaitu 15,37%, 14,09%, 13,57%, dan 10,08%.

Sementara itu, besarnya Belanja Barang dan Jasa juga terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jika pada tahun 2010 total Belanja Barang dan Jasa secara nasional di kisaran Rp82,01 miliar, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp182,52 miliar rupiah. Peningkatan Belanja Barang dan Jasa secara rata-rata dari tahun 2010 hingga 2014 adalah sebesar 22,19%. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, maka peningkatan Belanja Barang dan Jasa secara agregat provinsi, kabupaten/kota cenderung lebih fluktuatif. Jika pada tahun 2011 meningkat 26,96% dari tahun sebelumnya, namun pada tahun 2012 menurun 17,58%, dan meningkat kembali pada tahun 2013 sebesar 21,03%. Pada tahun 2014, persentase peningkatan porsi Belanja Barang dan Jasa juga meningkat 23,18%, yang berarti berada di atas rata-rata peningkatan dalam 5 tahun terakhir sebesar 22,19%.

Hal yang sama juga terjadi pada pos Belanja Modal. Dapat kita lihat, dari trend Belanja Modal tahun 2010 hingga 2014. Jika Belanja Modal pada pada tahun 2010 mencapai Rp96,18 miliar, maka pada tahun 2014 sudah mencapai Rp213,67 miliar, yang berarti secara rata-rata mengalami peningkatan 22,14%. Namun demikian, apabila dilihat dari persentasenya, peningkatan Belanja Modal lebih fluktuatif. Jika total Belanja Modal di tahun 2011 meningkat 18,03%, dan meningkat lagi tahun 2013 sebesar 27,84%, namun pada tahun 2014 mengalami penurunan sebesar 21,54%.

Dalam periode yang sama, Belanja Lain-Lain juga cenderung fluktuatif. Pada tahun 2010 Belanja Lain-Lain secara total mencapai Rp50,11 miliar, dan

17

Pendahuluan

mengalami penurunan menjadi Rp48,55 miliar di tahun 2011. Selanjutnya pada tahun 2012, 2013, dan 2014 mengalami kenaikan sehingga masing-masing menjadi Rp71,36 miliar, Rp87,09 miliar, dan Rp94,75 miliar. Secara rata-rata peningkatan total Belanja Barang dan Jasa pada tahun 2010 hingga 2014 adalah sebesar 18,67%.

Grafik 1.10

Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014) Belanja Daerah Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)

Berdasarkan Grafik 1.7 dapat dilihat mengenai gambaran rata-rata tingkat pertumbuhan total Belanja Daerah beserta komponen utamanya yaitu Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Modal dari tahun 2010 – 2014. Secara agregat, rata-rata pertumbuhan total belanja daerah yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (21,50%), lalu diikuti oleh Provinsi Banten (19,14%) dan Provinsi Lampung (16,20%). Sementara itu rata-rata pertumbuhan belanja daerah yang terendah terdapat di Provinsi Kalimantan Timur (8,77%), Provinsi Kalimantan Tengah (10,67%), dan Provinsi Bangka Belitung (10,77%).

Apabila dilihat berdasarkan rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai per tahunnya, maka secara berurutan yang tertinggi adalah Provinsi Maluku Utara (13,16%), lalu diikuti oleh Provinsi Maluku (12,94%), dan Provinsi Sulawesi Tengah (12,91%). Sementara itu rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai yang terendah secara berurutan terdapat di Provinsi Kalimantan Timur (6,87%), Provinsi Kepulauan Riau (9,08%), dan Provinsi Sumatera Selatan (10,07%).

Untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang tertinggi terdapat di Provinsi Banten (24,48%), Provinsi Bali (23,59%), dan Provinsi Lampung (21,63%), sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang terendah terdapat di Provinsi Maluku (11,96%), Provinsi Kalimantan Timur (12,45%), dan Provinsi Sulawesi Tenggara (13,42%).

Secara berurutan rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (29,64%), lalu diikuti oleh Provinsi DI Yogyakarta (25,97%), dan Provinsi Banten (25,07%). Sementara itu, rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang terendah terdapat di Provinsi Bangka Belitung (5,39%), Provinsi Kalimantan Timur (7,55%), dan Provinsi Aceh (7,80%). Khusus untuk belanja modal di Provinsi Aceh relatif terus menurun mengingat pembangunan infrastruktur sejak

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% Kal tim Kal te ng Babe l Su m bar Ma lu ku Ben gk ul u M alu t Su ltra Su lut Ace h Papu a Ke p. R iau NTT Gor on ta lo NT B Kal bar Kal se l Sul te ng Su lse l Su m ut Su lbar Papu a Bar at Ja m bi Ria u Ja wa Ti mu r Ja w a Bar at Ja wa Te nga h DI Y og yak ar ta Bal i Su m se l Lam pu ng Ban te n DKI Jak ar ta

Belanja Pegawai Belanja Barang dan jasa Belanja Modal

Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)

Berdasarkan Grafik 1.7 dapat dilihat mengenai gambaran rata-rata tingkat pertumbuhan total Belanja Daerah beserta komponen utamanya yaitu Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Modal dari tahun 2010 – 2014. Secara agregat, rata-rata pertumbuhan total belanja daerah yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (21,50%), lalu diikuti oleh Provinsi Banten (19,14%) dan Provinsi Lampung (16,20%). Sementara itu rata-rata pertumbuhan belanja daerah yang terendah terdapat di Provinsi Kalimantan

Timur (8,77%), Provinsi Kalimantan Tengah (10,67%), dan Provinsi Bangka Belitung (10,77%).

Apabila dilihat berdasarkan rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai per tahunnya, maka secara berurutan yang tertinggi adalah Provinsi Maluku Utara (13,16%), lalu diikuti oleh Provinsi Maluku (12,94%), dan Provinsi Sulawesi Tengah (12,91%). Sementara itu rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai yang terendah secara berurutan terdapat di Provinsi Kalimantan Timur (6,87%), Provinsi Kepulauan Riau (9,08%), dan Provinsi Sumatera Selatan (10,07%).

Untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang tertinggi terdapat di Provinsi Banten (24,48%), Provinsi Bali (23,59%), dan Provinsi Lampung (21,63%), sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang terendah terdapat di Provinsi Maluku (11,96%), Provinsi Kalimantan Timur (12,45%), dan Provinsi Sulawesi Tenggara (13,42%).

Secara berurutan rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (29,64%), lalu diikuti oleh Provinsi DI Yogyakarta (25,97%), dan Provinsi Banten (25,07%). Sementara itu, rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang terendah terdapat di Provinsi Bangka Belitung (5,39%), Provinsi Kalimantan Timur (7,55%), dan Provinsi Aceh (7,80%). Khusus untuk belanja modal di Provinsi Aceh relatif terus menurun mengingat pembangunan infrastruktur sejak terjadinya tsunami di Provinsi Aceh lebih didominasi dari bantuan hibah yang masuk pada kelompok Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah.

19

Pendahuluan Tabel 1.3

Rata-rata pertumbuhan (2010 – 2014) SiLPA Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

No Se-Provinsi SiLPA (%) No Se-Provinsi SiLPA (%)

1 Prov. Bangka Belitung -20,47% 18 Prov. Sulawesi Tengah 5,56% 2 Prov. Sumatera Barat -20,38% 19 Prov. Jawa Timur 5,68%

3 Prov. Lampung -18,65% 20 Prov. Bengkulu 8,20%

4 Prov. Nusa Tenggara Timur -15,74% 21 Prov. Sulawesi Utara 9,91% 5 Prov. Sulawesi Tenggara -15,48% 22 Prov. Maluku Utara 10,57%

6 Prov. Papua -9,13% 23 Prov. Kalimantan Timur 10,66%

7 Prov. Aceh -9,09% 24 Prov. Jawa Tengah 11,68%

8 Prov. Sumatera Utara -7,34% 25 Prov. Kalimantan Selatan 12,61% 9 Prov. Kepulauan Riau -5,62% 26 Prov. Sumatera Selatan 13,91% 10 Prov. Sulawesi Selatan -4,53% 27 Prov. Jambi 14,53% 11 Prov. Nusa Tenggara Barat -4,37% 28 Prov. Maluku 15,35%

12 Prov. Jawa Barat -3,54% 29 Prov. Bali 15,88%

13 Prov. Kalimantan Tengah -0,13% 30 Prov. Banten 21,00%

14 Prov. DI Yogyakarta 1,80% 31 Prov. Riau 22,78%

15 Prov. Papua Barat 1,93% 32 Prov. DKI Jakarta 28,99% 16 Prov. Gorontalo 3,29% 33 Prov. Sulawesi Barat 41,73% 17 Prov. Kalimantan Barat 5,37% 34 Prov. Kalimantan Utara n/a Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)

Di sisi Pembiayaan Daerah, bisa dilihat gambaran mengenai rata-rata pertumbuhan SiLPA Daerah agregat provinsi, kabupaten dan kota dalam kurun waktu 2010-2014. Rata-rata pertumbuhan SiLPA yang terendah terdapat di Provinsi Bangka Belitung yaitu (-20,47%), yang diikuti oleh Provinsi Sumatera Barat (-20,38%), dan Provinsi Lampung (-18,65%). Kecenderungan pertumbuhan SiLPA yang negatif setiap tahunnya bisa diartikan bahwa dalam proses perencanaan anggaran secara keseluruhan, Pemerintah Daerah di provinsi tersebut lebih mengedepankan prinsip

kehati-hatian dalam melakukan estimasi terhadap sumber pendanaan yang akan diterima pada saat anggaran tahun berjalan atau mengindikasikan daerah tersebut sudah semakin mengoptimalkan pos SiLPAnya dalam anggaran.

Sementara itu, daerah dengan rata-rata pertumbuhan SiLPA tertinggi adalah Provinsi Sulawesi Barat (41,73%), Provinsi DKI Jakarta (28,99%), dan Provinsi Riau (22,78%). Kecenderungan ini bisa diartikan bahwa pemerintah daerah di provinsi tersebut lebih optimis terhadap estimasi dana yang akan diterima pada tahun anggaran berjalan, namun tidak berani mengalokasikannya dalam jenis belanja untuk mendanai kegiatan layanan publik di dalam APBD-nya.

Di sisi lain, pinjaman daerah belum mempunyai peran yang cukup kuat dalam pembiayaan daerah. Hal ini disebabkan karena SiLPA di daerah relatif masih cukup tinggi, sehingga daerah cenderung akan menutup defisit dari SiLPA, yang notabene merupakan dana dari internal yang bersifat jangka pendek. Selain itu, masih kompleksnya pengajuan dan administrasi pinjaman daerah juga menjadi salah satu faktor belum berkembangnya pinjaman daerah dalam mendanai APBD.

21

Analisa Pendapatan Daerah

bAb II

Dalam dokumen KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii (Halaman 31-41)

Dokumen terkait