• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TERHADAP KEABSAHAN PERJANJIAN JUAL

A. Kecakapan Bertindak dan Kewenangan Hukum Sebaga

3. Tujuan Ditetapkannya syarat Kecakapan Bertindak dan

Menetapkan syarat kecakapan dan kewenangan bertindak menurut hukum sebagai syarat dalam keabsahan sebuah perjanjian, memiliki tujuan-tujuan yang berdimensi publik dan privat. Dalam arti terdapat maksud untuk memberikan perlindungan hukum terhadap subyek perjanjian maupun perlindungan kepentingan masyarakat secara umum ketika kecakapan dan kewenangan tersebut dinyatakan sebagaimana hukum mewajibkan.

Kecakapan bertindak menurut hukum ditetapkan sebagai syarat perjanjian disaat orang-orang tertentu tidak atau belum dapat menyatakan kehendaknya dengan sempurna, dalam pengertian orang-orang tersebut belum dapat menyadari sepenuhmya akibat hukum yang muncul dari pernyataan kehendak yang berlanjut kepada keterikatan dalam perjanjian.113

Syarat kecakapan bertindak menurut hukum diadakan demi untuk melindungi kepentingan si tidak cakap dari kemungkinan akan kerugian yang timbul dari

113

tindakan mereka sendiri,114 suatu perlindungan yang berdimensi privat yang dapat diberikan oleh undang-undang kepada person-person tertentu.

Terkhusus mengenai tujuan penetapan syarat kewenangan hukum di dalam Perjanjian tersebut di atas pada prinsipnya terwakili dari tujuan pembentukan beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang prosedur permohonan ijin usaha niaga umum, yang apabila secara hirarki perundang-undangan ditarik lebih ke atas maka terdapat tujuan yang lebih besar dan strategis yang ingin dicapai, sebagaimana dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945.

Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan gas Bumi, memiliki tujuan untuk mengendalikan pemanfaatan minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam dan sumber daya pembangunan yang bersifat strategis dan vital,115 dengan menjamin penyediaan cadangan strategis minyak bumi bagi kesinambungan penyediaan bahan bakar minyak dalam negeri,116 beserta kelancaran pendistribusiannya di seluruh wilayah negara kesatuan republik Indonesia, dengan memposisikan bahan bakar minyak tersebut sebagai komoditas vital yang menguasai hajad hidup orang banyak.117

114

Ibid, hlm. 291

115 Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas

Bumi.

116 Pasal 8 ayat 1, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2004 tentang

Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.

117 Pasal 8 ayat 2, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2004 tentang

Selain tentang pemanfaatan dan distribusi bahan bakar minyak, undang undang tentang Migas tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional, serta mengembangkan dan memperkuat industri dan perdagangan Indonesia,118yang pada kelanjutannya mampu memberikan andil bagi terciptanya lapangan kerja, perbaikan lingkungan, dan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.119

Sejalan dengan tujuan tersebut di atas, Undang Undang Nomor 11 tahun 1965 tentang Pergudangan juga memiliki tujuan yang berbasis pada perlindungan kepentingan umum, sebagaimana yang tersirat pada ketentuan di dalamnya yang melarang menyimpan barang-barang penting dalam gudang lebih lama dari pada jangka waktu yang ditetapkan oleh menteri perdagangan demi kelancaran arus distribusi barang-barang. Sebagaimana diketahui, salah satu modus untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat dalam perdagangan adalah menimbun sejumlah barang tertentu ketika barang-barang tersebut diperkirakan akan mengalami kenaikan harga, atau sebagai salah satu cara untuk mempermainkan harga bagi kepentingan segelintir pelaku usaha dan para spekulan.

Melalui ketentuan dan pembatasan tersebut di atas, maka akan memberikan dampak yang positif terhadap proteksi kepentingan umum masyarakat akan tata niaga yang adil dan wajar, seperti yang menjadi pertimbangan dari diberlakukannya Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 14 Tahun 2001 tentang Penataan dan

118 Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas

Bumi.

Pembinaan Pergudangan Kota Batam, bahwa dalam rangka tertib niaga dan kelancaran distribusi barang dan untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen, maka perlu penataan dan pembinaan pergudangan.

Demikian pula yang menjadi tujuan dari ketentuan tentang izin lingkungan bagi pelaku usaha niaga umum, semuanya berpangkal dari keyakinan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak azasi setiap warga negara, sehingga dengan demikian sangat memiliki dasar yang kuat jika kemudian undang- undang memberikan perlindungan terhadap kemungkinan degradasi kualitas lingkungan hidup yang mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.120

Pada intinya semua tujuan dari peraturan perundang-undangan tersebut saling mengisi dan berkorelasi, dan merupakan upaya untuk memberikan perlindungan terhadap apa yang disebut sebagai “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”,121dan terhadap semua kewenangan hukum yang diberikan oleh undang-undang kepada PT. Prayasa Indomitra Sarana adalah sebagaian upaya untuk melindungi kepentingan umum yang dalam hal ini adalah kepentingan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ketika ijin usaha niaga umum diterbitkan, maka dengan serta merta perlindungan terhadap kepentingan umum mendapatkan jaminan hukum yang

120Konsiderans Menimbang Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009. 121Pasal 33, Undang Undang Dasar 1945.

setimpal, karena pada saat yang sama hukum mewajibkan kepada badan usaha pemegang ijin usaha niaga umum untuk menjalankan beberapa kewajiban yang lahir sebagai perwujudan dari tujuan pembentukan undang-undang, yang di antaranya adalah :122

a) Kewajiban untuk menjamin ketersediaan bahan bakar minyak secara berkesinambungan pada jaringan distribusi niaganya, dan menjamin harga jual bahan bakar minyak pada tingkat yang wajar.

b) Kewajiban untuk menjalankan penugasan / penunjukkan dari Menteri untuk menyediakan cadangan bahan bakar minyak nasional dan pemenuhan kebutuhan bahan bakar minyak di dalam negeri.

c) Kewajiban untuk menjamin penyediaan fasilitas dan sarana kegiatan usaha niaga bahan bakar minyak yang memadai dan bertanggung jawab atas penggunaan peralatan, keakuratan dan sistem alat ukur yang digunakan yang memenuhi standard sesuai ketentuan peraturan perundang undangan.

d) Kewajiban untuk menjamin dan bertanggung jawab sampai ke tingkat penyalur atas standard mutu bahan bakar minyak sesuai dengan yang ditetapkan oleh menteri, dan mempunyai serta menggunakan merek dagang tertentu yang telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang. e) Kewajiban untuk menunjuk penyalur bahan bakar minyak dengan

mengutamakan koperasi, usaha kecil dan / atau badan usaha swasta nasional, serta menjalankan kegiatan penyaluran bahan bakar minyak secara langsung 122

maksimal 20 % dari kapasitas perniagaan, dan sisanya harus disalurkan melalui para agen penyalur.

f) Kewajiban untuk menjamin keselamatan dan kesehatan kerja dan pengelolaan lingkungan hidup serta pengembangan masyarakat setempat. g) Kewajiban sebagai bentuk realisasi fungsi pengaturan dan pengawasan

pemerintah dengan menjalankan beberapa kewajiban sebagai berikut :

1) Menyampaikan laporan kepada menteri melalui Dirjen Migas mengenai pelaksanaan aktivitas usaha untuk sedikitnya setiap 3 (tiga) bulan sekali. 2) Melaporkan kepada menteri melalui Dirjen Migas mengenai perubahan

fasilitas dan sarana kegiatan usaha yang mengakibatkan penambahan sampai 30 % (tiga puluh prosen) kapasitas awal.

3) Mengajukan permohonan penyesuaian izin usaha niaga untuk penambahan kapasitas lebih dari 30 % (tiga puluh prosen) dari kapasitas awal.

Sehingga dengan demikian, sebagai perjanjian yang lahir dari kewenangan khusus untuk memperjual belikan suatu komoditi yang strategis dan mempunyai andil yang sangat besar terhadap hajad hidup orang banyak, maka perjanjian jual beli tersebut belum cukup hanya ditimbang dari sudut pandang hak-hak dan kewajiban yang bersifat privat. Pada prinsipnya di dalamnya juga menyangkut hak-hak publik dan kewajiban untuk mewujudkan hak-hak publik tersebut. Perwujudan dari hak-hak publik itulah yang sebenarnya menjadi salah satu manfaat dan mashlahat dari perjanjian jual beli bahan bakar minyak secara tidak langsung. Hal tersebut menjadi

sebuah sintesa yang kuat ketika mencermati dari proses lahirnya perjanjian maupun pada akibat hukum terhadap pelanggaran kewajiban-kewajiban untuk mewujudkan hak publik tersebut.

Perjanjian tersebut di atas secara proses dilahirkan dari legalisasi kewenangan hukum para pihak, kewenangan mana kemudian menghalalkan barang yang menjadi obyek perjanjian sebagai “hal tertentu” dalam perjanjian dan sekaligus memberikan muatan hukum berupa “kausa yang halal” pada perjanjian yang disepakati tersebut. Apabila kewajiban-kewajiban untuk mewujudkan hak-hak publik tersebut tidak terpenuhi maka dengan serta merta tak akan ada kewenangan hukum yang membawa akibat tak akan pernah ada perjanjian tentang jual beli bahan bakar minyak.

Hal yang kurang lebih sama akan terjadi jika pihak yang membuat perjanjian tersebut melakukan pelanggaran terhadap kewajiban untuk mewujudkan hak-hak publik. Pelanggaran-pelanggaran tersebut akan membawa akibat hukum berupa pencabutan izin usaha, yang pada kelanjutannya akan membawa akibat batalnya perjanjian demi hukum oleh karena hilangnya kausa yang halal dalam perjanjian.

Pada akhirnya dapat dilihat suatu keterkaitan yang konkrit antara ketentuan dan prosedur birokratis dengan hak dan kewajiban subyek perjanjian yang bersifat privat, dan terhadap pandangan yang disampaikan oleh Herlien Budiono yang menyatakan :123

tujuan dari pernyataan ketidakcakapan ialah perlindungan dari pihak yang tidak cakap, pernyataan yang tidak wenang terutama ditujukan terhadap orang yang tidak wenang dan tujuan darinya ialah perlindungan pihak lainnya atau kepentingan umum;

123

Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia : Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia,Op. Cit. hlm. 113.

Maka dapat dimaknai dengan korelatif terhadap paparan tersebut di atas. 4. Pencabutan Izin Usaha Niaga Umum Bahan Bakar Minyak.

Pencabutan izin usaha dapat dilakukan terhadap badan usaha dengan izin usaha niaga umum tetap yang melakukan beberapa pelanggaran, yakni tidak dipenuhinya persyaratan yang telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku, maupun tidak ditaatinya petunjuk tekhnis dari Dirjen Migas atau intansi yang berwenang sesuai peraturan perundang undangan.124

Tindakan pencabutan izin usaha pada prinsipnya akan dilakukan ketika badan usaha yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban di dalam undang-undang terkait, dan untuk sampai kepada sanksi pencabutan izin usaha, sebelumnya Menteri akan memberikan kesempatan kepada badan usaha yang bersangkutan untuk memperbaiki kinerja dan kepatuhannya terhadap kewajiban yang seharusnya dipenuhi sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.125

Kesempatan yang diberikan tersebut dalam bentuk toleransi terhadap pelanggaran, dengan memberikan sanksi administratif secara bertahap kepada badan usaha yang melanggar, yakni tindakan teguran tertulis, penangguhan kegiatan usaha dan berikutnya adalah pembekuan kegiatan usaha, yang terhadap tiap-tiap tahapan tersebut badan usaha yang bersangkutan akan diberikan kesempatan untuk mematuhi kewajiban yang dilanggar.126

124

Pasal 43 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006.

125

Pasal 44 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006

126 Ibid

Pencabutan izin usaha niaga umum akan dilakukan oleh menteri jika dalam tempo enam puluh hari setelah tindakan pembekuan usaha, badan usaha yang bersangkutan tetap tidak berupaya meniadakan pelanggaran dan memenuhi persyaratan dan kewajiban yang ditetapkan oleh perundang-undangan yang berlaku.127Pencabutan tersebut adalah permanent, artinya badan usaha yang dicabut izin usahanya untuk selamanya tidak akan pernah bisa mendapatkan izin usaha niaga umum, meskipun kembali diajukan proses permohonan izin dari awal,128 dan terhadap segala kerugian yang timbul oleh tindakan-tindakan administratif tersebut hingga pencabutan izin usaha adalah menjadi beban dan tanggung jawab badan usaha yang bersangkutan.129

B. Kesepakatan Dalam Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak.

Sebagai perusahaan niaga umum yang mempunyai visi mengembangkan kegiatan bisnis untuk memberikan dan meningkatkan profit usaha, yakni dengan menjalankan misi untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak pada dunia industri,130maka dalam menjalankan usahanya tersebut PT. Prayasa Indomitra Sarana menerapkan strategi marketing yang ekspansif, salah satunya adalah dengan menjaring pelanggan baru, baik yang dilakukan secara head to head positioning maupun dengan cara differentiated positioning, sehingga dengan demikian dalam

127 Ibid 128

Hasil wawancara dengan Darmawan, Mantan Kepala Departemen Hukum dan Perijinan PT. Putra Kelana Makmur (Perusahaan induk PT. Prayasa Indomitra Sarana), tanggal 5 – 6 Juni 2012.

129

Pasal 46 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006

130

pelaksanaannya secara aktif dilakukan kegiatan pemasaran produk kepada beberapa perusahaan, dan salah satunya adalah PT. Buma Niaga Perkasa.131

Setelah melalui beberapa kali pembicaraan melalui sarana telepon, pada kelanjutannya PT. Buma Niaga Perkasa menunjukkan minat atas produk yang ditawarkan tersebut, dan terhadap hal tersebut kemudian kedua belah pihak menindaklanjutinya dengan mengagendakan pertemuan yang akan dilaksanakan di Kantor Pusat Putra Kelana Makmur Group pada tanggal 18 Juli 2011.

Pada tanggal tersebut di atas kedua belah pihak kemudian saling bertemu untuk membicarakan beberapa hal pokok tentang rencana jual beli bahan bakar minyak dengan jenis High Speed Diesel, dengan mana hadir mewakili pihak penjual antara lain, Imaldi selaku Direktur Utama PT. Prayasa Indomitra Sarana, Terek Adenan selaku Direktur Operasional PT. Putra Kelana Makmur Group dan Zikri Kudsi selaku Direktur Business and Development PT. Putra Kelana Makmur Group,132 sedangkan yang hadir mewakili pihak pembeli adalah, Gandhi Irawan selaku Direktur Utama PT. Buma Niaga Perkasa, Arief selakuGeneral Manager PT. Buma Niaga Perkasa, dan Agus selakuFinance Consultant.133

131

Hasil wawancara dengan Imaldi, Direktur Utama PT. Prayasa Indomitra Sarana, pada tanggal 15 – 16 Juni 2012.

132

PT. Putra Kelana Makmur Group adalah perusahaan group yang secara kolektif memiliki bisnis di bidang oil bunkering, shipping agency, marine transportation, logistic service provider, pengoperasian SPBU dan SPBE hingga niaga umum bahan bakar minyak, yang dalam pelaksanaannya berbagai macam bisnis tersebut secara khusus dijalankan oleh beberapa anak perusahaan yang di antaranya adalah PT. Cahaya Perdana Transsalam, PT. Cahaya Nanga Galang Mustika, PT. Putra Kelana Selaras Permai dan seterusnya, yang terhadap perusahaan-perusahaan tersebut PT. Putra Kelana Makmur adalah sebagai mayoritas pemegang saham perseroan, termasuk terhadap PT. Prayasa Indomitra Sarana yang secara khusus menjalankan bisnis perniagaan umum bahan bakar minyak.

133

Hasil wawancara dengan Imaldi, Direktur Utama PT. Prayasa Indomitra Sarana, pada tanggal 15 – 16 Juni 2012.

Pada hari yang sama kedua belah pihak kemudian melakukan on site inspection di lokasi pelabuhan khusus yang dikelola oleh PT. Prayasa Indomitra Sarana, dimana terletakMini Tanker,Fixed Storage, Floating Storagemaupun segala perlengkapan pendukung tehnis operasional lainnya.134

Pada akhirnya setelah tercapainya kesepakatan mengenai hak ikhwal jual beli barang tersebut di atas, antara PT. Prayasa Indomitra Sarana dengan PT. Buma Niaga Perkasa kemudian saling bersepakat untuk membuat Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Nomor : 01-01/SP-DIR/PRAYASA-BNP/VIII/2011, yang baru selesai dibuat dan ditanda tangani pada tanggal 28 Juli 2011.

1. Lahirnya Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Oleh Kesepakatan Para Pihak.

Berdasarkan paparan tersebut di atas pada prinsipnya telah tercapai suatu kesepakatan mengenai perjanjian, baik dari sudut pandang kronologi lahirnya kesepakatan tersebut maupun dari sudut pandang kesepakatan tertulis yang dibuat oleh kedua belah pihak.

Jika kita bersandar pada beberapa teori yang dianut dan norma yang berlaku, penentuan saat lahirnya perjanjian dapat ditelisik dari detail-detail tertentu di dalam proses terwujudnya kesepakatan untuk membuat suatu perjanjian. Penentuan saat lahirnya perjanjian sangatlah penting untuk kepentingan penentuan resiko,

134

Hasil wawancara dengan Imaldi, Direktur Utama PT. Prayasa Indomitra Sarana, pada tanggal 15 – 16 Juni 2012.

kesempatan penarikan kembali penawaran, untuk menentukan saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa dan menentukan tempat terjadinya perjanjian,135

Terjadinya kesepakatan lahir dari suatu proses saling bertautnya pernyataan kehendak para pihak sebagaimana disampaikan satu pihak pada pihak lainnya secara bertimbal balik, dan ketika para pihak tersebut saling bersepakat maka kemudian perjanjian terbentuk.136 Namun demikian yang menjadi persoalan berikutnya adalah kapan bisa dinyatakan bahwa masing-masing pernyataan kehendak tersebut saling bertemu dalam persesuaian kehendak (wilsovereenstemming), dan untuk bisa menjawabnya adalah dengan menilisik bagaimana kronologi proses bertemunya pernyataan kehendak tersebut hingga melahirkan sebuah kesepakatan dengan bersandarkan pada Teori Penerimaan.137

Di dalam Teori Penerimaan diyakini bahwatoestemingterjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan,138 jika diilustrasikan dengan urutan yang lengkap dari awal hingga akhir, maka lahirnya perjanjian bukan pada saat pihak yang lain menyatakan akseptasinya, dan bukan pula saat pihak yang lain tersebut mengirimkan akseptasinya, namun adalah pada saat

135

J. Satrio, Hukum Perjanjian,Op Cit.hlm. 180

136

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 93.

137

Teori Penerimaan pada prinsipnya adalah pengembangan dari teori-teori sebelumnya yang memang memiliki beberapa kelemahan terkhusus ketika penerapannya dibenturkan dengan perkembangan tehnologi informasi saat ini. Teori-teori sepertiuitingstheoriedanverzendtheoriepada perkembangannya dikesampingkan, dengan pertimbangan kedua teori tersebut tidak memenuhi asas kepatutan dan kepantasan, dan sebaliknya ontvangsttheorie adalah teori yang dianggap paling memenuhi asas kepatutan dan kepantasan sekalipun tetap memiliki kelemahan.Ibid, hlm. 95-96

138

Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, (Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, 2010). hlm. 31.

pernyataan akseptasi tersebut diterima oleh pihak yang memberikan penawaran,139 sehingga dapat dikatakan akan cukup mudah untuk menganalisa kapan sebenarnya sebuah perjanjian lahir jika proses yang mengawalinya terdokumentasi melalui aktivitas korespondensi.

Akan tetapi persoalannya adalah, proses yang mengawali terjadinya wilsovereenstemmingtersebut dilakukan melalui komunikasi secara lisan dan melalui beberapa pertemuan termasuk on site inspection yang tidak tercatat di dalam notulen, atau dengan kata lain tak ada dokumentasi yang tangible, pernyataan kehendak berupa penawaran maupun akseptasi yang terkonstruksi bersifat intangible. Hal ini menimbulkan sebuah keraguan apakah cara-cara mengekspresikan pernyataan kehendak tanpa melalui proses korespondensi yang terdokumentasi dapat dipergunakan untuk menilai apakah telah lahir sebuah perjanjian.

Jika merujuk kepada asas konsensualisme di dalam hukum perjanjian, maka pada dasarnya timbulnya suatu perjanjian tak pernah disyaratkan tentang formalitas tertentu, sebagaimana dipahami tentang asas konsensualisme yang mengandung makna, bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.140

Pemahaman asas konsensualisme pada kelanjutannya mendapatkan penegasan ketika mencermati pandangan yang disampaikan oleh Subekti sebagaimana berikut :141

139

J. Satrio, Hukum Perjanjian,Op Cit.hlm. 181-183.

140

Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Op. Cit. hlm. 157.

Artinya asas konsensualitas ialah bahwa pada asasnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya sepakat. Dengan perkataan lain perjanjian itu sudah sah apabila tercapai sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak diperlukan sesuatu formalitas.

Pemahaman yang demikian tersebut menggarisbawahi tentang dinafikannya suatu formalitas, dalam pengertian perjanjian telah dapat dianggap tuntas karena persesuaian kehendak atau konsensus semata-mata, jadi dalam hal ini yang ditekankan adalah adanyameeting of mindsebagai inti dari hukum perjanjian.142

Maka dengan demikian, pernyataan kehendak yang mengawali proses terbangunnya meeting of mindsecara bertimbal balik, pada prinsipnya tidak digantungkan pada bentuk tertentu, pernyataan suatu penawaran dan pernyataan penerimaannya dapat disampaikan melalui ragam sarana, sebagaimana yang biasa digunakan dan dimengerti dalam lalu lintas pergaulan masyarakat.143

Cukuplah persesuaian kehendak tersebut telah ada tanpa mempersoalkan bagaimana cara penyampaiannya, sama halnya ketika PT. Prayasa Indomitra Sarana menyampaikan penawarannya dengan menggunakan sarana telepon dan PT. Buma Niaga Perkasa menyampaikan akseptasinya secara lisan di dalam suatu pertemuan dengan pihak yang memberikan penawaran, telah dapat dinyatakan setimbang dengan penawaran dan akseptasi yang disampaikan dengan mempergunakan korespondensi tertulis.

142Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hlm. 121-122

143 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia : Hukum

Kembali kepada pembahasan tentang tahapan proses terwujudnya perjanjian atas dasar pandangan Teori Penerimaan, maka dapat diyakini kesepakatan telah terwujud ketika PT. Prayasa Indomitra Sarana menerima pernyataan akseptasi dari PT. Buma Niaga Perkasa, terlebih lagi pernyataan akseptasi dan penyampaian akseptasi oleh PT. Buma Niaga Perkasa, maupun diterimanya pernyataan akseptasi tersebut oleh PT. Prayasa Indomitra Sarana terjadi dalam satu kerangka momentum yang sama. Sehingga dengan demikian tanpa suatu keraguan dapat disimpulkan bahwa lahirnya perjanjian adalah pada saat kesepakatan antara kedua belah pihak telah tercapai tentang hal ikhwal yang diperjanjikan yakni pada tanggal 18 Juli 2011. 2. Tanggal Mulai Berlakunya Perjanjian Sebagai Momentum Lahirnya

Perjanjian.

Keyakinan tentang lahirnya perjanjian tersebut di atas berlainan dengan apa yang tertulis di dalam perjanjian jual beli, terdapat selisih waktu selama sepuluh hari antara tanggal terjadinya kesepakatan dengan tanggal mulai berlakunya perjanjian menurut perjanjian tertulis tersebut.

Merujuk pada apa yang dicantumkan di dalam Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak tersebut di atas, yakni di dalam Pasal 2 ayat 1 Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Nomor : 01-01/SP-DIR/PRAYASA-BNP/VIII/2011 dinyatakan bahwa : “Perjanjian ini berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal ditandatanganinya perjanjian ini sampai dengan tanggal 28 February 2012 dan dalam jangka waktu tersebut dapat dilakukan peninjauan kembali”, dan