• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan dan Hipotesis Penelitian

Tujuan umum dari studi ini adalah menjawab pertanyaan apakah investasi air minum di DKI Jakarta sudah bersifat pro-poor yang ditunjukkan oleh terjadinya pertumbuhan yang mengurangi kesenjangan.

Tujuan khusus dari studi adalah (i) mengembangkan model komputasi keseimbangan umum air minum, (ii) menganalisis dampak investasi air minum perpipaan terhadap pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan, (iii) menganalisis dampak penyediaan air minum nonperpipaan terhadap pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan, (iv) menganalisis dampak penyediaan subsidi air minum bagi rumah tangga berpendapatan rendah, dan (v) memberikan rekomendasi kebijakan pembangunan air minum di DKI Jakarta.

Secara teoritis, terdapat empat faktor pertumbuhan, yaitu sumber daya manusia, sumber daya alam, pembentukan modal, dan teknologi (Nordhaus, 2004). Oleh karena itu, investasi infrastruktur, termasuk air minum yang berupa penambahan modal, merupakan salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi.

Secara empiris, terdapat banyak studi yang membuktikan kebenaran pengaruh positif investasi infrastruktur, termasuk air minum, terhadap pertumbuhan ekonomi. (i) Barro (1995) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi jangka panjang tergantung pada langkah pemerintah dalam penyediaan infrastruktur. (ii) studi Bank Dunia pada 63 negara berkembang menunjukkan bahwa penambahan satu persen stok infrastruktur berkorelasi dengan pertumbuhan satu persen PDB. (iii) Canning (1999), dan Demetriades dan Mamuneas (2000) melaporkan kontribusi output yang signifikan dari infrastruktur. (iv) Stephen Yeaple dan Stephen S. Golub (2002) menyimpulkan bahwa

penambahan kapasitas pelayanan infrastruktur sebesar satu persen akan meningkatkan nilai produktivitas faktor total (TFP) sebesar 0,12. (v) Estache dkk (2002) menunjukkan bahwa penambahan stok infrastruktur sebesar 10 persen menghasilkan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1,5 persen. (vi) Kajian Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM (2003) menunjukkan bahwa investasi infrastruktur meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pemerataan. (vii) Kajian Bappenas (2004) menunjukkan bahwa penambahan kapasitas pelayanan infrastruktur memberikan dampak positif pada perekonomian nasional.

Sementara kajian WHO (2004) melalui the Swiss Tropical Institute menyimpulkan bahwa investasi air minum dan sanitasi sebesar USD.1 akan memberikan pengembalian sebesar antara USD.3 sampai USD.34, bergantung pada lokasinya. Selain itu, beberapa analisis terbaru menunjukkan bahwa pengelolaan air berada pada peringkat kedua terbesar dalam investasi infrastruktur bagi kebangkitan ekonomi (Tan, 2000).

Debat kaitan antara pertumbuhan pendapatan per kapita dan kesenjangan diprakarsai oleh Kutznets (1955) yang menemukan bahwa terdapat hubungan U terbalik antara pendapatan dan kesenjangan berdasar penelitian antarnegara. Pertumbuhan terjadi dahulu, kesenjangan melebar, lalu kemudian kesenjangan menurun (Anand dan Kanbur, 1993).

Di pihak lain, literatur empiris terkini, seperti oleh Deininger dan Squire (1996), Chen dan Ravallion (1997), Easterly (1999), dan Dollar dan Kraay (2002), seluruhnya menyatakan bahwa pertumbuhan tidak mempunyai dampak pada kesenjangan (World Bank Poverty Net).

Pada kenyataannya, perbedaan pendapat tentang kaitan pertumbuhan dan kesenjangan lebih terlihat pada literatur teoritis, sementara literatur empiris secara seragam menyatakan bahwa pertumbuhan tidak mempunyai dampak sistematik pada kesenjangan.

Perdebatan ini juga kemudian makin kontroversial ketika penyediaan air minum diserahkan pada swasta. Meskipun pengamatan secara internasional menunjukkan secara umum dampak privatisasi menguntungkan (Kikeri dan Nellis,

2001; Megginson dan Netter, 2001; Shirley dan Walsh, 2001), dampaknya di negara berkembang tetap kontroversial (Parker, 2003).

Debat tentang peran swasta dalam penyediaan air minum telah berlangsung lama, sebagian mendukung dan selebihnya menentang. Pihak pendukung menyatakan privatisasi meningkatkan efisiensi (misalnya tingkat kebocoran air menurun dan tagihan macet berkurang), dan mendorong bertambahnya investasi. Pihak penentang menyatakan bahwa swasta hanya mementingkan keuntungan dengan mengabaikan kesejahteraan dan meningkatkan tarif tanpa mempedulikan kualitas layanan.

Jika dikaitkan dengan pembangunan air minum di DKI Jakarta yang sejak tahun 1997 dilaksanakan oleh swasta melalui skema konsesi, hasilnya telah cukup memadai, seperti menurunnya tingkat kebocoran dan meningkatnya investasi yang tentunya mendorong pertumbuhan ekonomi. Di pihak lain, masih banyak penduduk miskin yang belum terlayani. Hal ini ditengarai oleh tidak tersedianya insentif yang memadai bagi perusahaan ketika penyediaan air minum diarahkan pada penduduk miskin. Bahkan, dalam tujuan kerja sama pemerintah dan swasta tersebut tidak secara eksplisit dicantumkan keberpihakan pada penduduk miskin.

Kondisi ini kemudian mendasari hipotesis pertama dari studi ini yang menyatakan bahwa peningkatan investasi air minum perpipaan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi sebaliknya akan memperburuk distribusi pendapatan.

Ketidaktersediaan akses air minum yang memadai bagi penduduk khususnya penduduk miskin, mendorong penduduk mencari alternatif sumber air minum. Salah satu sumber air minum yang menjadi pilihan bagi penduduk adalah penyedia air minum skala kecil (small scale water provider). Kebutuhan air minum perpipaan yang baru menjangkau sekitar 52,4 persen penduduk menjadikan investasi penyedia air minum skala kecil ini relatif siginifikan walaupun dalam bentuk investasi yang kecil dan tersebar dalam jumlah yang cukup banyak. Kondisi itu menjadikan investasi air minum nonperpipaan mendorong pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, karena harga air minum nonperpipaan relatif besar, bahkan mencapai sekitar 10 sampai 20 kali harga air minum perpipaan, secara umum porsi pengeluaran penduduk menjadi signifikan. Pendapatan yang dapat ditabung untuk keperluan lain menjadi jauh berkurang

sehingga kesejahteraan penduduk menjadi relatif berkurang. Tentunya pengurangan kesejahteraan itu menjadi suatu pilihan yang relatif lebih baik ketika pilihan lainnya, seperti sumur, dan air sungai, berpotensi menyebabkan meningkatnya biaya kesehatan akibat serangan penyakit yang diakibatkan oleh air (water-borne disease) yang jauh lebih besar dampaknya.

Dalam memperhatikan kondisi itu, hipotesis kedua dari studi ini menjadi peningkatan penyediaan air minum nonperpipaan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperburuk distribusi pendapatan

Sebagaimana diketahui bahwa dari sisi pengeluaran, penanggulangan kemiskinan dan redistribusi pendapatan oleh pemerintah dapat dilaksanakan secara langsung melalui tiga instrumen, yaitu (i) subsidi langsung atau individual yang ditargetkan pada rumah tangga miskin, (ii) subsidi harga yang berupa pemberian subsidi harga pada kebutuhan dasar, dan (iii) pengeluaran pemerintah pada infrastruktur dan layanan publik khususnya kesehatan dan pendidikan, yang menguntungkan masyarakat miskin (Damuri, 2003).

Ketika ketiadaan akses air minum menjadi salah satu penyebab semakin besarnya kemiskinan perkotaan, pemerintah dapat melakukan terobosan dengan memberikan subsidi penyediaan air minum kepada penduduk miskin yang belum memperoleh akses yang layak.

Secara teoritis, terlepas dari besarnya kemungkinan kebocoran di lapangan, pemberian subsidi dalam jangka pendek akan sangat membantu dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin. Pengaruh subsidi air minum terhadap pertumbuhan ekonomi tidak akan sebesar pengaruh investasi air minum, tetapi dampaknya terhadap kesejahteraan akan signifikan. Hal ini akan memunculkan hipotesis ketiga yaitu subsidi pemerintah akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki distribusi pendapatan.

Dokumen terkait