• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. KATEKESE KELUARGA MEMBANTU KELUARGA-

A. Katekese

2. Tujuan Katekese Keluarga

Lalu (2005:5) dalam buku Katekese Umat menyebutkan bahwa tujuan katekese sebagai berikut:

a) Supaya dalam terang Injil kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman kita sehari-hari.

b) Dan kita bertobat (Metanoia) kepada Allah dan semakin menyadari kehadiran-Nya dalam kenyataan hidup sehari-hari.

c) Dengan demikian kita semakin sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih, dan makin dikukuhkan hidup Kristiani kita. d) Pula kita makin bersatu dalam Kristus, makin menjemaat, makin tegas

mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengkokohkan Gereja semesta.

e) Sehingga kita sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita di tengah masyarakat.

Kutipan Lalu di atas menunjukkan kepada kita begitu pentingnya tujuan katekese dalam hidup kita. Dan kita tidak hanya sekedar mengikuti proses katekese yang ada tetapi kita diajak untuk meresapi segala pengalaman hidup sehari-hari baik itu suka maupun duka. Melalui pengalaman hidup sehari-hari kita diajak untuk bertobat kepada Allah dan menyadari kehadiran Allah di dalam kehidupan sehari-hari sehingga iman kita semakin mantap, sempurna, mengamalkan cinta kasih dan makin dikukuhkan dalam hidup Kristiani.

Tujuan katekese ini tidak hanya membantu umat untuk menyadari pengalaman hidupnya dan bertobat melainkan juga membantu umat untuk berperan aktif dalam tugas menggereja. Dengan demikian umat akan semakin bersatu dengan Kristus, menjemaat dan mewujudkan tugas Gereja setempat sehingga mampu memberikan kesaksian tentang Kristus di tengah-tengah masyarakat.

Katekese bertujuan menolong umat untuk menanggapi sesuatu yang paling penting di dalam hidupnya, misalnya menjawab sapaan cinta Allah dan melibatkan diri di dalam kelanjutannya (Setyakarjana,1997:11).

Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae menguraikan tujuan khas katekese yakni:

Berkat bantuan Allah mengembangkan iman yang baru tumbuh dan dari hari ke hari memekarkan menuju kepenuhannya serta makin memantapkan perihidup Kristen umat beriman, muda maupun tua (CT,art 20).

Berdasarkan tujuan katekese di atas penulis dapat menjelaskan bahwa begitu pentingnya iman mereka yang baru tumbuh diteguhkan setiap hari. Dengan demikian mereka memperoleh kepenuhan dalam beriman dan semakin mantap menjadi Kristen.

Heryatno (2008:3) dalam diktat Pendidikan Agama Katolik III menyebutkan tujuan katekese sebagai berikut:

Tujuan katekese merupakan gerakan mengkomunikasikan harta kekayaan iman Gereja supaya dapat membentuk dan membantu jemaat memperkembangkan imannya pada Yesus Kristus baik secara personal maupun komunal demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah kenyataan dunia.

Berdasarkan kutipan di atas dapat penulis maknai bahwa umat rindu akan sabda Allah, mereka membutuhkan harta kekayaan iman Kristen untuk memaknai segala pengalaman hidup mereka baik itu pengalaman yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Mereka tidak hanya membutuhkan informasi atau isi saja melainkan ilham untuk memaknai pengalaman hidup mereka sehari-hari. Dalam katekese yang paling penting adalah adanya komunikasi. Komunikasi akan harta

kekayaan iman Kristiani merupakan pegangan mereka untuk berrefleksi dan berdialog dengan peserta lain. Dengan demikian antara peserta saling meneguhkan dan menguatkan satu sama lain.

3. Ciri-ciri Katekese

Ciri khas katekese, sebagai momen yang terbedakan dari pemakluman awal Injil yang mengantar kepada pertobatan, mempunyai sasaran rangkap, yakni mematangkan iman awal dan membina murid Kristus yang sejati melalui pengertian yang lebih mendalam dan lebih sistematis tentang pribadi maupun amanat Tuhan kita Yesus Kristus (CT art. 19).

Dalam Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae menegaskan ciri-ciri katekese sebagai berikut:

1. Katekese harus bersifat sistematis bukan hasil improvisasi melainkan sungguh berencana untuk mencapai tujuan tertentu.

2. Katekese harus mengkaji hal-hal pokok tanpa berpretensi mau menangani segala soal yang diperdebatkan atau mau berubah menjadi penelitian teologis atau eksegese ilmiah.

3. Tetapi katekese harus cukup lengkap juga, tidak membatasi diri pada pewartaan awal misteri Kristen seperti dalam “kerygma”.

4. Katekese harus merupakan inisiasi Kristen integral, terbuka bagi semua faktor hidup Kristen lainnya (CT art. 21).

Dari kutipan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa katekese harus terarah sehingga apa yang akan dilaksanakan tercapai sesuai dengan tujuan. Katekese bukan mengarah pada hal yang teologis tetapi katekese lebih mengarahkan pada penghayatan iman umat. Selain itu juga katekese tidak hanya membatasi pada

pewartaan awal misteri Kristen saja melainkan katekese juga harus mengangkat pengalaman hidup umat baik suka maupun duka. Katekese terbuka bagi semua pengikut Kristus untuk mensharingkan pengalaman hidupnya sehingga iman umat semakin dikuatkan, diteguhkan dan semakin menjadi pengikut Kristus yang dewasa dan sejati.

4. Isi Katekese

Katekese adalah suatu kegiatan pewartaan Kabar Gembira demi penghayatan iman yang membutuhkan isi yang memadai yakni bahan warta gembira dari Allah yang terdapat dalam pengalaman hidup nyata dalam Injil dan dalam ajaran Gereja yang terprogram secara menyeluruh (Papo, 1987:53).

Isi katekese adalah seluruh pengalaman hidup manusia. Melalui pengalaman hidup yang nyata itulah manusia didatangi oleh Allah. Allah sendiri yang mewahyukan diriNya kepada manusia melalui pengalaman-pengalaman hidupnya, kejadian-kejadian bersejarah dan seluruh kenyataan duniawi. Jadi isi dari katekese meliputi pengalaman hidup manusia, seluruh Sejarah Keselamatan baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru yang tokoh sentralnya ialah Yesus Kristus dengan warta keselamatanNya yang mengembirakan (Papo,1987:63).

Isi katekese tidak hanya menyampaikan ajarannya sendiri melainkan ajaran Yesus Kristus, Kebenaran yang diajarkan-Nya atau lebih cermat lagi Kebenaran yang tak lain ialah Dia sendiri. Katekese berisi Kabar Gembira yaitu Sabda yang menjelma

dan Putera Allah yang diajarkan segala sesuatu yang diajarkan dengan mengacu kepada-Nya (FC art.16).

Heryatno (2006:8) menegaskan kembali bahwa isi katekese adalah kabar gembira Yesus Kristus yang mewartakan dan mewujudkan keselamatan manusia. Sebagai pendidikan iman, katekese perlu diselenggarakan dengan cara yang sistematis, organis dan didukung dengan studi dan refleksi yang mendalam tentang pribadi Yesus Kristus.

5. Kekhasan Katekese

Katekese sebagai pelayanan sabda tentunya memiliki kekhasan tersendiri. Kekhasan katekese adalah komunikasi iman atau tukar menukar pengalaman hidup berdasarkan pengalaman mereka baik pribadi, keluarga, dalam pekerjaan, hidup bersama dalam masyarakat.

Dalam proses katekese masing-masing peserta merefleksikan, mendalami, mengalami kembali kehidupan mereka dan diresapi dengan sabda Tuhan. Jadi dalam katekese, umat harus mendengarkan dan diteguhkan oleh pengalaman iman dalam tradisi Gereja dan Kitab Suci (Papo, 1987:14). Katekese membantu umat untuk semakin mendalami, meresapi, merefleksikan dan mengalami Yesus Kristus lewat pengalaman hidupnya sehari-hari.

Di dalam diktat PPL PAK Paroki dirumuskan kekhasan katekese ialah membangkitkan dan memperluas pengalaman, memperdalam pengalaman, mengkomunikasikan pangalaman dan mengungkapkan pengalaman

(Sumarno,2004:6). Rumusan ini mau menunjukkan bahwa konteks katekese adalah kunci dari pembacaan dan interpretasi dari kehidupannya yang mencakup refleksi dan semua sarana untuk menganalisis dan memperdalam pengalaman hidupnya. Akan tetapi pengalaman Kristus dan Gereja benar-benar pengalaman aktual, karena tidak ada katekese yang benar-benar terjadi tanpa adanya suatu pengalaman Kristiani yang autentik dapat diterima dan ditafsirkan serta dikomunikasikan. Hal ini sangat jelas bahwa katekese merupakan bentuk pelayanan kesatuan persaudaraan.

6. Model-model Katekese

Dalam kegiatan katekese, ada banyak model katekese yang ditawarkan. Model-model katekese yang akan disajikan penulis yakni model pengalaman hidup, model biblis, model campuran (biblis dan pengalaman hidup) dan model SCP (Shared Christian Praxis).

a. Model Pengalaman Hidup

Katekese model pengalaman hidup ini bertitik tolak pada pengalaman sehari-hari umat baik itu dalam pekerjaan, keluarga maupun dalam hidup bermasyarakat. Katekese model pengalaman hidup ini mau mengajak peserta untuk mengalami, mendalami sekaligus meresapi kehadiran Allah lewat pengalaman hidup sehari-hari dengan kaca mata atau terang iman. Untuk membantu umat mendalami, meresapi dan mengalami kehadiran Yesus lewat pengalaman hidup mereka, model pengalaman hidup ini mempunyai langkah-langkah yang mendukung seperti introduksi, penyajian

suatu pengalaman hidup, pendalaman pengalaman hidup, rangkuman pendalaman hidup, pembacaan Kitab Suci atau tradisi Gereja, pendalaman teks Kitab Suci atau tradisi Gereja, rangkuman pendalaman teks Kitab Suci dan tradisi dan penerapan dalam hidup konkrit (Sumarno, 2004:16).

Proses pelaksanaan katekese model pengalaman hidup ini langkah awalnya diambil dan disesuaikan dengan kehidupan peserta sehingga tema dan tujuan lebih mengena pada umat. Peristiwa yang diangkat bisa dari peserta itu sendiri, bisa juga dari cerita bergambar, koran, majalah hidup, kisah-kisah dari CD, dll. Setelah itu pengalaman yang telah diungkapkan oleh peserta bisa disharingkan dalam kelompok kecil atau kelompok besar. Untuk pembagian kelompok ini tergantung dari jumlah peserta yang datang. Pembagian kelompok kecil sangat baik dilakukan dimana masing-masing peserta mengungkapkan pengalaman hidupnya tanpa rasa malu, takut dan segan sehingga masing-masing peserta terbuka untuk mengungkapkan pengalaman hidupnya dengan demikian satu sama lain saling menguatkan dan saling meneguhkan dalam iman. Dalam pengalaman hidup peserta diajak untuk mengaktualisasikan sesuai dengan pengalaman hidup sehari-hari. Dalam hal ini juga tugas fasilitator sebagai pengarah, mendampingi, menuntun serta merangkum hasil sharing dari peserta.

Langkah selanjutnya adalah menemukan kehendak Tuhan pada setiap pengalaman hidup peserta katekese. Pengalaman hidup peserta dikonfrontasikan dengan pendalaman Kitab Suci. Masing-masing peserta diberikan kesempatan oleh fasilitator untuk merefleksikan teks Kitab Suci yang sudah dibagikan untuk dibacakan

dengan beberapa panduan pertanyaan yang sudah dipersiapkan oleh fasilitator sendiri. Peran dari fasilitator yaitu berusaha untuk mengajak peserta katekese mencari dan menemukan makna dari inti Kitab Suci yang berhubungan dengan tema yang telah diangkat. Dalam hal ini fasilitator sudah mempersiapkan jawaban sebelumnya. Peran fasilitator dalam berkatekese sangat penting dimana seorang fasilitator harus membantu peserta dalam merenungkan inti dari Kitab Suci, di samping itu juga fasilitator harus menciptakan suasana terbuka agar peserta tidak merasa takut, segan dan malu untuk mengungkapkan pengalaman hidupnya. Setelah itu fasilitator memberikan rangkuman dan peneguhan berdasarkan tafsiran Kitab Suci sesuai dengan tema dan tujuan yang diharapkan. Setelah menghubungkan pengalaman hidup dengan pengalaman Kitab Suci, fasilitator menarik kesimpulan dari proses katekese. Selanjutnya fasilitator mengajak peserta untuk merenungkan semua proses kegiatan katekese yang sudah berlangsung dengan membuat niat-niat baik secara pribadi maupun bersama untuk tindakan konkrit selanjutnya.

Pelaksanaan katekese model pengalaman hidup ini membantu peserta untuk mengalami kehadiran Allah serta mampu menanggapi kehadiran Allah dalam setiap langkah perjalanan hidup mereka sehari-hari. Mereka diantar untuk berani menjadi saksi iman bagi sesama. Untuk itu peran fasilitator sangat penting dimana seorang fasilitator harus bersikap terbuka dan penuh dengan kekeluargaan sehingga peserta tidak merasa malu dan takut untuk mengungkapkan sharing pengalaman hidupnya. Dengan adanya suasana keterbukaan dan kekeluargaan antar fasilitator dan peserta

mereka dapat merasakan kehadiran Allah serta menemukan kehendak Allah dalam diri dan sesama.

b. Model Biblis

Katekese model biblis merupakan katekese yang bertitik tolak dari Kitab Suci yang sudah dipilih fasilitator pada saat melaksanakan pertemuan. Katekese model biblis ini mengajak peserta untuk merenungkan Sabda Tuhan, selanjutnya mendalaminya secara pribadi maupun kelompok, kemudian mengajak peserta untuk mewujudkan dalam tindakan konkrit dalam hidup keluarga maupun bermasyarakat. Model biblis ini mengajak peserta untuk merenungkan sabda Allah sehingga semakin menemukan kehadiran Allah dalam hidupnya.

Dalam diktat PPL PAK Paroki terdapat langkah-langkah katekese model biblis seperti doa pembukaan dan nyanyian pembukaan, pembacaan Kitab Suci atau tradisi, pendalaman teks Kitab Suci atau tradisi, pendalaman pengalaman hidup, penerapan dalam hidup peserta dan doa penutup (Sumarno, 2004:17).

Proses pelaksanaan katekese model biblis ini, fasilitator mengawali pertemuan dengan doa dan nyanyian yang sudah dipersiapkan sesuai dengan tema. Setelah itu fasilitator mengajak peserta untuk mendengarkan Sabda Allah dari teks Kitab Suci, kemudian fasilitator memberikan kesempatan kepada peserta untuk membacakan kembali teks Kitab Suci secara pribadi maupun kelompok. Selanjutnya fasilitator mengajak peserta untuk mendalami teks Kitab Suci dalam kelompok kecil maupun kelompok besar dengan panduan pertanyaan yang sudah dipersiapkan.

Setelah membaca teks Kitab Suci peserta katekese mengungkapkan inti dari teks Kitab Suci tersebut. Kemudian fasilitator merangkum dari apa yang sudah ditemukan dari peserta dengan menghubungkan tafsiran yang sudah dipersiapkan oleh fasilitator sehingga peserta semakin diperkaya dengan informasi yang baru berkaitan dengan iman mereka.

Setelah peserta mendalami teks Kitab Suci, fasilitator mengajak peserta katekese untuk menghubungkan inti dari teks Kitab Suci dengan pengalaman hidup peserta. Dalam proses katekese fasilitator berperan untuk membantu peserta untuk mengolah pengalaman hidupnya baik itu dalam lingkup keluarga, pekerjaan maupun dalam masyarakat sekitar sesuai dengan pesan dari teks Kitab Suci yang sudah dibacakan. Setelah merefleksikan teks Kitab Suci kemudian menghubungkan dengan pengalaman hidup, peserta katekese diajak untuk membuat niat-niat baik secara pribadi maupun bersama.

c. Model Campuran: Biblis dan Pengalaman Hidup

Katekese model campuran ini merupakan gabungan dari model pengalaman hidup dengan model biblis atau tradisi, karena model campuran ini bertitik tolak dari pengalaman hidup peserta katekese dengan pengalaman Kitab Suci atau tradisi.

Dalam diktat PPL PAK Paroki katekese model campuran ini memiliki langkah-langkah sebagai berikut yakni doa pembukaan, pembacaan teks Kitab Suci atau tradisi, penyajian pengalaman hidup, pendalaman pengalaman hidup dan teks biblis atau tradisi, penerapan meditatif, evaluasi singkat dan doa penutup.

Proses pelaksanaan katekese model campuran ini, fasilitator membuka pertemuan dengan doa pembukaan yang menghubungkan dengan tema katekese dan tema-tema katekese sebelumnya. Setelah itu fasilitator memberikan kesempatan kepada peserta untuk membaca teks Kitab Suci atau tradisi yang sudah dibagikan untuk dibaca. Untuk mendukung kegiatan katekese fasilitator menyiapkan sarana-sarana yang mendukung seperti cerita rakyat, cerita bergambar, tape recorder, VCD, dll. Setelah mendengarkan isi teks Kitab Suci dan penyajian pengalaman hidup, fasilitator mengajak peserta untuk mendalami pengalaman hidupnya sesuai dengan apa yang telah disajikan bertolak pada isi teks Kitab Suci tersebut. Untuk mendalami pengalaman hidupnya fasilitator membentuk kelompok kecil apabila pesertanya banyak akan tetapi kalau pesertanya sedikit tidak perlu membentuk kelompok kecil. Dalam kelompok kecil atau kelompok besar peserta saling mengungkapkan kesan-kesan pribadi mereka terhadap pengalaman hidup, kemudian secara objektif mencari apa yang sebetulnya terjadi dalam penyajian hidup tadi. Setelah itu fasilitator mengajak peserta untuk merefleksikan pengalaman hidupnya sehari-hari dalam terang Kitab Suci baik pribadi maupun bersama. Kemudian fasilitator merangkum berdasarkan pengalaman peserta sehubungan dengan tema. Dan bila memungkinkan waktu fasilitator mengajak peserta untuk memikirkan suatu tindakan konkrit baik itu pribadi maupun bersama.

Langkah selanjutnya fasilitator mengajak peserta dalam suasana refleksi berdasarkan panduan pertanyaan yang sudah disiapkan fasilitator. Dengan demikian

fasilitator merangsang peserta untuk menarik pelajaran-pelajaran nyata dalam hidup bermasyarakat dan menggereja (Sumarno, 2004:18).

d. Model SCP (Shared Christian Praxis).

Katekese model SCP ini bermula dari pengungkapan pengalaman hidup peserta yang selanjutnya direfleksikan secara kritis supaya diketemukan makna yang kemudian dikonfrontasikan dengan harta kekayaan iman Gereja supaya muncul pemahaman, sikap dan kesadaran baru yang memberi motivasi pada keterlibatan baru. Berdasarkan refleksi kritis terhadap pengalaman hidup peserta yang berkaitan dengan situasi konkrit masyarakat kemudian dikomunikasikan dengan iman dan visi Gereja sehingga peserta sebagai subyek secara aktif dan kreatif menghayati imannya sehingga nilai-nilai Kerajaan Allah makin terwujud. Dialog antar subyek pada model SCP ini lebih ditekankan tidak hanya terjadi antara peserta dengan pendamping, antar peserta itu sendiri, dan juga peserta dengan teks dan dengan keadaan hidup masyarakat setempat (Heryatno, 1997:1).

Katekese model SCP lebih menekankan proses berkatekese yang bersifat dialogis dan partisipatif sehingga secara pribadi maupun bersama mampu mengadakan penegasan dan pengambilan keputusan demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di dalam kehidupan manusia (Heryatno, 1997:1).

1) Pengertian SCP

a) Shared

Istilah Shared menunjukkan pengertian komunikasi yang timbal balik, partisipasi aktif dan kritis dari semua peserta, sikap egalitarian, terbuka (inklusif) baik untuk diri sendiri, peserta yang lain atau rahmat Tuhan. Istilah ini juga menekankan proses katekese yang menggarisbawahi aspek dialog, kebersamaan, keterlibatan dan solidaritas (Heryatno, 1997:4). Sharing berarti berbagi rasa, pengalaman, pengetahuan serta saling mendengarkan pengalaman orang lain (Sumarno, 2009:16).

Sharing biasa digunakan dalam pertemuan katekese yang menekankan dialog dan partisifasi dari umat dalam suasana kebersamaan, persaudaraan dan keterlibatan. Dalam sharing peserta mengambil bagian dan terlibat aktif untuk mengungkapkan pengalaman hidupnya dan juga antara peserta harus saling mendengarkan. Peserta tidak hanya pasif saja sedangkan pendamping hanya menguasai bahan tanpa adanya komunikasi di antara peserta katekese. Pertemuan katekese akan berjalan dengan baik apabila pendamping dan peserta saling berkomunikasi dan bersikap terbuka. Peserta perlu memiliki cinta yang menjadi dasar berkomunikasi, sikap kerendahan hati mau menerima serta memberi pengalaman pribadinya kepada peserta yang lain, jujur, terbuka sehingga menemukan kekuatan dan dukungan dari peserta lain (Sumarno, 2009:17).

b) Christian

Istilah Christian dalam SCP artinya Kristiani maksudnya menguasahakan supaya kekayaan iman Kristiani sepanjang sejarah dan visinya semakin terjangkau, dekat dan relevan untuk kehidupan peserta di zaman sekarang. Kekayaan iman dalam model ini meliputi dua unsur yaitu pengalaman hidup iman Kristiani sepanjang sejarah (tradisi) dan visinya.

Tradisi tidak hanya berupa tradisi pengajaran Gereja tetapi juga meliputi Kitab Suci, spiritualitas, refleksi teologis, sakramen, liturgi, seni dan nyanyian rohani, kepemimpinan, kehidupan jemaat, dll. Tradisi Kristiani mengundang keterlibatan praktis dan proses pembribadian. Di samping itu juga tradisi sebagai sabda yang menghidupi menyediakan perangkat nilai untuk pemupukan identitas Kristiani, memberi inspirasi dan makna bagaimana hidup menurut nilai-nilai tersebut.

Sedangkan visi Kristiani menggarisbawahi tuntutan dan janji yang terkandung di dalam tradisi, tanggungjawab dan pengutusan orang Kristiani sebagai jalan untuk menghidupi semangat dan sikap kemuridan mereka. Visi Kristiani yang paling hakiki adalah terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di dalam kehidupan manusia (Heryatno, 1997:3).

Kesimpulannya bahwa tradisi dan visi Kristiani tidak boleh terlepas. Keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Visi Kristiani merupakan tuntutan, janji dan perutusan orang Kristiani untuk menghidupi semangat nilai-nilai Kerajaan Allah ditengah-tengah umat. Sedangkan tradisi merupakan penyampaian pengajaran Gereja yang harus direfleksikan berdasarkan terang Kitab Suci atau jawaban manusia

terhadap janji Allah yang terwujud dalam sejarah dan tradisi. Dalam diktat PPL PAK Paroki peserta katekese mengkritisi atas praksis perbuatannya pada masa kini yang menjadi ukuran keberimanan manusia yang senantiasa terbuka akan masa depan (Sumarno, 2009:17).

c) Praxis

Kata praxis dalam SCP bukan hanya praktek saja melainkan suatu tindakan yang sudah direfleksikan. Praksis mengacu pada tindakan manusia yang meliputi seluruh keterlibatan manusia di dunia. Tindakan manusia mempunyai tujuan untuk perubahan hidup yang meliputi kesatuan antara praktek dan teori dan sekaligus suatu refleksi teoritis yang didukung oleh praktek. Praksis ini merupakan ungkapan pribadi yang meliputi ungkapan fisik, emosi, intelek, spiritual dari hidup kita. Ungkapan ini berdasarkan apa yang dirasakan, dimiliki dan dialami oleh peserta (Sumarno, 2009: 15).

Praksis ini memiliki tiga unsur yang saling berkaitan yaitu aktivitas, refleksi dan kreatifitas. Ketiga unsur memiliki fungsi membangkitkan perkembangan imaginasi, meneguhkan kehendak dan mendorong praksis baru yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam diktat PPL PAK Paroki ketiga unsur di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Aktivitas meliputi kegiatan mental dan fisik, kesadaran, tindakan personal dan sosial, hidup pribadi dan kegiatan publik bersama yang semuanya merupakan medan masa kini untuk perwujudan diri manusia. Karena bersifat historis, tindakan manusia perlu ditempatkan dalam konteks waktu dan tempat tertentu.

2. Refleksi menekankan refleksi kritis terhadap tindakan historis pribadi dan sosial dalam masa lampau, terhadap praxis pribadi dan kehidupan bersama masyarakat serta terhadap tradisi dan visi iman Kristiani sepanjang sejarah.

3. Kreativitas merupakan perpaduan antara aktivitas dan refleksi yang menekankan sifat transenden manusia dalam dinamika menuju masa depan untuk praxis baru (Sumarno, 2004:20).

2) Langkah-langkah SCP

Katekese dalam model SCP (Shared Christian Praxis) memiliki langkah yang berurutan dan mengalir. Thomas H. Groome mengemukan 5 langkah-langkah yang didahului dengan langkah-langkah awal sebagai berikut:

a) Langkah Pendahuluan Pemusatan Aktivitas

Langkah pendahuluan ini bertujuan untuk mendorong umat (subyek utama) menemukan topik pertemuan yang bertolak dari kehidupan konkret mereka yang selanjutnya menjadi tema dasar pertemuan. Untuk menemukan salah satu aspek yang menjadi topik dasar pertemuan fasilitator bisa menggunakan sarana-sarana yang mendukung seperti simbol, cerita, bahasa foto, poster, video, kaset suara, film, telenovela, dll. Tema dasar hendaknya sungguh-sungguh mendorong peserta untuk terlibat aktif dalam pertemuan, pemilihan tema berdasarkan bentuk SCP ini menekankan partisipasi dan dialog dan tema dasar tidak bertentangan dengan iman Kristiani (Sumarno, 2009:18-19).

Tanggungjawab seorang fasilitator adalah menciptakan suasana kekeluargaan, terbuka, dan mencari sarana-sarana yang mendukung pertemuan katekese.

b) Langkah 1 (Pertama): Pengungkapan Pengalaman Hidup Aktual

Dokumen terkait