• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan perumusan masalah, tujuan utama yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang berkaitan dengan kompetensi dalam mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa. Kompetensi mahasiswa tersebut tidak dapat dipisahkan dari karakteristik individu dan interaksi sosial mereka. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis hubungan antara karakteristik individu dengan kreativitas mahasiswa.

2. Menganalisis hubungan antara interaksi sosial teman sebaya dengan kreativitas mahasiswa.

3. Menganalisis hubungan antara kreativitas mahasiswa dengan kompetensi mahasiswa dalam mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).

1.4 Kegunaan Penelitian

Masalah kompetensi mahasiswa merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian bagi banyak pihak baik oleh akademisi, pemerintah serta kalangan non-akademisi dan masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini, diharapkan dapat berguna bagi:

1. Akademik

Penelitian berjudul “Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Kompetensi dalam Mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM)” ini dapat digunakan oleh mahasiswa untuk memahami hubungan karakteristik individu, interaksi sosial teman sebaya dan kreativitas terhadap kompetensi mahasiswa.

2. Direktorat Kemahasiswaan IPB

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi Direktorat Kemahasiswaan IPB mengenai interaksi sosial untuk pengembangan dan peningkatan mutu terkait Program Kreativitas Mahasiswa di Institut Pertanian Bogor

3. Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) selaku wakil pemerintah yang menaungi bidang

pendidikan perguruan tinggi terhadap penyelenggaraan serta pengembangan Program Kreativitas Mahasiswa ke depannya.

4. Kalangan non-akademisi dan masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan tentang pengembangan kompetensi kreativitas mahasiswa.

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Mahasiswa dan Budaya Akademik Perguruan Tinggi

Peguruan tinggi merupakan wahana tenaga ahli yang diharapkan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberi sumbangan kepada pembangunan. Perguruan tinggi sebagai wadah untuk menciptakan kader-kader pemimpin bangsa memerlukan suatu pengelolaan yang berbeda dengan pengelolaan instansi non-pendidikan. Hal ini karena dalam perguruan tinggi berkumpul orang-orang berilmu dan bernalar (Artawan, 2004). Lingkungan akademik perguruan tinggi adalah ruang lingkup tempat proses belajar dan tempat berlangsungnya visi dan misi perguruan tinggi sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi (Kurniawan 2005). Di dalam lingkungan akademik terdapat beberapa komponen, yaitu dosen, mahasiswa, manajemen peguruan tinggi dan sarana untuk mendukung kegiatan perkuliahan.

Salah satu komponen dalam perguruan tinggi adalah mahasiswa. Mahasiswa dapat didefinisikan sebagai peserta didik yang terdaftar secara sah dan belajar di perguruan tinggi (Kurniawan, 2005). Sejalan dengan hal tersebut, maka Takwin (2008) juga mendefinisikan mahasiswa sebagai calon pembaharu, calon cendekiawan dan calon penyangga keberlangsungan hidup masyarakat. Tiga hal itu menjadi tujuan yang akan dicapai oleh mahasiswa melalui perguruan tinggi. Hal tersebut merupakan dasar bagi penentuan kualitas-kualitas psikologis apa yang seharusnya dimiliki oleh mahasiswa. Tujuan-tujuan itu juga menjadi dasar pertimbangan bagi penentuan kegiatan-kegiatan apa saja yang sebaiknya dilakukan oleh mahasiswa.

Menurut Kurniawan (2005) budaya akademik sebagi suatu subsistem perguruan tinggi memegang peranan penting dalam upaya membangun dan mengembangkan kebudayaan dan peradaban masyarakat dan bangsa secara keseluruhan. Pemilikan budaya akademik seharusnya menjadi keinginan semua insan akademik, yakni dosen dan mahasiswa. Derajat akademik tertinggi bagi

mahasiswa adalah apabila ia mampu mencapai prestasi akademik setinggi-tingginya. Bagi mahasiswa faktor-faktor yang dapat menghasilkan prestasi akademik adalah terprogramnya kegiatan belajar, giat untuk memburu referensi aktual dan mutakhir, diskusi substansial akademik, aktif organisasi dan sebagainya (Purwanto, 2000). Melalui aktivitas seperti itu diharapkan budaya mutu dapat dikembangkan secara bertahap dan menjadi kebiasaan dalam perilaku mahasiswa dalam proses pendidikan di perguruan tinggi.

2.1.2 Definisi Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi orang dewasa” (Hurlock, 2005). Remaja merupakan masa peralihan antar masa anak dan masa dewasa, yakni antara 12 sampai 21 tahun (Gunarsa dan Gunarsa, 2006). Mengingat pengertian remaja, menunjukkan ke masa peralihan sampai tercapainya masa dewasa, maka sulit menentukan batas umurnya. Masa remaja mulai pada saat timbulnya perubahan-perubahan berkaitan dengan tanda-tanda kedewasaan fisik, yakni pada umur 11 tahun atau mungkin 12 tahun pada wanita dan pada laki-laki sedikit lebih tua. Saat berakhirnya masa remaja juga sulit ditentukan mengingat pengertian “mandiri” yang berbeda-beda. Masyarakat yang majemuk dengan kebudayaan dan peradaban yang tinggi memerlukan masa remaja yang panjang untuk menjalani semua persiapan pendewasaan agar mampu hidup “mandiri”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa remaja masa kini bisa mencapai masa dewasa pada umur 20 tahun atau 21 tahun.

Monks dan Knoers (1998) mengemukakan suatu analisis yang cermat mengenai semua aspek perkembangan dalam masa remaja yang secara global berlangsung antara umur 12 sampai 21 tahun dengan pembagiannya sebagai berikut:

1. Usia 12-15 tahun termasuk ke dalam masa remaja awal,

2. Usia 15-18 tahun termasuk ke dalam masa remaja pertengahan dan, 3. Usia 18-21 tahun termasuk ke dalam masa remaja akhir.

Sarwono (2002) mengelompokkan remaja menjadi dua tahap yang didasarkan pada usia tahap perkembangan masa remaja yaitu: (1) Tahap remaja awal (14-17 tahun untuk laki-laki dan 13-17 tahun untuk wanita) dengan ciri-ciri, yaitu status sosial belum jelas antara anak-anak dan dewasa, terjadi perubahan fisik dan kejiwaan yang pesat, masa peningkatan emosi, masa tidak stabil (cepat merasa bosan, sulit konsentrasi dan lain-lain), dan merasa banyak masalah; (2) Tahap remaja akhir (18-21 tahun untuk laki-laki dan wanita) dengan ciri-ciri yang lebih stabil dalam emosi, minat, konsentrasi dan cara berpikir, mengalami pertumbuhan fisik yang lamban, bertambah realistis, meningkatnya kemampuan untuk memecahkan masalah, serta tidak terganggu lagi dengan perhatian orang tua yang kurang.

Mengacu kepada definisi beberapa ahli tersebut, maka mahasiswa dapat dikategorikan sebagai individu yang berada dalam fase remaja akhir dalam kategori perkembangan sosial. Hal ini karena usia mahasiswa yang pada umumnya berkisar antara 17-24 tahun. Ahmadi dan Sholeh (2005) mengemukakan bahwa individu pada usia mahasiswa berada dalam vitalitas optimum. Perkembangan intelektualnya berada pada taraf operasional formal, sehingga kemampuaan nalarnya tinggi dan dapat mengembangkan kemampuan untuk berpikir sistematis mengenai hal yang abstrak dan hipotesis.

2.1.3 Karakteristik Remaja

Kurt Lewin (dalam Azwar, 2003) merumuskan suatu model hubungan perilaku (ranah psikomotor) yang mengatakan bahwa perilaku (B) adalah fungsi karakteristik individu (P) dan lingkungan (E). Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan sosial dalam menentukan perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan kemampuan individu, bahkan kekuatannya lebih besar daripada karakteristik individu. Hal ini terlihat pada individu yang bersifat submisif (lebih mengutamakan penerimaan lingkungan daripada keinginan pribadi).

Kemampuan seseorang untuk melakukan sebuah tindakan didorong oleh motif-motif untuk memenuhi kebutuhan, minat serta potensi yang ada pada diri individu tersebut. Motivasi sendiri didefinisikan sebagai suatu dorongan, kebutuhan atau keinginan untuk melakukan sesuatu (Slavin, 1991). Pengertian motivasi juga merujuk pada faktor-faktor yang terdapat dalam diri seseorang (seperti halnya kebutuhan, harapan dan minat) yang menggerakkan, memelihara, dan mengarahkan perilaku untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Huffman et.al, 1995). McClelland (1976) menyatakan bahwa dalam lingkungan akademis, tinggi rendahnya motivasi belajar seseorang cenderung dilihat dari prestasi atau nilai akademisnya. Nilai akademis inilah yang biasanya dijadikan alat untuk mengukur kemampuan peserta didik. Oleh karena itu motivasi belajar sering disamakan dengan motivasi berprestasi.

Adapun karakteristik yang berkaitan dengan kreativitas dan kompetensi mahasiswa menurut beberapa penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut:

1. Jenis Kelamin

Tjahjoanggoro (1994) melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa makin tua usia seseorang, maka makin tinggi derajat keberhasilan kegiatan yang dilakukannya karena pengalaman yang ia miliki. Selain itu disebutkan pula bahwa laki-laki cenderung memiliki kesuksesan dalam karir yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Sejalan dengan ini Azzahra (2009) juga menyatakan bahwa kecenderungan laki-laki lebih besar dalam mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan dan Program Pengembangan Kewirausahaan. Laki-laki memiliki kecenderungan lebih besar untuk berwirausaha dikarenakan mereka memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk menyejahterakan kehidupannya.

2. Prestasi Akademik

Menurut Soekarwati et al. (1986), salah satu faktor yang dapat mengubah pola pikir dan daya nalar adalah pendidikan. Pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan daya pikir seseorang yang biasanya diukur melalui tes kemampuan seperti tes prestasi dan tes bakat. Tes Prestasi adalah tes yang dilakukan untuk mengukur keterampilan yang telah dicapai dan menunjukkan apa yang dapat dilakukan

saat ini. Tes bakat adalah tes yang dilakukan untuk memprediksi apa yang dapat dilakukan seseorang jika dilatih. Jahi (1988, dalam Malta, 2008) merangkum pendapat beberapa ilmuwan bahwa pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan. Pendidikan menggambarkan tingkat kemampuan kognitif yang dimiliki seseorang.

Salam (1997) mengemukakan bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha yang disadari untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Tes kemampuan yang biasanya dilakukan dalam lingkungan pendidikan biasanya berupa nilai prestasi akademik. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki prestasi akademik yang baik berarti memiliki kemampuan kognitif yang baik pula. Prestasi akademik dengan demikian merupakan nilai yang dimiliki seseorang yang didapat melalui tes prestasi. Prestasi akademik dalam penelitian ini dibatasi pada jumlah indeks prestasi kumulatif remaja sampai pada saat penelitian ini dilakukan.

3. Pengalaman organisasi

Pengalaman organisasi merupakan salah satu cara kepemilikan pengetahuan berorganisasi yang dialami seseorang selama terlibat dalam sebuah organisasi. Pengalaman dapat mengarahkan perhatian seseorang pada minat, kebutuhan dan masalah-masalah yang dihadapinya (Batoa, 2007). Manalu (2009) menyatakan bahwa pengalaman merupakan salah satu pertimbangan bagi seseorang dalam menerima ide-ide baru yang menjadi kebutuhan dan dapat membantu memecahkan masalah.

Pengalaman organisasi dengan demikian dapat berupa jumlah kuantitatif, yaitu jumlah organisasi dan jumlah tahun yang dialami dan mempengaruhi tindakan seseorang dalam kehidupannya. Pengalaman organisasi dalam penelitian ini adalah jumlah organisasi dan lamanya waktu dalam tahun yang telah dialami individu dalam kegiatan berorganisasi

Selain ketiga karakteristik yang telah disebutkan sebelumnya terdapat satu karakteristik lain yang berhubungan dengan kreativitas sehubungan dengan kompetensi yaitu motivasi berprestasi. Menurut McClelland (1976 dalam Hawadi, 2001), motivasi berprestasi adalah motif yang mengarahkan tingkah laku seseorang dengan titik berat pada bagaimana prestasi tersebut dicapai. Motif inilah yang mendorong individu untuk mencapai keberhasilan dalam bersaing dengan suatu standar keunggulan tertentu. Motivasi dapat memberi arah dan tujuan pada kegiatan berprestasi serta mempertahankan kemampuan (ability) berprestasi dan mendorong mahasiswa untuk menyukai dan mengikuti program pengembangan kreativitas.

Motivasi merupakan keinginan untuk mengarahkan sekuat tenaga agar tercapai tujuan yang terorganisir, dilakukan melalui kemampuan yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan individu (Robbins, 1996). Menurut Mc Clelland (1976 dalam Hawadi, 2001), kebutuhan manusia terdiri dari tiga macam, yaitu: 1. Kebutuhan berprestasi (need for achievement)

Dorongan untuk mengungguli atau untuk mencapai sesuatu sesuai standar dan berusaha keras untuk sukses.

2. Kebutuhan berkuasa (need for power)

Kebutuhan untuk membuat orang lain patuh kepadanya dan tidak untuk sebaliknya.

3. Kebutuhan berafiliasi (need for affiliation)

Keinginan untuk mendapatkan persahabatan dan hubungan interpersonal yang erat.

Huffman et.al (1995) menyatakan bahwa kebutuhan berprestasi merupakan kebutuhan untuk mencapai kesuksesan, untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dari orang lain, dan untuk menguasai tugas-tugas yang menantang. Beberapa karakteristik yang terdapat pada individu berprestasi antara lain:

1. Cenderung untuk menyukai tugas-tugas yang tingkat kesulitannya sewajarnya saja. Mereka menghindari tugas-tugas yang terlampau mudah karena mereka hanya menghadapi tangtangan atau kepuasan yang sedikit saja. Mereka juga

2. Cenderung untuk menyukai tugas-tugas yang hasilnya cukup jelas. Mereka mencari situasi dimana mereka dapat menerima umpan balik bagi kinerjanya. Mereka lebih suka menerima kritikan yang keras tetapi berasal dari orang yang kompeten daripada seorang teman tetapi tidak berbobot kritikannya. 3. Lebih menyukai untuk menangani pekerjaan dengan tanggungjawab sendiri.

Mereka dapat merasa puas manakala tugas itu dapat dikerjakan dengan baik. 4. Lebih menyukai pekerjaan atau tugas yang sulit.

5. Mampu melakukan pekerjaan lebih baik daripada orang lain.

Hawadi (2001) menyatakan bahwa secara umum, motif untuk berprestasi dibagi menjadi dua, yaitu motivasi yang datang dari luar diri individu (ekstrinsik) dan motivasi yang datang dari dalam individu itu sendiri (intrinsik). Pada kenyataannya, ada individu yang motif berprestasinya lebih bersifat intrinsik sedangkan individu lain lebih bersifat ekstrinsik. Hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu:

1. Faktor individual

Penelitian yang dilakukan Hawadi (2001) menunjukkan bahwa hanya individu yang mempersepsikan dirinya untuk berkompetensi dalam bidang akademik yang mampu mengembangkan motivasi intrinsik. Individu tipe ini dikatakan lebih menyukai tugas yang menantang dan selalu berusaha mencari kesempatan untuk memuaskan rasa ingin tahunya.

2. Faktor situasional

Besar kecilnya jumlah individu dalam suatu kelompok berpengaruh terhadap pembentukan ragam motivasi mahasiswa. Kelompok besar cenderung bersifat formal, penuh persaingan dan kontrol. Situasi seperti ini cenderung menekankan pentingnya kemampuan bukan penguasaan bahan. Sebaliknya pada kelompok yang lebih kecil, individu akan merasa leluasa mengatur dirinya.

Harter (1981 dalam Hawadi, 2001) menyatakan tiga hal yang mempengaruhi motivasi berprestasi dalam kaitannya dengan kemampuan, yaitu:

1. Kompetensi yang dirasakan oleh individu. Hal ini dipengaruhi persepsinya tentang bagaimana penilaian orang lain terhadap tingkat prestasi yang sesungguhnya. Semakin tinggi prestasi seseorang, maka semakin besar kompetensi yang dimilikinya.

2. Afek dalam kegiatan belajar di lingkungan universitas. Ada tiga afek yang berkaitan dengan mata pelajaran, pengajar dan lingkungan sosial belajar (teman sebaya).

3. Persepsi tentang kontrol. Individu dengan persepsi tentang kontrol internal mempunyai harapan tinggi untuk berhasil dan terdorong untuk bekerja keras. Individu tersebut yakin bahwa keberhasilan dan kegagalan tergantung pada usaha sendiri.

Menurut beberapa definisi mengenai motivasi berprestasi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi adalah dorongan untuk melakukan sesuatu yang berasal dari dalam diri responden untuk mencapai prestasi. Dorongan tersebut kemudian akan menyebabkan individu akan berupaya untuk meningkatkan kompetensi dan kemampuannya.

2.1.4 Teman Sebaya

Remaja juga merupakan golongan yang paling mudah mendapatkan pengaruh budaya karena emosi mereka yang masih labil. Menurut Hurlock (2005), dalam bersosialisasi, selain dengan keluarga, remaja juga bersosialisasi dengan kelompok teman sebaya. Remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama teman-teman dalam kelompok. Mudah dimengerti apabila teman sebaya dapat mempengaruhi sikap, penampilan, minat, pembicaraan, perilaku dan kemampuan. Remaja cenderung memilih teman bermain yang mempunyai tingkah laku sama, khususnya yang berasal dari tempat tinggal dan sekolah, serta kebiasaan remaja yang sama. Trock (2003) menyatakan bahwa teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama yang saling mengenal satu sama lain dengan baik. Mansoer (2008) juga menjelaskan bahwa teman sebaya adalah individu lain yang membantu remaja menemukan identitas dan menyelesaikan konflik.

Gunarsa dan Gunarsa (2006) menyatakan bahwa salah satu ciri khas remaja adalah kecenderungan untuk membentuk kelompok dan kecenderungan melakukan kegiatan berkelompok. Karakter tersebut menjadi dasar bahwa remaja menyukai untuk melakukan kegiatan bersama dengan teman sebayanya yang dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung sebagai berikut:

1. Kesamaan latar belakang

Mansoer (2008) menyatakan bahwa nilai yang umum dijadikan acuan atau dasar dalam memilih teman adalah nilai moral, penampilan fisik, status sosial, kepemimpinan dan kecerdasan. Monks dan Knoers (1998) juga menjelaskan bahwa, dalam perkembangan masa remaja terdapat gerakan memisahkan diri dari orang tua menuju ke arah teman-teman sebaya yang mengerti mereka dan berada dalam nasib yang sama. Kesamaan latar belakang ini menjadi penting karena remaja akan merasa nyaman berada dalam kelompok yang dirasakannya memiliki kesamaan nasib dan karakteristik sehingga mereka tidak merasa asing atau risih.

2. Kesamaan minat

Pada masa kanak-kanak, individu cenderung memilih teman untuk kegiatan bermain. Seiring perkembangannya remaja akan membentuk pengelompokkan baru yang sesuai dengan minatnya karena teman masa kanak-kanak dianggap tidak lagi dapat sejalan dengan mereka. Sejalan dengan pernyataan tersebut maka Hurlock (2005) menyatakan bahwa pada masa remaja, individu menginginkan teman yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti dan membuatnya merasa aman, dan kepadanya ia dapat mempercayakan masalah-masalah dan membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orangtua ataupun guru.

3. Dukungan

Penelitian yang dilakukan oleh Anawati (2003) menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa remaja merasa nyaman berteman dengan kelompoknya karena mereka mendapatkan dukungan yang kuat baik secara fisik dan mental. Dukungan kelompok ini kemudian akan mengarah kepada solidaritas emosional. Berbagai wacana mengenai kenakalan remaja yang sering

diungkapkan menyatakan bahwa keterkaitan emosi yang berujung pada solidaritas inilah yang membuat sering terjadinya kasus kenakalan remaja. Hal ini karena dukungan kelompok akan mengarah pada solidaritas emosional yang meliputi perasaan pengertian, saling membutuhkan, merasa percaya dan aman, kemudian merasa dicintai dan diperhatikan, dihormati dan dihargai pendapatnya serta saling membantu.

Menurut penelitian yang dilakukan Pritini (2006) didapatkan hasil bahwa teman sebaya biasanya memberikan dukungan berupa dukungan semangat, dukungan fisik, dukungan ego, fungsi komparasi sosial, dan sumber kasih sayang. Bagi remaja, hubungan teman sebaya merupakan bagian yang paling besar dalam kehidupannya.

4. Sumber informasi

Hubungan dengan teman sebaya akan menjadi sangat penting karena mereka mulai melakukan gerakan melepaskan diri dari keluarga. Sifat dan karakteristik remaja yang mulai menuntut kebebasan dan senang melakukan eksperimen untuk mengembangkan kretivitas mengakibatkan mereka haus akan informasi dari lingkungan luar. Pritini (2006) dalam penelitiannya menunjukkan hampir semua remaja (92%) mendapat berbagai informasi tersebut dari teman.

5. Intensitas interaksi

Remaja menjalin persahabatan dengan teman sebaya dalam perkembangan sosialnya. Interaksi tersebut menjadi wadah bagi remaja untuk belajar kemampuan menerima kelebihan dan kekurangan orang lain. Interaksi sosial remaja dengan teman sebaya mengakibatkan seringkali keputusan yang mereka ambil merupakan hasil perbincangan antara mereka. Sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh Mansoer (2008), mendapatkan hasil mengenai interaksi remaja, yakni rata-rata remaja berinteraksi dengan teman sebaya setiap hari 1 jam (5-6 jam/minggu) di luar sekolah.

Trock (2003) menjelaskan bahwa interaksi yang cukup sering antara remaja dan teman sebayanya dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif. Melalui interaksi teman sebayalah remaja belajar mengenai pola

hubungan timbal balik dan setara. Remaja menggali prinsip kejujuran dan keadilan dengan cara mengatasi ketidaksetujuan dengan teman sebaya. Mereka juga belajar untuk mengamati dengan teliti minat dan pandangan teman sebaya dengan tujuan untuk memudahkan proses penyatuan dirinya ke dalam aktivitas teman sebaya yang sedang berlangsung.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa teman sebaya adalah individu dengan tingkat kedewasaan dan usia yang relatif sama dan saling mengenal baik.

2.1.5 Interaksi Sosial Teman Sebaya

Widayanti (2005) menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk individual dan makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individual mempunyai dorongan atau motif untuk mengadakan interaksi dengan dirinya sendiri, sedangkan manusia sebagai makhluk sosial mempunyai dorongan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain. Dorongan atau motif sosial pada manusia menyebabkan manusia akan mencari orang lain untuk mengadakan hubungan atau untuk mengadakan interaksi. Oleh karena itulah terjadi interaksi sosial antara manusia dengan manusia yang lain. Menurut Bonner (2004 dalam Nisriyana, 2007), interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara dua orang atau lebih individu, dimana kelakuan individu mempengaruhi, mengubah atau mempengaruhi individu lain atau sebaliknya.

Beberapa uraian di atas dapat menunjukkan bahwa interaksi mengandung pengertian hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih, dan masing- masing orang yang terlibat di dalamnya memainkan peran secara aktif. Interaksi juga lebih dari sekedar terjadi hubungan antara pihak-pihak yang terlibat melainkan terjadi saling mempengaruhi. Soekanto (2002 dalam Nisriyana, 2007) menyatakan bahwa dalam kenyataan sehari-hari terdapat tiga bentuk interaksi sosial yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Kerja sama (Co-operation)

Kerja sama akan timbul jika orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama, mempunyai pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi

kepentingan-kepentingan tersebut. Kerja sama di sini dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama.

b. Persaingan (Competition)

Persaingan dapat diartikan sebagai proses dimana perorangan atau kelompok bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada menjadi pusat perhatian umum dengan cara usaha-usaha menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan.

c. Pertentangan/pertikaian (Conflict)

Pertentangan merupakan suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan. Walaupun pertentangan merupakan proses disosiasif yang agak tajam, akan tetapi pertentangan sebagai salah satu bentuk proses sosial juga mempunyai fungsi positif bagi masyarakat.

Nisriyana (2007) menyatakan bahwa interaksi sosial sekalipun dalam bentuknya yang sederhana, ternyata merupakan proses yang kompleks dimana dapat dibedakan beberapa faktor yang mendasarinya, yaitu imitasi, sugesti,

Dokumen terkait