• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka penulis mengemukakan tujuan penelitian sebagai berikut :

1. Tujuan Pembahasan

a. Untuk menganalisis pengaruh keterampilan komunikasi konselor terhadap keberhasilan konseling.

b. Untuk menganalisis pengaruh keterbukaan konseli terhadap keberhasilan konseling.

c. Untuk menganalisis pengaruh keterampilan komunikasi konselor dan keterbukaan konseli terhadap keberhasilan konseling.

2. Tujuan Penulisan

Penulisan skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) Kependidikan pada Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Widya Mandala Madiun.

H. Manfaat Penelitian 1. Bagi Konselor

a. Sebagai masukan bagi para konselor untuk selalu meningkatkan keterampilan komunikasi konselor dalam membantu mengentaskan permasalahan yang dialami konseli.

b. Sebagai salah satu bentuk evaluasi atau umpan balik (feed back) bagi konselor sekolah dalam menganalisis karakteristik komunikasi yang

diberikan kepada konseli secara optimal dalam rangka peningkatan keberhasilan konseling.

2. Bagi Sekolah

Memberikan masukan kepada sekolah dalam upaya pembinaan dan pengembangan dalam aspek keterampilan komunikasi konselor.

3. Bagi Penulis

Sebagai media untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh dibangku kuliah.

11 A. Keberhasilan Proses Konseling

1. Konseling

a. Pengertian Konseling

Dalam kaitannya dengan pengertian konseling, disini dijelaskan beberapa pengertian dari konseling oleh para ahli, sebagai berikut:

Miller (dalam Surya, 1988:31) mengungkapkan pengertian konseling adalah interaksi yang terjadi antara dua orang individu yang disebut konselor dan konseli terjadi dalam situasi profesional, diciptakan dan dibina sebagai suatu cara untuk memudahkan terjadinya perubahan tingkah laku konseli. Selanjutnya Mortensen (dalam Surya, 1988:25) menjelaskan bahwa konseling adalah suatu proses antar pribadi, dimana satu orang yang satu dibantu oleh yang lainnya untuk meningkatkan pemahaman dan kecakapan menemukan masalahnya. Sedangkan menurut William dan Folley (dalam Surya, 1988:31) konseling adalah suatu situasi pertemuan tatap muka, dimana konselor yang mempunyai keterampilan atau mendapat kepercayaan dari konseli untuk menolong konseli dalam menghadapi, menjelaskan, memecahkan dan menanggulangi masalah penyesuaian diri.

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian konseling adalah suatu proses antara dua orang individu antara konselor

dan konseli secara tatap muka untuk membantu konseli dalam menghadapi, menjelaskan, memecahkan dan menanggulangi masalah penyesuaian diri.

b. Tujuan Konseling

Krumboltz (dalam Latipun, 2001:37) mengklarifikasikan tujuan konseling menjadi tiga macam, yaitu :

1) Mengubah perilaku yang salah penyesuaian

Individu yang salah penyesuaian perlu memperoleh bantuan agar perkembangan kepribadiannya berlangsung secara baik. Konseling pada prinsipnya antara lain berusaha membantu individu mengubah perilkau yang salah penyesuaian menjadi berperilaku yang tepat didalam penyesuaiannya.

Konseling diselenggarakan untuk membantu konseli mengenali perilakunya yang salah dalam melakukan penyesuaian. Jika konseli tidak menyadari adanya perilaku yang salah penyesuaian itu maka konseli tidak dapat atau kesulitan melakukan perubahan-perubahan menuju ke keadaan yang lebih baik. Tidak semua konseli mampu memahami dirinya dan perilaku-perilakunya. Bantuan konselor agar konseli mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya, dan bagaimana dia harus keluar dari kondisinya adalah sangat penting untuk pertumbuhan konseli. Karena itu, perilaku yang salah itu harus diketahui terlebih dahulu oleh konseli, dipahami dan berikutnya dia harus secara sukarela mengubah perilakunya untuk mendapatkan cara kehidupan yang lebih baik.

2) Belajar membuat keputusan

Membuat keputusan bukan sesuatu yang gampang dilakukan oleh konseli. Banyak konseli datang ke konselor karena dia tidak dapat membuat keputusan dan merasa bimbang terhadap akibat atau konsekuensi dari keputusan yang akan dibuat. Bahkan banyak konseli yang datang ke konselor, karena tidak memiliki kemampuan yang memadai mencari alternatif pemecahan yang mungkin dilakukan berkenaan dengan masalah yang dihadapi.

Membuat keputusan bagi konseli melalui proses belajar, yaitu mulai belajar mengidentifikasikan alternatif, memiliki alternatif, menetapkan alternatif serta memprediksi berbagai kosekuensi dari keputusannya. Setiap keputusan pada dasarnya memiliki kosekuensi positif dan negatif, yang menguntungkan dan merugikan, yang menunjang maupun yang menghambat.

3) Mencegah munculnya masalah

Mencegah munculnya masalah mengandung tiga pengertian, yaitu (1) mencegah jangan sampai mengalami masalah dikemudian hari; (2) mencegah jangan sampai masalah yang dialami bertambah berat atau berkepanjangan dan (3) mencegah jangan samapai masalah yang dihadapi berakibat gangguan yang menetap.

Mencegah munculnya masalah sebagai tujuan konseling mencakup ketiga hal tersebut. Artinya konseling diselenggarakan tidak hanya mencegah agar tidak mengalami hambatan dikemudian hari, tetapi juga

mencegah masalah yang dihadapi itu secepatnya terselesaikan, dan jangan menimbulkan gangguan. Konseling preventif, konseling fasilitatif, konseling perkembangan, maupun konseling krisis.

c. Karakteristik Hubungan Konseling

Hubungan konseling secara umum dimaknai sebagai hubungan yang membantu (helping relationship) antara konselor profesional dengan konseli, bertujuan untuk memudahkan perkembangan individu.

Hubungan konseling memiliki makna bagi konselor maupun konseli dalam upaya mencapai perkembangan konseli. Hubungan terjadi dalam suasana keakraban, mengacu pada perkembangan potensi dan pemecahan masalah konseli, disertai komitmen antara kedua pihak. Berkaitan dengan hubungan konseling George dan Cristiani (dalam Latipun, 2001:35) mengemukakan enam karakteristik hubungan konseling, antara lain:

1) Afeksi

Hubungan konselor dengan konseli pada dasarnya lebih sebagai hubungan afektif daripada sebagai hubungan kognitif. Hubungan afeksi akan tercermin sepanjang proses konseling termasuk dalam melakukan eksplorasi terhadap persepsi dan perasaan-perasaan subyektif konseli. Hubungan yang penuh afeksi ini dapat mengurangi rasa kecemasan dan ketakutan pada konseli dan diharapkan hubungan konselor dan konseli lebih produktif.

2) Intensitas

Hubungan konseling dilakukan dengan penuh intensitas. Hubungan konselor dan konseli yang intensitas ini diharapkan dapat saling terbuka terhadap persepsinya masing-masing. Tanpa adanya hubungan yang intensitas hubungan konseling tidak akan mencapai tingkatan yang diharapkan. Konselor biasanya mengupayakan agar hubungannya dengan konseli dapat berlangsung secara mendalam sejalan perjalanan hubungan konseling.

3) Pertumbuhan dan perubahan

Hubungan konseling bersifat dinamis. Hubungan konselor terus berkembang sebagaimana perubahan dan pertumbuhan yang terjadi pada konselor dan konseli. Hubungan tersebut dikatakan dinamis jika dari waktu ke waktu terus terjadi peningkatan, pengalaman bagi konseli dan tanggung jawabnya. Dengan demikian pada konseli terjadi pengalaman belajar untuk memahami dirinya sekaligus bertanggung jawab untuk mengembangkan dirinya.

4) Privasi

Pada prinsipnya dalam hubungan konseling perlu adanya keterbukaan konseli. Keterbukaan konseli tersebut bersifat konfidensial, konselor harus menjaga kerahasiaan seluruh informasi tentang konseli dan tidak dibenarkan mengemukakan secara transparan kepada siapapun tanpa seizin konseli. Perlindungan atau jaminan hubungan ini adalah unik dan akan meningkatkan kemauan konseli membuka diri.

5) Dorongan

Konselor dalam hubungan konseling memberikan dorongan (supportive) kepada konseli untuk meningkatkan kemampuan dirinya dan berkembang sesuai dengan kemampuannya. Dalam hubungan konseling, konselor juga perlu memberikan dorongan atas keinginannya untuk perubahan perilaku dan memperbaiki keadaanya sendiri sekaligus memberi motivasi untuk berani mengambil risiko dari keputusannya.

6) Kejujuran

Hubungan konseling didasarkan atas saling kejujuran dan keterbukaan, serta adanya komunikasi terarah antara konselor dengan konselinya. Dalam hubungan ini tidak ada sandiwara dengan jalan menutupi kelemahan atau menyatakan yang bukan sejatinya. Konseli maupun konselor harus membangun hubungannya secara jujur dan terbuka. Kejujuran menjadi prasyarat bagi keberhasilan konseling.

d. Kondisi Hubungan Konseling

Rogers (dalam Latipun, 2001:41) menyebutkan tiga kondisi konseling agar konseli dapat berkembang selama hubungan konseling, yaitu:

1) Kongruensi

Kongruensi (congruence) dalam hubungan konseling dapat dimaknakan sebagai “menunjukkan diri sendiri” dan memiliki kesamaan istilah dengan kejujuran, keterbukaan, kejelasan.

Kongruensi konselor ini dapat menimbulkan kepercayaan konseli kepadanya. Konselor dlaam kondisi kongruensi selama hubungan konseling diharapkan dapat menimbulkan kongruensi pada konseli, artinya konseli tidak lagi menunjukkan sikap yang bersembunyi, bersandiwara, basa-basi dan pemalsuan. Sikap-sikap ini bukannya hanya menghambat hubungan konseling tetapi dapat menggagalkan tujuan konseling.

2) Penghargaan positif tanpa syarat

Penghargaan positif (positif regard) merupakan pengalaman konselor yang hangat, positif menerima konseli, konselor menyukai konseli sebagai pribadi dan respek kepada konseli sebagai individu tanpa harus mengaharapkan memperoleh pujian dari konselinya. Penghargaan yang diberikan konselor hanyalah semata-mata memandang konseli sebagai manusia dengan segenap kelebihan dan kekurangannya sebagaimana orang lain. Prinsipnya konselor dapat menerima konseli apa adanya.

3) Memahami secara empati

Memahami secara empati (empathetic understanding) merupakan kemampuan seseorang untuk memahami cara pandang perasaan orang lain. Memahami secara empati bukan memahami orang lain secara obyektif, tetapi sebaliknya berusaha memahami pikiran dan perasaan orang lain tersebut berpikir dan merasakan atau melihat dirinya sendiri.

Memahami konseli berdasarkan kerangka persepsi dan perasaan konseli

sendiri oleh Rogers disebut internal frame of reference, artinya menggunakan kerangka pemikiran internal.

e. Unsur-unsur Pokok yang menunjang Konseling

Menurut Surya (1988:127), kelancaran konseling ditunjang oleh beberapa unsur tertentu yang dibedakan kondisi eksternal dan kondisi internal. Kedua kondisi ini hendaknya diperhatikan agar tercapai keberhasilan konseling :

1) Kondisi- kondisi eksternal a) Penataan fisik

Ruangan atau kantor konselor diusahakan mengenakkan dan menarik.

Bila ruang atau kantor konseling bisa mengesankan dan mendatangkan rasa indah, ekspresi dan pengungkapan isi hati akan mejadi lancar.

Sarana-sarana penunjang konseling direncanakan dan diatur untuk mendatangkan rasa senang dan santai.

b) Privacy

Suatu hal yang penting dan berkaitan dengan pengaturan fisik adalah keleluasaan pribadi. Individu-individu menginginkan dan mempunyai hak yang bersifat pribadi, seperti rahasia dirinya untuk tidak didengar atau dilihat oleh teman atau kelompok sebayanya, para guru dna orang lain sewaktu mereka memasuki hubungan konseling.

2) Kondisi-kondisi internal a) Rapport

Rapport dilukiskan sebagai keadaan hubungan yang menenangkan antara konselor dan konseli. Rapport itu dapat dicapai dan ditimbulkan melalui minat dan kepekaan serta keterlibatan emosional.

b) Empati (Emphaty)

Jika seorang koselor memasuki internal frame of reference konseli, menerima “dunia” konseli dan bagaimana konseli “menerima dirinya”, dikatakan bahwa konselor itu telah mengadakan emphaty kepada konseli.

Konselor tersebut dapat berperanan sebagai konseli dan konselor.

c) Kesungguhan (Genuineness)

Pengalaman dan hasil penelitian menunjukkan pentingnya genuineness dalam hubungan konseling. Rogers melukiskan kondisi ini sebagai : genuineness berarti bahwa konselor menjadi dirinya sendiri, tidak menyatakan ingkar terhadap kenyataan dirinya.

d) Perhatian (Attentiveness)

Dasar dari semua keterampilan konselor adalah attentiveness. Perhatian membutuhkan keterampilan mengamati dan mendengarkan, dengan itu konselor mengetahui dan mengerti inti, isi dan apa yang dirasakan oleh konseli. Informasi-informasi yang terkumpul dapat digunakan dalam hubungan yang membantu, sewaktu konseli menyadari bahwa dia diterima dalam hubungan konseling.

2. Keberhasilan Konseling

a. Pengertian Keberhasilan Konseling

Menurut Partowisastro (1982:97), keberhasilan proses konseling kepada konseli dapat dilihat dari perubahan tingkah laku atau sikap konseli yang telah mendapatkan pelayanan. Diharapkan setelah menerima konseling maka konseli dapat :

1) Menerima diri sendiri

Individu mampu menerima kekurangan dan kelebihan pada dirinya sehingga mampu mengembangkan potensinya dengan baik. Selain itu individu tersebut memiliki kepercayaan diri yang baik karena sudah mengenal kemampuan yang ada pada dirinya.

2) Menyesuaikan diri

Individu tersebut dapat beradaptasi secara baik dengan lingkungan di mana individu tersebut bertempat tinggal. Mampu bergaul dan menunjukkan sikap simpati dengan orang yang baru dia kenal.

3) Memahami dan memecahkan masalahnya sendiri.

Individu mampu menemukan jalan keluar yang terbaik bagi pemecahan masalahnya dengan segera.

4) Mengambil keputusan

Individu mampu mengambil keputusan dengan pikiran jernih tanpa ada paksaan serta merasa yakin akan keputusannya tersebut. selain itu individu mampu menerima resiko dari keputusan yang telah diambilnya.

b. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan konseling menurut Latipun (2001:231), antara lain :

1) Berhubungan dengan masalah a) Jenis masalah

Jenis masalah merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap hasil konseling. Dalam konseling kelompok kesamaan masalah yang dihadapi konseli berpengaruh terhadap proses dan hasil konseling.

b) Berat ringannya masalah

Masalah yang berat membutuhkan waktu konseling yang lebih banyak dibandingkan dengan masalah yang ringan. Suatu strategi konseling hanya cocok untuk tingkatan masalah tertentu. Demikian juga kompleksitas masalah yang dihadapi konseli juga akan mempengaruhi hasilnya. Sebagian dari konseli memiliki satu macam masalah dan yang lainnya kemungkinan memiliki lebih dari satu macam masalah.

c) Terapi yang digunakan sebelumnya

Konseli yang sudah mendapatkan terapi (konseling) mempengaruhi keberhasilan konseling berikutnya. Jika konseli sudah mendapatkan terapi kemungkinan permasalahannya menjadi lebih ringan. Persepsi negatif terhaap terapi sebelumnya dapat menimbulkan sikap negatif terhadap penyelenggaraan konseling berikutnya.

2) Berhubungan dengan karakteristik subyek a) Usia konseli

Usia dapat mempengaruhi hasil konseling. Konseli yang berusia dewasa dimungkinkan lebih sulit dilakukan modifikasi persepsi dan tingkah lakunya dibandingkan dengan konseli yang berusia belasan tahun, karena berhubungan dengan fleksibelitas kepribadiannya. Artinya remaja lebih fleksibel dalam mengubah sikap dan tingkah lakunya dibandingkan dengan orang yang sudah dewasa.

b) Jenis kelamin

Jenis kelamin, terutama berkaitan dengan perilaku model, bahwa individu melakukan modeling sesuai dengan jenis seksnya. Dalam proses konseling, faktor modeling ini sangat penting dalam upaya pembentukan tingkah laku baru.

c) Tingkat Pendidikan

Pendidikan seseorang mempengaruhi cara pandangnya terhadap diri dan lingkungannya. Karena itu akan berbeda sikap konseli yang berpendidikan tinggi dibandingkan yang berpendidikan rendah dalam menyikapi proses dan berinteraksi selama konseling berlangsung.

d) Intelegensi

Intelegensi pada prinsipnya mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri dan cara-cara pengambilan keputusan. Konseli yang berintelegensi tinggi akan banyak berpartisipasi dan proses konseling, lebih cepat an tepat dalam pembuatan keputusan.

e) Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Individu yang berasal dari keluarga yang status sosial ekonominya baik dimungkinkan lebih memiliki sikap positif memandang diri dan masa depannya dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah.

f) Faktor budaya

Sosial budaya termasuk didalamnya pandangan keagamaan, kelompok etnis dapat mempengaruhi proses konseling, khususnya dalam penyerapan nilai-nilai sosial keagamaan untuk memperkuat superegonya.

Ketidakcocokan sosial budaya dapat berakibat sesistensi pada seseorang dan menghambat proses dan hasil konseling.

3) Berhubungan dengan kepribadian konseli a) Motivasi konseli

Motivasi konseli datang atau berpartisipasi dalam konseling sangat berpengaruh terhadap hasil konseling. Konseli yang datang karena hasil rujukan akan berbeda hasilnya dibandingkan dengan yang datang atas kehendaknya sendiri.

b) Harapan

Harapan tehadap proses konseling sangat mempengaruhi hasil konseling.

Konseli yang berpartisipasi dan memilki harapan bahwa konseling yang diikuti dapat menyelesaikan masalahnya akan lebih berhasil

dibandingkan dengan konseli yang tidak memiliki harapan terhadap proses konseling.

c) Kekuatan ego dak kepribadian

Kekuatan ego, menyangkut cara penanganan terhadap masalah, kecemasan menghadapi resiko, kemampuan mengatasi masalah merupakan faktor kepribadian yang mendukung keberhasilan konseling.

Karena konseling tidak dapat memaksakan suatu keputusan, maka kemampuan konseli sangat berpengaruh terhadap keberhasilan konseling.

4) Berhubungan dengan kehidupan terakhir a) Keluarga

Hubungan keluarga sebagai salah satu dunia kehidupan individu pada dasarnya juga mempengaruhi keberhasilan konseling. Konseli yang hidup dengan keluarga yang utuh akan berbeda sikapnya dengan konseli yang hidup dalam keluarga yang tidak stabil. Konseli dibesarkan dalam keluarga inti berbeda dengan konseli yang dibesarkan dikeluarga luas.

b) Kehidupan sosial

Kehidupan sosial, termasuk hubungan sosial menyangkut interaksi dengan sebayanya, luas tidanya kelompok sebayanya, siapa saja menjadi sumber pergaulan individu juga mempengaruhi konseling. Konseli yang hidup di lingkungan soaial yang memberikan dorongan akan berbeda dengan konseli yang hidup di lingkungan sosial yang tidak memberikan dorongan (social support). Hasil konseling banyak dibantu oleh interaksi sosial konseli di luar proses konseling.

5) Berhubungan dengan konselor dan proses konseling a) Keterampilan komunikasi konselor

Keterampilan komunikasi konselor sangat berpengaruh terhadap cara membantu konseli dalam mengatasi masalah. Konselor yang memiliki keterampilan komunikasi akan dapat menghasilkan konseling yang lebih baik dibandingkan dengan konselor yang keterampilan komunikasinya kurang baik.

b) Hubungan konselor dan konseli

Hubungan konselor dan konseli sangat berpengaruh terhadap hasil konseling. Hubungan konselor dan konseli dipandang oleh kebanyakan ahli sebagai syarat mutlak keberhasilan konseling. Jika konselor berhasil menciptakan hubungan dengan konselinya diharapkan hasilnya akan lebih baik jika yang terjadi sebaliknya. Hubungan konselor dan konseli ini termasuk didalamnya adalah cara komunikasi yang tepat dan pemberian perhatian kepada konseli.

c) Kepribadian konselor

Seorang konselor yang mempunyai kepribadian yang profesional akan berpengaruh terhadap keberhasilan konseling. Dengan kepribadian konselor yang baik maka konseli akan merasa dirinya berharga dimata konselor sehingga akan memberikan dampak yang cukup besar dalam mengatasi masalah konseli.

d) Jenis terapi yang digunakan

Penerapan terapi misalnya kelompok atau individual, atau kombinasi keduanya. Konseling tersebut menggunakan pendekatan behavioral atau humanistik, frekuensi pertemuan, jangka waktu yang digunakan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan teknik konseling akan mempengaruhi hasilnya.

Dokumen terkait