• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KETERAMPILAN KOMUNIKASI KONSELOR DAN KETERBUKAAN DIRI KONSELI TERHADAP KEBERHASILAN PROSES KONSELING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH KETERAMPILAN KOMUNIKASI KONSELOR DAN KETERBUKAAN DIRI KONSELI TERHADAP KEBERHASILAN PROSES KONSELING"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Peneliti:

Ika Cahyani Susilowati 11409404

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA MADIUN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

2014

(2)
(3)
(4)
(5)

v

“Allah meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Depag RI, 1989 : 421)

“Barangsiapa bersungguh-sungguh, sesungguhnya kesungguhannya itu adalah untuk dirinya sendiri.” (QS Al-Ankabut [29]: 6)

(6)

vi Skripsi ini kupersembahkan kepada:

1. Allah SWT yang telah memberikan karunia yang luar biasa, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir kuliah ini.

2. Bapak dan ibu, saya hanya bisa berterima kasih karena selama ini tak henti- hentinya memberikan motivasi dan dukungan baik moril maupun materil serta doa demi kelancaran keberhasilan studi saya.

3. Buat kakak-kakak dan adik-adikku yang selalu memberikan dukungan dan sebagai semangat dalam kelancaran proses pengerjaan tugas akhir saya.

4. Saudara-saudaraku yang memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan tugas akhir.

5. Sahabat-sahabatku : Leni, Yeyen, Ida, Iin yang selalu memberikan nasehat, doa dan semangatnya dalam menyelesaikan tugas akhir.

6. Teman-temanku angkatan 2009 yang selalu memberikan semangat, dukungan serta kebersamaan selama masa kuliah.

7. Serta almamaterku, Universitas Katolik Widya Mandala Madiun.

(7)

vii

sehingga skripsi yang berjudul “Pengaruh Keterampilan Komunikasi Konselor dan Keterbukaan Diri Konseli Terhadap Keberhasilan Proses Konseling” dapat terselesaikan dengan baik.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat dalam mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Bimbingan dan Konseling Universitas Katolik Widya Mandala Madiun. Usaha penulis tidak akan terlaksana dengan baik tanpa adanya kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati disampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Rudi Santoso Yohanes,M.Pd.selaku rektor Universitas Widya Mandala Madiun.

2. Ibu Dra. Fransisca Mudjijanti, M.M. selaku Dekan dan Ketua Jurusan BK Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Widya Mandala Madiun yang telah bersedia membantu terselesaikannya skripsi ini.

3. Bapak Drs. Anton Sudarmanta, M.S yang telah memberikan masukan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Bernardus Widodo, S.Pd., M.Pd. selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia membimbing dan banyak memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

(8)

viii penulis selama ini.

6. Bapak/Ibu pimpinan beserta staf perpustakaan Universitas Katolik Widya Mandala Madiun yang telah memberikan pelayanan peminjaman literatur-literatur yang berguna dalam penyusunan skripsi ini.

7. Semua teman-teman Bimbingan dan Konseling Angkatan 2009, terima kasih buat pertemanan selama ini serta sukses buat kalian semua.

8. Mas Lius yang ikut serta memberi bantuan dan dukungan.

9. Dan untuk semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Terima kasih atas dukungan yang telah diberikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran yang membangun diperlukan untuk skripsi ini. Penulis mengharapkan semoga hasil pemikiran yang tertuang dalam penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap pembaca. Terima kasih.

Madiun, 23 Juli 2014 Penulis

Ika Cahyani Susilowati

(9)

ix

Skripsi Program Studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Katolik Widya Mandala Madiun. Dosen Pembimbing: Bernardus Widodo, S.Pd., M.Pd.

Permasalahan yang dialami oleh para siswa di sekolah sering kali tidak dapat dihindari, meski dengan pengajaran yang baik sekalipun. Permasalahan ini dapat menjadi hambatan/tekanan yang mengganggu kelancaran studi siswa di sekolah. Siswa membutuhkan tempat atau media yang dapat membantunya mengatasi permasalahan yang mengganggu kehidupannya baik masalah belajar, keluarga, sosial, dan masalah lainnya. Oleh karena itu, konseling merupakan salah satu upaya untuk membantu mengatasi konflik, hambatan, dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan konseli, sekaligus sebagai upaya peningkatan kesehatan mental.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh keterampilan komunikasi konselor dan keterbukaan diri konseli terhadap keberhasilan proses konseling. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa SMK Negeri 1 Geger Madiun tahun ajaran 2013/2014 dengan jumlah sampel 83 siswa yang mendapatkan layanan konseling individual. Teknik sampling yang digunakan penulis adalah sampling jenuh. Data diperoleh dengan menggunakan metode angket berbentuk skala yaitu skala keterampilan komunikasi konselor, skala keterbukaan diri konseli, dan skala keberhasilan proses konseling.

Dalam penelitian ini penulis mengajukan 3 hipotesis yaitu:1) Hipotesis minor pertama yang berbunyi: keterampilan komunikasi konselor berpengaruh terhadap keberhasilan proses konseling, 2) Hipotesis minor kedua yang berbunyi:

keterbukaan diri konseli berpengaruh terhadap keberhasilan proses konseling, 3) Hipotesis mayor berbunyi: keterampilan komunikasi konselor dan keterbukaan diri konseli berpengaruh terhadap keberhasilan proses konseling.

Data dianalisis dengan menggunakan teknik regresi linier berganda. Model persamaan garis regresi Y = 71.416 + 0,210 + 0.230 hasil analisis selanjutnya menunjukkan bahwa: 1) keterampilan komunikasi konselor berpengaruh terhadap keberhasilan proses konseling, terbukti t hit=2.311>t tabel=1.990, 2) keterbukaan diri konseli berpengaruh terhadap keberhasilan proses konseling, terbukti t hit=2.952>t tabel=1.990, 3) keterampilan komunikasi konselor dan keterbukaan diri konseli berpengaruh terhadap keberhasilan proses konseling, terbukti F hit=

9.121>F tabel=2.295.

Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) karena t hit > t tabel=1.990 maka hipotesis minor pertama diterima. 2) karena t hit > t tabel

=1.990 maka hipotesis minor kedua diterima. 3) karena F hit > F tabel =2,295 maka hipotesis mayor diterima.

Kata kunci: keberhasilan proses konseling, keterampilan komunikasi konselor, keterbukaan diri konseli

(10)

x

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI... .. iv

HALAMAN MOTTO... v

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi

KATA PENGANTAR...vii

ABSTRAKSI... ix

DAFTAR ISI...x

DAFTAR TABEL... .xv

DAFTAR GAMBAR... xvi

DAFTAR LAMPIRAN...xvii

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah... 5

C. Pembatasan Masalah... 6

D. Rumusan Masalah... 6

E. Batasan Istilah... 7

F. Alasan Pemilihan Judul... 8

G. Tujuan Penelitian... 9

H. Manfaat Penelitian... 10

(11)

xi

a. Pengertian Konseling... 11

b. Tujuan Konseling... 12

c. Karakteristik Hubungan Konseling... 14

d. Kondisi Hubungan Konseling... 17

e. Unsur Pokok Penunjang Konseling... 18

2. Keberhasilan Proses Konseling... 20

a. Pengertian Keberhasilan Konseling... 20

b. Faktor Keberhasilan Konseling... 21

B. Ketrampilan Komunikasi Konselor... 27

1. Pengertian Ketrampilan Komunikasi Konselor... 28

2. Teknik-teknik Ketrampilan Komunikasi Konselor... 28

C. Keterbukaan Diri Konseli... 41

1. Pengertian Keterbukaan Diri Konseli... 42

2. Aspek-aspek Keterbukaan Konseli Dalam Proses Konseling..43

3. Karakteristik Keterbukaan Konseli Dalam Proses Konseling..44

D. Hubungan Ketrampilan Komunikasi Konselor dan Keterbukaan Diri Konseli Dengan Keberhasilan Proses Konseling...45

1. Hubungan Komunikasi Ketrampilan Konselor Dengan Keberhasilan Proses Konseling... 45

(12)

xii

F. Hipotesis Penelitian... 48

BAB III METODE PENELITIAN... 49

A. Pengertian Metode Penelitian... 49

B. Materi Penelitian... 50

1. Pola Penelitian... 50

2. Variabel Penelitian... 53

3. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling... 55

C. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data... 60

1. Jenis Data... 60

2. Metode Pengumpulan Data... 61

D. Uji Coba Alat Ukur... 65

1. Uji Validitas... 65

2. Uji Rebilitas... 66

E. Uji Asumsi Klasik... 67

1. Uji Normalitas... 67

2. Uji Linieritas... 67

F. Metode Analisis Data... 67

1. Regresi Linier Berganda... 67

2. Analisis Korelasi... 68

3. Koefisien Diterminasi... 70

(13)

xiii

BAB IV LAPORAN EMPIRIS... 73

A. Persiapan Penelitian... 73

B. Pelaksanaan Penelitian... 74

C. Pengolahan Data... 74

D. Penyajian Data... 75

1. Hasil Uji Validitas... 75

2. Hasil Uji Reliabilitas... 81

BAB V ANALISIS DATA... ... 83

A. Analisis Statistik Deskriptif... 83

1. Variabel keberhasilan proses konseling (Y)... 84

2. Variabel keterampilan komunikasi konselor (X1)... 84

3. Variabel keterbukaan diri konseli (X2)... 85

B. Uji Asumsi Klasik... 86

1. Uji Normalitas... 86

2. Uji Linearitas... 88

C. Hasil Pengolahan Data... 89

D. Analisis Data... 90

1. Analisis Regresi Linier Berganda... 91

2. Analisis Korelasi... 91

3. Koefisien Determinasi... . 91

(14)

xiv

F. Diskusi ... 93

1. Analisis Teoritis... 94

2. Analisis Metodologis... 94

BAB VI TINJAUAN KEMBALI, KESIMPULAN DAN SARAN... 95

A. Tinjauan Kembali... 95

B. Kesimpulan... 96

C. Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA... 98 LAMPIRAN-LAMPIRAN

(15)

xv

Tabel 4.2 Skala Keberhasilan Proses Konseling (Y)... 77

Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Validitas Angket Variabel X1... 77

Tabel 4.4 Skala Keterampilan Komunikasi Konselor (X1)... 79

Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Validitas Angket X2 ... 79

Tabel 4.6 Skala Keterbukaan Diri Konseli (X2)... 81

Tabel 4.7 Hasil Uji Reliabilitas... 81

Tabel 5.1 Hasil Uji Deskriptif Frekuensi... 83

Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas... 86

Tabel 5.3 Model Summary ... 89

Tabel 5.4 Ringkasan Anova... 89

Tabel 5.5 Persamaan Garis Regresi (Coefficients)... 90

(16)

xvi

Gambar 5.1 Grafik Keberhasilan Proses Konseling (Y) ...84

Gambar 5.2 Grafik Keterampilan Komunikasi Konselor (X1) ...85

Gambar 5.3 Grafik Keterbukaan Diri Konseli (X2) ...85

Gambar 5.4 Histogram P Plot of Regression Standarized Residual...88

Gambar 5.5 Diagram Uji Linieritas Variabel Keterampilan Komunikasi Konselor (X1) dan Keterbukaan Diri Konseli (X2) Berpengaruh Terhadap Keberhasilan Proses Konseling (Y)... ...88

(17)

xvii

Lampiran 2. Angket Penelitian...109

Lampiran 3. Hasil Tabulasi Data ...116

Lampiran 4. Hasil Uji Validitas ...124

Lampiran 5. Hasil Analisis Statistik Deskriptif ...128

Lampiran 6. Hasil Uji Normalitas ...129

Lampiran 7. Hasil Uji Regresi...130

(18)

1 A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini persoalan yang dihadapi oleh siswa semakin kompleks, baik persoalan yang berhubungan dengan pribadi, keluarga, dan masalah umum. Ada kecenderungan individu kurang berani terbuka terhadap masalah yang dihadapinya sehingga berdampak pada timbulnya tingkah laku yang tidak sehat, seperti: penakut, pemalu, rendah diri. Berbagai bentuk permasalahan tersebut menimbulkan tekanan yang sangat menggangu. Untuk itu diperlukan pemberian layanan bantuan yang dapat membantu mengatasi permasalahan kehidupan konseli (Wildan, 2004:83).

Konseling merupakan salah satu upaya untuk membantu mengatasi konflik, hambatan, dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan konseli, sekaligus sebagai upaya peningkatan kesehatan mental. Konseling merupakan satu bentuk bantuan yang secara khusus dirancang untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi konseli.

Surya (2003:25) mengungkapkan bahwa konseling merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada konseli supaya dia memperoleh konsep diri dan kepercayaan pada diri sendiri untuk dimanfaatkan olehnya dalam memperbaiki tingkah lakunya pada masa yang akan datang.

Pietrofesa (dalam Latipun, 2001:5) mengungkapkan pengertian konseling merupakan proses yang melibatkan seorang profesional yang

(19)

berusaha membantu orang lain dalam mencapai pemahaman dirinya (self- understanding), membuat keputusan dan pemecahan masalah.

Dalam konteks pemahaman konseling tersebut dan dalam upayanya untuk mencapai tujuan konseling yang diharapkan, pengembangan hubungan konseling yang ditandai dengan keakraban, keharmonisan, kesesuaian, kecocokkan, dan saling menarik (terbentuk rapport), melalui komunikasi verbal dan non verbal menjadi hal yang penting (Willis, 2004:158).

Menurut Partowisastro (1982:97), keberhasilan proses konseling kepada konseli dapat dilihat dari perubahan tingkah laku atau sikap konseli yang telah mendapatkan pelayanan. Diharapkan setelah menerima konseling konseli dapat: 1) menerima diri sendiri, 2) menyesuaikan diri, 3) memahami dan memecahkan masalahnya sendiri, 4) mengambil keputusan.

Keterampilan komunikasi konselor menjadi salah satu aspek yang diprediksi berpengaruh terhadap keberhasilan konseling. Keterampilan komunikasi konselor adalah seperangkat kecakapan khusus untuk mengirim dan menerima pesan yang dimiliki oleh konselor untuk membantu konseli dalam proses konseling menemukan alternatif pilihan secara tepat dalam menghadapi permasalahan yang dialami (Nirwana dalam Widodo, 2012:34).

Selain faktor di atas, keterbukaan konseli dalam proses layanan konseling juga ditengarai memiliki pengaruh terhadap hasil konseling.

Keterbukaan konseli merupakan kemampuan seorang individu atau yang disebut konseli secara sukarela datang kepada konselor untuk menyampaikan informasi berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi dengan mempercayai konselor

(20)

untuk mengharapkan bantuan (Pangaribuan, 2009:54). Dengan keterbukaan yang telah diberikan konseli, konselor mempunyai tanggung jawab yang besar untuk menyimpan rahasia pribadi tersebut dari siapapun juga, karena tidak semua orang dapat dengan mudah terbuka, jujur dan transparan tentang dirinya kepada orang lain apalagi kepada seorang konselor yang baru dikenalnya. Keyakinan dari konseli bahwa adanya perlindungan terhadap kerahasiaan diri dan segala hal yang diungkapkannya menjadi jaminan untuk suksesnya layanan konseling individual, seorang konselor harus menyatakan dan menekankan ini kepada konseli dengan set-frame di awal sebelum sesi konseling individual dilakukan.

Dapat dikatakan bahwa kesukarelaan klien menjalani proses konseling individual merupakan hasil dari terjaminnya kerahasiaan konseli (Pangaribuan, 2009:63).

Keterbukaan konseli juga ditentukan oleh bahasa tubuh konselor untuk menciptakan situasi kondusif bagi keterbukaan dan kelancaran proses konseling, maka sifat-sifat jujur, asli, mempercayai, toleransi, respek, menerima, dan komitmen terhadap hubungan konseling, amat diperlukan dan dikembangkan terus oleh konselor. Sifat-sifat tadi akan memancar pada perilaku konselor sehingga klien terpengaruh, dan kemudian klien mengikutinya, maka konseli akan menjadi terbuka dan terlibat dalam pembicaraan. Dalam hubungan konseling pada prinsipnya ditekankan bagaimana konselor mengembangkan hubungan konseling yang rapport (akrab) dan dengan memanfaatkan komunikasi verbal dan non verbal. Jadi konseling bukan menomorsatukan content (masalah klien). Demikian pula strategi dan teknik janganlah diutamakan, yang penting adalah menumbuhkan

(21)

kepercayaan klien terhadap konselor, sehingga konseli akan terbuka dan mau terlibat pembicaraan (Willis, 2004:78).

Berdasarkan uraian dari para ahli di atas, peneliti mengkaji lebih dalam dan mengangkatnya dalam sebuah penelitian dengan judul Keterampilan Komunikasi Konselor dan Keterbukaan Konseli terhadap Keberhasilan Konseling.

B. Identifikasi Masalah

Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan konseling. Latipun (2001:231) mengemukakan sebagian besar faktor yang mempengaruhi keberhasilan konseling, antara lain:

1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah konseli : a. Jenis masalah

b. Berat ringannya masalah

c. Terapi yang digunakan sebelumnya

2. Faktor-faktor yang dihubungkan dengan karakteristik konseli : a. Usia

b. Jenis kelamin c. Pendidikan d. Intelegensi

e. Status sosial ekonomi f. Faktor budaya

(22)

3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepribadian konseli : a. Motivasi

b. Harapan terhadap proses konseling c. Kekuatan ego konseli

4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kehidupan terakhir konseli : a. Hubungan keluarga

b. Hubungan sosial

c. Kehidupan sosial konseli d. Keterbukaan konseli

5. Faktor-faktor yang berhubungan dengan proses dan konselor : a. Keterampilan komunikasi konselor

b. Hubungan konselor dan konseli c. Kepribadian konselor

d. Penerapan macam terapinya

C. Batasan Masalah

Dari identifikasi masalah di atas, banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan konseling. Maka, penulis membatasi permasalahan yang berkaitan dengan keterampilan komunikasi konselor dan keterbukaan konseli.

(23)

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan batasan masalah dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Apakah keterampilan komunikasi konselor berpengaruh terhadap keberhasilan proses konseling?

2. Apakah keterbukaan konseli berpengaruh terhadap keberhasilan proses konseling?

3. Apakah keterampilan komunikasi konselor dan keterbukaan konseli berpengaruh terhadap keberhasilan proses konseling?

E. Batasan Istilah 1. Secara Konseptual

a. Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda,dsb) yang berkuasa atau yang berkekuatan (Poerwardaminta, 2006:865)

b. Konselor adalah individu yang terlatih dan mau memberikan bantuan konseling (Gunawan, 1992:41)

c. Keterampilan adalah kacakapan untuk menyelesaikan tugas (Poerwadarminto, 2006:935)

d. Komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami (Poerwadarminto, 2006:454)

(24)

e. Keterbukaan adalah perasaan toleransi hati dan merupakan landasan utama untuk berkomunikasi (Poerwadarminto, 2006:701)

f. Konseli adalah orang yang membutuhkan nasihat (arahan) (Poerwadarminto, 2006:764)

g. Keberhasilan adalah mendapatkan hasil yang efektif (Poerwadarminto, 2006:300)

h. Konseling adalah suatu situasi pertemuan tatap muka, dimana konselor yang mempunyai keterampilan atau mendapat kepercayaan dari konseli untuk menolong konseli dalam menghadapi, menjelaskan, memecahkan dan menanggulangi masalah penyesuaian diri. (Williamson dan Folley dalam Surya, 1988:31)

2. Secara Operasional

a. Keterampilan komunikasi konselor adalah seperangkat kecakapan khusus yang dimiliki konselor untuk mengirim dan menerima pesan dalam proses konseling yang ditandai dengan: keterampilan verbal (acceptance, paraphrase, reflection feelings, encouregement, summarization, clarification, open and close question, reassurance, advice, structuring) dan keterampilan non verbal (menghadapi konseli secara langsung, sikap tubuh, posisi tubuh, kontak mata).

b. Keterbukaan konseli adalah kesadaran dan kesukarelaan diri untuk datang kepada konselor mendapat penanganan atas masalah yang dihadapinya ditandai dengan adanya kepercayaan diri pada konseli, keterlibatan konseli dalam konseling, hubungan yang empati.

(25)

c. Keberhasilan konseling adalah pencapaian hasil yang optimal atas pemberian bantuan konselor kepada konseli yang ditandai dengan:

konseli mampu menerima dirinya sendiri, konseli mampu menyesuaikan diri, konseli mampu memecahkan masalah, konseli mampu mengambil keputusan.

F. Alasan Pemilihan Judul 1. Secara Objektif

a. Fakta bahwa keterampilan komunikasi konselor merupakan salah satu penentu dalam keberhasilan pelaksanaan konseling, tetapi masih terdapat konselor yang kurang memperhatikan dan menerapkan keterampilan komunikasi saat proses konseling.

b. Keterbukaan konseli merupakan hal yang penting dalam pelaksanaan konseling namun masih banyak konseli yang merasa dirinya baik-baik saja atau hanya menunggu panggilan dari konselor sekolah apabila mempunyai permasalahan yang sedang dialami.

2. Secara subjektif

a. Penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini karena belum ada yang mengangkat masalah ini dalam penelitian sehingga penulis tertarik untuk membahasanya.

b. Masalah yang penulis teliti sesuai dengan jurusan yang penulis tekuni.

(26)

G. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka penulis mengemukakan tujuan penelitian sebagai berikut :

1. Tujuan Pembahasan

a. Untuk menganalisis pengaruh keterampilan komunikasi konselor terhadap keberhasilan konseling.

b. Untuk menganalisis pengaruh keterbukaan konseli terhadap keberhasilan konseling.

c. Untuk menganalisis pengaruh keterampilan komunikasi konselor dan keterbukaan konseli terhadap keberhasilan konseling.

2. Tujuan Penulisan

Penulisan skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) Kependidikan pada Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Widya Mandala Madiun.

H. Manfaat Penelitian 1. Bagi Konselor

a. Sebagai masukan bagi para konselor untuk selalu meningkatkan keterampilan komunikasi konselor dalam membantu mengentaskan permasalahan yang dialami konseli.

b. Sebagai salah satu bentuk evaluasi atau umpan balik (feed back) bagi konselor sekolah dalam menganalisis karakteristik komunikasi yang

(27)

diberikan kepada konseli secara optimal dalam rangka peningkatan keberhasilan konseling.

2. Bagi Sekolah

Memberikan masukan kepada sekolah dalam upaya pembinaan dan pengembangan dalam aspek keterampilan komunikasi konselor.

3. Bagi Penulis

Sebagai media untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh dibangku kuliah.

(28)

11 A. Keberhasilan Proses Konseling

1. Konseling

a. Pengertian Konseling

Dalam kaitannya dengan pengertian konseling, disini dijelaskan beberapa pengertian dari konseling oleh para ahli, sebagai berikut:

Miller (dalam Surya, 1988:31) mengungkapkan pengertian konseling adalah interaksi yang terjadi antara dua orang individu yang disebut konselor dan konseli terjadi dalam situasi profesional, diciptakan dan dibina sebagai suatu cara untuk memudahkan terjadinya perubahan tingkah laku konseli. Selanjutnya Mortensen (dalam Surya, 1988:25) menjelaskan bahwa konseling adalah suatu proses antar pribadi, dimana satu orang yang satu dibantu oleh yang lainnya untuk meningkatkan pemahaman dan kecakapan menemukan masalahnya. Sedangkan menurut William dan Folley (dalam Surya, 1988:31) konseling adalah suatu situasi pertemuan tatap muka, dimana konselor yang mempunyai keterampilan atau mendapat kepercayaan dari konseli untuk menolong konseli dalam menghadapi, menjelaskan, memecahkan dan menanggulangi masalah penyesuaian diri.

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian konseling adalah suatu proses antara dua orang individu antara konselor

(29)

dan konseli secara tatap muka untuk membantu konseli dalam menghadapi, menjelaskan, memecahkan dan menanggulangi masalah penyesuaian diri.

b. Tujuan Konseling

Krumboltz (dalam Latipun, 2001:37) mengklarifikasikan tujuan konseling menjadi tiga macam, yaitu :

1) Mengubah perilaku yang salah penyesuaian

Individu yang salah penyesuaian perlu memperoleh bantuan agar perkembangan kepribadiannya berlangsung secara baik. Konseling pada prinsipnya antara lain berusaha membantu individu mengubah perilkau yang salah penyesuaian menjadi berperilaku yang tepat didalam penyesuaiannya.

Konseling diselenggarakan untuk membantu konseli mengenali perilakunya yang salah dalam melakukan penyesuaian. Jika konseli tidak menyadari adanya perilaku yang salah penyesuaian itu maka konseli tidak dapat atau kesulitan melakukan perubahan-perubahan menuju ke keadaan yang lebih baik. Tidak semua konseli mampu memahami dirinya dan perilaku-perilakunya. Bantuan konselor agar konseli mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya, dan bagaimana dia harus keluar dari kondisinya adalah sangat penting untuk pertumbuhan konseli. Karena itu, perilaku yang salah itu harus diketahui terlebih dahulu oleh konseli, dipahami dan berikutnya dia harus secara sukarela mengubah perilakunya untuk mendapatkan cara kehidupan yang lebih baik.

(30)

2) Belajar membuat keputusan

Membuat keputusan bukan sesuatu yang gampang dilakukan oleh konseli. Banyak konseli datang ke konselor karena dia tidak dapat membuat keputusan dan merasa bimbang terhadap akibat atau konsekuensi dari keputusan yang akan dibuat. Bahkan banyak konseli yang datang ke konselor, karena tidak memiliki kemampuan yang memadai mencari alternatif pemecahan yang mungkin dilakukan berkenaan dengan masalah yang dihadapi.

Membuat keputusan bagi konseli melalui proses belajar, yaitu mulai belajar mengidentifikasikan alternatif, memiliki alternatif, menetapkan alternatif serta memprediksi berbagai kosekuensi dari keputusannya. Setiap keputusan pada dasarnya memiliki kosekuensi positif dan negatif, yang menguntungkan dan merugikan, yang menunjang maupun yang menghambat.

3) Mencegah munculnya masalah

Mencegah munculnya masalah mengandung tiga pengertian, yaitu (1) mencegah jangan sampai mengalami masalah dikemudian hari; (2) mencegah jangan sampai masalah yang dialami bertambah berat atau berkepanjangan dan (3) mencegah jangan samapai masalah yang dihadapi berakibat gangguan yang menetap.

Mencegah munculnya masalah sebagai tujuan konseling mencakup ketiga hal tersebut. Artinya konseling diselenggarakan tidak hanya mencegah agar tidak mengalami hambatan dikemudian hari, tetapi juga

(31)

mencegah masalah yang dihadapi itu secepatnya terselesaikan, dan jangan menimbulkan gangguan. Konseling preventif, konseling fasilitatif, konseling perkembangan, maupun konseling krisis.

c. Karakteristik Hubungan Konseling

Hubungan konseling secara umum dimaknai sebagai hubungan yang membantu (helping relationship) antara konselor profesional dengan konseli, bertujuan untuk memudahkan perkembangan individu.

Hubungan konseling memiliki makna bagi konselor maupun konseli dalam upaya mencapai perkembangan konseli. Hubungan terjadi dalam suasana keakraban, mengacu pada perkembangan potensi dan pemecahan masalah konseli, disertai komitmen antara kedua pihak. Berkaitan dengan hubungan konseling George dan Cristiani (dalam Latipun, 2001:35) mengemukakan enam karakteristik hubungan konseling, antara lain:

1) Afeksi

Hubungan konselor dengan konseli pada dasarnya lebih sebagai hubungan afektif daripada sebagai hubungan kognitif. Hubungan afeksi akan tercermin sepanjang proses konseling termasuk dalam melakukan eksplorasi terhadap persepsi dan perasaan-perasaan subyektif konseli. Hubungan yang penuh afeksi ini dapat mengurangi rasa kecemasan dan ketakutan pada konseli dan diharapkan hubungan konselor dan konseli lebih produktif.

(32)

2) Intensitas

Hubungan konseling dilakukan dengan penuh intensitas. Hubungan konselor dan konseli yang intensitas ini diharapkan dapat saling terbuka terhadap persepsinya masing-masing. Tanpa adanya hubungan yang intensitas hubungan konseling tidak akan mencapai tingkatan yang diharapkan. Konselor biasanya mengupayakan agar hubungannya dengan konseli dapat berlangsung secara mendalam sejalan perjalanan hubungan konseling.

3) Pertumbuhan dan perubahan

Hubungan konseling bersifat dinamis. Hubungan konselor terus berkembang sebagaimana perubahan dan pertumbuhan yang terjadi pada konselor dan konseli. Hubungan tersebut dikatakan dinamis jika dari waktu ke waktu terus terjadi peningkatan, pengalaman bagi konseli dan tanggung jawabnya. Dengan demikian pada konseli terjadi pengalaman belajar untuk memahami dirinya sekaligus bertanggung jawab untuk mengembangkan dirinya.

4) Privasi

Pada prinsipnya dalam hubungan konseling perlu adanya keterbukaan konseli. Keterbukaan konseli tersebut bersifat konfidensial, konselor harus menjaga kerahasiaan seluruh informasi tentang konseli dan tidak dibenarkan mengemukakan secara transparan kepada siapapun tanpa seizin konseli. Perlindungan atau jaminan hubungan ini adalah unik dan akan meningkatkan kemauan konseli membuka diri.

(33)

5) Dorongan

Konselor dalam hubungan konseling memberikan dorongan (supportive) kepada konseli untuk meningkatkan kemampuan dirinya dan berkembang sesuai dengan kemampuannya. Dalam hubungan konseling, konselor juga perlu memberikan dorongan atas keinginannya untuk perubahan perilaku dan memperbaiki keadaanya sendiri sekaligus memberi motivasi untuk berani mengambil risiko dari keputusannya.

6) Kejujuran

Hubungan konseling didasarkan atas saling kejujuran dan keterbukaan, serta adanya komunikasi terarah antara konselor dengan konselinya. Dalam hubungan ini tidak ada sandiwara dengan jalan menutupi kelemahan atau menyatakan yang bukan sejatinya. Konseli maupun konselor harus membangun hubungannya secara jujur dan terbuka. Kejujuran menjadi prasyarat bagi keberhasilan konseling.

d. Kondisi Hubungan Konseling

Rogers (dalam Latipun, 2001:41) menyebutkan tiga kondisi konseling agar konseli dapat berkembang selama hubungan konseling, yaitu:

1) Kongruensi

Kongruensi (congruence) dalam hubungan konseling dapat dimaknakan sebagai “menunjukkan diri sendiri” dan memiliki kesamaan istilah dengan kejujuran, keterbukaan, kejelasan.

(34)

Kongruensi konselor ini dapat menimbulkan kepercayaan konseli kepadanya. Konselor dlaam kondisi kongruensi selama hubungan konseling diharapkan dapat menimbulkan kongruensi pada konseli, artinya konseli tidak lagi menunjukkan sikap yang bersembunyi, bersandiwara, basa-basi dan pemalsuan. Sikap-sikap ini bukannya hanya menghambat hubungan konseling tetapi dapat menggagalkan tujuan konseling.

2) Penghargaan positif tanpa syarat

Penghargaan positif (positif regard) merupakan pengalaman konselor yang hangat, positif menerima konseli, konselor menyukai konseli sebagai pribadi dan respek kepada konseli sebagai individu tanpa harus mengaharapkan memperoleh pujian dari konselinya. Penghargaan yang diberikan konselor hanyalah semata-mata memandang konseli sebagai manusia dengan segenap kelebihan dan kekurangannya sebagaimana orang lain. Prinsipnya konselor dapat menerima konseli apa adanya.

3) Memahami secara empati

Memahami secara empati (empathetic understanding) merupakan kemampuan seseorang untuk memahami cara pandang perasaan orang lain. Memahami secara empati bukan memahami orang lain secara obyektif, tetapi sebaliknya berusaha memahami pikiran dan perasaan orang lain tersebut berpikir dan merasakan atau melihat dirinya sendiri.

Memahami konseli berdasarkan kerangka persepsi dan perasaan konseli

(35)

sendiri oleh Rogers disebut internal frame of reference, artinya menggunakan kerangka pemikiran internal.

e. Unsur-unsur Pokok yang menunjang Konseling

Menurut Surya (1988:127), kelancaran konseling ditunjang oleh beberapa unsur tertentu yang dibedakan kondisi eksternal dan kondisi internal. Kedua kondisi ini hendaknya diperhatikan agar tercapai keberhasilan konseling :

1) Kondisi- kondisi eksternal a) Penataan fisik

Ruangan atau kantor konselor diusahakan mengenakkan dan menarik.

Bila ruang atau kantor konseling bisa mengesankan dan mendatangkan rasa indah, ekspresi dan pengungkapan isi hati akan mejadi lancar.

Sarana-sarana penunjang konseling direncanakan dan diatur untuk mendatangkan rasa senang dan santai.

b) Privacy

Suatu hal yang penting dan berkaitan dengan pengaturan fisik adalah keleluasaan pribadi. Individu-individu menginginkan dan mempunyai hak yang bersifat pribadi, seperti rahasia dirinya untuk tidak didengar atau dilihat oleh teman atau kelompok sebayanya, para guru dna orang lain sewaktu mereka memasuki hubungan konseling.

(36)

2) Kondisi-kondisi internal a) Rapport

Rapport dilukiskan sebagai keadaan hubungan yang menenangkan antara konselor dan konseli. Rapport itu dapat dicapai dan ditimbulkan melalui minat dan kepekaan serta keterlibatan emosional.

b) Empati (Emphaty)

Jika seorang koselor memasuki internal frame of reference konseli, menerima “dunia” konseli dan bagaimana konseli “menerima dirinya”, dikatakan bahwa konselor itu telah mengadakan emphaty kepada konseli.

Konselor tersebut dapat berperanan sebagai konseli dan konselor.

c) Kesungguhan (Genuineness)

Pengalaman dan hasil penelitian menunjukkan pentingnya genuineness dalam hubungan konseling. Rogers melukiskan kondisi ini sebagai : genuineness berarti bahwa konselor menjadi dirinya sendiri, tidak menyatakan ingkar terhadap kenyataan dirinya.

d) Perhatian (Attentiveness)

Dasar dari semua keterampilan konselor adalah attentiveness. Perhatian membutuhkan keterampilan mengamati dan mendengarkan, dengan itu konselor mengetahui dan mengerti inti, isi dan apa yang dirasakan oleh konseli. Informasi-informasi yang terkumpul dapat digunakan dalam hubungan yang membantu, sewaktu konseli menyadari bahwa dia diterima dalam hubungan konseling.

(37)

2. Keberhasilan Konseling

a. Pengertian Keberhasilan Konseling

Menurut Partowisastro (1982:97), keberhasilan proses konseling kepada konseli dapat dilihat dari perubahan tingkah laku atau sikap konseli yang telah mendapatkan pelayanan. Diharapkan setelah menerima konseling maka konseli dapat :

1) Menerima diri sendiri

Individu mampu menerima kekurangan dan kelebihan pada dirinya sehingga mampu mengembangkan potensinya dengan baik. Selain itu individu tersebut memiliki kepercayaan diri yang baik karena sudah mengenal kemampuan yang ada pada dirinya.

2) Menyesuaikan diri

Individu tersebut dapat beradaptasi secara baik dengan lingkungan di mana individu tersebut bertempat tinggal. Mampu bergaul dan menunjukkan sikap simpati dengan orang yang baru dia kenal.

3) Memahami dan memecahkan masalahnya sendiri.

Individu mampu menemukan jalan keluar yang terbaik bagi pemecahan masalahnya dengan segera.

4) Mengambil keputusan

Individu mampu mengambil keputusan dengan pikiran jernih tanpa ada paksaan serta merasa yakin akan keputusannya tersebut. selain itu individu mampu menerima resiko dari keputusan yang telah diambilnya.

(38)

b. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan konseling menurut Latipun (2001:231), antara lain :

1) Berhubungan dengan masalah a) Jenis masalah

Jenis masalah merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap hasil konseling. Dalam konseling kelompok kesamaan masalah yang dihadapi konseli berpengaruh terhadap proses dan hasil konseling.

b) Berat ringannya masalah

Masalah yang berat membutuhkan waktu konseling yang lebih banyak dibandingkan dengan masalah yang ringan. Suatu strategi konseling hanya cocok untuk tingkatan masalah tertentu. Demikian juga kompleksitas masalah yang dihadapi konseli juga akan mempengaruhi hasilnya. Sebagian dari konseli memiliki satu macam masalah dan yang lainnya kemungkinan memiliki lebih dari satu macam masalah.

c) Terapi yang digunakan sebelumnya

Konseli yang sudah mendapatkan terapi (konseling) mempengaruhi keberhasilan konseling berikutnya. Jika konseli sudah mendapatkan terapi kemungkinan permasalahannya menjadi lebih ringan. Persepsi negatif terhaap terapi sebelumnya dapat menimbulkan sikap negatif terhadap penyelenggaraan konseling berikutnya.

(39)

2) Berhubungan dengan karakteristik subyek a) Usia konseli

Usia dapat mempengaruhi hasil konseling. Konseli yang berusia dewasa dimungkinkan lebih sulit dilakukan modifikasi persepsi dan tingkah lakunya dibandingkan dengan konseli yang berusia belasan tahun, karena berhubungan dengan fleksibelitas kepribadiannya. Artinya remaja lebih fleksibel dalam mengubah sikap dan tingkah lakunya dibandingkan dengan orang yang sudah dewasa.

b) Jenis kelamin

Jenis kelamin, terutama berkaitan dengan perilaku model, bahwa individu melakukan modeling sesuai dengan jenis seksnya. Dalam proses konseling, faktor modeling ini sangat penting dalam upaya pembentukan tingkah laku baru.

c) Tingkat Pendidikan

Pendidikan seseorang mempengaruhi cara pandangnya terhadap diri dan lingkungannya. Karena itu akan berbeda sikap konseli yang berpendidikan tinggi dibandingkan yang berpendidikan rendah dalam menyikapi proses dan berinteraksi selama konseling berlangsung.

d) Intelegensi

Intelegensi pada prinsipnya mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri dan cara-cara pengambilan keputusan. Konseli yang berintelegensi tinggi akan banyak berpartisipasi dan proses konseling, lebih cepat an tepat dalam pembuatan keputusan.

(40)

e) Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Individu yang berasal dari keluarga yang status sosial ekonominya baik dimungkinkan lebih memiliki sikap positif memandang diri dan masa depannya dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah.

f) Faktor budaya

Sosial budaya termasuk didalamnya pandangan keagamaan, kelompok etnis dapat mempengaruhi proses konseling, khususnya dalam penyerapan nilai-nilai sosial keagamaan untuk memperkuat superegonya.

Ketidakcocokan sosial budaya dapat berakibat sesistensi pada seseorang dan menghambat proses dan hasil konseling.

3) Berhubungan dengan kepribadian konseli a) Motivasi konseli

Motivasi konseli datang atau berpartisipasi dalam konseling sangat berpengaruh terhadap hasil konseling. Konseli yang datang karena hasil rujukan akan berbeda hasilnya dibandingkan dengan yang datang atas kehendaknya sendiri.

b) Harapan

Harapan tehadap proses konseling sangat mempengaruhi hasil konseling.

Konseli yang berpartisipasi dan memilki harapan bahwa konseling yang diikuti dapat menyelesaikan masalahnya akan lebih berhasil

(41)

dibandingkan dengan konseli yang tidak memiliki harapan terhadap proses konseling.

c) Kekuatan ego dak kepribadian

Kekuatan ego, menyangkut cara penanganan terhadap masalah, kecemasan menghadapi resiko, kemampuan mengatasi masalah merupakan faktor kepribadian yang mendukung keberhasilan konseling.

Karena konseling tidak dapat memaksakan suatu keputusan, maka kemampuan konseli sangat berpengaruh terhadap keberhasilan konseling.

4) Berhubungan dengan kehidupan terakhir a) Keluarga

Hubungan keluarga sebagai salah satu dunia kehidupan individu pada dasarnya juga mempengaruhi keberhasilan konseling. Konseli yang hidup dengan keluarga yang utuh akan berbeda sikapnya dengan konseli yang hidup dalam keluarga yang tidak stabil. Konseli dibesarkan dalam keluarga inti berbeda dengan konseli yang dibesarkan dikeluarga luas.

b) Kehidupan sosial

Kehidupan sosial, termasuk hubungan sosial menyangkut interaksi dengan sebayanya, luas tidanya kelompok sebayanya, siapa saja menjadi sumber pergaulan individu juga mempengaruhi konseling. Konseli yang hidup di lingkungan soaial yang memberikan dorongan akan berbeda dengan konseli yang hidup di lingkungan sosial yang tidak memberikan dorongan (social support). Hasil konseling banyak dibantu oleh interaksi sosial konseli di luar proses konseling.

(42)

5) Berhubungan dengan konselor dan proses konseling a) Keterampilan komunikasi konselor

Keterampilan komunikasi konselor sangat berpengaruh terhadap cara membantu konseli dalam mengatasi masalah. Konselor yang memiliki keterampilan komunikasi akan dapat menghasilkan konseling yang lebih baik dibandingkan dengan konselor yang keterampilan komunikasinya kurang baik.

b) Hubungan konselor dan konseli

Hubungan konselor dan konseli sangat berpengaruh terhadap hasil konseling. Hubungan konselor dan konseli dipandang oleh kebanyakan ahli sebagai syarat mutlak keberhasilan konseling. Jika konselor berhasil menciptakan hubungan dengan konselinya diharapkan hasilnya akan lebih baik jika yang terjadi sebaliknya. Hubungan konselor dan konseli ini termasuk didalamnya adalah cara komunikasi yang tepat dan pemberian perhatian kepada konseli.

c) Kepribadian konselor

Seorang konselor yang mempunyai kepribadian yang profesional akan berpengaruh terhadap keberhasilan konseling. Dengan kepribadian konselor yang baik maka konseli akan merasa dirinya berharga dimata konselor sehingga akan memberikan dampak yang cukup besar dalam mengatasi masalah konseli.

(43)

d) Jenis terapi yang digunakan

Penerapan terapi misalnya kelompok atau individual, atau kombinasi keduanya. Konseling tersebut menggunakan pendekatan behavioral atau humanistik, frekuensi pertemuan, jangka waktu yang digunakan, dan hal- hal lain yang berhubungan dengan teknik konseling akan mempengaruhi hasilnya.

B. Keterampilan Komunikasi Konselor

Proses konseling tidak mungkin dapat berjalan atapun terjadi tanpa adanya komunikasi. Karena Komunikasi merupakan landasan bagi berlangsungnya suatu konseling. Konseling pada dasarnya melibatkan komunikasi antara dua pihak yaitu konselor dan konseli yang berlangsung dalam situasi konseling. Keberhasilan konseling sangat ditentukan oleh keefektifan komunikasi diantara partisipan konseling yaitu konselor, konseli dan pihak lain yang terkait. Dalam hubungan ini konselor dituntut untuk mampu berkomunikasi secara efektif untuk menunjang pelaksanaan konseling. Salah satu keterampilan yang diperlukan oleh konselor adalah keterampilan berkomunikasi secara verbal dan non verbal. Dengan cara ini, maka semua usaha dapat dilaksanakan dengan efektif dan seefisien mungkin.

(44)

1. Pengertian Keterampilan Komunikasi Konselor

Dalam kaitannya dengan pengertian keterampilan komunikasi, disini dijelaskan beberapa pengertian dari keterampilan, komunikasi dan konselor dari para ahli, sebagai berikut :

Menurut Poerwadarminto (1988:935), pengertian Keterampilan adalah kacakapan untuk menyelesaikan tugas. Sedangkan pengertian dari Komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami (Poerwadarminto, 1988:454)

Winkel (2007:31) mengungkapkan pengertian konselor adalah seorang pria atau wanita yang mendapat pendidikan khusus bimbingan dan konseling, jurusan program studi bimbingan konseling atau psikologi, untuk membantu individu yang sedang menghadapi masalah.

Konselor adalah individu yang terlatih dan mau memberikan bantuan konseling (Gunawan, 1992:41)

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian keterampilan komunikasi konselor adalah seperangkat kecakapan khusus untuk mengirim dan menerima pesan yang dimiliki oleh konselor untuk membantu konseli dalam proses konseling.

2. Teknik-teknik Keterampilan Komunikasi Konselor a. Keterampilan komunikasi verbal

Komunikasi verbal adalah suatu tanggapan yang diberikan oleh konselor, yang merupakan perwujudan konkret dari maksud,

(45)

pikiran, dan perasaan yang terbentuk dalam batin konselor untuk membantu konseli pada saat tertentu (Winkel, 2007:367).

Keterampilan ini mengacu pada isi verbal dari proses konseling. Konselor menggunakan keterampilan ini untuk memberi perhatian pada konseli yang pada gilirannya akan memperlancar jalannya percakapan. Penggunaan keterampilan ini membantu konseli merasa cukup leluasa untuk memberi informasi kepada konselor sehingga konselor dapat menelaah pokok permasalahan.

Hal ini lebih jauh lagi akan mengarah pada sikap kerjasama dari konseli untuk pemecahan masalah.

Menurut Anthony (dalam Willis, 2009:64) ada beberapa keterampilan komunkasi non verbal, antara lain :

1) Kualitas vokal

Dalam mendampingi konseli, penting bahwa kita sadar akan cara komunikasi kita dengan konseli. Suara kita merupakan satu alat yang menunjukkan bagaimana perasaan kita terhadap konseli.

Tinggi-rendah dan besar- kecilnya suara, serta kecepatan kita berbicara, semuanya ini membentuk kesan-kesan tertentu pada diri konseli mengenai keberadaan kita. Pengalaman menunjukkan bahwa konselor yang dapat melibatkan konseli dalam konseling adalah mereka ynag berbicara dengan suara sedang, tidak terlalu keras, dan dengan jeda yang teratur.

(46)

2) Alur verbal

Penting bahwa konselor mampu menyesuaikan diri dengan topik pembicaraan konseli. Konseli bisa saja berbicara tentang masalah-masalah yang berbeda atau aspek berbeda dari satu masalah. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan dipihak konselor. Agar dapat mengikutinya, konselor dituntut untuk mendengarkan secara cermat apa yang kelihatannya penting.

Adalah tugas konselor untuk mengarahkan konseli dan mengikuti apa yang penting sehingga konseling itu tidak beralih kearah lain.

3) Tanggapan verbal

Kemampuan konselor menanggapi sejumlah ungkapan/pernyataan kepada konseli berupa kata-kata/kalimat secara langsung dalam konseling. Ada sejumlah keterampilan berbeda yang dapat diringkas sebagai berikut :

a) Acceptance

Keterampilan ini digunakan konselor untuk menunjukkan minat dan pemahaman terhadap konseli. Misalnya dengan menunjukkan minat, pemahaman, penerimaan konselor penuh atau apa adanya. dalam keterampilan acceptance ini konselor harus bersikap (terbuka, keaslian, dan hangat).

b) Parafrase (Paraphrase)

Keterampilan ini menunjuk pada pengulangan kata-kata kunci dari konseli kemudian konselor menyampaikan kembali

(47)

kepada konseli dengan bahasa sederhana dan mudah difahami konseli. Cara ini dipergunakan konselor untuk memberi tahu konseli bahwa ia sedang mendengarkan apa yang dikatakan dan ingin mendnegarkan lebih banyak lagi. Biasanya digunakan kata awal “kelihatannya...”, “nampaknya....”,

“sepertinya anda...” dan “saya mendengarkan anda berkata”

c) Pencerminan perasaan-perasaan (Reflection of feelings)

Merupakan upaya konselor memantulkan kembali perasaan, pikiran, dan pengalaman yang diungkapkan oleh konseli melalui pernyataan, intonasi dan sikap konseli. Biasanya digunakan kata awal “kelihatannya anda merasa...”, saya membayangkan anda merasakan...”

d) Dorongan minimal (Minimal encouragement)

Upaya utama konselor adalah agar konseli selalu terlibat dalam pembicaraan dan dirinya terbuka, sehingga pembicaraan mencapai tujuan. Dorongan minimal adalah suatu dorongan langsung yang singkat terhadap apa yang telah dikatakan konseli. Respon yang diberikan oleh konselor sesedikit mungkin dengan tujuan memberikan kesempatan kepada konseli berbicara lebih lanjut.

Misalnya dengan mengatakan terus , lalu , ya dan ., hmm.., dapat juga dengan isyarat anggukan.

(48)

e) Peringkasan (Summarization)

Ringkasan merupakan cara untuk meninjau ulang isi wawancara, mengumpulkan kembali unsur-unsur umum.

Peringkasan juga memberi konselor satu kesempatan untuk mengetahui apakah pemikirannya itu tepat atau tidak, dan hal ini memberikan nafas atau jeda untuk wawancara konseling f) Penajaman (Clarification)

Penajaman digunakan untuk membantu konselor memperluas makna isi gagasan dan perasaan dari konseli. Selain itu juga membantu konseli dalam menggali pertanyaan-pertanyaannya dan makna yang melekat dalam kata-kata yang dipergunakan.

Hal ini akan mengarahkan konseli untuk memahami lebih jauh pokok pembicaraan itu dan memberikan keterbukaan yang lebih besar untuk mengahadapi hal-hal yang terkait dengan masalah yang diajukan.

g) Pertanyaan terbuka dan tertutup (Open and closed question) Pada proses konseling kebanyakan konselor kesulitan untuk membuka percakapan dengan konseli. Untuk memudahkan membuka percakapan, maka konselor harus memiliki keterampilan bertanya melalui pertanyaan terbuka yang memungkinkan munculnya pernyataan-pernyataan baru dari konseli, melalui kalimat “Apa sebabnya” dan “Mengapa

(49)

sampai hal itu bisa terjadi” , “Bagaimana perasaan anda saat itu” , “Dapatkah anda menjelaskan kejadian pada saat itu”.

Pertanyaan konselor dapat juga bersifat tertutup untuk menjernihkan atau memperjelas informasi, memfokuskan pembicaraan konseli, memperoleh informasi tertentu.

Pertanyaan tertutup dapat dilakukan melalui kalimat “Anda tinggal dimana” ,” Saat ini IP anda mencapai berapa”.

h) Dukungan (Reassurance)

Konselor memberikan semangat dan keyakinan kepada konseli, lebih-lebih pada saat segalanya terasa sulit. Konselor dapat membesarkan hati, memberikan atau menunjukkan harapan, supaya konseli tidak kehilangan semangat. Ada tiga macam reassurance, yaitu:

(1) Prediction reassurance adalah dukungan diberikan sebelum konseli melakukan tindakan. Misalnya dengan mengatakan: “pasti semuanya akan baik dan berhasil”,

“saya yakin, bahwa anda akan berhasil”

(2) Postadiction reassurance adalah dukungan diberikan setelah konseli melakukan tindakan. Misalnya dengan mengatakan: selamat!, bagus!, luar biasa!

(3) Factual reassurance adalah memberikan dukungan finansial.

(50)

i) Saran (Advice)

Konselor memberikan nasihat, agar konseli mengambil tindakan tertentu atau memilih cara A dari pada cara B.

Nasihat biasanya baru diberikan dalam fase penyelesaian masalah, bila seluk beluk permasalahannya sudah jelas dan konselor yakin sarannya memang sesuai dengan keadaan konseli. Ada tiga macam advice, yaitu :

(1) Direct advice adalah nasihat yang diberikan secara langsung menakala konseli tidak mengerti dengan hal-hal yang dia ingin tahu.

(2) Persuasive advice adalah nasihat dalam bentuk dukungan terhadap solusi yang sudah dipahami.

(3) Alternative advice adalah nasihat yang diberikan setelah konseli tahu kelebihan dan kelemahan setiap alternarif.

j) Pemberian struktur (Structuring)

Konselor memberikan petunjuk tentang urutan langkah berpikir atau urutan tahap dalam pembicaraan yang sebaiknya diikuti, supaya akhirnya sampai pada pemecahan masalah.

b. Keterampilan komunikasi non verbal

Komunikasi non verbal adalah proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata melainkan dengan ekspresi wajah, gerakan lengan dan tangan, isyarat dan pandangan mata, sikap

(51)

badan, anggukan kepala, berbagai gerakan tungkai kaki dan tangan.

(Winkel, 2007:386).

Keterampilan ini mengacu pada perilaku non verbal konselor yang dapat menyebabkan kemajuan dalam wawancara konseling dan memperlihatkan pendampingan pada konseli.

1) Sikap-sikap non verbal

Keterampilan verbal memang penting, namun demikian tanggapan-tanggapan non verbal dari konselor sering kali membuat konseli melihat lebih banyak hal lagi. Penampilan dan sikap tubuh konselor memperlihatkan besarnya perhatian dan keprihatinan konselor yang sulit diungkapkan dalam kata-kata.

Untuk alasan inilah, baik jika mengetahui sikap non verbal yang meningkatkan relasi konseling. Diantaranya berbagai sikap- sikap berikut ini (Egan, 1975:43):

a) Menghadapi konseli secara langsung

Dalam konseling posisi duduk yang diterapkan yaitu menghadapi konseli secara langsung. Cara ini menyebabkan konselor dapat memandang konseli dengan baik dan menyejajarkan posisi konseli dengan konselor. Menghadapi konseli secara sejajar juga memperlihatkan pada konseli bahwa kita sedang memberi perhatian penuh.

(52)

b) Memperlihatkan sikap tubuh terbuka

Ketika konselor menghadapi konseli, ia dalam tatapan konseli sepenuhnya. Dalam keadaan seperti ini ia perlu memperlihatkan sikap tubuh terbuka yang menunjukkan penerimaan konseli dan bukannya sikap yang acuh tak acuh. Sikap tubuh terbuka memberi tahu konseli bahwa ia dapat mempercayai konselor.

c) Posisi tubuh kedepan

Posisi tubuh kedepan yang condong kearah konseli biasanya menunjukkan minat dan kesediaan untuk mendengarkan. Jarak antara konseli dengan konselor dapat disesuaikan menurut tingkat kenyamanan kedua pihak. Dengan posisi tubuh kedepan, konselor juga memperlihatkan kehadirannya yang penuh perhatian, terutama bagi seorang konseli yang sedang mengalami kesedihan.

d) Mempertahankan kontak mata

Sementara menghadapi dan condong kearah konseli, harus dipertahankan adanya kontak mata. Sikap ini tidak hanya menunjukkan bahwa konselor sedang mendengarkan, tetapi juga membantu konselor untuk mendapatkan informasi non verbal tentang konseli. Mata kita merupakan komunikator perasaan- perasaan yang sangat andal. Jika konseli marah, sedih, atau gembira, mata akan memperlihatkan perasaan-perasaan itu.

(53)

e) Bersikap rileks

Pada umumnya seorang konselor harus bersikap rileks dalam menghadapi konselinya. Konseli biasanya tegang dan merasa tidak nyaman. Kita bisa menempatkan posisi duduk dengan punggung tegak disandaran kursi sehingga membuat kita rileks dan menyuruh konseli duduk dengan rileks pula sehingga konseling berlangsung dengan lancar.

2) Teknik-teknik non verbal

Winkel (2007:386) mengemukakan beberapa teknik nonverbal agar terdapat kesesuaian dan keselarasan antara ucapan verbal konselor dan perilaku non verbalnya, yaitu : a) Senyuman

Untuk menyatakan sikap menerima, misalnya pada saat menyambut datangnya konseli.

b) Cara duduk

Untuk menyatakan sikap rileks dan sikap mau memperhatikan, misalnya membungkuk ke depan, duduk agak bersandar. Sikap badan jelas-jelas menyampaikan suatu pesan kepada konseli.

c) Anggukan kepala

Untuk menyatakan penerimaan dan menunjukkan pengertian.

Boleh juga menyertai kata-kata yang bertujuan membombong.

(54)

d) Gerak gerik lengan dan tangan

Untuk memperkuat apa yang diungkapkan secara verbal.

Gerak gerik semacam itu banyak variasinya dan mengandung makna yang berbeda. (menguatkan, menunjang)

e) Berdiam diri

Untuk memberi kesempatan kepada konseli berbicara secara leluasa, mengatur pikirannya atau menenangkan diri. Bila konseli diam mungkin konselor ikut berdiam diri, namun lamanya tergantung pada makna yang terkandung dalam diamnya konseli, misalnya konseli merasa: sulit mengungkapkan perasaanya, malu untuk berbicara dan atau gelisah, bingung dan mengharapkan saran atau bombongan dari konselor, lega sesudah mengungkapkan perasaanya.

f) Mimik (ekspresi wajah, roman muka, air muka, raut muka) Untuk menunjang atau mendukung dan menyertai reaksi- reaksi verbal. Mimik bervariasi banyak, misalnya mengerutkan dahi, mengerutkan kening, mengangkat alis, senyum, dan wajah cerah.

g) Kontak mata

Untuk menunjang atau mendukung tanggapan verbal. Namun harus dihindarkan kesan bahwa konselor mengejar, memaksa konseli, atau mempermalukan. Cara menatap muka konseli haruslah sesuai dan wajar. Selain itu kontak mata juga sarana

(55)

pengamatan terhadap konseli karena sinar mata dan raut muka dapat mengungkap suatu perasaan yang dialami, seperti juga gerakan tubuh dan kualitas vokal.

h) Variasi dalam nada suara dan kecepatan bicara

Untuk menyesuaikan diri dengan ungkapan perasaan konseli, mislanya konselor berbicara lebih lembut, lebih lambat, lebih cepat, dengan nada lebih tinggi atau lebih rendah.

i) Sentuhan

Kontak fisik antara konselor dan konseli secara potensial dapat membahayakan, lebih-lebih dalam lingkup kebudayaan yang cenderung menghindari kontak fisik selain berjabatan tangan sebagai tanda salam, apalagi kontak fisik antara orang yang berlainan jenis. Maka disarankan supaya konselor mengendalikan diri dalam menggunakan sentuhan sebagai tanda perhatian dan keprihatinan.

3) Pentingnya komunikasi non verbal

Bardlund (dalam Lutfifauzan, 2009:42) mengungkapkan 3 alasan pentingnya komunikasi nonverbal, yaitu :

a) Untuk menunjukkan keadaan emosional seseorang.

Komunikasi non verbal amatlah penting untuk menunjukkan kondisi emosional seseorang. Jika anda melihat seseorang dengan muka yang merah dan tangan yang terkepal serta pandangan mata yang tajam, tidak membutuhkan waktu lama

(56)

bagi kita untuk mendeteksi bahwa orang tersebut sedang marah. Atau bila kita melihat seseorang berbicara terbata-bata dengan tangan gemetar kita sudah pasti tahu bahwa orang tersebut sedang gelisah.

b) Untuk menciptakan citra diri komunikasi non verbal juga penting sebagai sarana awal untuk pembentukan citra diri.

Kenyataannya penampilan awal seseorang bisa menjadi suatu penilaian awal terhadap pribadi orang tersebut jauh sebelum bentuk pengiriman pesan secara verbal.

c) Memanajemen interaksi komunikasi non verbal juga berguna sebagai proses untuk memanajemen interaksi. Seperti siapa yang akan berbicara duluan, bagaimana sinyal untuk mengakhiri suatu percakapan, dan lain-lain

4) Klarifikasi pesan non verbal

Ruesch (dalam Lutfifauzan, 2009:45) mengklarifikasikan isyarat tanggapan nonverbal menjadi tiga bagian, yaitu:

a) Bahasa tanda: acungan jempol untuk memberikan dukungan atau menyatakan bahwa itu “bagus”.

b) Bahasa tindakan: semua gerakan tubuh yang tidak digunakan secar eklusif untuk memberikan sinyal, misalnya berjalan.

c) Bahasa objek: pertunjukan benda, pakaian dan lambang nonverbal bersifat publik lainnya seperti ukuran ruangan, bendera, lukisan, dll.

(57)

C. Keterbukaan Diri Konseli

Dalam pelaksanaan konseling sangat diperlukan suasana keterbukaan, baik keterbukaan dari konselor maupun keterbukaan dari konseli.

Keterbukaan ini bukan hanya sekedar bersedia menerima saran-saran dari luar, malahan lebih dari itu, diharapkan masing-masing pihak yang bersangkutan bersedia membuka diri untuk kepentingan pemecahan masalah.

Individu yang membutuhkan bimbingan diharapkan dapat berbicara sejujur mungkin dan berterus terang tentang dirinya sendiri sehingga dengan keterbukaan ini penelaahan serta pengkajian berbagai kekuatan dan kelemahan si terbimbing dapat dilaksanakan.

Keterusterangan dan kejujuran konseli akan terjadi jika konseli tidak lagi mempersoalkan asas kerahasiaan dan kesukarelaan; maksudnya, konseli telah betul-betul mempercayai konselornya dan benar-benar mengharapkan bantuan dari konselornya. Lebih jauh, keterbukaan akan semakin berkembang apabila konseli tahu bahwa konselornya pun terbuka. Berikut pengertian keterbukaan konseli dari beberapa ahli.

1. Pengertian Keterbukaan Diri Konseli

Keterbukaan konseli didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengungkapkan informasi tentang diri sendiri kepada konselor (Wheeles, dalam Sarmudi 2001:41). Sedangkan Person (1987:27) mengartikan keterbukaan konseli sebagai tindakan seseorang dalam memberikan informasi yang bersifat pribadi pada konselor secara sukarela dan disengaja untuk maksud memberi informasi yang akurat tentang

(58)

dirinya. Menurut Morton (dalam Sears dkk, 1989:132) keterbukaan konseli kepada konselor sebagai suatu bentuk pemberian informasi diri yang bersifat deskriptif dan evaluatif. Informasi disebut deskriptif apabila konseli melukiskan berbagai fakta mengenai dirinya sendiri yang belum diketahui orang lain. Misalnya jenis pekerjaan, alamat, dan usia. Informasi yang bersifat evaluatif berkaitan dengan pendapat atau perasaan pribadi individu terhadap sesuatu, seperti tipe orang yang disukai atau dibenci.

Selain itu, juga bersifat eksplisit. Dalam hal ini, pemberian informasi diri konseli lebih bersifat rahasia karena tidak mungkin diketahui orang lain, kecuali diberitahukan sendiri oleh konseli yang bersangkutan.

Barker dan Gaut (dalam Wahyudi, 2004:21) mengemukakan bahwa keterbukaan konseli adalah kemampuan seseorang menyampaikan informasi kepada konselor yang meliputi pikiran/pendapat, keinginan, perasaan maupun perhatian. Crider (dalam Wahyudi, 2004:38) senada mengatakan bahwa keterbukaan konseli meliputi pikiran, pendapat, dan perasaan. Dengan mengungkapkan keberadaan diri kepada konseli, maka konseli merasa dihargai, diperhatikan, dan dipercaya, sehingga hubungan komunikasi akan semakin akrab. Winkel (2007:82) mengatakan bahwa keterbukaan konseli diungkapkan melalui ekspresi seseorang dalam menyampaikan informasi secara verbal maupun non verbal.

Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan pengertian keterbukaan konseli adalah sebagai kemampuan konseli dalam menyampaikan ungkapan/pernyataan diri secara lebih mendalam secara

(59)

verbal dan non verbal kepada konselor untuk menjalin komunikasi semakin akrab.

2. Aspek-aspek Keterbukaan Konseli Dalam Proses Konseling

Person (1987:36) mengatakan bahwa keterbukaan konseli merupakan kemampuan dalam memberikan informasi. Informasi yang akan disampaikan terdiri atas 4 aspek, yaitu

a. perilaku, konseli mengungkapkan keadaan dirinya kepada konselor dalam bentuk ekspresi wajah, gerakan tangan, sikap diam, maupun ketika berbicara dengan intonasi yang berbeda-beda.

b. perasaan, konseli mengungkapkan keadaan dirinya kepada konselor tentang perasaan yang lebih mendalam tentang permasalahan yang sedang dihadapi.

c. keinginan, konseli mengungkapkan keadaan dirinya kepada konselor untuk menaruh kepercayaan dengan bantuan konselor, konseli mampu terentaskan dari permasalahan yang sedang dihadapi.

d. motivasi, konseli mengungkapkan keadaan dirinya kepada konselor dengan menunjukkan motivasi yang kuat, dan siap menghadapi permasalahan yang dihadapi untuk bangkit menemukan pilihan keputusan yang tepat.

Informasi yang akan disampaikan tergantung pada kemampuan konseli dalam menyampaikan tentang permasalahan yang dihadapi maupun keberadaan diri saat ini.

(60)

3. KarakteristikKeterbukaanKonseli Dalam Proses Konseling

Devito (2002:51) mengemukakan bahwa keterbukaan konseli mempunyai beberapa karakteristik umum antara lain:

a. Kepercayaan diri pada konseli, yaitu bahwa dalam menginformasikan diri, konseli menunjukkan suatu tipe komunikasi tentang informasi diri yang pada umumnya tersimpan, yang dikomunikasikan kepada konselor. Konseli menaruh kepercayaan diri kepada konselor tentang keberadaan diri yang sedang membutuhkan bantuan atau bimbingan untuk terentaskan dari masalah yang dihadapi.

b. Keterlibatan konseli dalam konseling, yaitu bahwa konseli memberikan informasi diri kepada konselor yang mana merupakan pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui oleh konselor dengan demikian untuk dikomunikasikan sebagai suatu keterlibatan dalam proses konseling.

Keterbukaan konseli secara aktif menyampaikan informasi secara detail tentang diri sendiri yakni tentang pikiran, perasaan dan sikap sehingga membantu konselor memahami secara mendalam tentang kebutuhan konseli terentaskan dari masalah yang dialami.

c. Hubungan yang empatik, yaitu keterbukaan konseli kepada konselor dapat bersifat informasi secara khusus. Informasi secara khusus adalah rahasia yang diungkapkan kepada konselor secara pribadi yang tidak semua orang ketahui. keterbukaan konseli melibatkan sekurang- kurangnya bentuk empatik konselor dengan mendengarkan, memberikan penguatan, dan membantu konseli menemukan alternatif

(61)

pilihan keputusan sebagai langkah pemecahan masalah yang dialami konseli.

D. Hubungan Keterampilan Komunikasi Konselor dan Keterbukaan Konseli dengan Keberhasilan Proses Konseling

1. Hubungan Keterampilan Komunikasi Konselor dengan Keberhasilan Proses Konseling

Ivey (dalam Willis, 2007:86) mengatakan bahwa keterampilan komunikasi konseling dapat juga dipandang sebagai keterampilan minimal seorang konselor profesional, sehingga penguasaan keterampilan- keterampilan komunikasi banyak menjamin keberlangsungan suatu proses konseling untuk mencapai tujuan konseling yaitu konseli dapat memecahkan masalahnya sendiri demi perkembangan optimal diri konseli sendiri.

Seorang konselor harus memiliki keterampilan komunikasi yang meliputi komunikasi verbal dan non verbal agar tercapai keberhasilan konseling. Komunikasi verbal berarti konselor mampu mendengarkan isi verbalisasi konseli, yaitu mengungkapkan makna bagi konseli yang ada dibalik kata-kata yang diungkapkan (personal meaning). Sedangkan komunikasi secara non verbal adalah konselor memperhatikan seluruh gerakan, ekspresi, intonasi, dan perilaku yang lainnya yang ditunjukkan oleh konseli (Latipun, 2001:48)

Keterampilan komunikasi dasar konseling tersebut juga dapat menjadi stimuli yang sangat kuat dalam membangkitkan sikap keterbukaan pada diri

(62)

konseli, sehingga mutlak untuk dikuasai dan dipahami oleh konselor profesional. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nirwana membuktikan bahwa semakin tinggi keterampilan komunikasi dasar konselor, maka semakin tinggi keterbukaan konseli dalam konseling. Hasil penelitian Nirwana menunjukkan bahwa keterampilan dasar komunikasi konseling mempunyai pengaruh yang besar terhadap keberhasilan konseling (Nirwana dalam Widodo, 2012:54).

2. Hubungan Keterbukaan Konseli dengan Keberhasilan Proses Konseling Keterbukaan dari konseli akan mempermudah proses konseling, seperti dengan sukarela konseli mengijinkan dirinya untuk membersihkan cermin yang selama ini digunakan dalam melihat dirinya dan masalah yang dihadapinya, mengijinkan konselor menempatkan “cermin-cermin” di sekitar dirinya dan melihat dirinya dari berbagai sudut pandang, sehingga konseli dapat mengetahui kelemahan dan kelebihannya dalam menghadapi masalah tersebut, dengan kejujuran dan transparansi yang diberikan klien dalam mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakan dalam melihat dirinya di masa lalu, saat ini dan yang akan datang, membuat semakin jelas gambaran diri klien secara detail (Pangaribuan, 2009:54).

Dengan keterbukaan yang telah diberikan konseli, konselor mempunyai tanggung jawab yang besar untuk menyimpan rahasia pribadi tersebut dari siapapun juga, karena tidak semua orang dapat dengan mudah terbuka, jujur dan transparan tentang dirinya kepada orang lain apalagi kepada seorang konselor yang baru dikenalnya. Keyakinan dari konseli

(63)

bahwa adanya perlindungan terhadap kerahasiaan diri dan segala hal yang diungkapkannya menjadi jaminan untuk suksesnya layanan konseling individual, seorang konselor harus menyatakan dan menekankan ini kepada konseli dengan set-frame di awal sebelum sesi konseling individual dilakukan. Dapat dikatakan bahwa kesukarelaan klien menjalani proses konseling individual merupakan hasil dari terjaminnya kerahasiaan konseli (Pangaribuan, 2009:63).

Keterbukaan konseli juga ditentukan oleh bahasa tubuh konselor untuk menciptakan situasi kondusif bagi keterbukaan dan kelancaran proses konseling, maka sifat-sifat jujur, asli, mempercayai, toleransi, respek, menerima, dan komitmen terhadap hubungan konseling, amat diperlukan dan dikembangkan terus oleh konselor. Sifat-sifat tadi akan memancar pada perilaku konselor sehingga klien terpengaruh, dan kemudian klien mengikutinya, maka konseli akan menjadi terbuka dan terlibat dalam pembicaraan. Dalam hubungan konseling pada prinsipnya ditekankan bagaimana konselor mengembangkan hubungan konseling yang rapport (akrab) dan dengan memanfaatkan komunikasi verbal dan non verbal. Jadi konseling bukan menomorsatukan content (masalah klien). Demikian pula strategi dan teknik janganlah diutamakan, yang penting adalah menumbuhkan kepercayaan klien terhadap konselor, sehingga konseli akan terbuka dan mau terlibat pembicaraan (Willis, 2004:78).

Gambar

Gambar 2.1 Paradigma Penelitian
Tabel 4.2 Ringkasan Hasil
Tabel 4.4 Ringkasan Hasil
Tabel 4.6 Ringkasan Hasil
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi konselor dalam menangani siswa bermasalah pada proses bimbingan dan konseling dilihat berdasarkan tindak

Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu khususnya berkaitan dengan sikap siswa terhadap konselor dan keterbukaan diri dengan minat memanfaatkan layanan

Keterampilan dasar komunikasi konselor dalam menciptakan suatu hubungan yang positif dengan konseli adalah dasar untuk membangun suatu lingkungan dan suasana yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses komunikasi interpersonal konselor KOPPATARA saat menghadapi anak berkebutuhan khusus yang menjadi korban

Amalia (2016, hal 13) berpendapat bahwa kepribadian konselor ini dapat dirasakan dalam proses konseling yang dilakukan konselor dan konseli, sehingga disarankan

Konseling sebagai suatu proses, melibatkan hubungan antara satu individu dengan individu lain, yaitu konselor dan konseli merupakan aspek terpenting yang harus ditekankan

Selain dari pada pemicu munculnya hal yang mampu memberikan kesulitan kepada konselor dalam mencapai kefektifan komunikasi konseling, maka komunikasi dalam

Seorang konselor perlu memiliki pemahaman terhadap permasalahan hidup sehari-hari dari suatu budaya tertentu, sehingga konseli yang berasal dari latar belakang kebudayaan tersebut dapat