STRATEGI KONSELOR DALAM MENANGANI SISWA BERMASALAH
PADA PROSES BIMBINGAN DAN KONSELING
DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
(Kajian Pragmatik)
TESIS
diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora
di Bidang Linguistik
oleh
R. ARYATI VIRNA
1102715
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Strategi Konselor dalam
Menangani Siswa Bermasalah pada Proses Bimbingan dan Konseling di SMK (Kajian
Pragmatik)“ beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya sendiri dan saya tidak melakukan
plagiarisme atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika yang berlaku
dalam masyarakat keilmuan.
Atas pernyataan ini, saya siap menerima tindakan atau sanksi yang dijatuhkan kepada
saya apabila ditemukan pelanggaran akademik dalam karya saya ini atau ada klaim terhadap
keaslian karya saya ini.
Bandung, 7 Juli 2015
Pembuat pernyataan,
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL PENELITIAN
STRATEGI KONSELOR DALAM MENANGANI SISWA BERMASALAH PADA PROSES BIMBINGAN DAN KONSELING
DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (Kajian Pragmatik)
Nama Peneliti : R. Aryati Virna
NIM : 1102715
Program Studi : Linguistik
Menyetujui
Pembimbing 1
Prof. E. Aminudin Aziz, M.A., Ph.D NIP.196711161992031001
Pembimbing 2
Dadang Sudana, M.A., Ph.D NIP.196009191990031001
Mengetahui
Ketua Program Studi Linguistik
Strategi Konselor dalam Menangani Siswa Bermasalah pada Proses Bimbingan dan Konseling di SMK
(Kajian Pragmatik)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi konselor dalam menangani siswa bermasalah pada proses bimbingan dan konseling dilihat berdasarkan tindak tuturnya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data penelitian berupa tuturan percakapan antara konselor dengan empat siswa yang dianggap bermasalah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konselor lebih banyak menggunakan tindak tutur direktif. Terdapat 4 hal yang mendasari tindak tutur konselor dalam proses BK yakni membangun hubungan dengan siswa yang mengalami masalah, memperjelas dan mendefinisikan masalah yang dialami siswa, membuat alternatif bantuan untuk meyelesaikan masalah yang dialami siswa dan mendorong siswa agar berubah menjadi lebih baik. Keempat strategi tindak tutur tersebut membuktikan bahwa realisasi dalam pemilihan tuturan dari konselor sangat penting dan berkaitan erat dengan keberhasilan tuturan untuk mendapatkan respon positif dari siswa.
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
PERNYATAAN ... ii
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... v
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR SINGKATAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 4
1.3 Batasan Masalah ... 5
1.4 Rumusan Masalah ... 5
1.5 Tujuan Penelitian ... 6
1.6 Manfaat Penelitian ... 6
1.7 Definisi Operasional ... 7
BAB II KONSELING DAN TINDAK TUTUR ... 8
2.1 Definisi dan Tahapan Konseling ... 8
2.1.1 Tahap Awal ... 9
2.1.2 Tahap Pertengahan ... 9
2.2 Tindak Tutur dalam Pragmatik ... 10
2.3 Komponen Tindak Tutur ... 13
2.3.1 Penutur dan Mitra Tutur ... 14
2.3.2 Tuturan ... 15
2.3.3 Konteks Tuturan ... 16
2.4 Klasifikasi Tindak Tutur ... 16
2.5Jenis Tindak Tutur (JTT) ... 18
2.6Illocutionary Force Indicating Divices (IFID) ... 21
2.7Tuturan Konselor ... 22
2.8Respon Siswa sebagai Tindak Ilokusi Konselor ... 23
BAB III METODE PENELITIAN ………... 26
3.1 Jenis Penelitian ... 26
3.2 Data dan Sumber Data Penelitian ... 27
3.3 Prosedur Pengumpulan Data ... 28
3.4 Prosedur Pengolahan Data ... 30
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 35
4.1 Realisasi Tindak Tutur Konselor dalam Proses BK di Sekolah ... 35
4.1.1 Penggunaan Jenis Tindak Tutur Asertif ... 36
4.1.1.1 JTT Asertif dalam Bentuk Menyatakan ... 38
4.1.1.2 JTT Asertif dalam Bentuk Memberitahu ... 39
4.1.1.3 JTT Asertif dalam Bentuk Menunjukkan ... 40
4.1.1.4 JTT Asertif dalam Bentuk Melaporkan ... 41
4.1.2 Penggunaan Jenis Tindak Tutur Direktif ... 43
4.1.2.1 JTT Direktif dalam Bentuk Bertanya ... 45
4.1.2.2 JTT Direktif dalam Bentuk Perintah ... 47
4.1.2.3 JTT Direktif dalam Bentuk Menyarankan ... 48
4.1.2.4 JTT Direktif dalam Bentuk Menasehati ... 49
4.1.2.5 JTT Direktif dalam Bentuk Meminta ... 50
4.1.2.6 JTT Direktif dalam Bentuk Mengajak ... 52
4.1.2.7 JTT Direktif dalam Bentuk Menekan ... 53
4.1.2.8 JTT Direktif dalam Bentuk Mengarahkan ... 54
4.1.3 Penggunaan Jenis Tindak Tutur Komisif ... 55
4.1.3.1 JTT Komisif dalam Bentuk Berjanji ... 56
4.1.3.2 JTT Komisif dalam Bentuk Tawaran ... 57
4.1.3.3 JTT Komisif dalam Bentuk Harapan ... 58
4.1.4 Penggunaan Jenis Tindak Tutur Ekspresif ... 58
4.1.4.1 JTT Ekspresif dalam Bentuk Memberi Selamat .. 59
4.1.4.2 JTT Ekspresif dalam Bentuk Bergurau ... 60
4.1.4.3 JTT Ekspresif dalam Bentuk Kesedihan ... 60
4.1.4.4 JTT Ekspresif dalam Bentuk Terkejut ... 60
4.1.4.5 JTT Ekspresif dalam Bentuk Kebanggaan ... 61
4.1.4.6 JTT Ekspresif dalam Bentuk Kesenangan ... 61
4.1.4.7 JTT Ekspresif dalam Bentuk Berterima Kasih... 62
4.1.4.8 JTT Ekspresif dalam Bentuk Meminta Maaf ... 62
4.1.5.1 JTT Deklaratif dalam Bentuk Memutuskan ... 63
4.2 Hal-hal yang Mendasari Tuturan konselor dalam Proses BK ... 64
4.2.1 Membangun Hubungan ... 64
4.2.2 Memperjelas dan Mendefinisikan Masalah ... 67
4.2.3 Membuat Alternatif Bantuan Menyelesaikan Masalah ... 68
4.2.3 Mendorong Siswa Agar Berubah Lebih Baik ... 70
4.3 Daya Ilokusi Konselor dalam Proses BK ... 71
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ………. 77
5.1 Simpulan ... 77
5.2 Saran-saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 82
LAMPIRAN ... 85
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini, diuraikan tentang latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, serta definisi operasional.
1.1Latar Belakang Masalah
Dalam kegiatan kemasyarakatan, manusia sangat bergantung pada
penggunaan bahasa. Pemikiran setiap individu memungkinkan untuk disampaikan
kepada individu lain menggunakan bahasa, sehingga terjalin suatu komunikasi.
Sebagai ilustrasi, orang Batak tidak akan memahami apa yang ingin disampaikan
orang Sunda jika ia tidak memiliki pengetahuan bahasa Sunda, begitu pun
sebaliknya. Hal ini menunjukkan komunikasi melalui bahasa hanya mungkin
terjadi apabila antara penutur dan mitra tutur memiliki pengetahuan atau
pemahaman yang sama terhadap suatu bahasa tertentu. Bahasa tersebut digunakan
dalam komunikasi dengan satu pokok tuturan, dalam waktu dan tempat, serta
situasi tertentu.
Teori tindak tutur awalnya digagas oleh Austin (1962) dalam How to Do
Things with Words. Dalam pembahasannya, Austin mengemukakan bahwa sebuah
kalimat yang diujarkan dapat dipandang sebagai suatu tindakan (act). Dalam
mengucapkan suatu kalimat, seseorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu
dengan pengucapan tuturan itu saja, tetapi juga menindakkan sesuatu dalam
(dalam Pringganti, 2013: 4), yaitu “when you say something you are doing
something; talking is an action on several levels”.
Tindak tutur (speech act) menempati posisi sentral dalam pragmatik dan
menjadi dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lainnya, seperti praanggapan,
perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan.
Kajian pragmatik yang tidak mendasarkan analisisnya pada tindak tutur bukanlah
kajian pragmatik dalam arti yang sebenarnya (Rustono, 1999: 33). Dari
pernyataan tersebut, analisis tindak tutur dinilai mampu menjelaskan fenomena
pemakaian bahasa dalam segala bidang.
Kajian linguistik dalam ranah pendidikan dapat dimanfaatkan untuk
memperbaiki kualitas pendidikan. Dalam proses pendidikan, guru Bimbingan dan
Konseling (BK) diharapkan mampu memberikan dukungan pada proses
belajar-mengajar di sekolah. Bimbingan dan konseling memiliki pengertian yang khas.
Dengan bimbingan dan konseling tersebut, siswa akan melakukan aktivitas belajar
sesuai dengan apa yang telah ditentukan, atau telah diatur dalam suatu aturan
(norma), atau dalam kata lain siswa bersikap disiplin. Moeliono (1993: 208)
pernah mengemukakan bahwa disiplin adalah ketaatan (kepatuhan) kepada
peraturan tata tertib, aturan, atau norma.
Kegiatan BK tidak dilaksanakan sebagaimana kegiatan belajar-mengajar
(KBM) yang dilakukan guru bidang studi lainnya di kelas. Kegiatan BK
merupakan kegiatan pelayanan ahli dalam konteks mendisiplinkan dan
memandirikan peserta didik. (Naskah Akademik ABKIN, Penataan Pendidikan
Pendidikan Formal, 2007). Merujuk pada UU No. 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, sebutan bagi guru BK ditetapkan menjadi ‘konselor’.
Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah
satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar,
tutor, widyaiswara, fasilitator dan instruktur sebagaimana yang tercantum pada
UU No. 20/2003, pasal 1 ayat 6.
Pada kegiatan BK, siswa dipanggil ke ruangan khusus oleh konselor.
Dalam pertemuan tersebut, konselor akan berupaya berkomunikasi dengan siswa
yang biasanya memiliki masalah, baik secara pribadi maupun kelompok.
Komunikasi tersebut bertujuan untuk menggali lebih dalam akar permasalahan
yang dialami siswa. Ketika siswa mengungkapkan sebab-akibat permasalahannya,
konselor berusaha mencari penyelesaian terhadap masalah tersebut. Setelah
memahami permasalahannya, konselor menyampaikan pemahaman tersebut
kepada siswa. Dengan begitu, siswa diharapkan dapat merespon dengan
mengubah sikapnya menjadi lebih baik. Selama proses BK terjalin interaksi dan
komunikasi antara seorang guru BK, yang bertindak sebagai konselor, dan siswa.
Dalam konteks ini, konselor menjadi seorang penutur, sedang siswa menjadi mitra
tutur. Kalimat-kalimat yang dituturkan konselor tentu memiliki ‘tindakan’ yang
mengharapkan adanya tanggapan dari siswa. Tindak tutur yang digunakan
konselor dari awal pertemuan sampai perbincangan, dapat menunjukkan strategi
komunikasi yang khas. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
mendapatkan rumusan strategi konselor yang direalisasikan melalui tindak tutur
Penelitian mengenai tindak tutur memang sudah banyak dilakukan.
Beberapa penelitian mengenai tindak tutur antara lain sebagai berikut. Pertama,
penelitian yang dilakukan oleh Arifin (2008). Dalam penelitiannya, dibahas
penggunaan bentuk direktif siswa dalam percakapan di kelas dan penggunaan
bentuk asertif siswa dalam percakapan di kelas. Selain itu, penelitian mengenai
tindak tutur juga telah dilakukan oleh Jumadi (2007). Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa penggunaan suatu tindak tutur tidak dapat dilepaskan dengan
otoritas yang dimiliki oleh penutur dan kondisi sosial budaya yang melingkupi
penggunaan suatu tindak tutur. Kedua penelitian tersebut berbeda dengan
penelitian yang dilakukan, baik dari segi objek maupun subjek penelitian. Karena
selama ini, penelitian mengenai kegiatan BK biasanya lebih menekankan pada
segi (bidang) psikologi saja. Oleh karena itu, penelitian ini yang berjudul Strategi
Konselor dalam Menangani Siswa Bermasalah pada Proses Bimbingan dan
Konseling di SMK (Kajian Pragmatik), menarik dan perlu untuk dilakukan dan
merujuk penjelasan di atas, karena konselor dapat menjadi motivator bagi siswa
untuk dapat meraih kesuksesan.
1.2Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang, masalah yang
teridentifikasi yaitu sebagai berikut.
1) Konselor mempunyai sejumlah strategi komunikasi untuk mengajak konseli
agar terbuka dalam menyelesaikan yang dialami oleh konseli (siswa).
2) Tuturan konselor dalam proses BK dapat mempengaruhi perkembangan
3) Klasifikasi tindak tutur berdasarkan ilokusinya yang selama kegiatan BK
dapat menunjukkan strategi bertutur, sedangkan ilokusi konselor yang muncul
pada anak dapat dijadikan parameter untuk mengetahui keberhasilan konselor
dalam menangani permasalahan yang dialami oleh siswa.
1.3Batasan Masalah
Mengingat kompleksnya persoalan di atas, peneliti membatasi beberapa
hal, yaitu sebagai berikut.
1) Penelitian ini mengkhususkan pada strategi bertutur konselor yang
direalisasikan dengan jenis tindak tutur saja. Teori yang digunakan yaitu jenis
tindak tutur yang digunakan oleh Searle (1979).
2) Data yang digunakan penelitian ini berasal dari kegiatan seorang konselor di
salah satu SMK di Bandung yang telah ditentukan berdasarkan beberapa
pertimbangan, serta empat siswa dengan permasalahan yang berbeda.
3) Untuk melihat tingkat keberhasilan, penelitian ini menganalisis ilokusi tindak
tutur konselor yang kemudian direspon siswa sebagai wujud realisasi
perlokusinya.
1.4Rumusan Masalah
Masalah-masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut.
1) Bagaimana realisasi tindak tutur konselor dalam menangani siswa bermasalah
2) Apa yang mendasari tindak tutur konselor dalam menangani siswa
bermasalah pada proses BK di sekolah?
3) Bagaimana daya (efek) ilokusi konselor terhadap siswa yang menjalani proses
BK di sekolah?
1.5Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan sebagai
berikut:
1) mendeskripsikan realisasi tindak tutur sebagai strategi bertutur konselor
dalam menangani siswa bermasalah pada proses BK di sekolah
2) mendeskripsikan alasan (hal-hal) yang mendasari tindak tutur konselor dalam
menangani siswa bermasalah pada proses BK di sekolah
3) mendeskripsikan daya (efek) ilokusi konselor terhadap siswa sebagai
parameter keberhasilan proses BK di sekolah
1.6Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dilihat dari segi teoritis diharapkan mampu
memperkaya wawasan subteori yang beririsan dengan ilmu pragmatik terutama
yang berkaitan dengan tindak tutur .
Berdasarkan dari segi praktis, memberi sumbangan saran dan pemikiran
bagi guru, khususnya konselor, dalam menangani siswa bermasalah di SMK.
Dari kepustakaan, diharapkan dapat menjadi salah satu karya tulis ilmiah
yang menambah koleksi pustaka yang bermanfaat bagi para linguis dan pendidik
Bagi perkembangan dunia pendidikan, membantu guru dalam upaya
membantu siswa untuk mandiri serta mampu mengatasi berbagai permasalahan
yang menimpa dirinya.
1.7Definisi Operasional
Untuk mengetahui semua cakupan masalah, penelitian ini perlu
merumuskan definisi operasional yang meliputi hal-hal berikut ini.
1) Proses BK adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara
perorangan maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang secara
optimal, dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial,
kemampuan belajar, dan perencanaan karir, melalui berbagai jenis layanan dan
kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku.
2) Konselor adalah orang yang mengontrol dalam proses pelaksanaan konseling.
3) Strategi konselor merupakan upaya konselor melakukan proses BK ditinjau
dari aspek tindak tuturnya.
4) Realisasi tindak tutur konselor adalah maksud yang ingin disampaikan
konselor terhadap mitra tutur.
5) Siswa yang menjalani konseling adalah siswa yang dianggap bermasalah dalam
sikap, baik secara pribadi maupun kelompok.
BAB III
METODE PENELITIAN
Bagian ini menjelaskan langkah-langkah yang berkaitan dengan jenis
penelitian, data dan sumber data, pengembangan instrumen, prosedur
pengumpulan data, dan prosedur pengolahan data. Kelima hal tersebut dijelaskan
lebih lanjut sebagai berikut.
3.1Jenis Penelitian
Berdasarkan cara dan prosedur analisis datanya, penelitian ini dilakukan
melalui metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
deskriptif karena berusaha menggambarkan tuturan yang digunakan oleh konselor.
Tuturan konselor tersebut diklasifikasikan berdasarkan jenis tindak tutur yang
dikemukakan oleh Searle (1979). Klasifikasi tindak tutur tersebut dimaksudkan
untuk mendeskripsikan strategi komunikasi konselor dalam menangani siswa
bermasalah.
Selanjutnya penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatik yang
memfokuskan pada teori tindak tutur yang dikemukakan oleh Searle (1979) mulai
dari jenis tindak tutur asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi sampai
dengan IFID. Sebagaimana diketahui bahwa dalam penelitian pragmatik, sebuah
tuturan akan selalu memiliki makna yang mengimplikasikan pada suatu tindakan
dan konteks dari mitra tutur. Tuturan yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah
tuturan yang disampaikan konselor pada saat proses BK. Sementara mitra tutur
3.2Data dan Sumber Data
Berdasarkan sumber data yang diambil, penelitian ini merupakan
penelitian lapangan (field research) karena data berupa teks lisan yaitu
percakapan yang terjadi pada proses interaksi (tindak tutur) dalam layanan
bimbingan dan konseling antara konselor (guru BK) dengan konseli (siswa). Jadi,
secara garis besar penelitian ini menggunakan empat sumber data, yakni konselor,
wali kelas, orang tua, dan siswa.
Penelitian ini dilakukan di sebuah sekolah menengah kejuruan negeri di
Bandung. Alasan penentuan sekolah tersebut adalah ditemukannya latar belakang
siswa yang berbeda-beda sehingga menimbulkan permasalahan pribadi siswa
yang berbeda-beda pula. Untuk menghadapi masalah yang beragam tersebut
memerlukan strategi khusus untuk menanganinya.
Adapun yang menjadi sumber data utama dalam penelitian ini adalah
konselor dan siswa. Sumber data pertama adalah seorang perempuan dengan usia
47 tahun. Pendidikan terakhir yaitu S1 Pendidikan Bimbingan dan Konseling.
Alasan diambilnya data dari konselor tersebut sebab berdasarkan observasi awal
konselor tersebut dianggap paling berhasil dalam menangani perubahan sikap
pada siswa yang bermasalah. Hal ini juga berarti konselor tersebut memiliki
strategi komunikasi khusus dalam dunia konseling yang baik.
Sumber data yang kedua adalah siswa. Pada tahapan ini, empat siswa
untuk dijadikan sumber data, dengan kasus yang bervariasi. Keempat siswa
tersebut, yakni 1) siswa perempuan berinisial G usia 17 tahun. Alasan diambilnya
salah pergaulan; 2) siswa laki-laki berinisial P usia 16 tahun. P dianggap
bermasalah karena sering membolos dengan alasan tidak nyaman di sekolah.
Selain itu, P memiliki masalah dengan teman satu kelas dan salah seorang guru
bidang studi; 3) siswa laki-laki berinisial I usia 18 tahun. I merupakan siswa yang
pernah mengulang akibat jarang masuk sekolah. Menjelang ujian nasional, I
kembali bermasalah dengan kehadiran, alasannya kurang mendapat perhatian dari
orang tua; 4) siswa laki-laki berinisial B usia 17 tahun. B termasuk siswa yang
rajin dan ceria, namun belakangan B berubah menjadi pemurung. Berdasarkan
informasi dari teman terdekatnya, B memiliki masalah dengan ayahnya.
3.3Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dibagi ke dalam tiga tahap yaitu observasi, penyebaran
angket, dan perekaman. Penggunaan observasi sebagai instrumen pertama
berdasarkan pemaparan yang disampaikan oleh Meleong (2001) dan Gunarwan
(2002). Observasi ini dilakukan hanya untuk melakukan pengamatan terkait
penentuan subjek penelitian. Kegiatan observasi penelitian ini dibagi menjadi tiga
tahap, yaitu observasi awal, observasi lanjutan, dan observasi akhir. Dalam
observasi awal, peneliti melakukan pengenalan terhadap sekolah yang dipilih,
mendapat informasi untuk penentuan siswa bermasalah yang kemudian diteliti.
Penentuan siswa bermasalah tersebut berdasarkan pertimbangan dari konselor
untuk dilakukan pengambilan data. Kemudian observasi lanjutan, dilakukan untuk
mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang situasi dalam proses BK serta
untuk mengecek kembali jika data masih kurang. Tahap observasi ini dipadukan
pula dengan pencatatan langsung, sebagai laporan dari hasil observasi.
Tahap kedua yaitu penyebaran angket. Angket dalam penelitian ini berupa
kuisioner sederhana yang digunakan untuk memperoleh informasi dari wali kelas.
Informasi ini berguna untuk mendukung pemaparan dalam latar belakang masalah.
Angket diisi oleh wali kelas untuk melengkapi penentuan konselor yang dianggap
paling berhasil dalam menangani siswa bermasalah. Di bawah ini adalah angket
yang digunakan.
Tabel 3.1 Angket
No Angket : Nama Responden :
1. Konselor manakah yang dianggap paling berhasil dalam menangani siswa bermasalah?
Alasannya ...
2. Bagaimanakah perilaku siswa setelah melaksanakan proses bimbingan konseling?
Tahap terakhir yaitu dengan perekaman. Perekaman ini diambil secara
langsung oleh peneliti. Rekaman ini dilakukan pada saat proses konseling antara
konselor dengan siswa berlangsung. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat
mengambil gambaran yang muncul secara langsung pada saat proses bimbingan
konseling. Dalam rekaman ini akan diketahui tindak tutur konselor dalam
menangani siswa bermasalah. Rekaman ini dijadikan sebagai sumber data utama
dalam penganalisisan. Pengambilan data ini dilakukan empat kali, yaitu terhadap
3.4Prosedur Pengolahan Data
Prosedur pengolahan data dibagi menjadi beberapa tahap yang tersusun
secara struktural. Berikut ini tahapan pengolahan data.
Tahap 1, proses transkripsi dari sumber data berbentuk rekaman. Rekaman
tersebut ditranskripsikan menjadi bentuk tulisan. Transkripsi ini hanya berbentuk
tulisan yang terdiri atas deretan kata-kata dalam bentuk kalimat ditambah dengan
penanda gramatikal jika diperlukan. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan
oleh Leech (1983) bahwa pengotak-ngotakan tuturan di dalam analisis pragmatik
tidaklah tepat sebab akan membuntukan maksud dari penutur. Sebuah kajian
pragmatik, khususnya tindak tutur, membutuhkan bentuk tuturan berupa kalimat
yang utuh agar diketahui konteks dari tuturan itu dan secara tidak langsung
diketahui pula maksud tuturannya sehingga dapat mempermudah dalam proses
penganalisisan.
Contoh:
Wa’alaikum salam warahmatullahi wa barokatuh. Apa kabar G? Silahkan duduk! Mungkin G bingung ya kenapa ibu panggil ke sini? (Tuturan konselor pada data 1).
Tahap 2 yaitu proses klasifikasi. Pada tahap ini, tuturan konselor yang
telah ditranskripsi dikelompokkan berdasarkan jenis tindak tutur asertif, direktif,
komisif, ekspresif, dan deklaratif, berserta masing-masing ilokusinya. Seperti
pada tabel analisis di bawah ini.
Tabel 3.2
Klasifikasi Tuturan Konselor Berdasarkan Jenis Tindak Tutur
No. Wujud Tuturan Jenis Tindak Tutur Ilokusi
A1 Wa’alaikum salam
warahmatullahi wa barokatuh.
Ekspresif dalam bentuk
memberi selamat Menjawab salam.
bertanya.
A3 Silahkan duduk! Direktif dalam bentuk
perintah. Mempersilahkan duduk.
A4 Mungkin G bingung ya kenapa ibu panggil ke sini?
Frekuensi Kemunculan Tuturan Konselor Berdasarkan Jenis Tindak Tutur
JTT Ilokusi frekuensi % Contoh
1. Asertif
Memberi tahu Memberi informasi proses bimbingan dan konseling
22
Menyatakan Memberi perhatian 7
Menunjukkan Memberi ilustrasi 4
Tabel analisis ini terbagi ke dalam dua bagian. Tabel 3.2, digunakan untuk
mengelompokkan tuturan konselor yang ditranskripsi ke dalam bentuk tulisan.
Pengelompokkan tersebut berdasarkan wujud tuturan tiap-tiap kalimat, jenis-jenis
tindak tutur, serta ilokusi dari tuturan tersebut. Tabel 3.3 digunakan untuk
penghitungan jenis tindak tutur yang muncul. Tabel ini berguna untuk
menguatkan hasil analisis dan melihat karakteristik strategi komunikasi yang
muncul dari tuturan konselor berdasarkan jenis tindak tutur. Tentunya hal ini
diperbolehkan sebagaimana yang diungkapkan Mahsun (2005: 233) pada
hakikatnya dalam analisis kualitatif tidak tertutup kemungkinan pemanfaatan data
kuantitatif. Penggunaan data kuantitatif sekaligus memperkaya analisis kualitatif
itu sendiri.
Untuk menentukan jenis tindak tutur dan ilokusinya, bentuk gramatikal
tuturan terlebih dahulu diperhatikan secara seksama. Penentuan bentuk gramatikal
di sini berdasarkan sintaksis yakni kalimat berita, kalimat perintah, dan kalimat
tanya. Kajian ini lebih menitikberatkan pada kajian pragmatik yakni berkaitan
sepintas pun akan lebih mudah ditentukan. Analisis bentuk ini hanya sebagai
penguat data dalam pembahasan. Selanjutnya, data hasil klasifikasi tersebut
dihitung berdasarkan jenis tindak tutur yang muncul pada tuturan konselor yang
nantinya akan memberi pertimbangan dalam proses analisis.
Tahap 3 yaitu proses identifikasi. Dari hasil klasifikasi tersebut kemudian
diidentifikasi atau dipaparkan kembali dengan mendeskripsikan hasilnya. Untuk
menganalisis wujud tuturan di atas, terdapat enam indikator yang telah ditentukan
pada bab 2 berdasarkan pandangan dari para ahli. Pertama, tuturan dideskripsikan
berdasarkan bentuk gramatikal; kedua, tuturan diidentifikasi berdasarkan alasan
dimasukkannya ke dalam jenis tindak tutur tertentu; ketiga, melihat persentase
kemunculan jenis tindak tutur; keempat mengidentifikasi pilihan kata (diksi),
intonasi –ditandai dengan gramatikal tanda tanya (?), tanda seru (!), ataupun titik
(.) berdasarkan informasi yang muncul dalam rekaman–, jeda –yakni berhentinya
penutur dalam mengujarkan kata-katanya. Jika jedanya cukup lama maka itu
menandakan pergantian kalimat, jika sebentar maka itu dapat menggunakan tanda
koma (,)– yang tentunya masuk ke dalam salah satu analisis IFID; kelima, melihat
keruntutan pesan yang disampaikan; keenam interaksi konselor untuk merangsang
siswa agar mau berbicara terbuka dan efek dari tuturan yang disampaikan
konselor (ilokusi). Keenam indikator ini akan memunculkan karakteristik dari
tuturan konselor. Dari karakteristik tersebut, akan diambil karakteristik yang
dominan dan akan menjadi bahan analisis untuk mengetahui efek berpeluang
tidaknya siswa menunjukkan perubahan. Seperti pada contoh tabel di bawah ini.
Tabel 3.4
No Wujud Tuturan Jenis Tindak Tutur Ilokusi A7 Ibu selaku Konselor akan membantu
menyelesaikan permasalahan G atau apapun yang akan G ceritakan kepada Ibu.
Komisif dalam bentuk berjanji.
Memberi informasi.
A8 Misalnya, ada nih siswa yang mau lulus.
Asertif dalam bentuk menunjukkan.
Memberi ilustrasi.
Dilihat dari bentuk gramatikalnya tuturan di atas merupakan kalimat berita.
Pada tuturan A7 konselor menunjukkan sikap terbuka dengan menggunakan JTT
komisif dalam bentuk berjanji. Hal ini digunakan sebagai strategi bertutur
konselor agar siswa percaya terhadap kerahasiaan permasalah pribadi yang
dimilikinya. Konselor tidak langsung bertanya permasalah yang dihadapi siswa,
akan tetapi mengikat perjanjian terlebih dahulu agar proses konseling lebih
nyaman dan leluasa. Pada tuturan A8 konselor menggunakan JTT asertif dalam
bentuk menunjukkan. Hal ini digunakan untuk memberi informasi tentang fungsi
keberadaan konselor di sekolah. Hal ini dapat sekaligus menutup pemikiran
bahwa tidak selamanya siswa yang bermasalah dipanggil untuk proses bimbingan
konseling.
Selanjutnya, untuk mengetahui efek dari strategi tuturan yang digunakan
konselor terhadap siswa (ilokusi). Dalam hal ini peneliti melihat respon tuturan
yang muncul dari siswa ketika konselor memberikan arahan. Misalnya pada
contoh analisis di bawah ini.
TS : “Iya Bu, mulai sekarang saya akan berusaha untuk lebih rajin lagi sekolahnya”.
Pada tuturan di atas, terlihat bahwa siswa memahami terhadap apa yang
diinginkan oleh konselor. Penanda “Iya Bu..” merupakan JTT deklaratif dalam
konselor. Hal ini ditambah dengan penanda “saya akan berusaha..’ yang
merupakan JTT komisif dalam bentuk berjanji yang menunjukkan kesungguhan
dari siswa untuk mau berubah. Berdasarkan tuturan di atas, dapat disimpulkan
bahwa strategi komunikasi yang digunakan oleh konselor dapat dikatakan berhasil
karena siswa menunjukkan keinginannya untuk berubah.
Tahap 4 yaitu proses evaluasi. Tahap ini, dilakukan untuk memonitor
kembali hasil analisis yang dirasa masih kurang. Kemudian, menarik garis merah
hasil dari temuan dan pembahasan penelitian ini yang dipaparkan ke dalam bentuk
kesimpulan.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini membahas strategi komunikasi guru BK (konselor) dalam
menangani siswa bermasalah dilihat dari tindak tuturnya. Selain itu telah dibahas
juga mengenai bentuk ilokusi konselor serta respon siswa sebagai wujud realisasi
perlokusinya. Temuan dan pembahasan penelitian yang telah dikemukakan pada
bab sebelumnya melahirkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian.
5.1 Simpulan
Kesimpulan pertama merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian
mengenai realisasi tindak tutur yang dirumuskan oleh konselor dalam menangani
siswa bermasalah berdasarkan jenis tindak tuturnya. Pada dasarnya konselor
menggunakan kelima jenis tindak tutur seperti dalam teori Searle. Diketahui
bahwa jenis tindak tutur yang paling banyak digunakan konselor yaitu direktif
kemudian asertif, ekspresif, komisif dan deklaratif. Kelima jenis tindak tutur ini
sangat dimanfaatkan berdasarkan fungsi dari masing-masing JTT. Tampaknya
konselor menyadari bahwa sebuah tuturan memiliki kekuatan untuk membuat
orang lain bertindak (Austin, 1962 dan Searle, 1979).
Hal-hal yang mendasari tindak tutur konselor tersebut sesuai dengan
tahapan dalam teori BK yakni tahap awal, tahap pertengahan dan tahap akhir.
Sebagai tahap awal, konselor berupaya membangun hubungan konseling dengan
siswa yang mengalami masalah. Pada tahapan ini JTT yang digunakan konselor
merasa nyaman ketika berada di ruangan BK. Selain itu konselor menggunakan
JTT asertif dalam bentuk memberi informasi mengenai fungsi keberadaan BK di
sekolah. Sesekali konselor menggunakan JTT direktif berupa
pertanyaan-pertanyaan yang ringan yang digunakan hanya untuk sekedar membangun
kedekatan antara siswa dengan konselor. Dalam kasus tertentu konselor
menggunakan JTT asertif untuk memberi informasi alasan pemanggilan siswa
tersebut ke ruangan BK.
Tahap pertengahan yakni tahap memperjelas dan mendefinisikan masalah
yang dialami siswa. Pada tahapan ini konselor menggunakan JTT secara
bergantian. Konselor mulai menggunakan JTT asertif dalam bentuk memberitahu,
JTT direktif dalam bentuk bertanya untuk memberi perhatian, JTT ekspresif untuk
menunjukkan sikap senang dan terbuka, bahkan JTT komisif untuk memberikan
jaminan bahwa kasus siswa tersebut merupakan suatu rahasia yang tidak bisa
dibicarakan ke sembarang orang. Strategi tersebut juga hampir sama digunakan
pada tahap pertama pada saat mengajak siswa untuk terbuka. Namun, sedikit yang
membedakannya bahwa tahap keempat ini konselor lebih banyak menggunakan
JTT direktif dalam bentuk bertanya untuk memancing siswa lebih terbuka. Pada
tahapan yang sama konselor berupaya membuat alternatif bantuan untuk
menyelesaikan masalah yang dialami siswa. Dalam hal ini konselor menggunakan
JTT asertif dalam bentuk menunjukkan, melaporkan, dan mengilustrasikan untuk
memberi pandangan lain yang lebih positif. Konselor juga menggunakan JTT
ekspresif untuk membangun rasa percaya diri terhadap siswa juga untuk
Tahap selanjutnya yakni tahap akhir. Tahapan ini digunakan konselor
untuk mendorong siswa yang mengalami masalah agar berubah menjadi lebih
baik. Biasanya JTT komisif dalam bentuk berjanji dan JTT direktif dalam bentuk
bertanya digunakan oleh konselor untuk kembali meyakinkan bahwa apa yang
telah disampaikan oleh siswa tersebut harus segera dikerjakan.
Kesimpulan ketiga berupa hasil analisis terhadap ilokusi konselor dengan
respon siswa. Penelitian ini menemukan bahwa respon siswa terhadap tindak tutur
konselor menunjukkan dampak positif. Walaupun konselor harus kembali
membangun strategi bertutur dengan pergantian JTT. Teori respon dispreferred
yang disampaikan oleh Bara (2010) digunakan oleh siswa. Hal ini sekaligus
mengindikasikan bahwa konselor telah berhasil menjalin kerjasama dengan siswa
dalam proses konselingnya. Sehingga dalam tahap akhir prose BK, siswa
membuat keputusan secara deklaratif bahwa ia akan berubah ke arah yang lebih
baik.
Kesimpulan selanjutnya yakni ada sedikit perbedaan dalam hal ini
mengenai isu kesantunan yang diusung oleh Aziz (2012), dalam proses konseling
ternyata tidak selamanya yang menggunakan Indirect speech act adalah siswa
yang powernya lebih rendah dibandingkan dengan guru. Konselor adakalanya
harus menggunakan Indirect speech act walaupun sedikit mengancam wajahnya
dan ini merupakan strategi untuk mendekatkan konselor dengan siswa supaya
siswa merasa percaya sehingga pada akhirnya mau terbuka.
Hasil penelitian di atas menyimpulkan bahwa agar proses BK berhasil dan
oleh keragaman JTT yang dipakai konselor sesuai konteks dan permasalahannya.
Realisasi dan pemilihan strategi tindak tutur oleh konselor sangat penting dan
berkaitan erat dengan keberhasilan tuturan untuk mendapatkan respon positif dari
siswa. Kesesuaian strategi dan konteks dalam realisasi tindak tutur mampu
mengakomodasi persamaan persepsi antara konselor dengan siswa. Selanjutnya,
betapapun power yang dimiliki oleh setiap guru dan konselor terhadap muridnya,
akan tetapi hendaknya guru dan konselor tidak boleh mengabaikan untuk
membangun kepercayaan, sikap terbuka, dan kedekatan dengan siswa sehingga
tercipta komunikasi yang lebih baik, dan tujuan-tujuan komunikasi pun dapat
tercapai.
5.2 Saran-saran
Penelitian ini diharapkan membawa manfaat untuk kehidupan masyarakat
pada umumnya dan dunia pendidikan khususnya. Oleh karena itu, atas dasar hasil
penelitian ini, penulis memberikan saran dan harapan kepada pihak-pihak terkait
terutama para peneliti bahasa, guru, dan pelaku pendidikan lainnya.
Pertama, bagi para peneliti bahasa, penelitian ini membutuhkan penelitian
lanjutan yang dapat memberikan hasil penelitian yang lebih mendalam dan akurat,
serta memberikan kebermanfaatan yang lebih luas.
Kedua, untuk para guru dan konselor, perlu disadari bahwa bahasa
merupakan media utama dalam interaksi dengan siswa di sekolah. Guru dan
konselor harus lebih pandai dan lebih bijak dalam menentukan strategi apa yang
tutur dalam berkomunikasi dengan siswa sangat menentukan keberhasilan dalam
DAFTAR PUSTAKA
Allan, Keith. 1998. Meaning and Spech Act. Linguistics Department, Monash University.
Tersedia: http://www.arts.monash.edu.au/ling/speech_acts_allan.html
Antom, M. Moeliono. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Arifin. 2008. Penggunaan Tindak Tutur Siswa dalam Percakapan di Kelas. Tersedia: http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/989
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. 2007. Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN
Austin, J.L.1962. How to do things with words. Cambridge: Harvard University Press. Education.
Aziz, E. Aminudin. 2012. Gaya Ki Sunda Menyatakan “TIDAK” Telaah Sosiolinguistik terhadap Variabel Sosial yang Mempengaruhi Realisasi Kesantunan dalam Pertuturan Menolak oleh Orang Sunda.
Tersedia: http://www.aminudin.staf.upi.edu
Aziz, E. Aminudin dan I. Lukmana. 2012. Kewajaran Komunikasi Pembelajaran Bahasa Inggris dalam Realisasi Pertuturan.
Tersedia: http://www.aminudin.staf.upi.edu
Bachari, Andika Duta. 2007.Mengungkap Bentuk Fatis dalam B. Sunda. Jakarta: Jurnal LINGUISTIK INDONESIA, Tahun ke 25, Nomor 2, Agustus 2007.
Bara, Bruno. G. 2010. Cognitive Pragmatics: The Mental Process of Communication. Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology.
Cruse, Alan. 2006. A Glosary of Semantics and Pragmatics. Edinburgh, Inggris: Edinburgh University Press.
D’Andrade, Roy. 2008. A Study of Personal and Cultural Values: American, Japanese, and Vietnamese. New York: Palgrave Macmillan.
Gunarwan, A. 1996. ‘Kepatutan Ujaran di dalam Pengajaran Bahasa Indonesia
sebagai Bahasa Asing: Implikasinya bagi Pengajar’. Depok : UI.
Hasanudin. 2011. Peran Guru dalam Bimbingan dan Konseling. Bima: STKIP Taman Siswa Bima.
Hamalik, Oemar. 2000. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Hymes, D. H. 1974. Language in Culture and Society. A Reader in Linguistics and Anthropology. New York: Harper International Edition.
Jumadi. 2007. Representasi Kekuasaan dalam Tindak Tutur Guru. Jakarta: Jurnal Didaktika Vol. 8 No. 3. Tersedia: http://www.lib.balaibahasa.org
Krisnawati, Ekaning. 2011. Pragmatic Competence in The Spoken English Classroom. Bandung: CONAPLIN JOURNAL Vol. 1 no. 1
Leech, Geoffrey.1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.
Levinson, Stephen. C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Linston & Geary. 2009. An Exploration of the efficacy of the University of Limerick Graduate Diploma in Guidance and Counselling; Using Past Experience to Inform Future Practice. Ireland: Paper presented at the British Educational Research Association New Researchers/Student Conference. University of Manchester, 2-5 September 2009.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa.
Martinez-Flor, Alicia. 2005. A Theoretical Review of the Speech Act of Suggesting: Towards a Taxonomy for its Use in FLT. Jaume: Jaume 1 university.
Meleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Rosdakarya.
Moon, Kyunghye. 2002. Speech Act Study: Differences Between Native and Nonnative Speaker Complaint Strategies. America: American University.
Nadar, FX. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Olshtain, Elite dan A. Cohen. 1990. The learning of Complex Speech Act behavior. TESL Canada Journal.Vol 7. No.2.
: Rineka Cipta.
Pringganti, Agustina. 2013. Analisis Tindak Tutur Ilokusi pada Cerpen “Ilona” Karya Leila S. Chudori. FIPB: Universitas Indonesia.
Tersedia:
http://www.academia.edu/4153329/ANALISIS_TINDAK_TUTUR_ILOK USI_PADA_CERPEN_ILONA_KARYA_LEILA_S._CHUDORI
Purwo, Bambang K. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Kanisius.
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Rahmat, Jalaluddin. 2012. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: CV IKIP Semarang Press.
Searle, John R. 1979. Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts. Cambridge: Cambridge University Press.
Siswoyo, Dwi. 2013. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Trosborg, Anna. 1994. Interlangguage Prgmatics: Requests, Complaints And Apologies. Berlin: Walter De Gruyter.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.