• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui faktor penyebab seseorang menjadi orang tua single

parent di Desa Jetis Kecamatan Selopampang Kabupaten Temanggung.

2. Untuk mengetahui pola asuh orang tua single parent di Desa Jetis

Kecamatan Selopampang Kabupaten Temanggung.

3. Untuk mengetahui perkembangan kepribadian anak yang diasuh oleh orang tua single parent di Desa Jetis Kecamatan Selopampang

Kabupaten Temanggung.

D. Kegunaan Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini secara teoretis diharapkan memiliki kontribusi untuk meningkatkan pengawasan orang tua terhadap perkembangan kepribadian anak. Memahami pentingnya pola asuh dalam mendidik anak, supaya anak tumbuh sesuai harapan, dan bermanfaat untuk dijadikan wacana bagi single parent agar tetap semangat, memotivasi,

menginspirasi bagi mereka yang dirundung duka karena mau tidak mau hidup menjadi single parent.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini secara praktis diharapkan memiliki kagunaan bagi orang tua, untuk lebih mengetahui dan meningkatkan cara mendidik anak yang baik dan benar, serta bisa menerapkannya dalam kehidupan

sehari-hari. Dapat dijadikan acuan bagi masyarakat bahwa dengan pola asuh yang baik dan benar dari orang tua, maka anak akan menjadi panutan dan mendorong terjadinya inovasi dalam masyarakat sehingga meningkatkan kualitas kepribadian anak.

E. Kajian Penelitian Terdahulu

Pembahasan mengenai permasalahan peran orang tua tunggal, termasuk didalamnya membahas mengenai pola asuh dan perkembangan kepribadiannya anak dari orang tua single parent telah dilakukan oleh

beberapa peneliti. Pada peneliti yang terdahulu dibahas berbagai permasalahan di beberapa daerah yang terkait dengan pola asuh orang tua

single parent. Berikut ini adalah penelitian terdahulu yang juga mengupas

mengenai hal tersebut:

1. Siti Nilna Faiza, dengan judul skripsi “Pendidikan Moral Remaja dalam Keluarga Single Parent di Desa Klepu Kecamatan Pringapus Kabupaten

Semarang Tahun 2014”. Hasil penelitian menunjukkan keluarga single

parent memberikan pendidikan moral dalam keluarganya dengan

menggunakan metode teladan, pembiasaan diri dari pengalaman, nasihat, hiwar, dan hukuman. Faktor penghambat pendidikan moral dalam keluarga single parent karena rendahnya pendidikan agama,

ekonomi, hubungan yang kurang harmonis dalam keluarga, dan kurangnya waktu. Antisipasinya melalui membatasi kebebasan terhadap anak, membiasakan anak mengaji, mengontrol perilaku anak, memilih

teman pergaulan, memberi nasihat, teguran, menitipkan ke orang tua atau saudara, melibatkan anak ke dalam keluarga.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Eni Lestari dengan judul “Pola Pembinaan Keagamaan Anak dalam Keluarga Single Parent di

Kelurahan Tegalrejo Kecamatan Argomulyo Kotamadya Salatiga Tahun 2015” dalam temuan penelitian ini, menunjukkan bahwa (1) Pola pembinaan anak dalam keluarga single parent di Kelurahan Tegalrejo

Kecamatan Argomulyo Kotamadya Salatiga adalah dengan menggunakan beberapa cara, yaitu cara keteladanan, cara nasihat, cara perhatian, cara pembiasaan, dan cara hukuman (2) serta faktor penghambat yang mempengaruhi pembinaan keagamaan anak dalam keluarga single parent antara lain: keterbatasan waktu, kondisi

pendidikan yang beragam dari orang tua single parent, terbatasnya

pendapatan dalam kehidupan sehari-hari, seringkali anak keluarga

single parent kurang bersemangat dalam proses pembinaan keagamaan.

Faktor-faktor pendukung antara lain: adanya masjid, adanya persepsi yang kuat tentang konsep doa anak shalih/shalihah bagi orang tuanya yang sudah meninggal, adanya harapan yang sangat kuat dari orang tua agar kehidupan anaknya lebih baik dari orang tuanya, dan kedekatan dengan anak (sebagai akibat dari keuarga single parent) memudahkan

dalam pembinaan keagamaan. Serta solusinya antara lain, memberikan waktu ekstra kepada anak, keberagaman jenjang pendidikan orang tua

single parent dapat dapat dimanfaatkan dengan saling tukar pikiran,

mengolah faktor psikologis anak-anak single parent.

3. “Pendidikan Moral Anak Dalam Keluarga Yang Bercerai Di Desa

Koripan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang” oleh Mallikah Dwi Safitri, dengan kesimpulan dari penelitian ini pelaksanaan pendidikan moral pada anak dalam keluarga bercerai sudah cukup baik. Hal ini terbukti dengan penanaman pengetahuann agama kepada anak, penanaman bersikap sopan santun terhadap orang lain. Metode yang diterapkan menggunakan metode penanaman pendidikan moral yang fleksibel yaitu dengan interaksi langsung dan tidak langsung. Pendidikan dalam interaksi langsung meliputi: pendampingan saat menonton televisi, pendampingan saat anak belajar di rumah, melibatkan anak belajar mengaju dan interaksi dalambentuk teguran. Pendidikan dalam interaksi tidak langsung meliputi: pembiasaan dan keteladanan. Hal ini terlihat dari sikap dan perilaku orang tua dalam mendidik anak dengan memberikan kebebasan sepenuhnya pada anak.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini penulis mengajukan pembahasan beberapa bab untuk memberikan gambaran sebagai berikut:

BAB I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, dan kajian penelitian terdahulu.

BAB II berisi tentang kajian teori yang meliputi: pengertian pola asuh,

single parent, dan perkembangan kepribadian anak.

BAB III berisi metode penelitian yang memuat pendekatan dan jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data, pengecekan keabsahan data, dan tahap-tahap penelitian. BAB IV berisi paparan data dan analisis yang memuat temuan penelitian menjelaskan gambaran umum objek penelitian, profil desa yang terdiri dari: kondisi geografis, ekonomi, lingkungan sosial sekitar, dan analisis hasil penelitian.

14

A. Pola Asuh

1. Pengertian Pola Asuh

Pola asuh orang tua dalam keluarga berarti kebiasaan orang tua, ayah dan atau ibu dalam memimpin, mengasuh dan membimbing anak dalam keluarga. Mengasuh dalam arti menjaga dengan cara merawat dan mendidiknya. Membimbing dengan cara membantu, melatih dan sebagainya. Pola asuh orang tua adalah upaya orang tua yang konsisten dan persisten dalam menjaga dan membimbing anak dari sejak dilahirkan hingga remaja. Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak yang bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dan dapat memberi efek negative maupun positif (Djamarah, 2014:51).

Tarsis Tarmudji (2005:1) mengungkapkan bahwa pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan.

Kohn menyatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya (Krisnawaty, 1986:46).

Menurut Hetherington dan Parke, pola asuh orang tua diartikan sebagai suatu interaksi antara orang tua dengan dua dimensi perilaku orang tua. Dimensi pertama adalah hubungan emosional antara orang tua dengan anak. Lingkungan pola asuh demokratis orang tua yang sehat bagi psikis individu ditentukan pula oleh faktor kasih sayang, emosional, perasaan aman, dan kehangatan yang diperoleh anak melalui pemberian perhatian, pengertian dan kasih sayang orang tuanya. Dimensi kedua adalah cara-cara orang tua mengontrol perilaku anaknya. Kontrol yang dimaksud di sini adalah disiplin. Disiplin mencakup tiga hal, yaitu peraturan, hukuman, dan hadiah. Tujuan dari disiplin adalah memberitahuakan kepaa anak mana yang baik dan mana yang buruk dan mendorongnya untuk beraku sesuai dengan standar yang ada (Ilahi, 2013:134-135).

Pola asuh merupakan bagian dari proses pemeliharaan anak dengan menggunakan teknik dan metode yang menitikberatkan pada kasih sayang dan ketulusan cinta yang mendalam dari orang tua. Pola asuh tidak akan terlepas dari adanya sebuah keluarga.

2. Jenis-jenis Pola Asuh Orang Tua

Menurut Ilahi (2013:135) Metode asuh yang digunakan oleh orang tua kepada anak menjadi faktor utama yang menentukan potensi dan karakter seorang anak. Berkaitan dengan jenis-jenis pola asuh orang tua, Baumrid (dalam Hetherington dan Parke, 1999) mengatakan ada tiga macam pola asuh orang tua yang mencakup, pola asuh otoriter

(authoritarian), pola asuh permisif (permissive), dan pola asuh demokratis

(authoritative), yaitu:

a. Pola asuh otoriter (authoritarian)

Pola asuh otoriter mencerminkan sikap orang tua yang bertindak keras dan cenderung diskriminatif. Hal ini ditandai dengan tekanan anak untuk patuh kepada semua perintah dan keinginan orang tua, control yang sangat ketat terhadap tingkah laku anak, anak kurang endapat kepercayaan dari orang tua, anak sering dihukum, apabila anak berhasil atau berprestasi anak jarang diberi pujian dan hadiah. Pola asuh demikian, mencerminkan ketidakdewasaan orang tua dalam merawat anak, tanpa mempertimbangkan hak-hak yang melekat pada anak. Akibatnya, anak semakin tertekan dan tidak bisa leluasa dalam menentukan masa depannya sendiri (Ilahi, 2013:136)

Baumrid (dalam Stewart, 1983) yang kemudian dikutip oleh Ilahi (2013:136) menjelaskan bahwa pola asuh orang tua yang otoriter ditandai bahwa hubungan orang tua dengan anak tidak hangat dan sering menghukum. Sikap dan kebijakan orang tua cenderung tidak persuasif, bahkan sering menggunakan kekuasaannya untuk menekan anak dengan cara-cara yang tidak patut. Hal ini terermin dari sikap orngtua yang tidak memberi kasih sayang dan simpatik terhadap anak. Pada saat bersamaan, anak dipaksa untuk selalu patuh pada nilai-nilai orang tua. Orang tua berusaha membentuk tingkah laku anak sesuai

dengan tingkah laku mereka. Anak dituntut mempunyai tanggung jawab seperti orang dewasa sementara hak anak sangat dibatasi.

b. Pola asuh permisif (permissive)

Sikap orang tua dalam pola asuh permisif biasanya memberikan kebebasan penuh kepada anak dalam berperilaku sesuai dengan apa yang diinginkannya. Akibatnya, anak tumbuh menjadi seseorang yang berperilaku agresif dan antisosial karena sejak awal ia sudah diberi kebebasan dalam melaksanakan peraturan sosial. Anak tidak diberi hukuman ketika melanggar peraturan yang telah ditetapkan orang tua. Sebab, orang tua dengan pola asuh permisif menganggap anak mampu berpikir sendiri dan ia sendirilah yang merasakan akibatnya. Selain itu, ketidakacuhan orang tua mengembangkan emosi yang tidak stabil pada anak. Anak akan bersifat mementingkan diri sendiri dan kurang menghargai orang lain (Ilahi, 2013:138)

Steinberg, dkk (1992) menyatakan pola asuh permisif pada umumnya tidak ada pengawasan, bahkan cenderung membiarkan anak tanpa ada nasihat dan arahan yang bisa mengubah perilaku yang tidak baik. Orang tua dengan pola asuh ini memberikan sedikit tuntutan dan menekankan sedikit disiplin. Anak dibiarkan mengatur tingkah laku mereka sendiri dan membuat keputusan sendiri. Orang tua bersikap serba membiarkan anak tanpa mengendalikan, tidak menuntut, dan hangat. Pola asuh permisif ini lemah dalam mendisiplinkan tingkah laku anak (Ilahi, 2013:138)

c. Pola asuh demokratis (authoritative)

Pola asuh demokratis adalah jenis pola asuh yang responsif dan memberikan perhatian penuh tanpa mengekang kebebasannya. Orang tua bersikap fleksibel, responsive, dan merawat. Orang tua melakukan pengawasan dan tuntutan, tetapi juga hangat, rasional, dan mau berkomunikasi. Anak diberi kebebasan tetapi dalam aturan yang mempunyai acuan. Batasan-batasan tentang disiplin anak dijelaskan, boleh ditanyakan, dan dapat dirundingkan (Ilahi, 2013:138).

Ilahi (2013:139) berpendapat bahwa prinsip kedisiplinan menjadi cerminan dari sikap orang tua untuk memberdayakan anak. Orang tua demokratis menjelaskan aturan dan menjelaskan mengapa mereka menuntut anak bertingkah laku tertentu. Disiplin ini disebut induction,

yaitu tipe disiplin efektif dalam waktu yang lama. Pola asuh demokratis mendorong perkembangan jiwa anak, mempunyai penyesuaian sosial yang baik, kompeten, mempunyai kontrol. Menjadikan anak tidak tergantung dan tidak berperilaku kekanak-kanakan, mendorong anak untuk berprestasi, anak menjadi percaya diri, mandiri, imajinatif, mudah beradaptasi, kreatif, dan disukai banyak orang serta responsif. Orang tua dalam memberikan pujian, hukuman, dan berkomunikasi dengan anak-anak akan turut mempengaruhi terbentuknya kreativitas anak-anak. Faktor pola asuh demokratis orang tua merupakan kekuatan yang penting dan sumber utama dalam pengembangan kemampuan kreatif anak.

d. Pola Asuh yang Efektif

Dikutip oleh Yusuf (2009: 52) mengenai pernyataan Weiten dan Lioyd mengemukakan lima prinsip effective parenting (pola asuh yang

efektif) yaitu: Pertama, menyusun atau membuat standar (aturan

perilaku) yang tinggi namun dapat dipahami. Dalam hal ini, anak diharapkan untuk berperilaku dengan cara yang tepat sesuai dengan usianya. Kedua, menaruh perhatian terhadap perilaku anak yang baik

dan memberikan reward atau ganjaran. Perlakuan ini perlu dilakukan sebagai pengganti dari kebiasaan orang tua pada umumnya, yaitu bahwa mereka suka menaruh perhatian kepada anak pada saat anak berperilaku menyimpang, namun membiarkannya ketika melakukan yang baik.

Ketiga, menjelaskan alasannya (tujuannya) ketika meminta anak untuk

melakukan sesuatu. Keempat, mendorong anak untuk menelaah dampak

perilakunya terhadap orang lain dan yang terakhir menegakkan aturan secara konsisten.

3. Pola Asuh Orang Tua Single Parent

Perkembangan anak didalam keluarga yang mengalami perceraian, terutama bagi anak yang diasuh oleh pihak ibu. Hetherington melakukan penelitian terhadap 96 keluarga selama dua tahun lebih. Setengah jumlah ini adalah keluarga utuh, setengah lagi keluarga yang mengalami kasus perceraian. Anak-anak dari keluarga retak ini ketika terjadi kasus perceraian mereka berusia 4 tahun. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, setelah dua bulan perceraian, kedua setelah satu tahun dan

ketiga setelah dua tahun. Berikut ini hasil dari penelitian yang diungkapkan oleh Hetherington yang dikutip oleh Dagun (2002:116).

Dalam kasus perceraian, kaum ibu lebih mengalami kesulitan konkret dalam menangani anak-anak. Sementara bagi ayah, ia mengalami kesulitan dalam taraf berpikir, merenungi bagaimana menghadapi situasi dari perceraian yang terjadi. Menurut hasil penelitian Hetherington, peristiwa perceraian itu menimbulkan ketidakstabilan emosi, mengalami rasa cemas, tertekan dan sering marah-marah. Dalam menghadapi kemelut ini, pihak ibulah yang paling pahit merasakannya. Mereka merasa tertekan lebih berat dan pengaruhnya lebih lama, terutama ibu yang mengasuh anak laki-laki. Malah setelah dua tahun berlalu, ibu ini masih merasa kurang mampu, cemas, masih trauma dibandingkan ibu yang mengasuh anak putri. Hetherington juga menjelaskan bahwa ibu tunggal akan menjadi lebih keras pada anak laki dan akan sering membentak anak laki-lakinya dikarenakan tekanan batin yang menimpa ibu tunggal tersebut. Perlakuan ibu tersebut pada sang anak sudah pasti akan mempengaruhi pola asuh yang diberikan oleh ibu tunggal pada sang anak (Dagun, 2002:117).

Dagun (2002:118) menyatakan ketika kasus perceraian terjadi, ternyata cara ayah dan ibu dalam mangasuh anaknya berbeda. Misalnya dalam soal memberikan perhatian, keramahan, dan kebebasan kepada anak-anak. Dan barangkali dipengaruhi gambaran bahwa tokoh ibu dekat dengan anaknya, maka kasus percerceraian bisa diduga adanya

kecenderungan kaum ibu dibebani mengasuh anak. Tetapi juga sebaliknya, karena figur ayah digambarkan kurang dekat dengan anak-anak maka dalam kasus perceraian pun ayah jarang mengambil resiko. Namun ketika ayah dan ibu hidup dalam situasi percerian, adanya kecenderungan sikap yang berbeda pada ayah-ibu. Seorang ibu menjadi kurang memperlihatkan kasih saying kepada anak-anaknya, khususnya terhadap anak laki-laki.

Dokumen terkait