i
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh:
Ema Hartanti
NIM: 11113019
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
ii Kota Salatiga
vi neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
vii skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Ayahku dan ibuku tersayang, Lasmono Hartanto dan Imronah yang selalu
membimbingku, nasihat, cinta, kasih sayang, dan motivasi dalam setiap roda
kehidupan yang berputar. Doa tulus yang selalu dilangitkan dalam setiap
helaan nafas mereka, yang menjadi untaian tangga menuju langit-Nya.
Semoga mereka selalu dalam kasih sayang-Nya.
2. „Aina Aulia Sari, adikku tercinta. Motivatorku yang selalu menjadi daya
dorongku untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Semoga
engkau tumbuh menjadi anak dengan pemahaman yang baik.
3. Seseorang dalam bentangan jarak, dia yang selalu menyemangatiku untuk
segera menyelesaikan tugas akhir ini supaya kelak bisa melangkah pada anak
tangga selanjutnya, mengahadapi tantangan baru dalam perjalanan hidup guna
menggapai cita dan cinta. Semoga selalu dalam lindungan-Nya.
4. Keluarga besarku yang sesalu mendoakan dan mendukung baik secara
material maupun non material, kakek nenek dari ayah ibu yang alhamdulillah
masih dikaruniai kesehatan, paman bibi beserta sepupu- sepupuku yang selalu
memotivasi tiada henti hingga proses penempuhan gelar sarjana ini bisa
tercapai. Khususnya kepada Pak Sarmin, pamanku yang banyak membantuku
viii
Puji syukur alhamdulillahi robbil’alamin, penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang selalu memberikan nikmat, karunia, taufik, serta hidayah-Nya kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Pola Asuh
Orang Tua Singe Parent dalam Perkembangan Kepribadian Anak di Desa Jetis
Kecamatan Selopampang Kabupaten Temanggung Tahun 2017.
Tidak lupa shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada nabi
agung Muhammad Saw, kepada keluarga, sahabat, serta para pengikut yang selalu
setia dan menjadikannya suri tauladan yang mana beliaulah satu-satunya umat
manusia yang dapat mereformasi umat manusia dari zaman kegelapan menuju
zaman terang benderang yakni dengan ajarannya agama islam.
Penulisan skripsi ini pun tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari
berbagai pihak yang berkanan membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Oleh
karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Rektor IAIN Salatiga, Dr. H. Rahmat Hariyadi, M. Pd.
2. Ketua jurusan PAI IAIN Salatiga, Hj. Siti Rukhayati, M. Ag.
3. Bapak Prof. Dr. H. Budiharjo, M. Ag. selaku dosen pembimbing akademik
4. Ibu Dr. Hj. Lilik Sriyanti, M. Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
membimbing dengan ikhlas, mengarahkan, dan meluangkan waktunya untuk
ix
6. Warga Desa Jetis Kecamatan Selopampang Kabupaten Temanggung, tempat
peneliti melakukan penelitian dan mengumpulkan data untuk kemudian
disusun menjadi bahan tugas akhir.
7. Sahabat dekatku, Esa Puspitasari, Fatma Riftiningsih, Annisa Septiana,
Iklima Ninin Naela, dan Annilta Manzilah Adhlimah yang menjadi teman
curahan hatiku ketika menghadapi sesuatu yang tidak sesuai dengan
keinginan, serta mendukungku dalam segala kondisi.
8. Keluarga besar TPQ Nurul Huda, khususnya keluarga besar Bapak Atim
Ismail dan keluarga besar Bapak Ahmad Sa‟bani yang telah memberiku
kesempatan belajar bersama adik-adik TPQ Nurul Huda. Rekan-rekanku di
rumah singgah Nurul Huda: Esa, Fatma, Nisa, Putri, Mukotimah, Mas Ade,
dan warga Klaseman di lingkungan Nurul Huda yang telah banyak
membantuku.
9. Kakak-kakak yang telah memberi banyak pelajaran hidup dan arahan
kepadaku selama di Salatiga: Mbak Gunarti Zulfani, Mbak Fajri, Mas
Fahrodin Ilfat, Mas Khairudin Aji Laksono, dan Mas Riyadhus Solichin.
10. Teman-teman seperjuangan angkatan 2013 khususnya jurusan PAI yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu.
11. Keluarga besar Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Fathir Al-Rasyid IAIN
xi
Temanggung. Skripsi. Salatiga: Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
Kata Kunci: Pola Asuh Orang Tua, Single Parent, dan Perkembangan
Kepribadian Anak
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor penyebab seseorang menjadi orang tua single parent, pola asuh orang tua
single parent, dan perkembangan kepribadian anak yang diasuh oleh orang tua
single parent di Desa Jetis Kecamatan Selopampang Kabupaten Temanggung. Jenis penelitian ini termasuk penelitian lapangan dan bersifat deskriptif kualitatif. Prosedur pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dalam teknik analisis data, peneliti mengumpulkan data, mereduksi data, menyajikan data dan penarikan kesimpulan. Pengecekan keabsahan data dilakukan triangulasi yaitu teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan tetangga sebagai informan untuk pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data.
Hasil penelitian faktor penyebab seseorang menjadi orang tua single parent
yaitu perceraian dan kematian. Terjadinya perceraian diakibatkan oleh perselingkuhan serta kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan pada pasangan. Faktor lain seseorang menjadi single parent yaitu kematian pada pasangan karena menderita penyakit. Pola asuh yang dilakukan oleh orang tua
xii
LEMBAR BERLOGO IAIN SALATIGA ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN KELULUSAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
ABSTRAK ... xi
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakan Masalah ... 1
B. Fokus Penelitin ... 8
C. Tujuan Penelitian... 9
D. Kegunaan Penelitian ... 9
E. Kajian Penelitian Terdahulu ... 10
F. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II LANDASAN TEORI A. Pola Asuh ... 14
xiii
1. Pengertian Single Parent ... 21
2. Faktor-faktor menjadi Single Parent ... 22
3. Peran Ganda Orang Tua Single Parent ... 26
4. Keluarga Sebagai Pembentuk Utama Kepribadian ... 31
C. Perkembangan Kepribadian Anak ... 32
1. Pengertian Perkembangan Kepribadian ... 32
2. Jenis-jenis Kepribadian ... 35
3. Pengertian Anak ... 36
4. Perkembangan Kepribadian Masa Anak-Anak ... 38
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 40
B. Lokasi Penelitian ... 41
C. Sumber Data ... 41
D. Teknik Pengumpulan Data ... 43
E. Analisis Data ... 45
F. Pengecekan Keabsahan Data ... 46
G. Tahap-Tahap Penelitian... 47
BAB IV PAPARAN DATA DAN ANALISIS DATA A. Paparan Data ... 48
xiv
a. Perceraian ... 59
b. Kematian ... 62
2. Pola Asuh Orang Tua Single Parent dalam Perkembangan Kepribadian Anak ... 63
a. Otoriter ... 63
b. Permisif ... 68
c. Demokratis ... 70
3. Dampak dari Pola Asuh yang Diberikan oleh Orang Tua Single Parent dalam Perkembangan Kepribadian Anak ... 74
a. Kepribadian Introvert ... 75
b. Kepribadian Ekstrovert ... 77
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 80
B. Saran ... 81
DAFTAR PUSTAKA ... 83
xv
Tabel 4. 2 Pembagian Wilayah Administratif ... 49
Tabel 4. 3 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 50
Tabel 4. 4 Jumlah Sarana Pendidikan ... 50
Tabel 4. 5 Jumlah Penduduk Menurut Agama/Kepercayaan dan Tempat Ibadah .. 51
Tabel 4. 6 Sarana Kesehatan ... 51
Tabel 4. 7 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Kesejahteraan ... 51
Tabel 4. 8 Organisasi Pemuda, Olah Raga, dan Kesenian ... 52
Tabel 4. 9 Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan ... 52
xvi Lampiran 2 Surat Telah Melakukan Penelitian
Lampiran 3 Lembar Konsultasi Skripsi
Lampiran 4 Catatan Lapangan
Lampiran 5 Pedoman Observasi
Lampiran 6 Pedoman Wawancara
Lampiran 7 Lembar Hasil Observasi
Lampiran 8 Lembar Hasil Wawancara
Lampiran 9 Dokumentasi
1
A. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia mengemban amanah untuk menjadi pendidik anaknya.
Mendidik anak tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan upaya menanamkan
nilai-nilai agama, serta pandangan hidup yang akan menghantarkan anak
pada pemahaman yang baik. Pada dasarnya semua orang tua menghendaki
putra-putri mereka tumbuh menjadi anak yang baik, cerdas, patuh, dan
terampil. Setiap orang tua berkeinginan untuk mendidik anaknya secara baik
dan berhasil. Mereka berharap mampu membentuk anak yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbakti terhadap
orang tua, berguna bagi dirinya, keluarga, masyarakat, nusa, bangsa, negara,
juga bagi agamanya. Upaya mendidik anak merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari serangkaian yang harus dilaksanakan oleh orang tua.
Pengasuhan merupakan hal yang penting, sebab pengasuhan tidak sekedar
memenuhi kebutuhan jasmani, seperti makan dan pakaian, tetapi juga harus
memenuhi kebutuhan rohani anak dengan ajaran agama, serta menanamkan
nilai-nilai moral dengan mengajarkan tingkah laku yang umum dan dapat
diterima masyarakat.
Keluarga merupakan kelompok sosial terkecil dalam masyarakat,
dalam keluargalah semua aktifitas dimulai, keluarga merupakan suatu
lainnya. Tujuan mulianya adalah melahirkan keturunan yang terdidik atas
sifat-sifat terpuji, tumbuh besar atas akhlak mulia dan menjadi anggota
masyarakat yang berguna, ikut andil dalam menyemarakkan segala bidang.
Pendidikan terhadap anak sudah dimulai sejak anak dilahirkan. Selanjutnya
atas bimbingan orang tua dan lingkungan, seseorang diharapkan dapat
tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berakhlaq terpuji
(Al-Khauli, 2006:5).
Uyoh (2010:186) menyatakan, keluarga merupakan lingkungan
pertama dan utama bagi anak yang memberikan sumbangan bagi
perkembangan dan pertumbuhan mental maupun fisik dalam kehidupannya.
Melalui interaksi dalam keluarga, anak tidak hanya mengidentifikasikan diri
dengan orang tuanya melainkan juga mengidentifikasikan diri dengan
masyarakat dan alam sekitar.
Menjadi orang tua merupakan salah satu dari sekian banyak tugas
manusia sebagai makhluk sosial. Keutuhan orang tua (ayah-ibu) dalam
sebuah keluarga sangat dibutuhkan dalam membantu anak untuk memiliki
dan mengembangkan diri. Keluarga yang utuh memberikan peluang besar
bagi anak untuk membangun kepercayaan terhadap kedua orang tuanya. Jika
dalam keluarga terjadi kesenjangan hubungan perlu diimbangi dengan
kualitas dan intensitas hubungan sehingga ketidakadaan ayah atau ibu tetap
Berdasarkan firman Allah dalam Qur‟an Surah Al-Baqarah [2] ayat
233, Allah telah menjelaskan masing-masing tugas dari suami istri, seperti
berikut:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 233)
Suami-istri merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lainnya, saling mendukung dan melengkapi dalam
menjalankan fungsi keluarga. Dalam mencari nafkah, mengasuh dan
mendidik anak suami-istri harus saling berbagi tugas. Akan tetapi bagaiman
jika salah satu dari orang tua yaitu suami atau istri tidak ada. Banyak
dijumpai dalam kehidupan nyata di berbagai daerah, seorang ibu atau ayah
(single parent) yang membesarkan anaknya seorang diri atau anak-anak
yang dibesarkan tanpa adanya seorang ayah atau ibu yang mendampingi.
Bagaimana seorang ibu membesarkan anaknya mulai dari merawat,
mendidik, sampai mencari nafkah dijalani supaya anaknya dapat tumbuh
dengan baik menjadi anak yang bisa dibanggakan dan membanggakan orang
kewajiban ibu, karena ibu menggantikan posisi ayah menjadi kepala
keluarga demi keberlangsungan hidup anak-anaknya. Bagaimana ibu single
parent membekali anaknya dengan bekal ilmu agama, iman dan takwa
melalui pendidikan agama, terlebih lagi biasanya seorang anak lebih
menurut pada ayah karena di dalam keluarga seorang ayah adalah orang
yang paling disegani. Sebaliknya, bagaimana seorang ayah single parent
yang mendidik dan mengasuh anaknya seorang diri tanpa bantuan dari istri,
juga memiliki kesulitan yang seharusnya tugas seorang istri adalah
mengasuh dan mendidik juga menjadi kewajiban seorang ayah. Allah telah
menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu seorang suami istri dengan
kewajibannya masing-masing dan saling melengkapi satu sama lainnya.
Kematian salah seorang dari kedua orang tua adalah salah satu kondisi
yang sangat mungkin terjadi pada kehidupan setiap manusia. Hal tersebut
merupakan penyebab seseorang terpaksa harus menjalani kehidupan sebagai
single parent dan masih terdapat alasan lain yaitu perbedaan pandangan, hal
prinsip atau pengalaman buruk yang dialami selama menjalani masa
berumah tangga terkadang menyebabkan seseorang memilih berpisah dari
pasangannya atau dikarenakan hadirnya pihak ketiga yang memaksa
perpisahan harus terjadi. Jika memang pasangan yang terpisah karena
perceraian atau kematian yang memiliki anak dari perkawinan tersebut,
maka mau tidak mau akan terjadi pola asuh single parent dalam kurun waktu
Banyak hal yang melatarbelakangi seseorang lebih memilih menjadi
orang tua tunggal atau single parent selain karena kematian. Pengalaman
konflik dalam berumah tangga baik yang dialami pribadi atau melihat
lingkungannya juga menjadi penyebab seseorang menjadi orang tua tunggal.
Utami Munandar (2001:9) mengungkapkan dalam Jurnal Psikologi
Indonesia yang berjudul Peran Single Parent dalam Menghadapi Kenakalan
Anak, “biasanya wanita lebih mampu bertahan menjadi orang tua tunggal
meskipun menurutnya adalah hal yang berat. Baik ibu atau ayah harus
mampu berperan ganda sehingga ketimpangan dalam asuhan utuh diberikan
kedua orang tua”.
Menjadi single parent dalam sebuah rumah tangga tentu tidak mudah,
terlebih bagi seorang ibu yang terpaksa mengasuh anaknya hanya seorang
diri karena bercerai atau suaminya meninggal dunia. Hal tersebut
membutuhkan perjuangan yang cukup berat untuk membesarkan anak
termasuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Yang lebih memberatkan
diri adalah anggapan-anggapan dari lingkungan yang sering memojokkan
para ibu single parent, hal tersebut bisa jadi akan mempengaruhi kehidupan
dan perkembangan anak. Perpecahan keluarga merupakan fenomena faktual
yang menyebabkan terjadinya kesenjangan perkembangan anak karena tidak
lengkapnya orang tua.
Di Desa Jetis Kecamatan Selopampang Kabupaten Temanggung
terdapat sejumlah orang tua single parent akibat perceraian dan kematian.
anak akan memiliki perbedaan dari perkembangan anak-anak lain dari
keluarga yang normal yang masih utuh orang tuanya karena sang ibu harus
memegang peranan sebagai ayah, begitu pula ayah harus memegang
peranan sebagai ibu. Beberapa anak dari orang tua single parent yang
berada di Desa Jetis Kecamatan Selopampang Kabupaten Temanggung
memiliki masalah dengan komunikasi dan sosialisasi terhadap lingkungan
sekitarnya, sepulang dari sekolah anak terlihat tidak pernah bermain dengan
teman sebaya ataupun berkumpul dengan anak-anak sebayanya. Anak
lainnya bermasalah di sekolahnya, terbukti beberapa kali pindah dari
sekolahnya. Anak tersebut juga bermasalah dengan kepribadiannya yang
tertutup, pemalu dan kurang percaya diri. Beberapa masalah juga terlihat
pada beberapa anak lainnya yang orang tuanya berstatus sebagai single
parent, karena memang pengasuhan anak yang diberikan oleh orang tua
single parent berbeda dari pengasuhan yang diberikan oleh orang tua dalam
keluarga normal.
Pengasuhan dari orang tua single parent kepada anaknya yang
memiliki perbedaan dari keluarga yang masih utuh pastinya akan
berpengaruh pada perkembangan kepribadian anak. Perkembangan
kemandirian anak yang normal seharusnya sesuai dengan tugas
perkembangan yang diemban oleh anak pada tiap fase perkembangannya.
Dengan pola asuh yang diterapkan oleh dua orang tua yang masih lengkap
kepribadiannya terlebih anak yang berada dalam pola asuh keluarga dengan
hanya orang tua tunggalsebagai sumber dari pola asuh mereka.
Maka dari itu peranan orang tua sangatlah penting dalam hal ini,
karena bagaimanapun juga orang tua wajib membimbing anak-anaknya
dengan didikan yang benar, seperti yang terkandung dalam Al-Qur‟an surat
Al-Anfaal [8] ayat 28:
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Q.S Al-Anfaal [8]: 28).
Ayat di atas menjelaskan bahwasannya Allah memberikan cobaan
atau ujian kepada hamba-Nya dengan serupa anak dan harta. Mampukah
orang tua menjaga, mengasuh dan mendidik anaknya dengan baik.
Anak merupaka perhiasan dunia, sebagaimana firman Allah dalam
surat Al-Kahfi [18] ayat 46:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” (Q.S. Al-Kahfi [18]: 46).
Maksud dari ayat di atas mengingatkan kewajiban sebagai orang tua
dalam mendidik dan membesarkan anak dalam keadaan apapun sehingga
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis meneliti tentang bagaimana
pola asuh single parent serta perkembangan kepribadian anak yang diasuh
oleh orang tua tunggal yang mempunyai fungsi ganda sebagai ayah atau ibu
dalam mendidik anaknya di Desa Jetis Kecamatan Seopampang Kabupaten
Temanggung maka, penulis akan melakukan penelitian dengan judul “Pola
Asuh Orang Tua Single Parent dalam Perkembangan Kepribadian Anak di
Desa Jetis Kecamatan Selopampang Kabupaten Temanggung”.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat ditarik
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa faktor penyebab seseorang menjadi orang tua single parent di Desa
Jetis Kecamatan Selopampang Kabupaten Temanggung?
2. Bagaimana pola asuh orang tua single parent di Desa Jetis Kecamatan
Selopampang Kabupaten Temanggung?
3. Bagaimana perkembangan kepribadian anak yang diasuh oleh orang tua
single parent di Desa Jetis Kecamatan Selopampang Kabupaten
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui faktor penyebab seseorang menjadi orang tua single
parent di Desa Jetis Kecamatan Selopampang Kabupaten Temanggung.
2. Untuk mengetahui pola asuh orang tua single parent di Desa Jetis
Kecamatan Selopampang Kabupaten Temanggung.
3. Untuk mengetahui perkembangan kepribadian anak yang diasuh oleh
orang tua single parent di Desa Jetis Kecamatan Selopampang
Kabupaten Temanggung.
D. Kegunaan Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini secara teoretis diharapkan memiliki kontribusi
untuk meningkatkan pengawasan orang tua terhadap perkembangan
kepribadian anak. Memahami pentingnya pola asuh dalam mendidik
anak, supaya anak tumbuh sesuai harapan, dan bermanfaat untuk
dijadikan wacana bagi single parent agar tetap semangat, memotivasi,
menginspirasi bagi mereka yang dirundung duka karena mau tidak mau
hidup menjadi single parent.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini secara praktis diharapkan memiliki kagunaan bagi
orang tua, untuk lebih mengetahui dan meningkatkan cara mendidik
sehari-hari. Dapat dijadikan acuan bagi masyarakat bahwa dengan pola
asuh yang baik dan benar dari orang tua, maka anak akan menjadi
panutan dan mendorong terjadinya inovasi dalam masyarakat sehingga
meningkatkan kualitas kepribadian anak.
E. Kajian Penelitian Terdahulu
Pembahasan mengenai permasalahan peran orang tua tunggal,
termasuk didalamnya membahas mengenai pola asuh dan perkembangan
kepribadiannya anak dari orang tua single parent telah dilakukan oleh
beberapa peneliti. Pada peneliti yang terdahulu dibahas berbagai
permasalahan di beberapa daerah yang terkait dengan pola asuh orang tua
single parent. Berikut ini adalah penelitian terdahulu yang juga mengupas
mengenai hal tersebut:
1. Siti Nilna Faiza, dengan judul skripsi “Pendidikan Moral Remaja dalam
Keluarga Single Parent di Desa Klepu Kecamatan Pringapus Kabupaten
Semarang Tahun 2014”. Hasil penelitian menunjukkan keluarga single
parent memberikan pendidikan moral dalam keluarganya dengan
menggunakan metode teladan, pembiasaan diri dari pengalaman,
nasihat, hiwar, dan hukuman. Faktor penghambat pendidikan moral
dalam keluarga single parent karena rendahnya pendidikan agama,
ekonomi, hubungan yang kurang harmonis dalam keluarga, dan
kurangnya waktu. Antisipasinya melalui membatasi kebebasan terhadap
teman pergaulan, memberi nasihat, teguran, menitipkan ke orang tua
atau saudara, melibatkan anak ke dalam keluarga.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Eni Lestari dengan judul “Pola
Pembinaan Keagamaan Anak dalam Keluarga Single Parent di
Kelurahan Tegalrejo Kecamatan Argomulyo Kotamadya Salatiga
Tahun 2015” dalam temuan penelitian ini, menunjukkan bahwa (1) Pola
pembinaan anak dalam keluarga single parent di Kelurahan Tegalrejo
Kecamatan Argomulyo Kotamadya Salatiga adalah dengan
menggunakan beberapa cara, yaitu cara keteladanan, cara nasihat, cara
perhatian, cara pembiasaan, dan cara hukuman (2) serta faktor
penghambat yang mempengaruhi pembinaan keagamaan anak dalam
keluarga single parent antara lain: keterbatasan waktu, kondisi
pendidikan yang beragam dari orang tua single parent, terbatasnya
pendapatan dalam kehidupan sehari-hari, seringkali anak keluarga
single parent kurang bersemangat dalam proses pembinaan keagamaan.
Faktor-faktor pendukung antara lain: adanya masjid, adanya persepsi
yang kuat tentang konsep doa anak shalih/shalihah bagi orang tuanya
yang sudah meninggal, adanya harapan yang sangat kuat dari orang tua
agar kehidupan anaknya lebih baik dari orang tuanya, dan kedekatan
dengan anak (sebagai akibat dari keuarga single parent) memudahkan
dalam pembinaan keagamaan. Serta solusinya antara lain, memberikan
single parent dapat dapat dimanfaatkan dengan saling tukar pikiran,
mengolah faktor psikologis anak-anak single parent.
3. “Pendidikan Moral Anak Dalam Keluarga Yang Bercerai Di Desa
Koripan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang” oleh Mallikah Dwi
Safitri, dengan kesimpulan dari penelitian ini pelaksanaan pendidikan
moral pada anak dalam keluarga bercerai sudah cukup baik. Hal ini
terbukti dengan penanaman pengetahuann agama kepada anak,
penanaman bersikap sopan santun terhadap orang lain. Metode yang
diterapkan menggunakan metode penanaman pendidikan moral yang
fleksibel yaitu dengan interaksi langsung dan tidak langsung.
Pendidikan dalam interaksi langsung meliputi: pendampingan saat
menonton televisi, pendampingan saat anak belajar di rumah,
melibatkan anak belajar mengaju dan interaksi dalambentuk teguran.
Pendidikan dalam interaksi tidak langsung meliputi: pembiasaan dan
keteladanan. Hal ini terlihat dari sikap dan perilaku orang tua dalam
mendidik anak dengan memberikan kebebasan sepenuhnya pada anak.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini penulis mengajukan pembahasan beberapa bab
untuk memberikan gambaran sebagai berikut:
BAB I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, dan
BAB II berisi tentang kajian teori yang meliputi: pengertian pola asuh,
single parent, dan perkembangan kepribadian anak.
BAB III berisi metode penelitian yang memuat pendekatan dan jenis
penelitian, lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data,
analisis data, pengecekan keabsahan data, dan tahap-tahap penelitian.
BAB IV berisi paparan data dan analisis yang memuat temuan penelitian
menjelaskan gambaran umum objek penelitian, profil desa yang terdiri dari:
kondisi geografis, ekonomi, lingkungan sosial sekitar, dan analisis hasil
penelitian.
14
A. Pola Asuh
1. Pengertian Pola Asuh
Pola asuh orang tua dalam keluarga berarti kebiasaan orang tua, ayah
dan atau ibu dalam memimpin, mengasuh dan membimbing anak dalam
keluarga. Mengasuh dalam arti menjaga dengan cara merawat dan
mendidiknya. Membimbing dengan cara membantu, melatih dan
sebagainya. Pola asuh orang tua adalah upaya orang tua yang konsisten
dan persisten dalam menjaga dan membimbing anak dari sejak dilahirkan
hingga remaja. Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan
pada anak yang bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola
perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dan dapat memberi efek negative
maupun positif (Djamarah, 2014:51).
Tarsis Tarmudji (2005:1) mengungkapkan bahwa pola asuh orang
tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan
kegiatan pengasuhan.
Kohn menyatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua
dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara
orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang
tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian
Menurut Hetherington dan Parke, pola asuh orang tua diartikan
sebagai suatu interaksi antara orang tua dengan dua dimensi perilaku orang
tua. Dimensi pertama adalah hubungan emosional antara orang tua dengan
anak. Lingkungan pola asuh demokratis orang tua yang sehat bagi psikis
individu ditentukan pula oleh faktor kasih sayang, emosional, perasaan
aman, dan kehangatan yang diperoleh anak melalui pemberian perhatian,
pengertian dan kasih sayang orang tuanya. Dimensi kedua adalah cara-cara
orang tua mengontrol perilaku anaknya. Kontrol yang dimaksud di sini
adalah disiplin. Disiplin mencakup tiga hal, yaitu peraturan, hukuman, dan
hadiah. Tujuan dari disiplin adalah memberitahuakan kepaa anak mana
yang baik dan mana yang buruk dan mendorongnya untuk beraku sesuai
dengan standar yang ada (Ilahi, 2013:134-135).
Pola asuh merupakan bagian dari proses pemeliharaan anak dengan
menggunakan teknik dan metode yang menitikberatkan pada kasih sayang
dan ketulusan cinta yang mendalam dari orang tua. Pola asuh tidak akan
terlepas dari adanya sebuah keluarga.
2. Jenis-jenis Pola Asuh Orang Tua
Menurut Ilahi (2013:135) Metode asuh yang digunakan oleh orang
tua kepada anak menjadi faktor utama yang menentukan potensi dan
karakter seorang anak. Berkaitan dengan jenis-jenis pola asuh orang tua,
Baumrid (dalam Hetherington dan Parke, 1999) mengatakan ada tiga
(authoritarian), pola asuh permisif (permissive), dan pola asuh demokratis
(authoritative), yaitu:
a. Pola asuh otoriter (authoritarian)
Pola asuh otoriter mencerminkan sikap orang tua yang bertindak
keras dan cenderung diskriminatif. Hal ini ditandai dengan tekanan
anak untuk patuh kepada semua perintah dan keinginan orang tua,
control yang sangat ketat terhadap tingkah laku anak, anak kurang
endapat kepercayaan dari orang tua, anak sering dihukum, apabila anak
berhasil atau berprestasi anak jarang diberi pujian dan hadiah. Pola asuh
demikian, mencerminkan ketidakdewasaan orang tua dalam merawat
anak, tanpa mempertimbangkan hak-hak yang melekat pada anak.
Akibatnya, anak semakin tertekan dan tidak bisa leluasa dalam
menentukan masa depannya sendiri (Ilahi, 2013:136)
Baumrid (dalam Stewart, 1983) yang kemudian dikutip oleh Ilahi
(2013:136) menjelaskan bahwa pola asuh orang tua yang otoriter
ditandai bahwa hubungan orang tua dengan anak tidak hangat dan
sering menghukum. Sikap dan kebijakan orang tua cenderung tidak
persuasif, bahkan sering menggunakan kekuasaannya untuk menekan
anak dengan cara-cara yang tidak patut. Hal ini terermin dari sikap
orngtua yang tidak memberi kasih sayang dan simpatik terhadap anak.
Pada saat bersamaan, anak dipaksa untuk selalu patuh pada nilai-nilai
dengan tingkah laku mereka. Anak dituntut mempunyai tanggung jawab
seperti orang dewasa sementara hak anak sangat dibatasi.
b. Pola asuh permisif (permissive)
Sikap orang tua dalam pola asuh permisif biasanya memberikan
kebebasan penuh kepada anak dalam berperilaku sesuai dengan apa
yang diinginkannya. Akibatnya, anak tumbuh menjadi seseorang yang
berperilaku agresif dan antisosial karena sejak awal ia sudah diberi
kebebasan dalam melaksanakan peraturan sosial. Anak tidak diberi
hukuman ketika melanggar peraturan yang telah ditetapkan orang tua.
Sebab, orang tua dengan pola asuh permisif menganggap anak mampu
berpikir sendiri dan ia sendirilah yang merasakan akibatnya. Selain itu,
ketidakacuhan orang tua mengembangkan emosi yang tidak stabil pada
anak. Anak akan bersifat mementingkan diri sendiri dan kurang
menghargai orang lain (Ilahi, 2013:138)
Steinberg, dkk (1992) menyatakan pola asuh permisif pada
umumnya tidak ada pengawasan, bahkan cenderung membiarkan anak
tanpa ada nasihat dan arahan yang bisa mengubah perilaku yang tidak
baik. Orang tua dengan pola asuh ini memberikan sedikit tuntutan dan
menekankan sedikit disiplin. Anak dibiarkan mengatur tingkah laku
mereka sendiri dan membuat keputusan sendiri. Orang tua bersikap
serba membiarkan anak tanpa mengendalikan, tidak menuntut, dan
hangat. Pola asuh permisif ini lemah dalam mendisiplinkan tingkah
c. Pola asuh demokratis (authoritative)
Pola asuh demokratis adalah jenis pola asuh yang responsif dan
memberikan perhatian penuh tanpa mengekang kebebasannya. Orang
tua bersikap fleksibel, responsive, dan merawat. Orang tua melakukan
pengawasan dan tuntutan, tetapi juga hangat, rasional, dan mau
berkomunikasi. Anak diberi kebebasan tetapi dalam aturan yang
mempunyai acuan. Batasan-batasan tentang disiplin anak dijelaskan,
boleh ditanyakan, dan dapat dirundingkan (Ilahi, 2013:138).
Ilahi (2013:139) berpendapat bahwa prinsip kedisiplinan menjadi
cerminan dari sikap orang tua untuk memberdayakan anak. Orang tua
demokratis menjelaskan aturan dan menjelaskan mengapa mereka
menuntut anak bertingkah laku tertentu. Disiplin ini disebut induction,
yaitu tipe disiplin efektif dalam waktu yang lama. Pola asuh demokratis
mendorong perkembangan jiwa anak, mempunyai penyesuaian sosial
yang baik, kompeten, mempunyai kontrol. Menjadikan anak tidak
tergantung dan tidak berperilaku kekanak-kanakan, mendorong anak
untuk berprestasi, anak menjadi percaya diri, mandiri, imajinatif, mudah
beradaptasi, kreatif, dan disukai banyak orang serta responsif. Orang tua
dalam memberikan pujian, hukuman, dan berkomunikasi dengan
anak-anak akan turut mempengaruhi terbentuknya kreativitas anak-anak. Faktor
pola asuh demokratis orang tua merupakan kekuatan yang penting dan
d. Pola Asuh yang Efektif
Dikutip oleh Yusuf (2009: 52) mengenai pernyataan Weiten dan
Lioyd mengemukakan lima prinsip effective parenting (pola asuh yang
efektif) yaitu: Pertama, menyusun atau membuat standar (aturan
perilaku) yang tinggi namun dapat dipahami. Dalam hal ini, anak
diharapkan untuk berperilaku dengan cara yang tepat sesuai dengan
usianya. Kedua, menaruh perhatian terhadap perilaku anak yang baik
dan memberikan reward atau ganjaran. Perlakuan ini perlu dilakukan
sebagai pengganti dari kebiasaan orang tua pada umumnya, yaitu bahwa
mereka suka menaruh perhatian kepada anak pada saat anak berperilaku
menyimpang, namun membiarkannya ketika melakukan yang baik.
Ketiga, menjelaskan alasannya (tujuannya) ketika meminta anak untuk
melakukan sesuatu. Keempat, mendorong anak untuk menelaah dampak
perilakunya terhadap orang lain dan yang terakhir menegakkan aturan
secara konsisten.
3. Pola Asuh Orang Tua Single Parent
Perkembangan anak didalam keluarga yang mengalami perceraian,
terutama bagi anak yang diasuh oleh pihak ibu. Hetherington melakukan
penelitian terhadap 96 keluarga selama dua tahun lebih. Setengah jumlah
ini adalah keluarga utuh, setengah lagi keluarga yang mengalami kasus
perceraian. Anak-anak dari keluarga retak ini ketika terjadi kasus
perceraian mereka berusia 4 tahun. Penelitian ini dilakukan dalam tiga
ketiga setelah dua tahun. Berikut ini hasil dari penelitian yang
diungkapkan oleh Hetherington yang dikutip oleh Dagun (2002:116).
Dalam kasus perceraian, kaum ibu lebih mengalami kesulitan
konkret dalam menangani anak-anak. Sementara bagi ayah, ia mengalami
kesulitan dalam taraf berpikir, merenungi bagaimana menghadapi situasi
dari perceraian yang terjadi. Menurut hasil penelitian Hetherington,
peristiwa perceraian itu menimbulkan ketidakstabilan emosi, mengalami
rasa cemas, tertekan dan sering marah-marah. Dalam menghadapi kemelut
ini, pihak ibulah yang paling pahit merasakannya. Mereka merasa tertekan
lebih berat dan pengaruhnya lebih lama, terutama ibu yang mengasuh anak
laki-laki. Malah setelah dua tahun berlalu, ibu ini masih merasa kurang
mampu, cemas, masih trauma dibandingkan ibu yang mengasuh anak
putri. Hetherington juga menjelaskan bahwa ibu tunggal akan menjadi
lebih keras pada anak laki dan akan sering membentak anak
laki-lakinya dikarenakan tekanan batin yang menimpa ibu tunggal tersebut.
Perlakuan ibu tersebut pada sang anak sudah pasti akan mempengaruhi
pola asuh yang diberikan oleh ibu tunggal pada sang anak (Dagun,
2002:117).
Dagun (2002:118) menyatakan ketika kasus perceraian terjadi,
ternyata cara ayah dan ibu dalam mangasuh anaknya berbeda. Misalnya
dalam soal memberikan perhatian, keramahan, dan kebebasan kepada
anak-anak. Dan barangkali dipengaruhi gambaran bahwa tokoh ibu dekat
kecenderungan kaum ibu dibebani mengasuh anak. Tetapi juga sebaliknya,
karena figur ayah digambarkan kurang dekat dengan anak-anak maka
dalam kasus perceraian pun ayah jarang mengambil resiko. Namun ketika
ayah dan ibu hidup dalam situasi percerian, adanya kecenderungan sikap
yang berbeda pada ayah-ibu. Seorang ibu menjadi kurang memperlihatkan
kasih saying kepada anak-anaknya, khususnya terhadap anak laki-laki.
B. Single Parent
1. Pengertian
Orang tua tunggal merupakan orang tua yang secara sendirian atau
tunggal membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan, dan
tanggung jawab pasangannya (Haryanto, 2012:36).
Single parent menurut Poerwodarminto dalam skripsi Siti Nilna
Faiza (2014:12) adalah orang tua satu-satunya, Orang tua satu-satunya
dalam konteks ini adalah sebuah keluarga dengan orang tua tunggal
sehingga dalam mengasuh dan membesarkan anak-anaknya sendiri tidak
dengan bantuan pasangannya, karena istri atau suami mereka meninggal
2. Faktor-faktor menjadi Single Parent
Beberapa faktor yang menjadikan seseorang menyandang gelar
single parent, adalah sebagai berikut:
a. Perceraian
Dijelaskan oleh Cohen (1992:181) bahwa penyebab-penyebab
perceraian hampir tidak terbatas karena perkawinan melibatkan dua
individu dengan kepribadiannya masing-masing dan latar belakang
yang berbeda yang berusaha untuk hidup bersama. Alasan pokok
terjadinya perceraian adalah harapan-harapan berlebihan yang
diharapkan dari masing-masing pihak sebelum memasuki jenjang
perkawinan. Harapan-harapan tersebut dapat berupa status sosial di
masa depan, hubungan yang bersifat seksual, popularitas, jaminan
kesehatan, jaminan pekerjaan, peranan yang tepat sebagai suami istri.
Sementara itu, pada peraturan pemerintah Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dijelaskan mengenai beberapa
penyebab perceraian, diantaranya adalah: salah satu pihak berbuat zina
atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan, salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2
(dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang
sah atau karena hal lain di luar kemampuannya, salah satu pihak
mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain,
salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri, antara
suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengakaran
yang tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
George dalam Ihromi (1999:153) dengan mengambil sampel 600
pasangan suami istri yang mengajukan perceraian dimana mereka ini
paling sedikit mampunyai satu orang anak di bawah usia 14 tahun
menyusun 12 kategori keluhan penyebab pasangan suami istri bercerai,
diantaranya: karena pasangan sering mengabaikan kewajiban terhadap
rumah tangga dan anak, masalah keuangan, adanya penyiksaan fisik
terhadap pasangan, pasangan sering berteriak dan mengeluarkan
kata-kata kasar serta menyakitkan, tidak setia (berselingkuh),
ketidakcocokan dalam masalah hubungan seksual, sering mabuk,
adanya keterlibatan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasangan,
sering muncul kecurigaan, kecemburuan dan ketidakpercayaan dari
pasangan serta adanya tuntutan yang dianggap terlalu berlebihan.
Dijelaskan oleh Hurlock (1978:216) mengenai pengaruh rumah
tangga yang pecah pada hubungan keluarga adalah rumah tangga yang
pecah karena perceraian dapat lebih merusak anak dan hubungan
keluarga daripada rumah tangga yang pecah karena kematian. Terdapat
dua alasan untuk hal ini. Pertama, periode penyesuaian terhadap
yang menyertai kematian orang tua. Hozman dan Froiland menemukan
bahwa kebanyakan anak melalui lima tahap dalam penyesuaian ini,
yaitu: penolakan terhadap perceraian, kemarahan yang ditujukan pada
mereka yang terlibat dalam situasi tersebut, tawar menawar dalam
usaha mempersatukan orang tua, depresi dan akhirnya penerimaan
perceraian. Kedua, perpisahan yang disebabkan perceraian itu serius,
sebab mereka cenderung membuat anak berbeda dalam mata kelompok
teman sebaya. Jika anak ditanya dimana orang tuanya atau mengapa
mereka mempunyai orang tua baru sebagai pengganti orang tua yang
tidak ada, mereka menjadi serba salah dan merasa malu. Di samping
itu anak mungkin merasa bersalah jika menikmati waktu bersama
orang tua yang tidak ada atau jika mereka lebih suka tinggal dengan
orang tua yang tidak ada daripada tinggal dengan orang tua yang
mengasuh mereka.
b. Kematian
Pengaruh rumah tangga yang pecah karena sebab kematian pada
hubungan keluarga bahwa keretakan rumah tangga yang disebabkan
oleh kemtian dan anak menyadari bahwa orang tua mereka tidak akan
pernah kembali lagi, mereka akan bersedih hati dan mengalihkan kasih
sayang mereka pada orang tua yang masih ada yang tenggelam dalam
kesedihan dan masalah praktis yang ditimbulkan rumah tangga yang
akan menimbulkan ketidaksenangan yang sangat membahayakan
hubungan keluarga.
Hurlock (1978:216) menyatakan pada awal masa hidup anak
kehilangan ibu jauh lebih merusak daripada kehilangan ayah.
Alasannya ialah bahwa pengasuhan anak kecil dalam hal ini harus
dialihkan ke sanak saudara atau pembatu rumah tangga yang
menggunakan cara mendidik anak yang mungkin berbeda dari yang
digunakan ibu mereka, jarang dapat memberi anak perhatian dan kasih
sayang yang sebelumnya ia peroleh dari ibunya.
Seiring bertambahnya usia anak, kehilangan ayah sering lebih
serius daripada kehilangan ibu, terutama bagi anak laki-laki. Ibu harus
bekerja, dan dengan beban ganda di rumah dan pekerjaan di luar, ibu
mungkin kekurangan waktu atau tenaga untuk mengasuh anak sesuai
dengan kebutuhan mereka. Akibatnya mereka merasa diabaikan dan
merasa benci. Jika ibu tidak memberikan hiburan dan lambang status
seperti yang diperoleh teman sebaya, maka perasaan tidak senang anak
akan meningkat. Bagi anak laki-laki yang lebih besar, kehilangan ayah
berarti bahwa mereka tidak mempunyai sumber identifikasi
sebagaimana teman mereka dan mereka tidak senang tunduk pada
3. Peran Ganda Orang Tua Single Parent
a. Peran Ibu dalam Keluarga
Ibu memegang peran penting dalam mendidik anak-anaknya.
Sejak dilahirkan yang selalu di sampingnya, mulai dari menyusui yang
berlangsung selama kurang lebih 2 tahun, memberi makan, minum,
mengganti pakaian dan sebagainya. Ibu dalam keluarga merupakan
orang yang pertama kali berinteraksi dengan anaknya. Ibu menjaga
anaknya agar tetap sehat dan hidup, ia merawat anaknya dengan penuh
kasih sayang tanpa mengenal lelah dan berat beban hidupnya.
Berdasarkan firman Allah dalam Qur‟an Surah Al-Baqarah [2]
ayat 233, Allah telah menjelaskan masing-masing tugas dari suami istri,
seperti berikut:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 233)
Ngalim Purwanto dalam Sadulloh (2010:194-195) mengatakan
bahwa sesuai fungsi serta tanggung jawabnya sebagai anggota keluarga,
dapat dijelaskan bahwa peranan ibu dalam mendidik anaknya adalah
sebagai berikut:
1) Sumber dan pemberi rasa kasih sayang
3) Tempat mencurahkan isi hati
4) Pengatur dalam kehidupan berumah tangga
5) Pembimbing hubungan pribadi
6) Pendidik dalam segi-segi emosional
Peran ibu dalam merawat dan mengurus keluarga dengan sabar,
mesra dan konsisten, ibu mempertahankan hubungan-hubungan dalam
keluarga. Ibu menciptakan suasana mendukung kelangsungkan
perkembangan anak dan semua kelangsungan keberadaan unsur
keluarga lainnya. Seorang ibu yang sabar menanamkan sikap-sikap,
kebiasaan pada anak, tidak panik dalam menghadapi gejolak didalam
maupun diluar diri anak, akan memberi rasa tenang dan rasa
tertampungnya unsur-unsur keluarga. Terlebih lagi, sikap ibu yang
mesra terhadap anak akan memberi kemudahan bagi anak yang lebih
besar untuk mencari hiburan dan dukungan pada orang dewasa, dalam
diri ibunya. Seorang ibu yang merawat dan membesarkan anak dan
keluarganya tidak boleh dipengaruhi oleh emosi atau keadaan yang
berubah-ubah (Gunarsa, 2004:32).
Ibu sebagai contoh dan teladan dalam mengembangkan
kepribadian dan membentuk sikap anak, seorang ibu perlu memberikan
contoh dan teladan yang dapat diterima. Dalam pengembangan
kepribadian, anak belajar melalui peniruan terhadap orang lain. Sering
kali tanpa disadari, orang dewasa memberi contoh dan teladan yang
anak menceritakan suatu cerita yang tidak sesuai atau tidak jujur. Anak
melihat ketidaksesuaian tersebut. Anjuran untuk berbicara jujur tidak
akan dilakukan, bila anak disekitarnya selalu melihat dan mendengar
ketidakjujuran. Anak sering menerima perintah diiringi dengan suara
keras dan bentakan, tidak bisa diharapkan untuk bicara dengan lemah
lembut. Karena itu dalam menanamkan kelembutan dan sikap ramah,
anak membutuhkan contoh dari ibu yang lembut dan ramah (Gunarsa,
2004:33).
Ibu sebagai manajer yang bijaksana. Seorang ibu adalah manajer
di rumah. Ibu mengatur kelancaran rumah tangga dan menanamkan rasa
tanggung jawab pada anak. Anak pada usia dini sebaiknya sudah
mengenal adanya peraturan-peraturan yang harus diikuti. Adanya
disiplin di dalam keluarga akan memudahkan pergaulan di masyarakat
kelak. Ibu memberi rangsangan dan pelajaran. Seorang ibu juga
memberi rangsangan sosial bagi perkembangan anak. Sejak masa bayi
pendekatan ibu dan percakapan dengan ibu memberi rangsangan bagi
perkembangan anak, kemampuan bicara dan pengetahuan lainnya.
Setelah anak masuk sekolah, ibu menciptakan suasana belajar yang
menyenangkan agar anak senang belajar di rumah, membuat PR di
rumah. Anak akan belajar dengan lebih giat bila merasa enak daripada
bila disuruh belajar dengan bentakan. Dengan didampingin ibu yang
penuh kasih sayang akan memberi rasa aman yang diperlukan setiap
b. Peran Ayah dalam Keluarga
Sosok ayah seperti telah terkondisi bukan sebagai pengasuh anak,
dan lebih sibuk sebagai pencari nafkah. Ia memiliki citra keperkasaan
dan kekokohan, berdasarkan firman Allah dalam Qur‟an Surah Al
-Baqarah [2] ayat 233, Allah telah menjelaskan masing-masing tugas
dari suami istri, seperti berikut:
ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 233)Ayah memiliki beberapa peranan dalam perkembangan anak
diantaranya ayah mengatur serta mengarahkan aktivitas anak. Misalnya
menyadarkan anak bagaimana menghadapi lingkungannya dan situasi
di luar rumah. Ia memberi dorongan, membiarkan anak mengenal lebih
banyak, melangkah lebih jauh, menyediakan perlengkapan permainan
yang menarik, mengajar mereka membaca, mengajak anak untuk
memperhatikan kejadian-kejadian dan hal-hal yang menarik di luar
rumah dan mengajak anak untuk berdiskusi (Dagun, 2013:2).
Peran ayah dalam keluarga dibatasi berkaitan dengan lingkungan
luar keluarga. Sang ayah hanya dianggap sebagai sumber materi dan
dengan dunia di luar keluarga. Dari berbagai contoh terlihat bahwa ayah
yang kurang menyadari fungsinya di rumah akhirnya kehilangan tempat
dalam perkembangan anak. Anak membutuhkan ayah bukan hanya
sebagai sumber materi, akan tertapi juga sebagai pengarah
perkembangannya, terutama perannya di kemudian hari. Ayah sebagai
otak dalam keluarga mempunyai beberapa tugas pokok yaitu: ayah
sebagai pencari nafkah. Ayah sebagai suami yang penuh pengertian
akan memberi rasa aman. Ayah sebagai pelindung. Bagi anak laki-laki
ayah menjadi model dan teladan untuk perannya kelak sebagai seorang
laki-laki. Ayah sebagai pelindung atau tokoh yang tegas, bijaksana dan
mengasihi keluarga (Gunarsa, 2004:35).
Peran ayah untuk perkembangan peran jenis pada anak
perempuan juga penting. Setiono (2011:98) menyatakan bahwa
ketakhadiran seorang ayah pada anak perempuan kurang berpengaruh,
tetapi penelitian lain menunjukkan bahwa figur ayah penting bagi anak
perempuan di awal masa remaja dalam mempelajari lawan jenisnya.
Anak perempuan dengan ibu janda akan memperlihatkan sikap malu
dan perasaan tidak enak bisa berada di sekitar anak laki-laki berbeda
dengan anak perempuan yang hidup bersama ayah-ibunya, akan lebih
tegas terhadap anak laki-laki umumnya, malah akan memberikan
respon, kepada kaum pria. Jika seorang anak perempuan diasuh oleh ibu
saja, tampaknya akan memperoleh konsekuensi yang disebabkan
bergaul dengan pria, mereka cenderung berinteraksi dengan sesama
wanita.
Menurut Ngalim Purwanto dalam Sadulloh (2010:195) peranan
ayah dalam pendidikan anak-anaknya adalah sebagai berikut:
1) Sumber kekuasaan dalam keluarga
2) Penghubung intern antara keluarga dengan masyarakat atau dunia
luar
3) Pemberi rasa aman bagi seluruh anggota keluarga
4) Pelindung terhadap ancaman dari luar
5) Hakim atau yang mengadili jika terjadi perselisihan
6) Pendidik dalam segi-segi rasional
4. Keluarga sebagai Pembentuk Utama Kepribadian
Kepribadian tumbuh dan berkembang sepanjang hidup manusia,
terutama sejak lahir sampai masa remaja yang selalu berada di lingkungan
keluarga, diasuh oleh orang tua, dan bergaul dengan anggota keluarga
lainnya. Karena itu, dapat dipahami cukup besar pengaruh dan peranan
keluarga serta orang tua dalam membentuk pribadi seorang anak.
Pada masa kanak-kanak (umur 2-5 tahun), pembentukan kepribadian
melalui pembiasaan sangat penting artinya, karena kemampuan
inteligensinya masih rendah, belum dapat membedakan nilai yang baik,
buruk, dan mengapa dilarang, disuruh dan sebagainya. Setelah anak
berumur 6 atau 7 tahun, kemampuan berpikirnya semakin tinggi dan mulai
mereka sudah memasuki SD. Pembentukan kepribadian pada periode ini
berlangsung lebih sulit jika dibandingkan pada masa sebelum sekolah.
Karena anak pada usia ini semakin banyak bergaul, di sekolah, di luar
sekolah, sehingga pengalamannya semakin banyak. Akibatnya pengaruh
yang diterimanya dari luar (positif atau negatif) semakin banyak mewarnai
kepribadian yang dibina orang tuanya di rumah. Pembentukan kepribadian
harus dilakukan secara kontinu dan diadakan pemeliharaan sehingga
menjadi matang dan tidak mudah berubah lagi (Ahmadi dan Sholeh,
2005:168).
Lingkungan keluarga merupakan tempat yang sangat berpengaruh
terhadap kepribadian bagi seorang anak untuk tumbuh dan berkembang.
Keluarga dipandang sebagai penentu utama pembentuk kepribadian anak.
Alasannya yaitu keluarga adalah kelompok sosial pertama yang menjadi
pusat identifikasi anak dan anak banyak menghabiskan waktunya di
lingkungan keluarga.
C. Perkembangan Kepribadian Anak
1. Pengertian Perkembangan Kepribadian Anak
a. Perkembangan
Perkembangan menunjukkan suatu proses tertentu, yaitu suatu
proses yang menuju ke depan dan tidak dapat diulang kembali. Dalam
perkembangan manusia terjadi perubahan-perubahan yang sedikit
menunjukkan pada perubahan-perubahan dalam suatu arah yang
bersifat tetap dan maju (Ahmadi dan Sholeh: 2005:1).
Perkembangan merupakan suatu perubahan, dan perubahan ini
tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif. Perkembangan tidak
ditekankan pada segi material, melainkan pada segi fungsional.
Perubahan suatu fungsi adalah disebabkan oleh adanya suatu proses
pertumbuhan material yang memungkinkan adanya fungsi itu, dan
disebabkan oleh karena perubahan tingkah laku hasil belajar.
b. Kepribadian
Kepribadian menurut George Kelly merupakan cara yang unik
dari individu dalam mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya.
Sedang menurut Gordon Allport, merumuskan kepribadian sebagai
sesuatu yang terdapat dalam diri individu yang membimbing dan
memberi arah kepada seluruh tingkah laku individu yang bersangkutan.
Tepatnya rumusan Allport tentang kepribadian adalah suatu organisasi
yang dinamis dari sistem psikofisis individu yang menetukan tingkah
laku dan pemikiran individu secara khas. Allport menggunakan istilah
sistem psikofisis dengan maksud menunjukkan bahwa jiwa dan raga
manusia adalah suatu sistem yang terpadu dan tidak dapat dipisahkan
satu sama lain, serta di antara keduanya selalu terjadi interaksi dalam
mengarahkan tingkah laku. Sedangkan istilah khas dalam batasan
kepribadian Allport itu memiliki arti bahwa setiap individu bertingkah
kepribadiannya sendiri. Sementara itu, Sigmud Freud memandang
kepribadian sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga sistem, yakni id,
ego, dan superego. Dan tingkah laku, menurut Freud, tidak lain
merupakan hasil dari konflik dan rekonsiliasi ketiga sistem kepribadian
tersebut (Koeswara, 1991:11).
Apabila dianalisis, maka pengertian kepribadian menurut Ahmadi
dan Sholeh (2005:157-158) adalah sebagai berikut:
(1) Bahwa kepribadian adalah organisasi yang dinamis, artinya suatu
organisasi yang terdiri dari sejumlah aspek/unsur yang terus
tumbuh dan berkembang sepanjang hidup manusia.
(2) Aspek-aspek tersebut adalah mengenai psiko-fisik (rohani dan
jasmani) antara lain sifat-sifat, kebiasaan, tingkah laku,
bentuk-bentuk tubuh, ukuran, warna kulit dan sebagainya. Semuannya
tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi yang dimiliki
seseorang.
(3) Semua aspek kebribadian, baik sifat-sifat maupun kebiasaan, sikap,
tingkah laku, bentuk tubuh dan sebagainya, merupakan suatu
sistem (totalitas) dalam menentukan cara yang khas dalam
mengadakan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Ini
mengandung arti bahwa setiap orang memiliki cara yang khas atau
penampilan yang berbeda-beda dalam bertindak atau berinterkasi
Dari uraian tentang pengertian kepribadian, dapat diambil
kesimpulan bahwa kepribadian yaitu keseluruhan pola atau bentuk
tingkah laku, sifat-sifat, kebiasaan, kecakapan bentuk tubuh serta
unsur-unsur psiko-fisis lainnya yang selalu menampakkan diri
dalam kehidupan seseorang.
2. Jenis-jenis Kepribadian
Orang tua merupakan media sosialisasi pokok dalam pembentukan
kepribadian anak, karena interaksi anak dengan orang tua mempunyai
tingkat tertinggi dalam kehidupan anak. Menurut Mussen (2005:54)
kepribadian anak dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu sebagai
berikut:
a. Kepribadian Ekstrovert
Kecenderungan seorang anak untuk mengarahkan perhatiannya
keluar dirinya sehingga segala sikap dan keputusan-keputusan yang
diambilnya adalah berdasarkan pada pengalaman orang lain. Mereka
cenderung ramah, terbuka, aktif, dan suka bergaul. Anak dengan
kecenderungan kepribadian yang ekstrovert biasanya memiliki banyak
teman dan disukai banyak orang karena sikapnya yang ramah dan
terbuka.
b. Kepribadian Introvert
Kecenderungan seorang anak yang menarik diri dari lingkungan
sosialnya. Sikap dan keputusan yang ia ambil untuk melakukan
pengalamnnya sendiri. Kepribadian introvert biasanya pendiam dan
suka menyendiri, merasa tidak butuh orang lain karena bisa
melakukannya sendiri.
Awalnya, ekstrovert dan introvert adalah sebuah reaksi seorang anak
terhadap sesuatu. Namun, jika reaksi demikian ditunjukkan terus menerus,
maka dapat menjadi sebuah kebiasaan, dan kebiasaan tersebuat akan
menjadi bagian tipe kepribadiannya. Kepribadian anak dilihat dari
keajegan tingkah laku anak ditandai dengan perubahan-perubahan dalam
setiap perkembangannya (Mussen, 2005:66).
Pertumbuhan dan perkembangan anak akan mulai terlihat ketika anak
menginjak masa sekolah di mana anak akan mulai mengenal dunia sosial
sehingga kebiasaan yang dilakukan anak ketika masa kecil akan menjadi
sebuah patokan pribadi dengan disertai pengalaman anak di masa itu
(Koeswara, 1991:93).
3. Pengertian Anak
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai
Perkawinan pada pasal 42 disebutkan bahwa anak yang sah merupakan
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Disebutkan lebih lanjut, jika seorang anak dilahirkan diluar perkawinan
anak tersebut hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya atau
keluarga ibunya.
Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
usia 21 tahun dan belum menikah. Batas 21 tahun ditetapkan karena
berdasarkan pertimbangan usaha kesejahteraan sosial, kematangan pribadi
dan kematangan mental seorang anak dicapai pada usia tersebut. Anak
adalah potensi serta penerus bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan
oleh generasi sebelumnya.
Menurut Hurlock (1980:108) masa kanak-kanak dimulai setelah
melewati masa bayi yang penuh dengan ketergantungan, yakni kira-kira
usia 2 tahun sampai saat anak matang secara seksual, kira-kira 13 tahun
wanita dan 14 tahun untuk pria. Masa kanak-kanak kemudian dibagi lagi
menjadi dua periode. Periode awal berlangsung dari umur dua sampai
enam tahun dan periode akhir dari enam sampai tiba saatnya anak matang
secara seksual. Setelah matang secara seksual maka anak akan mengalami
perkembangan tahap menjadi seorang remaja.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Piaget yang dikutip oleh Hurlock
(1980:206) mengatakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia
dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak
tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan
berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah
hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai aspek efektif,
kurang lebih berhubungan dengan masa puber termasuk juga perubahan
intelektual yang mencolok. Transformasi yang khas dari cara berfikir
sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum
dari periode perkembangan ini.
4. Perkembangan Kepribadian Masa Anak-Anak
Perkembangan kejiwaan pada masa anak-anak terkadang disebut
dengan masa anak kecil atau masa menjelang sekolah, sebab masa ini anak
sedang mempersiapkan diri untuk bersekolah. Demikian pula masa ini ada
yang menyebut dengan masa estetis, dikarenakan anak mulai mengenal
dunia sekitarnya terasa serba indah. Dengan berjalannya waktu, anak
semakin banyak berhubungan dengan orang lain, baik dalam lingkungan
keluarga maupun lingkungan pergaulannya, sehingga membawa pengaruh
dalam konsep diri.
Hurlock (2006:134) berpendapat bahwa aspek pola kepribadian
tertentu berubah selama awal masa anak-anak sebagai akibat dari
pematangan, pengalaman dan lingkungan sosial serta lingkungan budaya
dan kehidupan anak. Faktor-faktor di dalam diri anak sendiri atau
tekanan-tekanan emosional atau identifikasi dengan orang lain dapat juga
menyebabkan perubahan. Adapun yang menunjang perubahan dalam
kepribadian anak yaitu:
a. Perubahan Fisik
Perubahan fisik disebabkan oleh proses kematangan, gangguan
struktural di otak, sering disertai perubahan kepribadian. Pengaruhnya
b. Perubahan Lingkungan
Apabila perubahan dalam lingkungan meningkatkan status anak
dalam kelompok dengan teman sebaya, perubahan mempunyai
pengaruh menguntungkan pada konsep diri.
c. Tekanan Sosial
Sejak lahir, seorang anak telah mengalami proses sosialisasi.
Artinya, sejak lahir seseorang melakukan proses belajar mengenai
bagaimana bertindak dan berperilaku sesuai dengan nilai dan norma
sosial yang berlaku di dalam masyarakat melalui refleksi terhadap
orang lain (Suryabrata, 2005:23).
Pada hakikatnya sosialisasi primer dalam keluarga merupakan
langkah penting bagi anak dalam beradaptasi dan mempelajari nilai
serta norma dalam masyarakat, karena apa yang telah dipelajari sejak
kecil akan menentukan bagaimana seorang anak di masa depan
maupun memilih pergaulan dalam membentuk pribadinya (Mussen,
2005:33).
Anak tumbuh dan berkembang memerlukan dua figur, yaitu figur
ayah dan ibu. Ayah memberikan pengalaman mengenai logika,
tantangan, keberanian, dan pengambilan keputusan. Semua ini akan
merangsang otak kiri anak. Sedangkan ibu akan merangsang otak
kanan anak dengan memberikan kelembutan, kasih sayang, insting,
40
G. Pendekatan dan Jenis Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Jenis metode yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif kualitatif. Metode kualitatif merupakan suatu prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati
(Moleong 2011:4).
Laporan penelitian ini berisi kutipan-kutipan data untuk
memberikan gambaran penyajian laporan secara jelas. Peneliti akan
mengkaji permasalahan secara langsung dengan sepenuhnya
melibatkan diri pada situasi yang diteliti dan mengkaji buku-buku
yang berhubungan dengan permasalahan tersebut.
2. Kehadiran Peneliti
Sesuai dengan pendekatan yang digunakan, yakni deskriptif
kualitatif maka kehadiran peneliti di kancah penelitian menjadi
mutlak adanya. Relevansi dalam penelitian kualitatif, peneliti
menjadi “key instrumen” atau alat peneliti utama. Peneliti
mengadakan sendiri pengamatan atau wawancara tak berstruktur,
sering hanya menggunakan buku catatan. Selain itu guna menunjang
rekam atau kamera dan peniliti tetap memegang peranan utama
sebagai alat penelitian.
H. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lingkungan Desa Jetis Kecamatan
Selopampang Kabupaten Temanggung. Alasannya adalah ada sejumlah
single parent yang berfungsi ganda sebagai ayah atau ibu, mandiri
dalam mengurus rumah tangga serta mendidik anaknya dengan pola
asuh yang berbeda-beda sehingga menghasilkan kualitas kepribadian
anak yang berbeda pula.
I. Sumber Data
Sumber data adalah situasi yang wajar atau “natural setting”.
Peneliti mengumpulkan data berdasarkan observasi situasi yang wajar
sebagaimana adanya tanpa dipengaruhi dengan sengaja.
Berdasarkan pada penelitian ini peneliti menggunakan dua sumber
data, yakni:
a. Data Primer
Sumber data utama adalah sumber informasi yang langsung
mempunyai wewenang dan tanggung jawab terhadap pengumpulan
dan penyimpanan data (Ali, 1993:42).
Peneliti dalam penelitian ini mengambil subjek sebanyak tujuh
difokuskan pada orangtua single parent yang masih memiliki anak
pada usia sekolah dimana usia anak tersebut dibatasi hingga 21
tahun. Pembatasan usia 21 tahun didasarkan pada pembatasan pada
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak
dimana dijelaskan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia
21 tahun dan belum menikah. Peneliti melakukan observasi dan
wawancara pada tujuh orangtua single parent, tujuh anak dari
orangtua single parent tersebut, baik yang berstatus janda atau duda
dikarenakan perceraian dan kematian di Desa Jetis Kecamatan
Selopampang Kabupaten Temanggung.
b. Data Sekunder
Sumber data pendukung merupakan data-data yang digunakan
untuk memperkuat sumber data utama. Sumber data sekunder
diantaranya didapat dari hasil wawancara dengan tetangga untuk
memperkuat data. Data lain juga didapat dari sumber bacaan dan
berbagai sumber lainnya. Sumber data pendukung di sini adalah
buku-buku yang terkait dengan cara mendidik anak dan berbagai