• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Undang-Undang Yayasan Dalam Sistem Hukum Nasional

2. Tujuan Undang-Undang Yayasan

Tujuan hukum dalam suatu negara didasar- kan pada nilai (-nilai) filosofi tertentu yang dianut karena dianggap baik dan dicita-citakan terwujud melalui berbagai kegiatan penyelenggaraan nega- ra, salah satu di antaranya tercermin dalam ketentuan hukum. Nilai filosofi tersebut dikonk- retkan melalui keseluruhan sistem hukum, tertulis dan tak tertulis. Dengan demikian, tiap sistem hukum memiliki tujuan hukumnya sendiri yang berbeda dari sistem hukum yang lain.

Penganut aliran yuridis dogmatis atau legal

positivism misalnya memosisikan nilai kepastian hukum sebagai nilai ideal, yang hendak diwujud- kan dalam segala peraturan hukum. Hukumnya sendiri didominasi oleh hukum per-UU-an. Yang terpenting bagi penganut aliran ini adalah adanya jaminan kepastian hukum dalam masyarakat, tidak peduli apakah itu adil atau tidak, berman- faat atau tidak.

Bagi penganut aliran utilitarianisme50, lain

lagi. Tujuan hukum bagi aliran ini adalah terwu- judnya kemanfaatan dan kebahagiaan sebesar- besarnya bagi sebanyak mungkin warga masya- rakat.

82

Hal yang lain lagi, dapat dilihat pada sistem

hukum Timur, salah satunya Jepang51. Bagi

bangsa Jepang, tujuan hukum bukanlah keadil- an, kemanfaatan, atau kepastian, melainkan

hanyalah “chian hanji” (justice of the peace) atau keadilan dari perdamaian. Dengan terciptanya perdamaian, maka dengan sendirinya keadilan terwujud.

Sistem hukum di Indonesia adalah kombinasi

atau campuran dari banyak sistem (mixed

system)52. Tujuan hukumnya adalah kombinasi dari banyak nilai yang juga terdapat dalam banyak sistem hukum. Hal ini diketahui melalui prinsip-prinsip dan asas-asas hukum di Indone- sia yang tidak hanya berasaskan keadilan dan kepastian hukum atau kemanfaatan semata-mata seperti pernah dianut dalam sistem hukum Barat klasik dengan teori etis, teori utilitaris, dan teori

legalistiknya53.

51 Achmad Ali, Ibid., hal. 214

52 Achmad Ali menggolongkan sistem hukum atas lima sistem,

yaitu: 1. Civil law, yang berlaku di Benua Eropa dan negara-negara mantan jajahannya; 2. Common Law yang berlaku di Inggris , Amerika Serikat, dan negara-negara berbahasa Inggris (Commowealht); 3. Costomory Law yang berlaku di beberapa negara Afrika, Cina, dan India; 4. Muslim Law yang berlaku di negara-negara Muslim, terutama di Timur Tengah; dan 5. Mixed System, salah satunya di Indonesia yang didalamnya berlaku sistem hukum perundang-undangan, hukum adat, dan hukum Islam. Achmad Ali, Ibid hal. 203

83

Kombinasi tujuan hukum seperti itu sesuai

dengan ajaran Gustav Radbruch54, yang oleh

para ahli hukum modern diakui dan diterima. Ajaran ini dilatari oleh kekuatiran Radbruch atas ajaran hukum murni Hans Kelsen dengan

Grundnorm-nya dan rasa traumanya atas keke- jian Nazi yang memobilisasi tata hukum positif

untuk melegalkan genosida ras Yahudi55. Untuk

mencegah berlanjutnya keadaan itu, Radbruch menggagas kembali nilai keadilan sebagai mah- kota tata hukum. Esensi hukum menurutnya

haruslah terarah pada rechtsidee yaitu keadilan.

Dengan mengikuti ajaran Aristotles, Radbruch menggambarkan keadilan yang hendak diwujud-

kan itu dengan pernyataan ‘yang sama diperlaku-

kan sama, dan yang tidak sama diperlakukan

tidak sama’.

Dalam pandangan Radbruch56 ada tiga unsur

hukum yang dimaknai sebagai tujuan hukum, yaitu keadilan, finalitas (kemanfaatan), dan ke- pastian (legalitas). Dikataknnya, bahwa:

54 Achmad Ali Ibid, hal 288-298

55 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y Hage, Teori

Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, Cet. III., April 2010, hal. 128-129

56 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Ibid.,

84

“Aspek keadilan menunjuk kesamaan hak

di depan hukum. Aspek finalitas menunjuk pada tujuan keadilan, yaitu mamajukan kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini menentukan isi hukum. Sedangkan aspek kepastian menunjuk pada adanya jaminan bahwa hukum (yang berisi keadilan dan norma-norma yang menunjukan kebaikan) benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Dapat dikatakan, dua aspek yang di- sebut pertama merupakan kerangka ideal dari hukum. Sedangkan aspek ketiga (kepastian)

merupakan kerangka operasional hukum”

Pada awalnya, Radbruch meyakini bahwa ketiga unsur tersebut merupakan tujuan hukum yang dapat diwujudkan secara bersama-sama da- lam berbagai masalah hukum. Namun, pandang- an ini dikoreksinya sendiri. Berdasarkan kenya- taan yang sering dialami, ia sadar bahwa hal tersebut mustahil diwujudkan secara seimbang. Dalam sistem hukum apa pun ketiga unsur nilai tersebut cenderung berbenturan. Benturan yang muncul kerap terjadi antara keadilan dan finalitas (kemanfaatan) atau antara finalitas dan legalitas. Hal ini sering tampak ketika seorang hakim memutuskan hukuman bagi seorang terdakwa. Menurut keadilan formal yang difahami dan diyakini hakim, putusan yang diambil adalah adil, namun putusan itu justru tidak memberi bermanfaat bagi masyarakat umum. Sebaliknya,

85

masyarakat, kenyataannya justru menggerogoti keadilan bagi individu.

Untuk mengatasi benturan, Radbruch mem- berikan solusi berupa penerapan hukum dalam dua model, yaitu penerapan hukum dengan model prioritas baku atau prioritas kasuistik. Prioritas baku, yaitu ditentukannya pilihan prioritas manakala terjadi benturan antara keadilan dan finalitas atau kepastian dalam mengadili masalah hukum. Dalam prioritas baku ini aspek keadilan merupakan prioritas utama, sedangkan aspek finalitas dan legalitas merupa- kan prioritas berikutnya.

Seiring dengan makin kompleksnya perkem- bangan masyarakat, pendekatan prioritas baku ternyata kerap tidak memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Oleh karena itu, Radbruch

menawarkan model kedua, yaitu Prioritas

kasuistik. Penyelesaian masalah hukum dalam model ini dilakukan dengan pendekatan kasus per kasus. Untuk kasus-kasus tertentu mungkin aspek kemanfaatan dijadikan prioritas utama sementara aspek keadilan dan kepastian hukum menjadi prioritas berikutnya. Untuk kasus lain mungkin lebih memerlukan aspek keadilan ke- timbang kemanfaatan dan kepastian hukum, ma- ka prioritasnya diletakkan pada aspek keadilan

86

disusul kemanfaatan, baru kepastian, demikian seterusnya.

Jalan pikiran terakhir, nampaknya lebih dapat diterima. Sebab dalam kenyataannya sistem hu- kum memang beragam. Hukum pun memiliki ba- nyak bidang, dan setiap bidang memiliki tujuan masing-masing secara spesifik. Hukum pidana dan hukum privat memiliki tujuannya masing- masing. Demikian pula hukum formal dan hu- kum materil memiliki tujuan yang spresifik.

Tampaknya spesifikasi seperti itulah yang dimaksudkan oleh Friedman dengan istilah alokasi nilai-nilai dalam hukum. Sesuai dengan kasus yang dihadapi perlu dialokasikan nilai apa yang tepat dan mendatangkan kebaikan bagi

masyarakat. Peter Mahmud menyebutnya “damai sejahtera”.57 Kedamaian atau damai sejahtera itu

57 Dalam hal ini hukum ditempatkan sebagai bagian yang

terintegrasi dengan kenyataan hidup bersama manusia dalam masyarakat. Dalam keadaan nyata, manusia selalu memiliki perbedaan dalam banyak hal, tak terkecuali kebutuhan dan cita- cita hidupnya. Perbedaan-perbedaan itu dikelola secara harmonis seperti dalam sebuah paduan suara. Dengan begitu setiap orang dalam kehidupan bersama berkesempatan mengekspresikan diri dan memenuhi kebutuhannya secara optimal dalam suasana harmonis dengan sesamanya. Hal-hal inilah yang diatur dan dilindungi oleh hukum, bukan untuk mewujudkan ketertiban tetapi keadaan damai sejahtera. Sebab ketertiban bolehjadi ada penindasan, kesenjangan, dan pengekangan perbedaan pendapat, sedangkan dalam keadaan damai sejahtera hal itu dikelola untuk mencapai kualitas kehidupan. Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Cet ke-4 Agustus 2012, hal. 128-136

87

nampaknya melebihi nilai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semata. Dalam damai sejahtera itu terkandung keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Peter Mahmud menyata- kan bahwa dalam masyarakat yang damai sejah- tera, memang terdapat kelimpahan, tetapi yang kuat tidak menindas yang lemah sehingga setiap orang mendapatkan haknya melalui perlindungan hukum.

Berdasarkan pemahaman tersebut tampak bahwa penggunaan ajaran Radbruch dalam mengalisis tujuan hukum di Indonesia, khusus- nya dalam penerapan UUY, dan lebih khusus lagi tentang eksekusi ketentuan peralihan UUY ter- hadap yayasan tampaknya sesuai dengan cita- cita hukum nasional dalam arti bahwa urutan prioritas dimaksud tidak bersifat kaku seperti teknik atau ilmu pasti. Dengan kata lain, pene- rapan urutan prioritas yang digagas Radbruch harus selalu ditempatkan dalam bentuk harmoni- sasi antara ketiganya. Bahwa prioritas pertama diletakkan pada aspek keadilan tidak berarti aspek kemanfaatan dan kepastian ditinggalkan sama sekali.

Aspek kemanfaatan dan kepastian hukum tetap harus diupayakan secara harmonis dengan keadilan guna mewujudkan keadaan damai

88

Mahmud. Sikap ini bertitik tolak pada pendirian bahwa tujuan hukum pada akhirnya bukanlah pencapaian keadilan semata-mata, tetapi pengu- payaan perwujudan kedamaian, kebahagiaan, dan kesejahteraan dalam kehidupan bersama. Hal inilah yang menurut penulis sesuai dengan norma dasar atau norma fundamental negara yang dicita-citakankan oleh masyarakat Indone- sia sebagaimana tercermin dalam Pancasila.

Pandangan tersebut tampaknya sejalan

dengan gagasan Notohamidjojo58 tentang mema-

nusiakan manusia dalam penyelenggaraan nega- ra. Menurutnya, dalam menyelenggarakan negara berdasarkan Pancasila, negara memiliki tang- gungjawab untuk memosisikan manusia sebagai objek, subyek, dan relasi. Sebagai objek, manusia merupakan sebuah sosok yang secara fisik dapat dilihat, dapat dicandra, dan dapat didetermina- sikan dan diatur. Sebagai subyek, manusia itu

adalah “aku” yang hidup di dunia nyata. Oleh

sebab itu ia tidak hanya ditentukan, melainkan juga menentukan, memilih dan menentukan pilihan secara bebas karena ia bukan mesin tetapi pribadi yang tidak dapat dideterminasikan. Menurut Notohamidjojo, keadaan tersebut be- lum cukup. Manusia Indonesia juga merupakan

58 Tri Budiono (editor), O. Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat

89

sesuatu yang berada dalam relasi dengan kenya- taan, yaitu berada dalam relasi dengan sesama manusia dan alam. Dengan demikian, manusia Indonesia itu bukanlah manusia dalam kebebas- an saja, melainkan kebebasan dan keterikatan atau kebebasan dalam tanggung jawab. Inilah alasan mengapa negara membuat hukum, UU, mengadili pelanggaran, mengawasi ketaatan indi- vidu terhadap hukum, dan mengambil tindakan untuk melayani kesejahteraan umum atau inisi- atif sendiri yang bebas.

Dalam kaitannya dengan UUY, tujuan hukum di atas merupakan acuan yang menjiwai penga- turan yayasan. Materi pengaturan dan pelaksa- naannya diwarnai oleh cita hukum nasional dengan pendekatan ajaran Radbruch. dpa yang hendak diwujudkan, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tujuan hukum nasional, yaitu yang mendatangkan damai sejahtera sehingga manusia dalam yayasan merasa diri benar-benar dimanusiakan. Anggapan ini bertitik tolak dari prinsip bahwa ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUY memenuhi paling sedikit tiga syarat berikut:

a. Yayasan yang ada di Indonesia dipahami

sebagai lembaga yang tumbuh berdasarkan kondisi nyata masyarakat Indonesia.

90

b. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUY

mampu menjawab kebutuhan yayasan

berdasarkan kondisi nyata masayrakat.

c. Bekerjanya hukum melalui UUY tidak semata-

mata didasarkan pada sifat UUY sebagai hukum positif yang harus diterapkan, tetapi karena UUY menjamin terciptanya keadaan damai sejahtera bagi yayasan.

Apabila tiga syarat di atas terpenuhi dapat dipastikan bahwa ketaatan yayasan terahadap UUY tidak lagi didasarkan pada rasa takut pada sanksi, melainkan didasarkan pada kesadaran adanya nilai keadilan, kemanfaatan dan kepas- tian hukum yang mendatangkan keadaan damai sejahtera itu dalam melaksanakan dan mengem- bangkan kegiatan yayasan. Apa dan bagaimana keadaan yang sesungguhnya dapat dicermati melalui uraian berikut.

3. Konsistensi Tujuan Hukum Dalam UU Yayasan