• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksekutabilitas Ketentuan Peralihan Undang-Undang Yayasan T2 322011001 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksekutabilitas Ketentuan Peralihan Undang-Undang Yayasan T2 322011001 BAB II"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

28

Bab II

Kerangka Teori

Perlu dikemukakan lebih dahulu bahwa UUY adalah

bagian dari sistem hukum Nasional1. Dalam posisi yang

demikian, UUY tidaklah berdiri sendiri. Ia senan-tiasa bertautan dengan elemen lain dalam sistem hu-kum guna mewujudkan tujuan hukum nasional. Hal ini dibuktikan dengan asas, proses pembentukan, dan lembaga pembentuknya mengacu pada ketentuan hu-kum nasional. Apa yang hendak dicapai oleh UUY me-rupakan bagian yang integral dari cita hukum nasional.

Bahasan berikut menjelaskan hal-hal di atas lebih detail. Di bagian awal akan dibahas konsep yayasan dalam beberapa sudut pandang, dilanjutkan dengan bahasan posisi UUY dalam sistem hukum nasional, serta posisi tujuan UUY dalam kerangka tujuan hukum nasional. Bahasan ini diperlukan untuk membantu memahami urgensi eksekusi ketentuan peralihan UUY dalam upaya mencapai tujuan hukum nasional.

1 Dalam Alinea kedua penjelasan UU No. 12 Tahun 2011 tentang

(2)

29

A.

Konsep Yayasan

Istilah yayasan dan kegiatannya sudah lama dikenal dan dilaksanakan di berbagai tempat, terma-suk di Indonesia. Umumnya dipahami bahwa yaya-san adalah sebuah lembaga atau organisasi yang didirikan untuk melaksanakan misi sosial, keagama-an, dan kemanusiaan. Kendati demikikeagama-an, bagaimana ketiga misi itu dipahami dan dipraktekkan, cende-rung beragam sesuai dengan penafsiran masing-masing penyelenggara yayasan. Hal ini terjadi kare-na sebelum adanya UUY, ketentuan tentang kebera-daan yayasan belum diatur dalam ketentuan khu-sus.

Untuk mendapat gambaran tentang apa dan bagaimana yayasan dipahami, berikut ini akan dike-mukakan konsep yayasan sebagaimana diajarkan oleh ahli hukum, pandangan masyarakat secara umum, dan konsep yang dianut oleh UUY.

1. Yayasan Menurut Ahli Hukum

Tidak dapat dipungkiri bahwa para ahli hukum umumnya memahami yayasan sebagai

salah satu bentuk badan hukum (rechtspersoon)

(3)

mema-30

hami hal tersebut, berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat mengenai badan hukum.

L.J. Van Apeldoorn2, merumuskan badan

hukum (purusa hukum) dalam dua pengertian, yaitu:

1. Tiap-tiap persekutuan manusia, yang ber-tindak dalam pergaulan hukum seolah-olah

ia suatu “purusa” yang tunggal; 2. Tiap-tiap

harta dengan tujuan yang tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya, dalam pergaul-an hukum diperlakukpergaul-an seolah-olah ia suatu

purusa (yayasan).”

Dari batasan di atas tampak bahwa badan hukum bukanlah manusia dalam arti individu atau perseorangan. Badan hukum dapat berupa persekutuan atau perkumpulan atau organisasi manusia, dan dapat pula berupa harta yang terpisah dari harta siapa pun, sehingga disebut tidak ada yang mempunyainya, namun memiliki tujuan tertentu. Pandangan ini agakya sama dengan pandangan J.J. Dormeier dalam Chidir

Ali3, yang menyatakan bahwa:

“Istilah badan hukum dapat diartikan dua,

yaitu: a. Persekutuan orang-orang yang di dalam pergaulan hukum bertindak selaku

2

L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. ke-32, tahun 2008, hal 193-194

3

(4)

31

seorang saja; b. Yayasan, yaitu suatu harta atau kekayaan, yang dipergunakan untuk su-atu maksud yang tertentu dan diperlakukan

sebagai oknum.”

Chidir Ali4 sendiri, berpendapat bahwa titik

tolak dalam menentukan badan hukum adalah jawaban atas pertanyaan apa itu subyek hukum. Dalam hal ini, adalah manusia dan segala sesu-atu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan ma-syarakat dan oleh hukum diakui sebagai pendu-kung hak dan kewajiban. Menurutnya, hal ter-akhir itulah yang disebut badan hukum. Selan-jutnya, jawaban atas pertanyaan siapa badan hukum itu, maka titik tolaknya adalah siapa subyek hukum menurut hukum pisitip, yaitu manusia dan badan hukum. Jadi, siapa badan hukum itu, akan sangat tergantung pada hukum positip setiap negara.

Untuk memerjelas pengertian pokok itu

Chidir5, mengutip pandangan ahli lain seperti

Meijers yang menyatakan, badan hukum meliputi sesuatu yang menjadi pendukung hak dan

kewajiban; Logeman6, yang menyatakan, badan

hukum suatu personifikasi (personificatie), yaitu

sesuatu perwujudan (bestendingheid) atau

4

Chidir Ali, Ibid, hal. 18 dan 21

(5)

32

maan hak-kewajiban. Hukum organisasi, tegas Logemann, menentukan struktur intern dari

per-sonifikasi tersebut; atau E. Utrecht7 yang

me-nyatakan:

“badan hukum (rechtspersoon) yaitu badan

yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak. Selanjutnya dijelas-kan bahwa badan hukum ialah setiap pendu-kung hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat

yang bukan manusia.”

Selain pandangan di atas, masih ada pan-dangan lain tentang pengertian badan hukum, namun karena varian dari pandangan di atas, maka tidak disebutkan di sini. Kesimpulan Chidir Ali, bahwa badan hukum merupakan gejala kemasyarakatan, gejala nyata, benar-benar ada dalam pergaulan hukum, sekalipun tidak berwu-jud manusia atau berbentuk benda nyata lainnya seperti besi atau kayu bisa diterima. Yang paling penting dalam pergaulan hukum, simpul Chidir Ali, ialah bahwa badan hukum itu memunyai

kekayaan (vermogen) yang sama sekali terpisah

dari kekayaan anggotanya, yaitu apabila badan hukum itu berbentuk korporasi.

Dari pengertian di atas tampak bahwa badan hukum dapat memiliki banyak bentuk. Ia dapat merupakan persekutuan individu yang

7

(6)

33

kan diri dalam satu persekutuan, dapat berben-tuk organisasi seolah-olah satu individu atau

persoon (person), tetapi bukan atau tidak sama dengan manusia. Hal ini dapat dilihat pada badan hukum seperti perseroan terbatas yakni badan hukum yang memiliki anggota dan memi-liki kewajiban sendiri yang terpisah dari hak-kewajiban masing-masing anggota. Oleh karena itu, ia merupakan personifikasi atau perwujudan dari hak dan kewajiban, yang memiliki kewe-nangan hukum untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.

Badan hukum juga dapat berupa harta yang memiliki tujuan tertentu tetapi tanpa ada seorang pun individu yang memilikinya tetapi diperlaku-kan seolah-olah ia suatu purusa seperti halnya manusia. Bentuk yang terakhir ini mirip dengan

pendapat R. Ali Rido8 yang menyatakan bahwa :

“Sering terjadi dalam suatu organisasi yang bersifat hukum publik sebagai negara atau bahwa seorang manusia memisahkan suatu harta kekayaan tertentu untuk memperjuang-kan suatu tujuan tertentu. Dalam hal ini yang pertama dinamakan Lembaga Umum (instelling) dan yang kedua adalah yayasan. Dengan demikian, kita menemukan

keok-numan (rechtspersoonlijkheid) tidak hanya

8 R. Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum

(7)

34

pada suatu korporasi, tetapi juga pada

ins-tellingdan pada yayasan.”

Dalam pergaulan hukum, status atau kedu-dukan hukum atau kewenangan hukum badan hukum itu, entah berupa persekutuan manusia maupun harta kekayaan yang dipisahkan, tidak timbul dengan sendirinya, melainkan karena diberikan oleh hukum. Hal ini, sejalan dengan

pendapat Van Apedoorn9, bahwa kewenangan

hukum (persoonlijkheid) ialah kecakapan untuk

menjadi pendukung (subyek) hukum. Kewenang-an ini merupakKewenang-an suatu sifat yKewenang-ang diberikKewenang-an oleh hukum obyektif dan hanya boleh dimiliki oleh mereka yang diberikan oleh hukum.

Pandangan Apeldoorn itu memberi petunjuk bahwa tidak setiap persekutuan atau harta yang dipisahkan untuk tujuan tertentu dapat disebut badan hukum. Ia dapat disebut badan hukum apabila diakui oleh hukum, dan agar diakui oleh hukum, sudah barang tentu ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh persekutuan manusia tersebut atau harta kekayaan yang dipisahkan itu sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan hukum positip.

Pertanyaan yang muncul ialah mengapa manusia perlu mengadakan persekutuan? Atas

(8)

35

pertanyaan ini, R. Ali Rido10 berpendapat bahwa

“manusia mempunyai kepentingan perseorangan

(individueel), sehingga untuk melindunginya perlu hak. Di samping itu, dalam kenyataannya manu-sia mempunyai kepentingan bersama. Kepenting-an bersama atau suatu tujuKepenting-an tertentu diperju-angkan bersama dengan cara mereka berkumpul dan menyatukan diri, lalu membentuk organisasi serta memilih pengurus yang mewakili mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mengum-pulkan harta kekayaan, menetapkan peraturan-peraturan bertingkah laku bagi mereka dalam hubungan satu dengan lainnya. Hal ini dilakukan karena dalam setiap hal mustahil mereka laku-kan secara bersama-sama.

Pendapat Ali Rido itu disetujui Chidir Ali11

dengan menyatakan:

“Hukum memberikan kemungkinan bahwa

suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang, yang merupakan pembawa hak, suatu subyek hukum dan karenanya dapat menjalankan hak-hak seperti orang biasa, dan begitu pula dapat dipertangung-gugatkan. Sudah barang tentu badan hukum ini bertindaknya harus dengan perantaraan orang biasa, akan tetapi orang yang bertindak itu tidak bertindak untuk dirinya sendiri

(9)

36

lainkan untuk dan atas pertanggung-gugat

badan hukum.”

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, da-pat dikatakan bahwa badan hukum memiliki ciri-ciri: ia merupakan perkumpulan orang atau or-ganisasi, memiliki harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggota-anggotanya atau harta kekayaan yang dipisahkan itu sendiri, memiliki tujuan tertentu, dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum dalam hubungan-hubungan hukum, memiliki pengurus, memunyai hak dan kewajiban, dapat digugat dan menggugat di de-pan pengadilan, dan merupakan gejala nyata da-lam pergaulan hukum.

Sekalipun badan hukum berupa persekutuan dan harta (yayasan) terkesan sama, namun di antara dua golongan badan hukum itu terdapat perbedaan. Menurut Rido Ali:

“Pada yayasan dan Lembaga Umum (

ins-telling) dipisahkan suatu kekayaan tertentu, diadakan suatu organisasi dengan tujuan tertentu yang memunyai kekayaan tersendiri yang terpisah, yaitu harta yang diberi tujuan yang dipisahkan oleh seorang manusia dalam hal yayasan dan oleh negara dalam hal Lem-baga Umum. Agar organisasi itu dapat men-capai tujuannya, diadakan untuk itu suatu

pengurus...”

(10)

37

para ahli tidak memiliki kesepakatan pandangan terhadap perwujudan berbagai bentuk badan

hukum. Chidir Ali12 menggolongkan teori-teori

yang ada dalam dua golongan besar, yaitu golongan yang meniadakan persoalan badan hukum, dan lainnya adalah golongan yang memertahankan persoalan badan hukum.

Yang termasuk golongan pertama antara lain adalah teori organ yang dipelopori oleh Otto Von Gierke dan teori kekayaan bersama oleh Rudolf Von Jhering, sedangkan teori lainnya antara lain teori fiksi oleh Friedrich Carl Von Savigny, teori kekayaan bertujuan oleh A. Brinz, dan teori kenyataan yuridis oleh E.M. Meijers dan dianut oleh Paul Scholten.

Penganut teori fiksi13 misalnya menyatakan

bahwa hanyalah manusia yang memunyai kehendak, sedangkan badan hukum tidak. Lagi pula badan hukum itu hanyalah suatu abstraksi, fiksi, hanya merupakan buatan pemerintah atau negara, bukan sesuatu yang konret. Oleh karena itu, badan hukum tidak mungkin menjadi subyek dari hubungan hukum.

12

Chidir Ali, Ibid. hal. 30

(11)

38

Yang searah dengan itu adalah teori

kekaya-an bertujukekaya-an.14 oleh A. Brinz. Menurut teori ini

yang dapat menjadi subyek hukum hanya manusia. Badan hukum bukan subyek hukum. Hak-hak yang diberikan kepada suatu badan hukum pada hakekatnya adalah hak-hak yang tidak memiliki subyek hukum. Kekayaan badan hukum menurut teori ini bukanlah hak-hak sebagaimana lazimnya, yaitu adanya manusia sebagai pendukung hak, melainkan kekayaan tersebut telepas dari manusia pemegangnya dan diurus untuk tujuan tertentu.

Pandangan yang sebaliknya mengakui badan hukum sebagai subyek hukum. Prinsip pandang-an ini ialah bahwa mpandang-anusia bukpandang-anlah satu-satunya subyek hukum, pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Selain manusia, ada sub-yek hukum lain, yang juga merupakan pendu-kung hak-hak dan kewajiban-kewajiban, yaitu apa yang disebut badan hukum.

Gierke misalnya menjelaskan, badan hukum itu bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi sebu-ah realita yang memiliki sifat yang sama dengan alam manusia dalam pergaulan hukum. Melalui alat-alat atau organnya seperti pengurus atau anggotanya, badan hukum memiliki kehendak

(12)

39

atau kemauan yang dibentuk oleh dan melalui alat-alat atau organ tersebut.

Badan hukum menurut teori ini bukanlah suatu kekayaan atau hak yang tidak bersubyek, tetapi nyata ada. Lagi pula, persoalan badan hukum bukanlah soal nyata tidak nyata seperti manusia dalam kualitasnya sebagai subyek hukum. Kualitas subyek hukum pada manusia dan badan hukum sama-sama tidak dapat ditangkap dengan panca indera, dan bertindak-nya bukan pula dalam kesatuan wujud orang atau badan hukum, tetapi melalui organ dari orang atau badan hukum tersebut.

Mirip dengan teori organ, teori kekayaan bersama yang menyatakan bahwa badan hukum adalah kumpulan manusia. Kepetingan badan hukum adalah kepentingan seluruh anggotanya. Badan hukum menurut teori ini, bukanlah abstraksi dan bukan organisme. Hak dan kewa-jiban badan hukum menurut teori ini adalah hak dan kewajiban anggotanya bersama-sama, tang-gung jawab bersama. Mereka berhimpun dalam satu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang disebut badan hukum. Jadi, badan hukum dipandang sebagai konstruksi yuridis.

Selain teori-teori di atas, masih banyak teori

lain seperti teori Leer Van Het Ambtelijk Vermogen

(13)

40

Seseorang dalam Jabatan), teori Leon Duguit, dan tentu masih banyak yang lain. Teori-teori tersebut tampaknya tak perlu dibahas, sebab selain merupakan varian dari teori yang sudah dikemukakan, tidak seluruhnya cocok diterapkan pada badan hukum, termasuk yayasan. Contoh-nya adalah teori kekayaan bersama. Bila dicer-mati, tampak bahwa teori tersebut hanya cocok untuk badan hukum yang memunyai anggota, tetapi tidak cocok bagi yayasan. Teori yang cocok bagi yayasan adalah teori kekayaan bertujuan karena tidak memunyai anggota dan teori harta

kekayaan seseorang dalam jabatan (Leer van het

ambtelijk vermogen).15

Pertanyaannya ialah apa yang dimaksud dengan yayasan dan mengapa ia disebut badan hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dikemukakan pandangan beberapa ahli hukum.

Para sarjana hukum Belanda16 misalnya

berpen-dapat, bahwa:

15 Menurut teori ini, harta kekayaan yang dimiliki seseorang dalam

jabatannya adalah suatu hak yang melekat pada suatu kualitas. Bagi teori ini, tidak mungkin memunyai hak jika tidak dapat melakukan hal itu. Tanpa daya kehendak (wilsvermogen) tidak ada kedudukan sebagai subyek hukum. Ini konsekuensi luas dari teori yang menitik beratkan pada daya kehendak. Untuk badan hukum yang berkehendak adalah pengurus. Dalam kualitas sebagai pengurus mereka adalah berhak, maka dari itu disebut ambtelijk vermogen. Chidir Ali, Op.cit., hal. 33.

(14)

41

Stichting (yayasan) adalah suatu badan hukum yang berbeda dengan badan hukum perkumpulan atau perseroan terbatas, tidak memunyai anggota atau persero, oleh karena apa yang Stichting dianggap badan hukum adalah sejumlah kekayaan berupa uang dan lain-lain benda kekayaan.

Dari pandangan di atas diketahui bahwa yang disebut yayasan adalah harta kekayaan, baik berupa uang maupun bentuk lain. Ia mirip dengan perkumpulan, tetapi tidak sama dengan perkumpulan atau perseroan sebagaimana diatur dalam hukum positip, karena harta kekayaan tersebut tidak memunyai anggota.

Memerjelas pandangan di atas, perlu ditinjau

pandangan Paul Scholten17 yang menyatakan:

Yayasan adalah suatu badan hukum yang dilahirkan oleh suatu pernyataan sepihak. Pernyataan tersebut harus berisikan pemi-sahan suatu kekayaan untuk suatu tujuan tertentu, dengan menunjukkan cara kekaya-an itu diurus dkekaya-an digunakkekaya-an.

Dengan rumusan itu, tampak bahwa keka-yaan yang disebut badan itu lahir dari pernya-taan sepihak. Tentu saja pernyapernya-taan dimaksud adalah tertulis dan istilah pihak menunjuk pada pendiri. Isi pernyataan, tidak lain adalah pernya-taan tentang pemisahan kekayaan dari kekayaan

(15)

42

pendiri. Secara tegas pula disebutkan pemisahan kekayaan tersebut dan pengurusannya adalah semata-mata untuk mencapai tujuannya.

N.H. Bregstein18 menambahkan bahwa:

Yayasan adalah suatu badan hukum yang didirikan dengan suatu perbuatan hukum, yang tidak bertujuan untuk membagikan kekayaan dan/atau penghasilan kepada pen-diri atau pengurusnya di dalam yayasan itu atau kepada orang-orang lain, kecuali untuk tujuan idiil.

Pandangan Bregstein rupanya memerjelas tujuan kekayaan yang dipisahkan tersebut beser-ta penghasilan yang diperoleh darinya bukanlah untuk kepentingan pendiri. Oleh sebab itu tidak patut dibagikan kepada pendiri, pengurus, atau siapa pun jika bukan bertujuan idiil.

W.L.G Lemaire19 kemudian menambahkan:

Yayasan diciptakan dengan suatu perbu-atan hukum, yakni pemisahan suatu harta kekayaan untuk tujuan yang tidak

diharap-kan keuntungan (altrustische doel) serta

penyusunan suatu organisasi (berikut peng-urus), dengan mana sungguh-sungguh dapat terwujud tujuannya dengan alat-alat itu. Dari Lemaire diketahui pemisahan kekayaan tersebut bukan bertujuan mencari keuntungan.

18

Chidir Ali, Ibid, hal. 86.

19

(16)

43

Oleh karena itu diperlukan suatu organisasi dan pengurus sebagai alat organisasi, alat yayasan, untuk mencapai tujuannya.

Lebih lanjut Meijers20 menyatakan bahwa

pada yayasan pokoknya terdapat :

Penetapan tujuan dan organisasi oleh para pendirinya; tidak ada organisasi anggotanya; tidak ada hak bagi pengurusnya untuk meng-adakan perubahan yang berakibat jauh da-lam tujuan dan organisasi; perwujudan dari suatu tujuan, terutama dengan modal yang diperuntukkan untuk itu.

Pendapat Meijers ini menekankan pentingnya tujuan yayasan di mana pengurus hanya boleh bertindak untuk mengupayakan pencapaian tujuan itu. Pengurus tidak boleh melakukan perubahan yang sifatnya mengubah atau menga-kibatkan perubahan pada tujuan yayasan, teru-tama mengenai modal atau kekayaan yang diper-untukkan untuk tujuan tersebut.

Menegaskan apa yang dikemukakan Mijers di

atas, A. Pitlo21 memberi uraian sebagai berikut:

Sebagaimana hanya untuk tiap-tiap perbuat-an hukum, maka untuk pendiriperbuat-an yayasperbuat-an harus ada sebagai dasar suatu kemauan yang sah. Pertama-tama harus ada maksud untuk mendirikan suatu yayasan,

20

Chidir Ali, Ibid, hal. 86

21

(17)

44

nya perbuatan hukum itu harus memenuhi tiga syarat materiil, yakni adanya pemisahan kekayaan, tujuan, dan organisasi, dan satu syarat formal, yakni surat. Yayasan adalah suatu badan hukum tanpa diperlukan campur tangan penguasa (pemerintah).

Dari uraian itu, tampak bahwa aspek yang ditekankan A. Pitlo adalah kemauan yang sah. Kemauan sah ini tampaknya menunjuk pada suatu keinginan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat dalam kehidupan masyarakat. Hal ini harus sesuai dengan nilai-nilai yang diterima masyarakat dan dan diakui oleh hukum positip. Jika itu terpenuhi, maka syarat materil dan formal perlu dipenuhi guna memenuhi prosedur hukum. Dengan terpenuhinya semua aspek itu maka pemerintah tidak perlu turut campur dalam kelembagaan dan kegiatan yayasan.

Secara lebih lengkap, Van Apeldoorn menje-laskan demikian:

Yayasan (stichting) adalah harta yang

(18)

45

diperlakukan seolah-olah ia adalah subyek hukum.

Berdaarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa yayasan memiliki beberapa unsur, yaitu:

a. Terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dari

kekayaan pendiri;

b. Memiliki tujuan tertentu yang sesuai dengan

nilai-nilai masyarakat dan sah secara hukum;

c. Tidak mencari keuntungan;

d. Memiliki organisasi;

e. Kegiatan yang dilakukan melulu untuk

mewu-judkan tujuan yayasan;

f. Memiliki alat perlengkapan organisasi, yaitu

pengurus;

g. Didirikan secara sepihak tanpa ada campur

tangan penguasa atau pemerintah;

h. Didirikan dengan memenuhi syarat materiil

dan syarat formal, surat pernyataan;

i. Kedudukannya dalam hukum dipersamakan

dengan manusia sebagai subyek hukum.

(19)

46

adalah yang pokok. Aspek inilah yang menjadi faktor pengikat dan pemilik hak atas kekayaan badan hukum, sementara pendiri dan pengurus hanyalah alat organsiasi yang bertindak untuk dan atas nama yayasan guna mewujudkan tujuan yayasan.

Dari uraian itu pula diketahui bahwa yayasan dalam pandangan para ahli hukum sudah merupakan badan hukum. Status ini melekat pada diri yayasan atau harta yang dipisahkan itu untuk mencapai tujuan peruntukannya. Dengan kata lain, status badan hukum yayasan diperoleh tidak didasarkan pada prosedur khusus, tetapi pada terpenuhinya unsur kekayaan yang dipi-sahkan untuk tujuan tertentu yang secara organisastoris diurus oleh pengurus untuk mencapai tujuan tertentu tersebut.

2. Yayasan Menurut Pemahaman Masyarakat.

(20)

47

Secara konsptual memang dipahami bahwa yayasan adalah lembaga yang bermisi sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, namun dengan tidak adanya ketentuan khusus tersebut, tidak jarang orang mendirikan yayasan untuk tujuan bisnis. Banyak yayasan didirikan dengan moti-vasi mencari keuntungan dengan atau tanpa ditonjolkan seperti misi sosial, keagamaan, atau kemanusiaan.

Pada bab sebelumnya, hal tersebut sudah diuraikan. Sekedar contoh, dapat disebutkan yayasan penyelenggara pendidikan dan rumah sakit. Banyak yang mendirikan yayasan dan menyelenggarakan pendidikan atau rumah sakit dari kekayaan satu atau beberapa orang pendiri, dan mengelolanya seperti halnya perusahaan pada umumnya. Pendiriannya memang selalu bermotif sosial dan kemanusiaan. Akan tetapi, status yayasan umumnya dianggap sebagai hak milik pendiri sehingga kekayaan awal dan penghasilan atau keuntungan (kalau ada) yang didapatkan dari usaha yayasan dikolola oleh pendiri sebagaimana lazimnya harta kekayaan pribadi.

(21)

48

yayasan ini memang bukan bisnis. Benar-benar dimaksudkan untuk memajukan pendidikan di Nias. Sejak didirikan pada tahun 1970, yayasan ini telah memberikan kontribusi besar bagi pengembangan pendidikan di Nias, khususnya di

tingkat SMP, SMA dan Sekolah Kejuruan.22 Pada

tahun pelajaran 2014/2015, jumlah siswa di seluruh sekolah di yang dikelola yayasan lebih 2.000 orang.

Yayasan ini menyelenggarakan 5 (lima) sekolah, yaitu 2 (dua) unit SMP, 2 (dua) unit SMA, dan 1 (satu) unit SMK. Hal ini diawali dengan pendirian STM Pembda (sekarang SMK pembda) pada tahun 1970, kemudian SMP Pembda-1 tahun 1978, SMA Pembda-1 tahun 1979, SMP Pembda-2 dan SMA Pembda-2 tahun 1982 oleh 8 (delapan) orang pendiri. Biaya awal bersumber dari harta kekayaan pribadi para pendiri, mulai dari pengadaan tanah, mendirikan bangunan secara berangsur-angsur, sampai pada penyediaan peralatan pengajaran.

Sejak awal yayasan tersebut dikelola lang-sung oleh pendiri, yaitu dengan menugaskan salah seorang pendiri menjadi Ketua Yayasan yang sehari-hari mengurus yayasan. Untuk

22 Wawancara via telpon dengan KS. Halawa, salah seorang

(22)

49

bantu Ketua Yayasan diangkat bendahara yaya-san dan beberapa staf sekretariat untuk mena-ngani administrasi yayasan. Penghasilan dari berbagai kewajiban resmi siswa di lima sekolah tersebut terutama dipakai untuk mengembang-kan kegiatan pendidimengembang-kan, namun bila ada keun-tungan maka keunkeun-tungan tersebut dibagi kepada para pendiri berdasarkan ketentuan yang mereka tetapkan sendiri.

Setelah Ketua Yayasan meninggal dunia, posisi ketua pengurus yayasan diwariskan kepa-da salah seorang anak beliau kepa-dan masih tetap dikelola seperti sebelumnya, walaupun organisasi organ yayasan sudah diatur dalam angaran dasar yayasan setelah dilakukan penyesuaian dengan ketentuan UUY pada tahun 2009. Bagi mereka, Yayasan PEMBDA Nais adalah milik keluarga dari 8 (delapan) pendiri tersebut.

(23)

50

Islam wakaf ini disebut wakaf khairi. Selain

wakaf khairi, ada juga wakaf dzuuri, yaitu wakaf dengan memeruntukkan sebagai dari kekayaan, dan kekayaan tersebut lebih bersifat warisan untuk kepentingan anak-cucu si pemberi wakaf atau wakif.

Sebelum adanya UUY, yayasan-yayasan yang ada di Indonesia, termasuk yayasan tersebut di atas, umumnya didirikan dengan akta notaris dengan atau tanpa didaftarkan di Pengadilan Negeri setempat.

3. Yayasan menurut UUY

Berbeda dengan buku teks, konsep yayasan dalam UU tidak dijelaskan. Yang ada hanyalah pengertian umum sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 ayat (1) UUY sebagai berikut:

“yayasan adalah badan hukum yang terdiri

atas kekayaan yang dipisahkan dan diperun-tukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan

kemanusia-an”.

(24)

51

tidak terikat kepada siapa pun selain kepada tujuannya. Bagi UUY, unsur ini menjadi unsur pokok yang ditetapkan sebagai faktor pembentuk badan hukum.

Dengan penegasan itu tampak bahwa sebuah yayasan disebut badan hukum apabila ia memi-liki kekayaan yang dipisahkan terlepas dari keka-yaan pendiri, dan pendiriannya melulu dimak-sudkan untuk kepentingan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Ketiga tujuan ini memang tidak harus dicakup secara lengkap oleh tiap yayasan. Yayasan boleh hanya fokus pada satu atau dua bidang, tetapi bisa juga ketiga-tiganya.

Yang terpenting pada rumusan pasal tersebut ialah bahwa kekayaan yayasan adalah kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendiri dan semata-mata dimaksudkan untuk tujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Apabila hal-hal tersebut terpenuhi, maka yayasan dimaksud diakui sebagai badan hukum. Sebaliknya, badan hukum yang demikian merupakan yayasan.

(25)

52

secara rinci pada beberapa pasal tentang pembina, pengurus, dan pengawas pada Pasal 28

– Pasal 47. Demikian pula ketentuan Pasal 5

tentang kekayaan yayasan dan ketentuan pada Pasal 3, Pasal 7, dan Pasal 8 tentang usaha atau badan usaha yang dapat diselenggarakan oleh yayasan. (lihat bahasa detail pada bab III, B.3.b. dan c. pada halaman 117-135).

Dalam pasal-pasal tersebut yayasan dikons-truksi sebagai sebuah lembaga yang bentuknya pasti sama dari aspek organ dan kewenangannya, struktur organisasi, status kekayaan yayasan, dan larangan-larangan kepada pengurus. Perbe-daan-perbedaan yang nyata ada dalam yayasan dianggap tidak penting sehingga tidak perlu di-atur. Akibatnya, materi pengaturan UUY tampak banyak yang janggal dan terkesan bukan meng-atur yayasan yang nyata ada, melainkan yayasan yang dibayangkan ada.

Untuk menjelaskan hal tersebut dapat ditinjau ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2001 yang mengatur siapa saja yang dapat mendirikan

yayasan. Rumusannya demikian: “Yayasan didiri

-kan oleh satu orang atau lebih dengan memisah-kan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai

kekayaan awal.” Istilah “orang”23 dalam ayat

(26)

53

tersebut diartikan sebagai orang perseorangan

atau badan hukum24.

Persoalannya ialah penyamaan posisi orang perseorangan dan orang dalam arti beberapa o-rang tampaknya kuo-rang tepat. Dalam prakteknya penyamaan tersebut dapat menimbulkan masa-lah hukum yang mengakibatkan ketidak-adilan yang justru bertentangan dengan tujuan hukum. Pandangan ini didasarkan pada tiga argumen berikut:

a. Perbedaan Secara Konseptual. Secara

konsep-tual orang perseorangan berbeda dengan o-rang dalam arti beberapa oo-rang. Perbedaan juga dapat tampak atau ditampakkan dalam hal inisiatif pendirian yayasan. Yayasan de-ngan inisiatif pendiri berbeda dari inisiatif pewaris seperti wakaf, dan inisiatif orang-orang dalam korporasi. Demikian pula moti-vasi dan tujuan mendirikan yayasan,

24 Dalam pandangan hukum positip, penyamaan orang

(27)

54

an awal dan sumber dana, penggunaan keka-yaan setelah yayasan berdiri, dan sebagainya.

b. Perbedaan Wujud. Wujud nyata dari yayasan

juga berbeda-beda sesuai dengan latar bela-kang pendirian ataupun sasaran kegiatannya. Yayasan yang bertujuan sosial dengan kegiat-an memelihara kegiat-anak-kegiat-anak cacat, kegiat-anak-kegiat-anak terlantar, kaum jompo, mengurus kematian, berbeda dengan yayasan yang menyeleng-garakan pendidikan atau rumah sakit, dan berbeda pula dengan yayasan yang didirikan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan dalam sebuah instansi.

c. Perbedaan Sumber Kekayaan. Yayasan yang

didirikan dengan kekayaan awal bersumber dari pemisahan kekayaan pribadi berbeda de-ngan yayasan yang kekayaan awalnya ber-sumber dari wakaf. Demikian pula dengan ya-yasan yang kekayaan awalnya bersumber dari keuangan negara seperti pada Yayasan Kese-jahteraan Karyawan Bank Indonesia, yayasan-yayasan dalam lingkungan Tentara Nasional Indonesia atau di berbagai BUMN atau BUMD.

(28)

ins-55

tansi pemerintah, berkaitan dengan publik. Sudah tentu penggunaan kekayaan yayasan yang sumbernya dari instansi pemerintah, tidak tepat kalau hanya dimanfaatkan untuk menyejahterakan karyawan atau mantan kar-yawan pada instansi bersangkutan. Uang negara adalah milik umum. Jika milik umum dipakai untuk kepentingan sebagian orang, maka tindakan itu dapat digolongkan sebagai

penyelewengan atas keuangan negara25. Uang

negara yang ada dalam BUMN/BUMD kemu-dian dipisahkan sebagai modal awal yayasan

tetap merupakan kekayaan negara26.

Perbedaan yang dikemukakan di atas memang tidak selalu menimbukan masalah apabila diatur

25 Lihat UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 1

ayat (1), yang menyatakan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut; jo ayat (10) Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara; dan jo ayat (17), yang menyatakan bahwa Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

(29)

56

berdasarkan kenyataan. Van Apeldoorn27

menya-takan bahwa:

Hukum objektif mengatur pelbagai hubungan. Peraturan itu adalah baik jika ia cocok dengan sifat hubungan-hubungan yang diaturnya, sebab peraturan itu harus sesuai dengan apa yang diautur.

Oleh karena itu, isi peraturan-peraturan hu-kum itu bergantung pada hakekat hubungan yang diaturnya. Pengaturan hubungan adalah

pengaturan kepentingan-kepentingan dari

yang bersangkutan, karena hubungan hukum adalah kepentingan-kepentingan yang menda-pat perlindungan. Jadi, isi pengaturan hu-kum bergantung kepada hakekat kepentingan-kepentingan yang diatur oleh hukum.

Apa yang ditekankan Apeldoorn di atas, tam-paknya terlewat dari perhatian pembentuk UUY. Keadaan inilah yang berpotensi menimbukkan masalah hukum, sebab mengatur hal-hal yang berbeda secara sama atau menerapkan keten-tuan hukum yang sama pada hal-hal yang ber-beda tentu saja tidak adil, bertentangan dengan

27 Konteks uraian Apeldoorn adalah konteks pembagian hukum

(30)

57

tujuan hukum (lihat uraian pada Bab II.C.2. halaman 81-90)

Disadari atau tidak, keadaan tersebut meme-ngaruhi rumusan ketentuan UUY, dan barang tentu pada penerapannya di seluruh yayasan. Apabila hal itu dipaksakan semata-mata karena sudah menjadi hukum positip, maka upaya mengembalikan fungsi yayasan sebagaimana dikehendaki oleh UUY dapat menyimpang, bah-kan bisa menimbulbah-kan persoalan keadilan dan kemanfaatan bagi adresat hukum.

Akan terasa tidak adil apabila hak atas keka-yaan pribadi pendiri yayasan serta merta hilang hanya dengan hadirnya UUY. Jika yang ber-sangkutan serta merta menghentikan kegiatan yayasan karena tidak menerima pengaturan UUY tentu saja menimbulkan persoalan hukum juga. Bila kegiatan dimaksud adalah kegiatan pendi-dikan formal atau rumah sakit yang justru sa-ngat dibutuhkan oleh masyarakat sudah pasti persoalannya lebih rumit.

(31)

58

B.

Keragaman Yayasan dan Pengaturannya

Dengan beragamnya pemahaman yayasan, ter-utama dalam prakteknya Indonesia, menunjukkan bahwa pengaturan yang dilakukan dalam UUY tidak sepenuhnya mengacu pada kondisi nyata. Untuk itu, jalan pikiran yang dikemukakan oleh Budiono Kusumohamidjojo sebagaimana terpapar di halaman 65-66 patut diperhitungkan oleh pembuat UU. Menurut penulis, solusi yang tepat ditempuh ialah memilah-milah yayasan berdasarkan keadaan nya-tanya dan membuat peraturan yang sesuai dengan keadaan tersebut.

1. Pemilahan Yayasan

Yayasan yang ada perlu dipilah berdasarkan latar belakang dan motivasi pendirian, bentuk-bentuk kegiatan, sasaran kegiatan yayasan, dan sumber kekayaan awal yang dipisahkan. Dalam

kaitan ini, gagasan Suharto28 tampaknya dapat

dipertimbangkan. Menurut Suharto, berdasarkan sumber dananya ada dua golongan yayasan, yaitu yayasan murni dan yayasan pura-pura atau kamuflase.

Yayasan murni adalah yayasan yang modal awalnya bersumber dari orang perseorangan dan

28 Suharto, Membedah Konflik Yayasan, Menuju Konstruksi Hukum

(32)

59

sumbangan. Yayasan ini benar-benar bersifat ka-ritatif. Ia didirikan untuk memelihara anak-anak terlantar, yatim piatu, kaum miskin, mengurus kematian, atau mengurus kepentingan umum seperti lingkungan hidup, pengembangan ilmu pengetahuan, museum, keagamaan, pendidikan, dan rumah sakit.

Motivasi pendirian yayasan semacam itu mirip dengan apa yang dilakukan Plato sebagaimana

dijelaskan Anwar Borahima29 bahwa menjelang

kematiannya pada tahun 347 SM, Plato menyum-bangkan hasil pertanian tanah miliknya untuk

selama-lamanya bagi academia yang

didirikan-nya. Dalam agama Islam, tulis Anwar, motivasi semacam itu dikenal dengan upaya untuk mewujudkan amal saleh atau wakaf khaidir. Wakaf ini diberikan oleh seseorang semata-mata untuk membantu memenuhi kepentingan umum seperti membangun masjid, pesantren, kuburan, sekolah. Dengan motivasi beramal, mereka menyumbangkan sebagian harta miliknya untuk

kepentingan orang lain secara sukarela (tabarru).

Menurut Rudhi Prasetya30, yayasan murni

masih dapat dibedakan berdasarkan kegiatannya.

29 Anwar Borahima, Op.cit, hal.11-19.

30 Rudhi Prasetya, Yayasan dalam Teori dan Praktik, Sinar Grafika,

(33)

60

Ada yayasan yang semata-mata mengumpulkan dana dari para dermawan kemudian menyalur-kannya kepada yang memerlukan seperti beasis-wa bagi kaum miskin, biaya hidup anak-anak panti asuhan, dan orang terlantar lainnya. Tipe lainnya, adalah yayasan yang tidak hanya sebagai penyalur dana, tetapi sebagai penye-lenggara langsung kegiatan seperti pendidikan, poliklinik, rumah sakit.

Dalam agama Islam, yayasan tipe terakhir itu, banyak yang didirikan dengan kekayaan awal dari wakaf ahli. Selain dimaksudkan untuk mem-bantu memenuhi kepentingan umum, pendirian yayasan dimaksudkan untuk menciptakan la-pangan kerja dan pemenuhan kebuhutuhan ekonomi keluarga yang berwakaf. Yayasan tipe ini dipahami sebagai yayasan milik pribadi, milik keluarga, dan keturunan pewakaf.

Berbeda dengan yayasan murni, yayasan pura-pura atau kamuflase adalah yayasan yang didirikan untuk kesejahteraan anggota atau man-tan anggota pendiri. Contohnya adalah yayasan yang didirikan instansi Pemerintah, TNI, Bank Indonesia, Pertamina, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, yang modal awalnya bersumber dari uang negara. Motivasi dan tujuan

(34)

61

karyawan atau mantan karyawan pada instansi yang bersangkutan.

Yayasan yang mirip dengan itu ialah yayasan- yayasan yang didirikan oleh perusahaan swasta. Kekayaan awal pada yayasan ini dipisahkan dari kekayaan perusahaan dan dimaksudkan untuk kesejahteraan karyawan atau mantan karyawan perusahaan. Bedanya, yayasan ini selain untuk kepentingan karyawan atau mantan karyawan, ada di antaranya yang tergolong yayasan murni. Hal ini didirikan untuk membantu kepentingan umum, masyarakat miskin, mengembangkan

ilmu, dan melestarikan lingkungan.31

31 Contohnya adalah PT Astra Internasional yang mendirikan

(35)

62

2. Materi Pengaturan Undang-Undang Yayasan

Dengan dipilahnya yayasan, maka materi pengaturan yayasan perlu disesuaikan dengan keadaan nyata yayasan. Paling sedikit, materi pengaturan yayasan murni dijabarkan secara berbeda dengan yayasan kamuflase. Hal ini harus eksplisit dirumuskan dalam syarat dan prosedur penyesuaian AD bagi yayasan yang sudah berdiri sebelum UUY. Bagi yayasan yang serupa, tetapi berdiri setelah UUY, pengaturannya perlu dibeda-kan juga. Hal ini dimaksuddibeda-kan untuk mencegah terjadinya ketidak-adilan dalam UUY.

Berdasarkan jalan pikiran tersebut tampak bahwa konsep yayasan pada Pasal 1, ayat (1) perlu dijabarkan pengaturannya pada pasal-pasal berikutnya guna mewadahi keadaan nyata yaya-san. Pengaturan organ pada yayasan yang didiri-kan oleh perseorangan dengan sumber kekayaan pribadi pendiri dan wakaf umpamanya perlu dia-tur secara berbeda dari yayasan yang didirikan oleh badan hukum.

(36)

63

yayasan yang oleh badan hukum, organ yayasan sepatutnya diangkat dari perseorangan menurut kriteria badan hukum pendiri yayasan, yang juga diatur dalam AD yayasan.

Pengaturan yang demikian, terkait dengan status kekayaan yayasan. Pengaturan yang tam-paknya patut ialah status kekayaan pendiri tetap diakui dan dapat diambil kembali manakala yayasan bubar atau dibubarkan. Tentang baga-imana pengaturan hak pendiri atas perkembang-an kekayaperkembang-an tersebut dalam yayasperkembang-an perlu diatur secara proporsional agar kegiatan yayasan dapat terus berlangsung dan berkembang.

Pengaturan Pasal 9 ayat (1) jo Pasal 5 tentang kekayaan yayasan tampaknya lebih cocok pada yayasan di Negara Barat yang mengonsepkan yayasan melulu bersifat karitatif atau filantropis. Hal yang demikian tidak mewadahi keadaan nyata masyarakat. Yang tampak, malahan seba-liknya, yaitu mengingkari prinsip bahwa hukum adalah bagian dari budaya atau paling sedikit apa yang sudah menjadi praktek hidup masyara-kat Indonesia.

(37)

hal-64

nya dengan penyangkalan atas prinsip hukum yang semestinya lahir dari dan berdasarkan ke-butuhan masyarakat. Di sisi lain, penyangkalan tersebut memosisikan UUY lepas dari akarnya, budaya masyarakat Indonesia.

Menurut Budiono Kusumohamidjojo32 hal

tersebut tidak tepat, sebab aspek-aspek kebuda-yaan itu jalin-menjalin dan saling memengaruhi satu dengan lainnya. Jika memusatkan perhatian pada hukum sebagai salah satu aspek kebuda-yaan, maka realisasinya berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Perbeda-an itu melahirkPerbeda-an perbedaPerbeda-an dalam realisasi hukum karena apa pun yang ada tidak terjadi dengan cara dan hasil yang sama. Apa yang dilarang pada suatu masyarakat, bisa tidak dilarang pada masyarakat lain, tulis Budiono.

Secara lebih tegas, Theo Huijbers33 menulis:

“Dalam menyelengarakan politik hukum,

pemerintah negara tidak bertolak dari norma-norma keadilan yang abstrak, melainkan dari kepentingan-kepentingan yang ada sangkut pautnya dengan situasi konkret masyarakat yang bersangkutan. Situasi dan kondisi masyarakat dunia sangat berbeda, baik secara

32 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum, Problematik

Ketertiban Yang Adil, Mandar Maju Bandung, Cet ke-1 September 2011, hal. 189

33 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius Yogakarta, Cet ke-15,

(38)

65

budaya maupun secara ekonomi. Oleh sebab itu, tiap-tiap negara harus menentukan tuju-annya sendiri, sesuai dengan situasi budaya

dan ekonomi bangsa.”

Mengacu jalan pikiran di atas, maka keten-tuan UUY mengubah status kekayasaan yayasan yang bersumber dari kekayaan pribadi dan badan hukum secara sama tidak relevan karena tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia.

Tentang persyaratan dan prosedur penyesu-aian anggaran dasar perlu dibedakan antara yayasan murni dengan yayasan pura-pura atau yayasan kamuflase. Bagi yayasan murni penga-turan UUY semestinya dibatasi sebagai alat kendali pertumbuhan yayasan, mengatur batas-batas kegiatan yang relevan dan pemanfaatan kekayaan yayasan secara proposional antara kepentingan pengembangan yayasan dan hak pendiri. Itu artinya materi pengaturan kekayaan yayasan merupakan harmonisasi antara kepen-tingan pendiri yayasan dan kepenkepen-tingan umum.

Menurut penulis, pengaturan semacam itu mampu mewadahi partisipasi masyarakat untuk merealisasikan tanggung jawab pemerintah ter-hadap rakyat seperti diamanatkan dalam Pasal

34 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945.34 Tentu

34 Ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara

(39)

66

saja tidak semua yayasan yang didirikan oleh perseorangan disamaratakan. Oleh karena itu, materi pengaturan tersebut harus mampu men-cegah tindakan kejahatan seperti pengalihan dana hasil pencucian uang ke dalam yayasan.

Persyaratan dan prosedur penyesuaian AD bagi yayasan pura-pura atau kamuflase, bukan saja perlu dilaksanakan berdasarkan ketentuan UUY, keberadaan yayasan seperti ini malahan harus dievaluasi. Jika masih memilih bentuk yayasan, maka sasaran kegiatan tidak boleh dibatasi hanya untuk kepentingan karyawan atau mantan karyawan saja, tetapi dibuka untuk ke-pentingan umum. Upaya meningkatkan kesejah-teraan karyawan atau mantan karyawan tentu saja dibolehkan, tetapi tidak dengan cara me-manfaatkan kekayaan negara, melainkan dengan cara lain yang sah secara hukum. Pengaturan seperti inilah yang dinilai sesuai dengan cita hukum nasional.

Tanpa memertimbangkan aspek-aspek terse-but di atas, disadari atau tidak, upaya menegak-kan hukum melalui UUY sulit (untuk tidak me-ngatakan mustahil) dilaksanakan secara

(40)

67

kuen berdasarkan cita hukum, baik bagi yayasan yang telah berdiri sebelum UUY maupun sesu-dahnya. Pemaksaan penerapan aturan UUY, khu-susnya ketentuan peralihan secara sama bagi yayasan, bukan saja tidak menjawab kebutuhan hukum masyarakat, tetapi eksekusi sanksi bagi pelanggar ketentuan tersebut menjadi tidak ur-gen. Upaya UUY mewujudkan keadilan, kemanfa-atan dan kepastian hukum tidak akan tercapai. Yang mungkin dapat dicapai terbatas pada pen-ciptaan kepastian hukum dan ketertiban admi-nistrasi.

C.

Undang-Undang Yayasan Dalam Sistem

Hukum Nasional

Lawrence M. Friedman35 dalam bukunya berjudul

Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial terjemahan

dari buku Legal System a Social Science Perspective,

menyatakan bahwa hukum adalah sebuah sistem. Sebagai sistem, hukum terdiri atas banyak kom-ponen pembentuknya yang saling berinteraksi dan secara keseluruhan bermuara pada upaya untuk mencapai tujuan hukum. Secara garis besar, kom-ponen sistem hukum terdiri atas komkom-ponen

struk-tur hukum, substansi hukum, dan kulstruk-tur hukum36.

35 M.Friedman, Lawrence, Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial,

Nusa Media, Cet. IV, Agustus 2011, hal. 6-18

(41)

68

Struktur hukum meliputi keseluruhan institusi hukum yang ada dalam masyarakat. Dalam cara pandang tertentu sering didefinisikan berdasarkan profesi para aparat hukum mulai dari para pembuat hukum seperti legislatif dan anggotanya sampai pada pelaksana operasional hukum. Dalam cara pandang lain, didefinisikan sebagai keseluruhan institusi hukum yang ada, termasuk apa yang dipraktekkan oleh masyarakat sederhana dalam menata kehidupan bersama dan menyelesaikan sengketa. Substansi hukum meliputi berbagai per-aturan, baik dalam bentuk peraturan per-UU-an, maupun norma lain yang mengatur pola perilaku dalam kehidupan bersama. Sedangkan kultur hu-kum adalah elemen sikap dan nilai sosial yang ada dalam masyarakat yang tampil dalam bentuk tun-tutan-tuntuan, opini-opini, pilihan-pilihan mengenai apa yang dianggap benar dan berguna dalam kehi-dupan bersama.

Apa dan bagaimana bentuk sistem hukum serta bagaimana ia bekerja dalam masyarakat sangat ditentukan oleh interaksi ketiga komponen tersebut. Ada hubungan timbal balik antara kultur hukum dengan struktur dan substansi yang kesemuanya dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan hukum.

Bagi Friedman, inti sebuah sistem hukum

ter-letak pada caranya mengubah input menjadi output.

(42)

69

atas sebuah kondisi yang diharapkan, yaitu yang memberi mereka peluang, bukan saja untuk meme-nuhi kebutuhan hidup, tetapi agar dalam memememe-nuhi kebutuhan hidup tersebut akan tercipta suasana

kehidupan bersama yang tertib dan teratur (inputs).

Tuntutan ini kemudian diproses oleh lembaga pem-buat hukum (misalnya legislatif) sampai terbentuk-nya norma hukum menjadi peraturan-peraturan,

baik tertulis maupun tak tertulis (output). Peraturan

dimaksud mengikat semua orang, tak terkecuali pembuat peraturan, dalam kehidupan bersama. Sejak diterapkan, peraturan tersebut dapat memun-culkan siklus di atas sampai menghasilkan aturan baru seiring dengan perkembangan masyarakat.

Munculnya respon, opini, atau tuntutan atas peraturan hukum yang baru dapat disebabkan oleh banyak hal. Bisa terkait dengan institusi hukum, substansi, maupun kultur hukum. Para penegak hukum yang tidak bekerja sesuai dengan ketentuan hukum; atau substansi hukum yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi dan/atau nilai-nilai dalam masyarakat yang tidak terwadahi dalam ketentuan hukum; atau kultur hukum penegak hukum yang tidak serasi dengan kultur masyarakat

dapat menimbulkan tuntutan baru atas hukum37.

37 Contoh mutakhir adalah respon masyarakat atas tertangkapnya

(43)

70

Apa yang dikemukakan Friedman tampaknya mirip dengan proses lahirnya UUY. Belum adanya peraturan yang jelas mengenai keberadaan yayasan sebelumnya mengakibatkan pertumbuhan yayasan tak terkendali. Yayasan yang seharusnya hanya bergerak dalam bidang kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan justru disalahgunakan oleh orang atau kelompok tertentu untuk tujuan bisnis atau untuk kepentingan pribadi pendiri dan pengurus. Keadaan itulah yang mendorong Pemerintah dan DPR membuat UUY untuk mengatur dan mengen-dalikan yayasan dengan membuat UUY.

Dibandingkan dengan apa yang digambarkan Friedman, tuntutan pengaturan yayasan tidak mun-cul dari anggota masyarakat, melainkan dari

peme-rintah dan legislator (DPR). Chatamarrasjid38

menu-lis bahwa selama pembahasan rancangan UUY di DPR, sebagian anggota masyarakat penyelengara ya-yasan dan organisasi non pemerintah keberatan atas materi-materi rancangan UUY. Mereka beranggapan

Pilkada Lebak, Banten serta tuduhan Pencucian Uang memicu terbitnya Perpu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Konstitusi yang disahkan dengan UU No 4 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2003 tersebut. Terbitnya UU No. 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan merupakan contoh belum sesuainya UU No. 16 Tahun 2001 dengan kebutuhan masyarakat dalam mengelola Yayasan.

(44)

71

materi rancangan UUY membuka peluang campur tangan pemerintah terhadap kehidupan sipil.

Keadaan tersebut menunjukkan bahwa tujuan pemerintah dan DPR mengatur yayasan belum selaras dengan harapan masyarakat. Tampaknya ada perbedaan kebutuhan hukum masyarakat di satu pihak dan kebutuhan hukum pemerintah serta DPR pada pihak lain. Pemerintah dan DPR, tampak lebih menitikberatkan aspek penertiban yayasan sementara masyarakat lebih menitikberatkan aspek haknya dalam menyelenggarakan kegiatan yayasan.

Munculnya UU No 28 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sempat memberikan harapan kepada masyarakat. Rumusan konsideran menimbang a dan b UU No 28 Tahun 2004 seakan-akan memberikan jawaban terhadap kebutuhan hukum masyarakat seperti dikemukakan Friedman. Rumusan konsideran a dan b demikian:

a. bahwa Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001

(45)

72

b. bahwa perubahan tersebut dimaksudkan

un-tuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum, serta memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai Yayasan; Kenyataannya, janji konsideran tersebut tidak sepenuhnya diaplikasikan dalam materi pengaturan yayasan. Dari 18 pasal yang diubah, 2 (dua) pasal yang dihapus, dan 3 (tiga) pasal tambahan tidak ada pasal yang mengatur pemilahan yayasan dan mengaturnya berdasarkan klasifikasi itu. Keadaan ini menunjukkan bahwa UU No 16 Tahun 2001 yang telah diubah dalam UU No 28 Tahun 2004 belum merupakan jawaban atas kebutuhan hukum adresat UUY.

Konsekuensinya ialah menerapkan UUY, dan secara khusus eksekusi sanksi ketentuan peralihan bagi yayasan yang telah berdiri sebelum adanya UUY kehilangan urgensi. Ia tidak mampu menjadi alat untuk menegakkan hukum yang memberi manfaat secara adil bagi yayasan.

1. Posisi Undang-Undang Yayasan Dalam hirarki Peraturan Perundang-undangan

(46)

73

inilah hukum dasar39 dan menjadi acuan seluruh

peraturan per-UU-an yang ada, maupun yang akan dibentuk kemudian, baik tertulis maupun

tak tertulis seperti hukum adat40. Salah satu di

antaranya yang tertulis ialah UUY (lihat bagan-1 pada halaman 74).

Peraturan per-UU-an tersebut berada dalam suatu sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang sekaligus berkelompk-kelompok, mulai dari per-aturan tertinggi, UUD 1945, sampai pada

peraturan terendah, peraturan daerah41. Semua

peraturan tersebut mengacu pada nilai-nilai yang sama, nilai-nilai ideal bangsa dan negara Indonesia yaitu Pancasila. Nilai-nilai itulah yang merupakan cita hukum, yang menjadi sumber

segala sumber hukum42.

39 Lihat Pasal 3 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan,

40 Bunyi Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam

Undang-Undang” merupakan penegasan hukum atas posisi UUD terhadap

peraturan-peraturan yang ada.

41 Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan.

(47)

74 Bagan-1

Hirarki Peraturan Perundang-Undangan43

Sebagai peraturan tertulis dalam konsep hirarkis, UUY berada di bawah UUD 1945 dengan cakupan terbatas pada bidang pengaturan ya-yasan. Di antaranya ialah mengatur dan mener-tibkan pendirian, pengorganisasian, dan pelaksa-naan kegiatan yayasan, tak terkecuali

43 Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, Ibid. UUD 1945

Kepetapan MPR

UU/PERPU

Peraturan Pemerintah

Peraturan Presiden

Perda Propinsi

Perda Kab/Kot

UU Yayasan

(48)

75

an penyesuaian anggaran dasar yayasan dengan UUY agar diakui sebagai badan hukum.

Peraturan yang mengatur yayasan terdiri atas dua jenis peraturan dengan jengjang yang ber-beda, yaitu : pertama UUY, yaitu yang mengatur hal-hal yang harus ada atau diadakan, yang harus dilakukan, dapat dilakukan atau dianjur-kan, serta hal-hal yang tidak boleh dilakukan atau dilarang dilakukan oleh yayasan; Kedua, PP yaitu mengatur pelaksanaan segala hal yang diatur dalam UUY tersebut.

Secara hirarkis, UUY merupakan norma hu-kum di bawah konstitusi dan dibentuk oleh lem-baga legislatif (DPR), sedangkan PP merupakan norma hukum di bawah UU dan dibentuk oleh

Presiden berdasarkan prinsip pendelegasian

kewenangan regulasi atau mengatur (legislative

delegation of rule-making power).

Dalam posisi yang demikian, norma hukum dan materi ketentuan UUY haruslah bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. UUY merupakan jabaran norma dan aturan pokok serta rincian lebih lanjut mengenai norma

hukum yang ada dalam UUD 194544.

Selanjut-nya, Norma hukum dan materi ketentuan PP juga

44 Ni’matul Huda &R. Nazriyah, Teori & Pengujian Peraturan

(49)

76

harus bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan UUY serta konstitusi. Apa yang

diatur PP, menurut Ni’matul Huda &R. Nazriyah45

hanyalah berisi ketentuan lebih lanjut (rincian) dari ketentuan yang terdapat dalam UUY. Prinsip ini ditegaskan pula dalam Pasal 12 UU No. 12

Tahun 2011, bahwa “Materi muatan Peraturan

Pemerintah berisi materi untuk menjalankan

Undang-Undang sebagaimana mestinya.”

Dalam posisi yang demikian, Ni’matul Huda &

R. Nazriyah46 menambahkan bahwa PP tidak

dapat mengubah, menambah, mengurangi, atau menyisipi suatu ketentuan atau memodifikasi materi dan pengertian yang telah ada dalam UU yang induknya, dalam hal ini.

Dalam kaitan itu, Bagir Manan47 menyatakan,

apabila peraturan yang lebih rendah bertentang-an dengbertentang-an peraturbertentang-an ybertentang-ang lebih tinggi, maka peraturan yang lebih rendah itu dapat dituntut

45Ni’matul Huda &R. Nazriyah, ibid, hal. 103

46Ni’matul Huda & R. Nazriyah, ibid, hal 106.

47 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstiusi, FH UII Press, Cet. II,

(50)

77

untuk dibatalkan bahkan batal demi hukum (van

rechtswege nietig). Hal serupa berlaku bagi UUY. Apabila materi PP menyimpang atau bertentang-an dengbertentang-an materi UUY, maka materi PP tersebut tidak memiliki kekuatan hukum untuk melaksa-nakan aturan UUY bahkan harus dibatalkan demi hukum. Pandangan ini didasarkan pada

asas lex superior derogat legi inferior.

Berdasarkan struktur dan materi muatan tampak bahwa keberadaan UUY dalam sistem dan hirarki hukum (nasional) Indonesia meru-pakan aktualisasi dari konstitusi Negara (UUD 1945). Nilai-nilai yang ada di dalamnya meru-pakan implementasi nilai-nilai konstitusi yang bersumber dari Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum nasional.

Pandangan tersebut bertitik tolak dari paling sedikit empat argumentasi. Pertama, UUY diben-tuk berdasarkan perintah konsititusi. Pasal 1

ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Perintah UUD

(51)

78

Negara. Keharusan tersebut diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa,

“Materi yang Harus diatur dengan Undang

-Undang berisi: a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Kedua, dibentuknya UUY bukan sekedar memenuhi perintah konstitusi untuk menata keberadaan yayasan. Yang pokok ialah bahwa pengaturan tersebut merupakan upaya untuk menegakkan supremasi hukum yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dalam penyelenggaraan kegiatan yayasan.

Ketiga, dari perspektif kultur hukum, tuntut-an dibentuknya UUY berawal dari kondisi ketia-daan aturan hukum yang jelas mengenai yaya-san. Dalam banyak pasal di berbagai peraturan per-UU-an istilah yayasan sebagai badan hukum memang banyak disebut-sebut. Namun, dalam ketentuan tersebut tidak ada kejelasan mengenai konsep yayasan, apa status hukumnya, serta

cara-cara pendiriannya48.

48 Sebagai contoh dapat dibaca pada Pasal 365, Pasal 899, 900,

(52)

79

Di sisi lain, menurut Anwar Borahima49 yang

juga diakui oleh penulis lain tentang yayasan, peran Yayasan dalam berbagai sektor kehidupan seperti pendidikan, kegiatan sosial dan keagama-an, cukup menonjol. Akibatnya, masyarakat mendirikan dan menyelenggarakan kegiatan ya-yasan mau tidak mau didasarkan pada kebiasaan yang dilihat atau didengar atau pada yurispru-densi Mahkamah Agung RI tentang Yayasan.

Ditinjau dari konsep sistem hukum Friedman, kondisi tersebut dapat disebut sebagai kultur hukum masyarakat yang mendorong terciptanya hukum, dalam hal ini UU No. 16 Tahun 2001. Setelah diberlakukan beberapa tahun, masyara-kat ternyata tidak memberi respon sesuai dengan tujuan pembentukannya. Banyaknya yayasan yang tidak melakukan penyesuaian AD pada ketentuan UU No 16 Tahun 2001 memberi sinyal bahwa UU tersebut belum memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Keadaan ini kembali mendo-rong dibentuknya UU No. 28 Tahun 2004.

Kondisi seperti itu merupakan bagian dari kultur hukum juga. Dalam kerangka berpikir Friedman, keadaan tersebut merupakan

masuk-an (inputs) untuk menyempurnakan hukum

yayasan (UUY). Apa yang diproses oleh DPR dan

(53)

80

pemerintah untuk menerbitkan UU No 28 Tahun 2004 semestinya bertitik tolak dari kondisi yang ada. Dengan demikian, UU No 28 Tahun 2004

dapat menjadi out put atau produk sistem hukum

nasional yang lebih sempurna di bidang Yayasan. Keempat, lahirnya reformasi yang ditandai dengan runtuhnya rezim Suharto pada bulan Mei

1998 dengan semboyan “berantas KKN” (Korupsi

-Kolusi-Nepotisme) turut mendorong lahirnya refomasi dalam bidang hukum di berbagai aspek, termasuk yayasan. Adanya tindakan-tindakan penyalahgunaan bentuk-bentuk yayasan untuk tujuan-tujuan komersial pada masa pemerin-tahan Presiden Suharto merupakan faktor pemi-cu penetapan pengaturan yayasan melalui UUY.

(54)

81

2. Tujuan Undang-Undang Yayasan

Tujuan hukum dalam suatu negara didasar-kan pada nilai (-nilai) filosofi tertentu yang dianut karena dianggap baik dan dicita-citakan terwujud melalui berbagai kegiatan penyelenggaraan nega-ra, salah satu di antaranya tercermin dalam ketentuan hukum. Nilai filosofi tersebut dikonk-retkan melalui keseluruhan sistem hukum, tertulis dan tak tertulis. Dengan demikian, tiap sistem hukum memiliki tujuan hukumnya sendiri yang berbeda dari sistem hukum yang lain.

Penganut aliran yuridis dogmatis atau legal

positivism misalnya memosisikan nilai kepastian hukum sebagai nilai ideal, yang hendak diwujud-kan dalam segala peraturan hukum. Hukumnya sendiri didominasi oleh hukum per-UU-an. Yang terpenting bagi penganut aliran ini adalah adanya jaminan kepastian hukum dalam masyarakat, tidak peduli apakah itu adil atau tidak, berman-faat atau tidak.

Bagi penganut aliran utilitarianisme50, lain

lagi. Tujuan hukum bagi aliran ini adalah terwu-judnya kemanfaatan dan kebahagiaan sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin warga masya-rakat.

(55)

82

Hal yang lain lagi, dapat dilihat pada sistem

hukum Timur, salah satunya Jepang51. Bagi

bangsa Jepang, tujuan hukum bukanlah keadil-an, kemanfaatkeadil-an, atau kepastikeadil-an, melainkan

hanyalah “chian hanji” (justice of the peace) atau keadilan dari perdamaian. Dengan terciptanya perdamaian, maka dengan sendirinya keadilan terwujud.

Sistem hukum di Indonesia adalah kombinasi

atau campuran dari banyak sistem (mixed

system)52. Tujuan hukumnya adalah kombinasi dari banyak nilai yang juga terdapat dalam banyak sistem hukum. Hal ini diketahui melalui prinsip-prinsip dan asas-asas hukum di Indone-sia yang tidak hanya berasaskan keadilan dan kepastian hukum atau kemanfaatan semata-mata seperti pernah dianut dalam sistem hukum Barat klasik dengan teori etis, teori utilitaris, dan teori

legalistiknya53.

51 Achmad Ali, Ibid., hal. 214

52 Achmad Ali menggolongkan sistem hukum atas lima sistem,

yaitu: 1. Civil law, yang berlaku di Benua Eropa dan negara-negara mantan jajahannya; 2. Common Law yang berlaku di Inggris , Amerika Serikat, dan negara-negara berbahasa Inggris (Commowealht); 3. Costomory Law yang berlaku di beberapa negara Afrika, Cina, dan India; 4. Muslim Law yang berlaku di negara-negara Muslim, terutama di Timur Tengah; dan 5. Mixed System, salah satunya di Indonesia yang didalamnya berlaku sistem hukum perundang-undangan, hukum adat, dan hukum Islam. Achmad Ali, Ibid hal. 203

(56)

83

Kombinasi tujuan hukum seperti itu sesuai

dengan ajaran Gustav Radbruch54, yang oleh

para ahli hukum modern diakui dan diterima. Ajaran ini dilatari oleh kekuatiran Radbruch atas ajaran hukum murni Hans Kelsen dengan

Grundnorm-nya dan rasa traumanya atas keke-jian Nazi yang memobilisasi tata hukum positif

untuk melegalkan genosida ras Yahudi55. Untuk

mencegah berlanjutnya keadaan itu, Radbruch menggagas kembali nilai keadilan sebagai mah-kota tata hukum. Esensi hukum menurutnya

haruslah terarah pada rechtsidee yaitu keadilan.

Dengan mengikuti ajaran Aristotles, Radbruch menggambarkan keadilan yang hendak

diwujud-kan itu dengan pernyataan ‘yang sama diperlaku

-kan sama, dan yang tidak sama diperlaku-kan

tidak sama’.

Dalam pandangan Radbruch56 ada tiga unsur

hukum yang dimaknai sebagai tujuan hukum, yaitu keadilan, finalitas (kemanfaatan), dan ke-pastian (legalitas). Dikataknnya, bahwa:

54 Achmad Ali Ibid, hal 288-298

55 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y Hage, Teori

Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, Cet. III., April 2010, hal. 128-129

56 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Ibid.,

(57)

84

“Aspek keadilan menunjuk kesamaan hak

di depan hukum. Aspek finalitas menunjuk pada tujuan keadilan, yaitu mamajukan kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini menentukan isi hukum. Sedangkan aspek kepastian menunjuk pada adanya jaminan bahwa hukum (yang berisi keadilan dan norma-norma yang menunjukan kebaikan) benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Dapat dikatakan, dua aspek yang di-sebut pertama merupakan kerangka ideal dari hukum. Sedangkan aspek ketiga (kepastian)

merupakan kerangka operasional hukum”

Pada awalnya, Radbruch meyakini bahwa ketiga unsur tersebut merupakan tujuan hukum yang dapat diwujudkan secara bersama-sama da-lam berbagai masalah hukum. Namun, pandang-an ini dikoreksinya sendiri. Berdasarkpandang-an kenya-taan yang sering dialami, ia sadar bahwa hal tersebut mustahil diwujudkan secara seimbang. Dalam sistem hukum apa pun ketiga unsur nilai tersebut cenderung berbenturan. Benturan yang muncul kerap terjadi antara keadilan dan finalitas (kemanfaatan) atau antara finalitas dan legalitas. Hal ini sering tampak ketika seorang hakim memutuskan hukuman bagi seorang terdakwa. Menurut keadilan formal yang difahami dan diyakini hakim, putusan yang diambil adalah adil, namun putusan itu justru tidak memberi bermanfaat bagi masyarakat umum. Sebaliknya,

(58)

85

masyarakat, kenyataannya justru menggerogoti keadilan bagi individu.

Untuk mengatasi benturan, Radbruch mem-berikan solusi berupa penerapan hukum dalam dua model, yaitu penerapan hukum dengan model prioritas baku atau prioritas kasuistik. Prioritas baku, yaitu ditentukannya pilihan prioritas manakala terjadi benturan antara keadilan dan finalitas atau kepastian dalam mengadili masalah hukum. Dalam prioritas baku ini aspek keadilan merupakan prioritas utama, sedangkan aspek finalitas dan legalitas merupa-kan prioritas berikutnya.

Seiring dengan makin kompleksnya perkem-bangan masyarakat, pendekatan prioritas baku ternyata kerap tidak memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Oleh karena itu, Radbruch

menawarkan model kedua, yaitu Prioritas

(59)

86

disusul kemanfaatan, baru kepastian, demikian seterusnya.

Jalan pikiran terakhir, nampaknya lebih dapat diterima. Sebab dalam kenyataannya sistem hu-kum memang beragam. Huhu-kum pun memiliki ba-nyak bidang, dan setiap bidang memiliki tujuan masing-masing secara spesifik. Hukum pidana dan hukum privat memiliki tujuannya masing-masing. Demikian pula hukum formal dan hu-kum materil memiliki tujuan yang spresifik.

Tampaknya spesifikasi seperti itulah yang dimaksudkan oleh Friedman dengan istilah alokasi nilai-nilai dalam hukum. Sesuai dengan kasus yang dihadapi perlu dialokasikan nilai apa yang tepat dan mendatangkan kebaikan bagi

masyarakat. Peter Mahmud menyebutnya “damai sejahtera”.57 Kedamaian atau damai sejahtera itu

57 Dalam hal ini hukum ditempatkan sebagai bagian yang

Referensi

Dokumen terkait

в) Кружница је скуп свих тачака равни једнако удаљених од једне тачке те равни. г) Кружница је скуп свих тачака простора једнако удаљених од једна тачке...

Seperti halnya ketika kita dapat bersabar terhadap cobaan yang kita alami, tentunya hati kita akan terasa tentram, apabila kita dapat bersyukur terhadap segala sesuatu

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

Kemaren Tenjinkai Corporation Japan datang ke Prodi Ilmu Keperawatan untuk penandatangan MoU (memorandum of understanding) dengan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Resistensi Buruh Terhadap Kebiajakan Sistem Outsourcing (Studi Kasus : Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) di Medan).. Rincian Isi Skripsi : 80 Halaman, 2 Tabel, 14 Buku, 3

Panduan pelaksanaan Program Matching Fund ini kiranya dapat membantu perguruan tinggi Indonesia terutama yang berada di bawah bimbingan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Serial Modul Diklat Jabatan Fungsional Pengembang Teknologi Pembelajaran (Diklat JF-PTP) 10 Bagaimana pembatasan masalahnya? Misal penelitian ini dibatasi hanya kepada