• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.1 Penanda Gaya Bahasa Ironi, Sinisme, dan Sarkasme

2.1.1 Penanda Gaya Bahasa Ironi

2.1.1.3 Tuturan Ganda atau Pasangan Tuturan Konfirmatif

Penanda gaya bahasa ironi dalam novel Boulevard De Clichy Agonia Cinta Monyet karya Remy Sylado berupa tuturan ganda atau pasangan tuturan konfirmatif. Tuturan ganda atau pasangan tuturan adalah dua atau lebih tuturan yang berada dalam satu konteks pembicaraan, sedangkan tuturan konfirmatif adalah tuturan yang bersifat menegaskan. Perhataikan contoh berikut:

(13) Kata Nunuk, “Ya deh, Pi, Nunuk akan terus berdoa untuk keberhasilan Papi.”

“Bagus. Berdoalah saban hari: pagi, siang, sore dan malam. Terus, dan berulang-ulang.”

Begitulah Nunuk melaksanakan arahan ayahnya, berdoa pada pagi hari, siang hari, sore hari dan malam hari. Terus, dan terus, mengulang-ulang kalimat yang sama.

Tapi, saking terulang-ulangnya kalimat yang sama, boleh jadi Tuhan– dalam wawasan animisme-bosan dan pekak. (BDCACM, 2006:10).

Contoh (13), tampak adanya penanda gaya bahasa ironi yaitu dari tuturan Nunuk yang menanggapi tuturan ayahnya. Ayahnya, Hardi, menyuruhnya berdoa

agar ayahnya segera mendapatkan uang untuk biaya operasi bibir Nunuk yang sumbing. Pada Terus, dan terus, mengulang-ulang kalimat yang sama

mengandung komponen makna positif, tetapi kadang-kadang juga dapat mempunyai makna negatif apabila koteks mendukungnya. Pada ujaran Terus, dan terus, mengulang-ulang kalimat yang sama masih mengandung kemungkinan bermakna positif (sebagaimana lazimnya), namun pada ujaran berikutnya diikuti frasa boleh jadi Tuhan–dalam wawasan animisme-bosan dan pekak mempunyai makna negatif. Oposisi makna ini menunjukkan adanya ironi. Di sini, sasaran telah ada dalam koteks yang bersifat tekstual (yaitu boleh jadi Tuhan–dalam wawasan animisme-bosan dan pekak ), sehingga tampak bahwa ironi ini merupakan suatu bentuk gaya bahasa yang digunakan untuk menyindir.

(14) Telefon selular Waluyojati mendering. Dia abai. Dia masih berbicara dengan Bing Wijaya. Jika dia berbicara dengan Bing Wijaya, dia benar-benar bersikap sebagai hamba terhadap juragan, sebagai kacung terhadap ndoro, sebagai khadam terhadap majikan, sebagai nu-li terhadap ye-cu. (BDCACM, 2006:259)

Dalam tuturan (14) tersebut adalah tuturan pengarang yang memaparkan cerita tentang Waluyojati seorang Anggota DPR yang bekerjasama dengan Bing Wijaya hendak melegalkan kawasan judi di Kepulauan Seribu. Sikap Waluyojati sangatlah patuh dengan setiap perintah dari Bing Wijaya, sedangkan dengan orang lain Waluyojati tidak peduli. Penanda gaya bahasa ironi dari tuturan ganda atau pasangan tuturan konfirmatif terlihat dari frasa Dia abai dan Jika dia berbicara dengan Bing Wijaya, dia benar-benar bersikap sebagai hamba terhadap juragan,dan dipertegas dengan sebagai kacung terhadap ndoro, sebagai khadam terhadap majikan, sebagai

nu-li terhadap ye-cu. Dari tuturan tersebut terlihat adanya penyampaian suatu hal dengan menggunakan kata-kata yang bertolak belakang, yaitu terlihat dari kedua sikap yang ditunjukkan oleh Waluyojati ketika berinteraksi dengan orang lain. Waluyojati bisa mengabaikan orang-orang yang dianggapnya tidak begitu penting, sedangkan dengan Bing Wijaya yang telah memberinya banyak uang, dia tunduk. Gaya bahasa ironi semakin terlihat jelas dari digunakannya kata ‘jika’, lalu diikuti koteks yang mendukungnya.

(15) Ajaib Nunuk masih tetap percaya pada kekuatan cinta. Bahwa dia yakin cinta berasal dari Tuhan bukan setan. Setidaknya dia yakin betul pula bahwa karena cinta, dan demi cinta, dia sulit melupakan saat-saat indah saling melepaskan pakaian dan berbugil bersama-sama di ranjang karena rasa percayanya pada kekuatan yang dia bilang dari Tuhan tersebut.

“Oh, aku gila. Aku ingin mati. Bagaimana bisa aku terjerembap jatuh di dalam jurang yang kubuat sendiri? Cinta yang kukira dari Tuhan ternyata

milik setan. Apakah aku harus perintahkan setan untuk mendiami ceruk sukma supaya aku bisa melahirkan benci dan membalas sakit hatiku dengan menjebloskan kasihku yang kini telah menjadi musuhku ke dalam neraka? (BDCACM, 2006:167)

Pada contoh (15), tuturan pengarang lalu dipertegas dengan tuturan tokoh (Nunuk). Tampak adanya penanda gaya bahasa ironi dari tuturan ganda atau pasangan tuturan konfirmatif. Tuturan tesebut, merupakan tuturan Nunuk yang menyesali perbuatannya dengan Budiman. Nunuk telah hamil, sedang Budiman tidak mau bertanggungjawab atas perbuatannya. Tuturan dia yakin cinta berasal dari Tuhan bukan setan mengandung oposisi makna, dan dipertegas dengan

ujaran Cinta yang kukira dari Tuhan ternyata milik setan. Oposisi makna ini menunjukkan adanya ironi. Di sini, sasaran telah ada dalam koteks, sehingga tampak bahwa gaya bahasa ironi ini merupakan pertentangan makna yang disampaikan menggunakan kata-kata yang bertolak belakang dari yang dimaksudkan. Gaya bahasa ironi juga terlihat dari adanya penanda berupa kata

bukan, kukira, dan ternyata.

(16) Dengan bus bertuliskan La Vérité, semua anggota rombongan meninggalkan Paradis Latin di Rue du Cardinal menuju Boulevard de Clichy nomer 82. Di rumah pertunjukan yang paling masyhur di dunia sejak 1889 ini lagi-lagi Waluyojati tampil kemaki, membayari semua anggota rombongannya. Di sini tarif makan malam sembari menonton revue yang paling rendah 13C€ dan yang paling tinggi 160€. Karena mereka semua sudah kenyang, Waluyojati hanya membayar untuk tontonannya saja, yaitu revue untuk jam 9 per orang 92€ dengan1/2 champagne.

Mereka semua senang. Bolak-balik ha-ha-ha. Kayaknya mereka tidak ingat di tanahairnya sana banyak orang yang menangis karena lapar, karena digusur, karena menganggur. Kelakuan bapak-bapak anggota dewan itu norak pula. Persis seperti siamang masuk kota. Ketika mereka menonton 60 orang perempuan cantik yang disebut ‘gadis-gadis Doriss’ menari telanjang di panggung, mereka takjub, melongo, melolo, tapi juga kemudian bertempik sorak model ringkik kuda kegantelan. Yang anteng cuma Samsuddin Usman. (BDCACM, 2006: 328)

Contoh (16) terlihat adanya ironi dari tuturan ganda atau pasangan tuturan konfirmatif. Tuturan di atas adalah tuturan pengarang yang memaparkan kisah Waluyojati yang sedang bersenang-senang plesiran ke luar negeri, sedangkan rakyatnya di Indonesia masih banyak yang kelaparan, digusur, dan menganggur. Gaya bahasa ironi terlihat dari tuturan Mereka semua senang. Bolak-balik ha-ha-ha dan dipertegas dengan tuturan mereka tidak ingat di tanahairnya sana banyak orang yang menangis karena lapar, karena digusur, karena menganggur. Dari penanda tersebut pengarang menyampaikan cerita dengan gaya bahasa ironi, awalnya pengarang menuturkan sikap boros dari Waluyojati dan anggota DPR yang turut serta berplesiran ke Perancis. Mereka bersenang-senang di sana, sedangkan pengarang juga memaparkan keadaan masyarakat kecil di tanah air anggota DPR tersebut. Terlihat adanya makna pertentangan dalam memaparkan cerita dengan menggunakan gaya bahasa ironi.

(17) Waluyojati berdiri cepat, menghampiri Nunuk, “Tidak. Demi Tuhan, dari awal saya sudah memutuskan, kamu yang saya pilih, bukan bulek-bulek itu.”

“Kok bisa? Apalah saya. Saya Cuma perempuan hina. Hanya nama yang bagus. Tapi rezeki tidak bagus. “(BDCACM, 2006:349)

Penanda gaya bahasa ironi dalam contoh (17) tersebut terlihat pada tuturan Waluyojati kepada Nunuk, Tidak. Demi Tuhan, dari awal saya sudah memutuskan, kamu yang saya pilih, bukan bulek-bulek itu. Waluyojati tidak menyadari bahwa pelacur yang disewanya itu adalah perempuan yang telah dihamili oleh anaknya dulu dan telah ia lecehkan saat meminta pertanggungjawaban anaknya. Lalu, dipertegas dengan tuturan Nunuk Apalah

saya. Saya Cuma perempuan hina. Hanya nama yang bagus. Tapi rezeki tidak bagus. Dari tuturan tokoh Nunuk kepada Waluyojati tersebut mengandung makna sindiran karena sebenarnya kata-kata yang diucapkan oleh Nunuk tersebut adalah kata-kata yang diucapkan Waluyojati kepada Nunuk ketika Nunuk dikenalkan padanya oleh Budiman, anaknya. Namun Waluyojati tidak sadar akan ucapan Nunuk tersebut, karena penampilan Nunuk yang dulu ketika masih berpacaran dengan Budiman tidak seperti saat Nunuk menjadi seorang pelacur yang disewa Waluyojati untuk menemaninya setelah menonton pertunjukan Météor de Java itu. Terlihat pula adanya opisisi makna yang merupakan ciri gaya bahasa ironi dari tuturan Hanya nama yang bagus. Tapi rezeki tidak bagus.

(18) Nunuk menghormati Jamila. Jamila akrab dengan Nunuk sejak awalnya. Yaitu, ketika mereka mulai jadi pekerja seni hiburan di rumah pertunjukkan Jacques Mouset. Kebetulan pula hanya mereka berdua di dalam maisonnette itu yang berambut ikal hitam. Artis-artis yang lain semuanya berambut pirang. Dan mereka yang berambut pirang itu adalah tentu ras kulit putih asal Eropa Utara yang dalam banyak hal masih mewarisi rasa kebanggaan semu dari sisa-sisa teori sesat antropologi abad ke-19 yang menganggap ras kulit putih adalah yang paling tinggi karena ukuran otak di dalam tengkorak kepalanya konon lebih besar dari semua bangsa di dunia. Maka, jika yang berambut pirang itu tidak akrab dengan Nunuk dan Jamila, agaknya itu dilantari oleh sifat-sifat alami ras kulitputih yang sok superior dan karenanya sangat meremehkan dan berprasangka buruk terhadap bangsa-bangsa yang bukan ras kulit putih. (BDCACM, 2006: 221)

Contoh (18) terlihat adanya penanda gaya bahasa ironi yaitu mereka yang berambut pirang itu adalah tentu ras kulit putih asal Eropa Utara yang dalam banyak hal masih mewarisi rasa kebanggaan semu dari sisa-sisa teori sesat antropologi abad ke-19 yang menganggap ras kulitputih adalah yang paling tinggi karena ukuran otak di dalam tengkorak kepalanya konon lebih besar dari semua bangsa di dunia dan

agaknya itu dilantari oleh sifat-sifat alami ras kulitputih yang sok superior dan karenanya sangat meremehkan dan berprasangka buruk terhadap bangsa-bangsa yang bukan ras kulitputih. Terlihat adanya ironi dari tuturan tersebut bahwa pengarang mencoba memaparkan cerita yang di dalamnya terdapat oposisi makna antara ras kulit putih dengan bangsa bukan ras kulit putih. Selain itu, penanda gaya bahasa ironi juga terlihat dari penggunaan kata lebih besar, jika dan bukan. Dari penanda tersebut semakin terlihat adanya makna yang berlawanan atau bertentangan.

(19) Henri Chambert pun menyeka air matanya itu dengan saputangan yang diberikan Jean-Pierre Coussneau . Katanya, “Bayangkan, semua keluarga saya dibantai oleh tentara. Mayat mereka hanya dihanyutkan di Bengawan Solo. Saya tidak tahu, dari adonan apa hati para penguasa Orde baru itu dibuat, sehingga ayat Pancasila tentang ‘perikemanusiaan’ telah berganti menjadi ‘perikeiblisan’.” (BDCACM, 2006: 205)

Contoh (19) adalah tuturan Henri Chambert kepada Budiman. Penanda gaya bahasa ironi terlihat adanya oposisi makna dan mengandung konotasi negatif, yaitu

ayat Pancasila tentang ‘perikemanusiaan’ telah berganti menjadi ‘perikeiblisan’. Dalam tuturan tersebut Henri Cambert mengungkapkan rasa tidak senangnya atas perlakuan penguasa Orde Baru terhadap keluarganya dengan mengkritik secara terus terang. Dalam tuturan Henri yang mengandung gaya bahasa ironi dalam menceritakan

nasib keluarganya yang tidak bersalah, namun nyawanya dihabisi oleh penguasa Orde Baru secara sadis. Tuturan tersebut dikuatkan kembali dengan tuturan selanjutnya yang juga mengandung gaya bahasa ironi, yaitu ayat Pancasila tentang ‘perikemanusiaan’ telah berganti menjadi ‘perikeiblisan’.

Gaya Bahasa Ironi dalam Novel Boulevard De Clichy Agonia Cinta Monyet karya Remy Sylado

No.

Data Pengungkapan dengan gaya bahasa ironi Penjelasan arti 11 Justru di dalam

mata-duitnya perempuan, lelaki belajar bekerja keras

untuk memperoleh uang.

Mata-duitnya perempuan yang berarti perempuan yang pandai memanfaatkan, sedang lelaki harus bekerja keras demi mendapatkan uang untuk perempuan. Dalam tuturan yang diungkapkan secara tidak terus terang tersebut menjadi penanda gaya bahasa ironi. 12 ‘semut di seberang

laut nampak, gajah di pelupuk mata tak tampak’

Penanda gaya bahasa ironi terlihat dari pengungkapan maksud penutur diungkapkan secara tidak langsung, dengan menggunakan peribahasa. 13 X: Terus, dan terus,

mengulang-ulang kalimat yang sama

Y: boleh jadi Tuhan–

dalam wawasan

animisme-bosan dan pekak

Frasa terus, dan terus, mengulang-ulang kalimat yang sama dalam konteks tersebut tokoh berdoa agar ayahnya mendapatkan rejeki. Namun, karena doa tersebut terus-terusan diulang Tuhan tidak akan mengabulkan doanya tersebut karena tidak disertai dengan usaha dari Hardi untuk mendapatkan uang yang akan digunakan untuk biaya operasi bibir anaknya, Nunuk, yang sumbing. Penanda gaya bahasa ironi pada tuturan tersebut adalah tuturan ganda

yang konfirmatif. 14 Dia abai dan Jika dia

berbicara dengan Bing Wijaya, dia benar-benar bersikap sebagai hamba terhadap juragan, sebagai kacung terhadap ndoro, sebagai khadam terhadap majikan, sebagai nu-li terhadap ye-cu.

Penanda gaya bahasa ironi terlihat dari penggunaan kata

jika yang menunjukkan adanya makna yang bertolak belakang. Selain itu dalam tuturan ganda yang konfirmatif juga menjadi penanda gaya bahasa ironi karena maksud tuturan ironi sebelumnya dikuatkan dengan tuturan selanjutnya yang juga mengandung gaya bahasa ironi.

15 X: Ajaib Nunuk masih tetap percaya pada kekuatan cinta. Bahwa dia yakin cinta berasal dari Tuhan bukan setan.

Y: Cinta yang kukira

dari Tuhan ternyata milik setan.

Penanda gaya bahasa ironi terlihat dari penggunaan kata

bukan, kukira, dan ternyata

yang menunjukkan makna berlawanan. Tuturan (X) sudah mengandung gaya bahasa ironi, lalu dikuatkan kembali dengan tuturan (Y) yang juga mengandung gaya bahasa ironi.

16 X: Mereka semua senang. Bolak-balik ha-ha-ha

Y: mereka tidak ingat di tanahairnya sana banyak orang yang menangis karena lapar, karena digusur, karena menganggur.

Penanda gaya bahasa ironi terlihat dari adanya pertentangan makna dari pejabat (Waluyojati) yang sedang senang berplesiran, sedangkan banyak masyarakat yang di Indonesia kelaparan dan menderita.

17 Apalah saya. Saya Cuma perempuan hina.

Hanya nama yang bagus. Tapi rezeki tidak bagus.

Penanda gaya bahasa ironi terlihat dari penggunaan konjungsi hanya dan tapi yang menunjukkan adanya pertentangan makna. Tuturan pada contoh (17) tersebut merupakan penegas yang diucapkan oleh Nunuk kepada Waluyojati. Ia menanggapi tuturan Waluyojati yang sebelumnya mengatakan bahwa dirinyalah yang dipilih Waluyojati untuk menemaninya

bersenang-senang semalam. Waluyojati memuji-muji Nunuk. Ia tidak ingat bahwa wanita sewaannya itu adalah Nunuk yang dulu ia hinakan sewaktu meminta pertanggungjawaban anaknya yang telah menghamili Nunuk.

18 X: mereka yang berambut pirang itu adalah tentu ras kulit putih asal Eropa Utara yang dalam banyak hal masih mewarisi rasa kebanggaan semu dari sisa-sisa teori sesat antropologi abad ke-19 yang menganggap ras kulit putih adalah yang paling tinggi karena ukuran otak di dalam tengkorak kepalanya konon lebih besar dari semua bangsa di dunia.

Y: jika yang berambut pirang itu tidak akrab dengan Nunuk dan Jamila,

agaknya itu dilantari oleh sifat-sifat alami ras kulitputih yang sok superior dan karenanya sangat meremehkan dan berprasangka buruk terhadap bangsa-bangsa yang bukan ras kulit putih.

Penggunaan konjungsi

lebih dari, jika, dan bukan

yang menunjukkan adanya perbandingan antara ras kulit putih dengan bangsa-bangsa bukan ras kulit putih. Tuturan ganda atau pasangan tuturan konfirmatif menjadi penanda gaya bahasa ironi karena tuturan (X) sudah mengandung gaya bahasa ironi, lalu dikuatkan kembali dengan tuturan (Y) yang juga mengandung gaya bahasa ironi. 19 sehingga ayat Pancasila tentang ‘perikemanusiaan’ telah berganti menjadi ‘perikeiblisan’.

Penanda gaya bahasa ironi terlihat dari adanya oposisi makna antara

perikemanusiaan dan

perikeiblisan. Tuturan ganda konfirmatif pada contoh (19) mengandung gaya bahasa ironi karena tuturan Henri sebelumnya sudah mengandung ironi, lalu ditegaskan kembali dengan

Dokumen terkait