• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Kestabilan dan Uji Sensitivitas Model

8.3 Hasil dan Pembahasan Model Pengembangan Kawasan Minapolitan di Kabupaten Kupang

8.3.4 Uji Kestabilan dan Uji Sensitivitas Model

Sebagaimana diketahui bahwa uji kestabilan model dilakukan untuk melihat kestabilan atau kekuatan (robustness) model dalam dimensi waktu. Model dikatakan stabil apabila struktur model agregat dan disagregat memiliki kemiripan. Caranya adalah dengan menguji struktur model terhadap perilaku agregat dan disagregat harus memiliki kemiripan. Adapun uji kestabilan model berdasarkan struktur model agregat dan disagregat dapat dilihat pada Gambar 49 (agregat) dan Gambar 50, 52 dan 53 (disagregat). Hasil simulasi pada struktur model disagregat memperlihatkan kemiripan dengan struktur model agregatnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa model tersebut dapat dikatakan stabil.

Uji sensitivitas dilakukan untuk melihat respon model terhadap suatu stimulus (Muhammadi et al., 2001). Respon ini ditunjukkan dengan perubahan perilaku dan/atau kinerja model. Stimulus diberikan dengan memberikan intervensi tertentu pada unsur atau struktur model. Hasil uji sensitivitas ini adalah dalam bentuk perubahan perilaku dan/atau kinerja model sehingga dapat diketahui efek intervensi yang diberikan terhadap satu atau lebih unsur atau model tersebut. Adapun perubahan perilaku kinerja model berdasarkan intervensi yang diberikan dapat dilihat pada Gambar 54 sampai 57 dimana pada gambar-gambar tersebut terlihat besarnya perubahan dari setiap perubahan satu

atau lebih unsur di dalam model tersebut. Pada Gambar 55 misalnya, dengan memberikan intervensi dengan meningkatkan input produksi dalam suatu kegiatan usaha budidaya, maka produksi budidaya laut yang diharapkan juga akan semakin besar. Hal ini terlihat dengan semakin tajamnya perubahan kurva dari skenario pesimis ke skenario moderat dan optimis. Dengan adanya perubahan nilai produksi pada setiap pertambahan tahun dapat disimpulkan bahwa model sangat sensitif terhadap intervensi yang diberikan.

8.4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemodelan sistem dinamis yang telah dilakukan, hasil simulasi setiap komponen menunjukkan kecenderungan kurva pertumbuhan positif naik mengikuti kurva eksponensial. Namun pada komponen pertambahan penduduk dan peningkatan lahan permukiman selalu diimbangi oleh laju pengurangan jumlah penduduk akibat kematian dan migrasi keluar sehingga dalam model ini terjadi hubungan timbal balik positif (positive feedback) melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif (negative feedback) melalui proses balancing. Adapun komponen lahan budidaya yang telah ditentukan kesesuaian dan daya dukung lahan berdasarkan parameter untuk budidaya rumput laut sehingga pertambahan luas lahan budidaya rumput laut pada suatu saat akan sampai pada titik keseimbangan tertentu (stable equilibirium) yaitu luas lahan budidaya dengan tingkat kesesuain sangat sesuai, bentuk model seperti ini dalam sistem dinamik mengikuti pola dasar archtype “limits to growth”. Untuk meningkatkan perubahan kinerja model maka skenario yang perlu dilakukan adalah skenario optimis dengan melakukan intervensi yang lebih besar terhadap variabel kunci yang berpengaruh dalam model.

Pembangunan wilayah pesisir selama ini masih dilihat seperti pembangunan wilayah terestrial lainnya dengan kondisi yang analogi dengan wilayah perdesaan. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena wilayah pesisir memiliki beberapa karakteristik yang khas, yaitu: (1) wilayah pertemuan antara berbagai aspek kehidupan yang ada di darat, laut dan udara, sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan hasil keseimbangan dinamis dari proses pelapukan (weathering) dan pembangunan ketiga aspek di atas; (2) berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan unggas untuk tempat pembesaran, pemijahan, dan mencari makan; (3) wilayahnya sempit, tetapi memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sumber zat organik penting dalam rantai makanan dan kehidupan darat dan laut; (4) memiliki gradian perubahan sifat ekologi yang tajam dan pada kawasan yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi yang berlainan; dan (5) tempat bertemunya berbagai kepentingan pembangunan baik pembangunan sektoral maupun regional serta mempunyai dimensi internasional.

Perbedaan yang mendasar secara ekologis sangat berpengaruh pada aktivitas masyarakatnya. Kerentanan perubahan secara ekologis berpengaruh secara signifikan terhadap usaha perekonomian yang ada di wilayah tersebut, karena ketergantungan yang tinggi dari aktivitas ekonomi masyarakat dengan sumberdaya ekologis tersebut. Jika sifat kerentanan wilayah tidak diperhatikan, maka akan muncul konflik antara kepentingan memanfaatkan sumber daya pesisir untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan pembangunan ekonomi dalam jangka pendek dengan kebutuhan generasi akan datang terhadap sumber daya pesisir.

Dalam banyak kasus, pendekatan pembangunan ekonomi yang parsial, tidak kondusif dalam mendorong pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Kegiatan yang parsial hanya memperhatikan kepentingan sektornya dan mengabaikan akibat yang timbul dari atau terhadap sektor lain, sehingga berkembang konflik pemanfaatan dan kewenangan. Dari berbagai studi, terdapat kecenderungan bahwa hampir semua kawasan pesisir Indonesia mengalami konflik tersebut. Jika konflik ini dibiarkan berlangsung terus akan mengurangi keinginan pihak yang bertikai untuk melestarikan sumberdayanya.

Di era otonomi daerah, pembangunan wilayah pesisir dan laut sebagai salah satu sumberdaya potensial kerap pula memunculkan beberapa permasalahan, antara lain hubungan antara daerah dan pusat, pembangunan ekonomi (yang berkait dengan kemiskinan), serta eksploitasi sumberdaya alam tanpa memperhatikan kelestariannya.

Permasalahan umum yang banyak terjadi dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah kurang selarasnya pemenuhan kepentingan pusat dan daerah. Kondisi ini terjadi antara lain karena : (a) instansi dinas (kelautan dan perikanan) yang ada di tingkat kabupaten/kota pada era otonomi daerah ini sangat beragam baik dalam struktur organisasi dan kewenangannya. Perubahan ini berpengaruh pada intensitas komunikasi antara instansi yang berada di pusat dan daerah; (b) seringkali instansi dinas di kabupaten dan kota telah memiliki tugas pokok dan fungsi organisasi, namun belum memiliki kewenangan teknis karena belum ada penyerahan kewenangan dari pusat dan Provinsi; dan (c) UU Pemerintahan Daerah No.32/2004 belum dapat berjalan selaras dengan UU Perikanan No.45/2009 dan sebagian peraturan daerah lainnya, sehingga kewenangan dalam dinas kabupaten/kota belum efektif. Hasil analisis ISM (Gambar 34) menunjukkan bahwa pemerintah Provinsi NTT dan Kabupaten Kupang berada pada sektor linkages yang berarti bahwa keduanya memiliki ketergantungan hubungan sektoral yang erat dalam rangka mendorong pembangunan minapolitan sehingga diharapkan dapat menjalin kerjasama yang baik terutama dalam pengaturan kebijakan minapolitan, sedangkan pemerintah pusat dalam hal ini KKP sebagai sektor dependent yang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sub elemen lembaga lainnya (pemerintah daerah) namun tidak memiliki kekuatan di dalam mendorong program minapolitan sehingga kunci keberhasilan program minapolitan ini berada pada tangan pemerintah provinsi maupun kabupaten.

Permasalahan dalam pembangunan ekonomi di daerah menyangkut pada kebijakan ekonomi makro, kesenjangan, dan kemiskinan. Kebijakan ekonomi makro selama ini (terutama yang berada di luar Pulau Jawa) lebih difokuskan pada usaha ekstraksi hasil bumi (sumberdaya alam) seperti pemberian konsesi pada perusahaan-perusahaan asing dan berskala besar. Ini berarti kurangnya perhatian terhadap usaha masyarkat lokal yang cenderung berskala kecil. Kesenjangan yang terjadi antar kelompok pendapatan antara daerah perkotaan dan perdesaan telah memburuk sejak dibukanya

perekonomian perdesaan ke arah ekonomi pasar, karena hanya mereka yang memiliki akses terhadap modal, kredit, informasi dan kekuasaan yang dapat mengambil manfaat dari program-program pembangunan.

Dalam konteks wilayah pesisir dan laut, keuntungan ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut baru dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu seperti juragan kapal dan pengusaha perikanan, namun belum oleh masyarakat pesisir dan nelayan. Selain kesenjangan dalam pendapatan, kesenjangan dalam kepemilikan justru menjadi permasalahan yang lebih serius. Akumulasi sumberdaya pada pihak-pihak tertentu mengarah pada de-aksesasi oleh masyarakat, misalnya saja dalam usaha penangkapan hanya yang memiliki kapal lebih besar dan teknologi yang lebih maju yang dapat menguasai sumberdaya laut. Nelayan kecil dengan teknologi sederhana menjadi terpinggirkan dan kalah sehingga semakin sulit dalam berusaha. Kondisi seperti ini yang terus berlanjut mengakibatkan permasalahan baru yaitu kemiskinan. Nelayan kecil semakin sulit untuk bergerak keluar dari kemiskinan yang menjerat mereka.

Eksploitasi sumberdaya laut dan pesisir menjadi salah satu permasalahan dalam pembangunan daerah. Di satu sisi, upaya tersebut dilakukan oleh masyarakat dan daerah untuk menggerakkan roda perekonomian, namun di sisi lain sumberdaya perikanan semakin berkurang karena dieksploitasi secara berlebihan serta mengalami kerusakan. Upaya pengelolaan yang selama ini dilakukan belum menunjukkan hasil yang positif.

Ketertinggalan pembangunan wilayah pesisir dan laut sebagai sumber daya ekonomi, merupakan indikator bahwa sektor kelautan selama 43 tahun belum menjadi sektor prioritas dalam pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Begitu sumberdaya alam lainnya (seperti hutan dan minyak bumi) sudah mengarah pada beban pembangunan karena tidak dapat diperbaharui (unrenewable) sebagai akibat pengelolaan yang kurang bijaksana, maka sumberdaya pesisir dan laut merupakan pilihan berikutnya karena keberlimpahan sumberdaya yang ada serta belum dikelola secara optimal dan profesional.

Agar tidak terjebak pada kesalahan yang sama, maka dalam pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir harus memperhatikan tiga hal utama, yaitu: 1) apapun persepsi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, maka sebagai sumber ekonomi baru yang kompetitif haruslah bermuara pada pengurangan

kemiskinan masyarakat, 2) fokus kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sebagai sumber ekonomi baru harus berangkat pada pemikiran untuk meningkatkan pembangunan kegiatan ekonomi yang berbasis pada sumber daya lokal yang ada, dan 3) sedini mungkin membuat rambu-rambu pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dengan melibatkan masyarakat.

Dalam menghadapi peluang dan tantangan pembangunan dalam era globalisasi, maka pembangunan perikanan serta pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut harus mampu mentransformasikan berbagai usaha perikanan masyarakat ke arah bisnis dan swasembada secara menyeluruh dan terpadu. Pendekatan menyeluruh (holistik) dan terpadu ini berarti melihat usaha perikanan sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling terkait, yaitu:

1. Sumberdaya perikanan, yaitu sumberdaya alam (baik yang berada di laut, pesisir, perairan tawar), dan SDM.

2. Sarana dan prasarana, meliputi perencanaan dan penyediaan prasarana perikanan seperti pelabuhan, pabrik es, cold storage, infrastruktur pada sentra industri, pengadaan dan penyaluran sarana produksi (seperti BBM, benih, mesin dan alat tangkap), serta sistem informasi tentang teknologi baru dan sistem pengelolaan usaha yang efisien.

3. Produksi perikanan, meliputi usaha budidaya dan penangkapan yang menyangkut usaha perikanan skala kecil maupun besar.

4. Pengolahan hasil perikanan, meliputi kegiatan pengolahan sederhana yang dilakukan oleh petani dan nelayan tradisional hingga pengolahan dengan teknologi maju di pabrik yang mencakup penanganan pasca panen sampai produk siap dipasarkan.

5. Pemasaran hasil perikanan, meliputi kegiatan distribusi dan pemasaran hasil-hasil perikanan atau olahannya untuk memenuhi kebutuhan pasar. Termasuk pula di dalamnya kegiatan pemantauan distribusi informasi pasar (market development) dan pengembangan produk (product development).

6. Pembinaan, mencakup kegiatan pembinaan institusi, iklim usaha yang kondusif, iklim poleksosbud yang mendukung, peraturan dan perundangan yang kondusif, pembinaan SDM, serta kepemimpinan yang baik agar kegiatan yang dilaksanakan dapat dicapai seefektif mungkin.

Melihat kondisi masyarakat dan wilayah pesisir yang ada di Kabupaten Kupang, maka perlu suatu kebijakan pembangunan yang lebih memprioritaskan pembangunan wilayah Kabupaten Kupang sesuai dengan potensi kelautan dan perikanan yang dimilikinya. Melihat potensi dan permasalahan yang ada di Kabupaten Kupang, maka perlu perencanaan terpadu dan komprehensif merupakan salah satu jawaban untuk mempercepat pembangunan di wilayah ini. Langkah awal dan strategis yang perlu dilakukan adalah dengan terlebih dahulu mengetahui karakteristik wilayah secara utuh baik dilihat dari potensi kelautan yang dimiliki, perkembangan wilayah yang terjadi selama ini maupun kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah perairan Kabupaten Kupang sangat potensial untuk pengembangan di sektor kelautan. Hal ini dilihat dari kondisi iklim dan ekologis perairan yang sangat mendukung untuk pengembangan sektor ini. Di sisi lain, produksi rumput laut mengalami peningkatan, dan yang terdata secara total mencapai sekitar 3.757,16 ton pada tahun 2007 (DKP Kabupaten Kupang, 2008). Jenis budidaya laut dari sektor kelautan yang potensial untuk dikembangkan antara lain teripang, mutiara, keramba jaring apung dan rumput laut. Namun demikian, dalam pengembangannya sangat dibatasi oleh faktor kesesuaian dan daya dukung lahan dimana dari keempat komoditas tersebut budidaya rumput laut berada pada kelas kesesuaian sangat sesuai dan layak (Tabel 6) untuk dikembangkan baik dari sisi ekologi maupun ekonomi (Tabel 17).

Melihat potensi yang dimiliki Kabupaten Kupang, maka kebijakan pembangunan di wilayah ini diarahkan pada pembangunan sektor kelautan melalui pengembangan minabisnis yang didukung oleh kelengkapan sarana dan prasarana yang memadai baik dari sarana dan prasarana umum maupun sarana dan prasarana pengembangan minabisnis, hal ini sesuai dengan hasil analisis keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi (Tabel 35) dimana sarana dan prasarana minabisnis dalam hal ini penggunaan alat dan mesin budidaya laut untuk produksi dan industri pengolahan rumput laut.

Salah satu konsep pembangunan ekonomi wilayah yang berbasis pada potensi kelautan dan perikanan adalah pengembangan kawasan minapolitan atau dikenal dengan kota perikanan. Konsep ini sebenarnya berawal dari konsep agropolitan yang digagas oleh pemerintah dalam hal ini departemen pertanian bekerjasama dengan departemen pekerjaan umum pada tahun 2002 dalam

rangka membangun desa-kota berimbang melalui pengembangan kota pertanian di perdesaan. Keberhasilan dari agropolitan ini kemudian menjadi contoh yang diambil oleh departemen kelautan dan perikanan selanjutnya oleh menteri kelautan dan perikanan Republik Indonesia menetapkan peraturan menteri No.12/Men/2010 tentang minapolitan. Dasar hukum minapolitan ini sejalan dengan program pemerintah daerah Provinsi NTT yaitu gemala, sehingga pengembangan minapolitan ini perlu dilakukan dalam rangka pembangunan ekonomi wilayah berbasis potensi kelautan. Walaupun dalam penetapan kawasan minapolitan Kabupaten Kupang ditetapkan sebagai kawsan minapolitan penggaraman namun tidak menutupi kemungkinan bagi sektor budidaya laut yang sangat potensial di Kabupaten Kupang. Penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi bagi pemerintah daerah agar Kabupaten Kupang juga dapat dijadikan minapolitan berbasis budidaya laut dalam hal ini rumput laut.

Berkaitan dengan hal tersebut, sekitar 98% masyarakat pesisir setuju jika wilayah ini dijadikan sebagai wilayah pengembangan kawasan minapolitan karena mereka yakin bahwa dengan pengembangan kawasan minapolitan dapat menciptakan lapangan kerja. Namun demikian, kondisi eksisting kawasan masih berada pada strata pra kawasan minapolitan II. Untuk meningkatkan strata kawasan, variabel lain yang perlu diperhatikan adalah jumlah penduduk, jumlah rumah tangga nelayan, jumlah sarana dan prasarana umum, jumlah komoditas budidaya laut, dan banyaknya keluarga pra sejahtera.

Dilihat dari kelengkapan fasilitas yang dimiliki setiap desa, terdapat 6 desa dengan tingkat perkembangan lebih maju, 7 desa dengan tingkat perkembangan sedang, dan 11 desa dengan tingkat perkembangan tertinggal. Jenis budidaya laut yang dikembangkan adalah minapolitan rumput laut dengan tujuan untuk peningkatan pendapatan masyarakat. Faktor yang perlu diperhatikan adalah sumberdaya manusia dan aktor yang berperan adalah nelayan/pembudidaya.

Prioritas lokasi industri pengolahan budidaya laut adalah Desa Tablolong dan lokasi pasar produk budidaya laut bertempat di Kota Kupang sebagai sentra pasar pusat. Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Kupang adalah tanggung jawab pemerintah terhadap potensi budidaya laut, untuk mengatasinya dibutuhkan penyediaan infrastruktur, dan sarana dan prasarana produksi budidaya laut yang memadai.

Hasil simulasi setiap komponen penyusun sub model menunjukkan kecenderungan kurva pertumbuhan positif naik mengikuti kurva eksponensial. Namun pada komponen pertambahan penduduk dan peningkatan lahan permukiman selalu diimbangi oleh laju pengurangan jumlah penduduk akibat kematian dan migrasi keluar sehingga dalam model ini terjadi hubungan timbal balik positif melalui proses reinforcing dan timbal balik melalui proses balancing.

Adapun komponen lahan budidaya yang telah ditentukan kesesuaian dan daya dukung lahan berdasarkan parameter untuk budidaya rumput laut sehingga pertambahan luas lahan budidaya rumput laut pada suatu saat akan sampai pada titik keseimbangan tertentu (stable equilibirium) yaitu luas lahan budidaya dengan tingkat kesesuaian sangat sesuai, bentuk model seperti ini dalam sistem dinamik mengikuti pola dasar archtype “limits to growth”. Untuk meningkatkan perubahan kinerja model maka skenario yang perlu dilakukan adalah skenario optimis dengan melakukan intervensi yang lebih besar terhadap variabel kunci yang berpengaruh dalam model.

Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dalam kerangka pengembangan wilayah, akan lebih efektif bila dilaksanakan secara bersama-sama dari seluruh stakeholder yang terkait baik di tingkat pusat maupun daerah. Otonomi daerah telah membuka peluang desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, hal ini penting karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dan banyak memiliki daerah terisolasi, miskin alat transportasi dan komunikasi, masih lemah sistem administrasi pemerintahannya, masih kurangnya kapasitas SDM, serta begitu banyaknya masyarakat yang menggantungkan kehidupan dan nafkahnya pada sumberdaya pesisir dan laut. Dengan demikian, antara pemerintah dan masyarakat akan semakin dekat dan terpetakan berbagai masalah yang dihadapi sebagian besar masyarakat.

Pembangunan perekonomian daerah, terutama yang didasarkan pada sumberdaya wilayah pesisir dan laut dapat dilakukan dengan lebih baik dan memperhatikan kelestarian lingkungan, sehingga didapat konsep pembangunan yang berkelanjutan yaitu pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka.