• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Persamaan Struktural

Dalam dokumen SKRIPSI. Oleh Hindarsih Widyastuti F (Halaman 97-106)

C. ANALISIS MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL

2. Uji Persamaan Struktural

Pada uji persamaan struktural (koefisien struktural), t-value menunjukkan tingkat signifikansi dari koefisien konstruk (γ) atau gamma yang menunjukkan adanya hubungan langsung atau pengaruh variabel laten eksogen (bebas) terhadap variabel laten endogen (terikat). Nilai t signifikan pada t = 1.96. Semakin besar t-value, maka variabel laten eksogen tersebut semakin berpengaruh kepada variabel laten endogen. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, variabel laten eksogen dalam penelitian ini adalah variabel gaya kepemimpinan pertimbangan, dan variabel gaya pertimbangan prakarsai. Sedangkan variabel laten endogen adalah kepuasan kerja karyawan. Variabel gaya kepemimpinan pertimbangan mengandung arti persepsi karyawan menilai gaya kepemimpinan pertimbangan atasannya, sedangkan variabel gaya kepemimpinan berarti persepsi dari karyawan menilai gaya kepemimpinan prakarsai atasannya.

Perbandingan variabel mana yang memiliki pengaruh paling besar terhadap variabel endogen (kepuasan kerja) adalah dengan melihat pada bagian estimasi yang telah distandardisasi (standardized estimates). Koefisien determinasi (R2) pada persamaan struktural mengindikasikan jumlah varians pada variabel laten endogen yang dapat dijelaskan secara simultan oleh variabel-variabel laten eksogen. Semakin tinggi nilai R2, maka semakin besar variabel-variabel independen dapat menjelaskan variabel endogen, sehingga semakin baik persamaan struktural (Ghozali, 2005). Informasi mengenai koefisien determinasi R2 ini diperoleh melalui matrix PSI pada format LISREL atau juga dapat diperoleh melalui format LISREL di sebelah kanan persamaan seperti berikut ini

Untuk persamaan struktural kepuasan kerja, R2 adalah sebesar 0,52, yang berarti bahwa 52% varians kepuasan kerja dijelaskan oleh variabel gaya kepemimpinan pertimbangan dan prakarsai, sedangkan sisanya (48%) dijelaskan oleh faktor selain gaya kepemimpinan pertimbangan dan prakarsai.

a. Pengaruh Variabel Laten Gaya Kepemimpinan Pertimbangan Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan

Hasil analisa t-value pada persamaan pertama (Gambar 19) memperlihatkan koefisien konstruk (γ) atau gamma variabel laten gaya kepemimpinan pertimbangan (consideration) terhadap variabel laten kepuasan kerja adalah sebesar 5.63, yang berarti nyata pada tingkat signifikansi 5% (lebih besar dari 1.96). Nilai hasil pengolahan ini memberikan arti bahwa semakin tinggi gaya kepemimpinan pertimbangan diterapkan oleh atasan menurut persepsi dari bawahannya, maka akan mempengaruhi tingkat kepuasan kerja ke arah yang positif. Hal ini sesuai dengan hipotesis penulis yang mengatakan bahwa kepuasan kerja karyawan meningkat seiring dengan semakin -

tinggi persepsi karyawan menilai perilaku pemimpin mengarah pada gaya kepemimpinan pertimbangan.

Dilihat dari hasil standardized estimates untuk kedua variabel eksogen yaitu gaya kepemimpinan pertimbangan dan prakarsai, yang memiliki pengaruh terbesar untuk kepuasan kerja karyawan adalah persepsi karyawan menilai gaya kepemimpinan pertimbangan atasannya dengan nilai standardized estimates sebesar 0.80. Sedangkan persepsi karyawan menilai gaya kepemimpinan prakarsai atasannya memiliki pengaruh yang lebih kecil, yaitu dengan standardized estimates sebesar 0,25 (25%). Hasil standardized estimates dapat dilihat pada Gambar 20. Penelitian-penelitian sebelumnya juga menghasilkan hasil yang serupa, seperti :

a. Studi Iowa

Beberapa hasil penemuan dalam percobaan tersebut amat jelas salah satunya yaitu kesukaan yang melimpah dari anak-anak tersebut (sebagai responden) pada pemimpin yang demokratis (berorientasi pada karyawan atau pertimbangan). 19 dari 20 anak-anak mengatakan lebih banyak menyukai pemimpin yang demokratis dibandingkan dengan pemimpin yang otokratis (berorientasi pada penyelesaian tugas atau prakarsai). Sangat menarik bahwa disini terdapat satu orang anak yang lebih memilih menyukai pemimpin yang otokratis, dan anak tersebut kebetulan adalah anak seorang militer. Anak tersebut memberikan komentar bahwa “pemimpin otoriter itu sangat keras dan saya sangat menyukainya”.

b. Studi Ohio State

Studi yang dijadikan acuan pada penelitian ini adalah Studi Ohio State. Penelitian ini juga memberikan hasil bahwa tingkat perputaran karyawan terendah dan tingkat kepuasan karyawan tertinggi adalah dibawah pemimpin yang dinilai tinggi dalam pertimbangan. Sebaliknya pemimpin yang dinilai rendah dalam pertimbangan dan tinggi dalam prakarsai mengalami tingkat

keluhan dan tingkat perputaran yang tinggi di kalangan bawahannya (Stoner dan Wankel, 1996).

c. Studi Michigan

Studi ini menemukan bahwa kelompok kerja paling produktif cenderung memiliki pemimpin yang lebih berorientasi pada karyawan daripada pada produksi. Mereka juga menemukan bahwa pemimpin yang paling efektif adalah pemimpin yang mempunyai hubungan yang saling menunjang dengan bawahannya, yang lebih cenderung menerapkan pengambilan keputusan kelompok daripada individu dan yang mendorong bawahannya untuk menetapkan dan mencapai tujuan prestasi yang tinggi.

Menurut Siagian (2003), gaya kepemimpinan pertimbangan menonjolkan perilaku pemimpin pada para bawahannya, yaitu :

Iklim saling percaya mempercayai, menghargai ide bawahannya

Memperhitungkan perasaan bawahannya

Perhatian pada kesejahteraan bawahan

Pengakuan atas status para bawahan secara tepat dan proporsional

Mempercayakan bawahan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya Perilaku-perilaku tersebut terbukti memperhitungkan faktor kepuasan kerja bawahan dan menyebabkan para bawahan senang datang kepada atasannya untuk menyampaikan berbagai masalah yang dihadapinya.

Persepsi karyawan menilai gaya kepemimpinan pertimbangan atasannya, telah dibuktikan mempengaruhi kepuasan kerja karyawan ke arah positif. Hal ini didukung oleh hasil wawancara yang menyatakan bahwa dia puas dan menyukai gaya kepemimpinan atasannya yang lebih mengarah pada gaya kepemimpinan pertimbangan terlihat dari sikap dan perilaku atasannya, yaitu mudah didekati, berperilaku sebagai sahabat, selalu mendengarkannya dengan baik, memberikan pandangan-pandangan yang arif tentang bagaimana menghadapi suatu masalah, sehingga bawahannya tidak terlihat canggung dalam berbicara, mengeluarkan ide maupun pendapat untuk menyelesaikan suatu masalah.

b. Pengaruh Variabel Laten Gaya Kepemimpinan Prakarsai Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan

Pada persamaan struktural kedua, nilai t konstruk (γ) variabel laten gaya kepemimpinan prakarsai (initiating) terhadap kepuasan kerja (Gambar 19) sebesar 2.37>1.96 yang berarti bahwa pengaruh persepsi karyawan menilai gaya kepemimpinan prakarsai atasannya terhadap kepuasan kerja adalah signifikan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh persepsi karyawan dalam menilai gaya kepemimpinan prakarsai atasannya, tetapi hanya sebesar 25%. Hasil tersebut dapat dilihat pada Gambar 20 mengenai standardized estimates.

Meskipun hasil gamma yang didapatkan jauh lebih kecil daripada persepsi karyawan menilai gaya kepemimpinan pertimbangan yang dikaitkan dengan kepuasan kerja karyawan, akan tetapi interpretasi hasil tersebut adalah sama dengan interpretasi untuk persamaan pertama, yakni semakin tinggi penerapan gaya kepemimpinan prakarsai atasan menurut persepsi karyawan, maka semakin tinggi pula kepuasan kerja karyawannya. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis penulis dimana prakiraan awal yang dikaitkan dengan teori-teori yang ada menyebutkan bahwa kepuasan kerja berkorelasi negatif dengan persepsi karyawan menilai gaya kepemimpinan prakarsai atasannya.

Namun ada beberapa pendapat peneliti juga yang menyebutkan bahwa persepsi karyawan menilai gaya kepemimpinan prakarsai dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan, salah satunya adalah pendapat Robbins, et al (2002), yang mengatakan pemimpin dapat dikategorikan menjadi tinggi atau rendah untuk tiap dimensi yang ada dan gaya kepemimpinan yang paling diinginkan disebut “tinggi-tinggi”, yaitu tinggi dalam pertimbangan dan juga tinggi dalam prakarsai. Stoner dan Wankel (1986), juga menyebutkan bahwa pemimpin pada prakarsai dan pertimbangan (seorang “tinggi-tinggi”) cenderung lebih sering mencapai kinerja dan kepuasan yang lebih -

tinggi dibanding mereka yang dinilai berada dalam tingkatan yang lebih rendah pada prakarsai, pertimbangan, atau pada keduanya.

Pemimpin yang cenderung menerapkan gaya ini lebih menonjolkan peranannya dalam mengorganisasikan hal-hal seperti :

 tugas yang harus diselesaikan dalam organisasi

 hubungan antara satu tugas dengan yang lain

 penekanan pada pentingnya kaitan tugas yang diselenggarakan dengan tujuan dan berbagai sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya.

Pola “tinggi-tinggi” tersebut tidak selamanya menghasilkan hal yang positif. Menurut Stoner dan Wankel (1986), perilaku pemimpin di tingkat tinggi pada prakarsai memancing keluhan, ketidakhadiran, turnover, dan kepuasan kerja yang rendah pada kinerja tugas rutin pekerja, sedangkan gaya pertimbangan yang tinggi berhubungan secara negatif dengan kinerja pemimpin dan bawahannya. Kesimpulannya, penelitian ini memberikan hasil bahwa gaya kepemimpinan “tinggi-tinggi” memberikan hasil yang positif, namun ada beberapa pengecualian yang menyatakan bahwa faktor situasi perlu ditambahkan ke dalam teori. Misalnya kondisi perusahaan, kondisi pekerja, lingkungan sekitar, dan lain-lain.

Hasil dari uji persamaan struktural diringkas dalam Tabel 12 di bawah ini

Path Diagram

standardized

estimates Nilai t Kesimpulan Gaya Kepemimpinan Pertimbangan

→ Kepuasan Kerja Karyawan 0.25 5.63 Signifikan

Gaya Kepemimpinan Prakarsai

→ Kepuasan Kerja Karyawan 0.80 2.37 Signifikan

c. Hubungan Variabel Laten Gaya Kepemimpinan Pertimbangan dengan Prakarsai

Hasil output LISREL di bawah ini mengindikasikan adanya hubungan korelasi negatif antara gaya kepemimpinan pertimbangan dengan gaya kepemimpinan prakarsai, yaitu ditandai dengan adanya Tabel 12. Nilai t, dan Standardized Estimates Model Struktural

nilai negatif pada output maupun pada Gambar 21 yang diambil dari path diagram nilai t.

Tannenbaum dan Schmidt (1958) dalam artikel mereka yang dimuat dalam majalah Harvard Business Review: How to Choose a Leadership Pattern, berargumentasi bahwa gaya kepemimpinan otokratis (prakarsai) dan demokratis (pertimbangan), keduanya merupakan gaya kepemimpinan, dan oleh karenanya dapat didudukkan dalam suatu kontinum dari perilaku pemimpin yang sangat otokratis pada satu ujung sampai kepada perilaku pemimpin yang sangat demokratis pada ujung yang lain.

Oleh sebab itu, meskipun disebutkan oleh peneliti-peneliti pada Ohio State University bahwa nilai intensitas kedua gaya kepemimpinan pada masing-masing pemimpin dapat dikategorikan “tinggi-tinggi”, tetapi tidak menutup kemungkinan juga hal tersebut tidak dapat terjadi. Yang berarti apabila tinggi dalam gaya kepemimpinan pertimbangan, maka akan rendah pada gaya kepemimpinan prakarsai, begitu pula sebaliknya. Oleh sebab itu, para peneliti Ohio kemudian membuat segi empat yang akan menjelaskan gaya kepemimpinan yang dirumuskan peneliti dari Ohio, yang dapat dilihat pada Gambar 22.

Pertimbangan “Tinggi” Struktur Prakarsai “Rendah”

Struktur Prakarsai “Tinggi” Pertimbangan “Tinggi” Struktur Prakarsai “Rendah”

Pertimbangan “Rendah”

Struktur Prakarsai “Tinggi” Pertimbangan “Rendah”

(Thoha, 1991) Gambar 22. Segi Empat Gaya Kepemimpinan dalam Universitas Ohio

Gambar tersebut menjelaskan bahwa seorang pemimpin dapat memiliki gaya kepemimpinan pertimbangan dan prakarsai “tinggi-tinggi” sekaligus, maupun “rendah-rendah”. Sedangkan yang terjadi pada penelitian ini adalah perilaku pemimpin yang dominan hanya pada satu gaya kepemimpinan. Untuk Departemen TOL, gaya kepemimpinan prakarsai adalah lebih dominan (tinggi) dibandingkan dengan gaya kepemimpinan pertimbangan. Sebaliknya pada Departemen Penjualan dan Pemasaran, gaya kepemimpinan pertimbangan menempati posisi yang jauh lebih tinggi daripada gaya kepemimpinan prakarsai untuk masing-masing individu pemimpin.

Dalam dokumen SKRIPSI. Oleh Hindarsih Widyastuti F (Halaman 97-106)

Dokumen terkait