• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ujian bagi Manusia untuk Memperbaiki Amal

BAB III WAWASAN AL-MAUT DALAM AL-QURAN

C. Hikmah dan Tujuan al-Maut

2. Ujian bagi Manusia untuk Memperbaiki Amal

Keimanan kepada kehidupan setelah mati akan membawa manusia untuk bersikap tanggungjawab atas segala perbuatan yang dilakukan, bahwa ia akan mendapat pembalasan dari perbuatannya. Karena itu Allah menciptakan mati dan hidup sebagai ujian bagi manusia untuk memperbaiki amalnya, sebagaimana firman-Nya:

63

al-Jauziyyah, al-Tafsîr al-Qayyim, edisi Indonesia Tafsîr Ibnu Qayyim; Tafsîr Ayat-ayat Pilihan, (Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 155

64

Diriwayatkan Muslim dan Bukhârî bahwa Anas ra. berkata, Rasulullah bersabda,

“Janganlah salah seorang dari kalian mengharap kematian karena cobaan yang tengah menimpanya. Jika ia memang harus mengharapkan kematian, hendaklah ia berdoa, ‘Ya Allah, peliharalah hidupku jika itu yang terbaik bagiku, dan metikanlah aku jika itu yang terbaik bagiku.’ Lihat al-Naisâbûrî,

Shahîh Muslim, bab Karâhah Tamannî al-Maut, h. 1034

65

!!!! ƒ!!!!!!! !!!!ƒ!!!!! !!!! !! Ê! !!!

!!!!!!!!ƒ!!!!!!Ê!!!ƒ!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! !! !! !!!!! !! !!!!!!! !! !!!!!!!!Ê!!!!!

!

2

!

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS. al-Mulk: 2)

Kata (

! !!!

)al-maut / mati biasa diperhadapkan dengan (

!!!! !

)al-hayah. Bahkan dalam al-Qur`ân jumlah kata al-mautdan yang seakar dengannya sebanyak jumlah kata al-hayah dan yang seakar dengannya yakni 145 kali.66 Kematian manusia dalam pentas bumi ini bukanlah ketiadaan. Ia masih wujud tetapi berpindah ke alam lain. Itulah salah satu yang diisyaratkan oleh kata manciptakan kematian. Ada juga yang memahami mati dalam arti ketiadaan wujud. Yang memehami demikian, memahami ayat di atas dalam arti Allah menciptakan sebab-sebab kematian. Kalaupun kematian diartikan dengan ketiadaan, maka itu hanya berarti ketiadaan di pentas bumi.

Penyebutan kata mati dan hidup dari sekian banyak tanda-tanda kodrat dan kuasa-Nya, agaknya disebabkan karena kedua hal ini merupakan bukti yang paling jelas tentang kuasa-Nya dalam konteks manusia. Hidup tidak dapat diwujudkan oleh selain-Nya dan mati tidak dapat ditampik oleh siapa pun.

Ujian menyangkut hidup dan mati dipahami oleh sementara ulama dalam arti musibah kematian yang menimpa keluarga atau teman seseorang, demikian juga anugerah kehidupan serta kelahiran,

66

merupakan bahan ujian Allah kepada manusia, apakah dia tabah dan sabar serta bersyukur dan berterima kasih. Ada juga yang memahaminya dalam arti: ”Allah menciptakan kematian untuk membangkitkan dan memberi kamu balasan dan menciptakan kehidupan untuk menguji kamu”. Atau Allah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu siapa yang lebih mempersiapkan diri menghadapi kematian, dan siapa yang lebih bergegas memenuhi ketaatan kepada Allah.67

Al-Thâbathâî memahami ayat di atas dalam arti: Allah menciptakan kematian dan kehidupan agar kamu hidup, lalu menguji kamu siapakah yang terbaik amalnya, lalu kamu mati maka kamu diberi balasan sesuai dengan hasil ujian tersebut. Ulama ini menambahkan: ”Karena tujuan yang terpenting dari penggalan ayat ini adalah pembalasan tersebut”, maka ayat di atas mendahulukan kata (! !!!)al-maut/mati.68

Sedangkan Sayyid Quthub mengomentari ayat di atas dengan menyatakan bahwa: Kematian dan kehidupan adalah ciptaan Allah, ayat ini (bertujuan) membentuk hakikat tersebut dalam benak manusia dan mendorongnya untuk selalu sadar akan tujuan dibalik penciptaan itu, yaitu bahwa kematian dan kehidupan bukanlah kebetulan atau tanpa pengaturan, tetapi ada tujuannya yakni ujian untuk menampakkan apa yang tersembunyi dari ilmu Allah menyangkut tingkah laku manusia di pentas bumi ini serta bahwa mereka wajar memperoleh balasan.

67

Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ibn Hâtim dari Qatâdah: “Sesungguhnya Allah menundukkan anak Adam dengan mati, dan menjadikan dunia ini tempat hidup kemudian mati, dan menjadikan akhirat tempat pembalasan kemudian kekal selamanya.” Ibn Katsîr,

Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, juz 4, hal. 396

68

Kemantapan hakikat ini dalam benak manusia akan menjadikannya selalu awas dan waspada memperhatikan dengan penuh kesadaran yang kecil dan yang besar, baik dalam niat yang terpendam dalam hati, maupun dalam pengalaman yang nampak di alam nyata. Itu menjadikan manusia tidak lengah, atau lalai dan tidak juga menjadikan ia merasa tenang sehingga beristirahat tidak melakukan upaya. Dari sini – lanjut Sayyid Quthub – ayat di atas ditutup dengan menyatakan bahwa Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampunan agar menuangkan ketenangan di dalam hati siapa yang memperhatikan tuntunan Allah dan takut kepada-Nya, karena Allah Maha perkasa tetapi juga Maha Pengampun. Demikian lebih kurang Sayyid Quthub.69

Firman-Nya: (

! !!!! ! ! !!! ! !!

) ayyukum ahsanu ’amal(an) / siapa yang lebih baik amalnya tentu saja mengandung pengertian bahwa Allah mengetahui siapa yang lebih baik amalnya, karena tidak dapat diketahui siapa yang terbaik, bila tidak mngetahui secara menyeluruh semua yang baik, dan tidak dapat diketahui siapa yang terburuk bila tidak diketahui siapa yang buruk amalnya. Bahwa ayat di atas tidak menyebut siapa yang terburuk, untuk mengisyaratkan bahwa sebenarnya berlomba dalam kebaikan itulah yang seharusnya menjadi perhatian manusia. Penyebutan sifat (

!!!!!!

) al-’azîz / maha Perkasa terkesan ditujukan kepada para pembangkang yang wajar dijatuhi hukuman, dan (

!!!!!!

)al-Ghafûr / Maha Pengampun kepada yang menyadari kesalahannya dan melangkah mendekatkan diri kepada Allah SWT.70

69

Sayyid al-Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, (Cairo: Dâr al-Kutub al-’Arabiyyah, tt), juz 29, h.11-12

70

Allah menetapkan yang demikian itu untuk menguji keadaanmu, untuk mengetahui kebajikan dan kejahatanmu, dan untuk mengetahui siapa diantara kamu yang lebih baik amalannya, lebih baik keikhlasannya, lebih jauh dari segala yang diharamkan, dan lebih cepat kepada ketaatan. Ringkasnya, hidup ini adalah tempat ujian, sedangkan mati adalah masa pembalasan.71

Dalam ayat lain Allah menerangkan tentang jenis ujian bagi manusia yang pasti akan mati, sebagaimana firman-Nya:

!!! !!! Ê!!!! ƒ!!!!! !!!!!!! Ê!!ƒ!Ê!!!!!!!! ƒ!!! ƒ!!!!! Ê!!!!!!!! Ê!!Ç!!! !!Ê!!!!!ƒ!!!!! !!!!!!

!

34

!!

!Ê! !!!!ƒ!!!!!!!Ê!!!!!Ç! ƒ!!!!!! !!

!!! !!!!! !!!!!!!!!!!!Ê!!!!!!!!!!Ê!!Ê!!!!! ƒ!!!!!!!!! !!Ê!!!! !! !!!!!!!!!

!

35

!

Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (QS. al-Anbiyâ`: 34-35)

Ibnu Katsîr menafsirkan ayat di atas sebagai berikut; Kami (Allah) tidak menjadikan hidup kekal di dunia ini bagi seorang manusia pun sebelum engkau hai Muhammad, semua yang berada di atas bumi ini akan mati dan hanya Dzat Tuhanmu yang kekal abadi. Apakah jika engkau mati hai Muhammad, mereka mengira bahwa mereka akan hidup kekal. Hal yang demikian itu tidak mungkin, semuanya akan mengalami kematian. Tiap yang bernyawa akan merasakan kematian. Dan Kami

71

Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Tafsîr al-Qur`ân al-Majîd al-Nûr, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), jil.5, hal. 4289

mencoba kamu sekalian dengan berbagai musibah dan berbagai nikmat, untuk mengetahui siapa yang bersyukur dan siapa yang mengingkari nikmat Kami, siapa yang bersabar menghadapi musibah dan siapa yang gelisah dan rusuh hati menghadapi cobaan Kami itu dan pada akhirnya kepada Kamilah kamu sekalian akan kembali.72

Setelah Allah menjelaskan bahwa tujuan penciptaan kematian dan kehidupan sebagai ujian untuk memperbaiki dan berlomba dalam amal kebaikan, maka melalui ayat ini Allah menjelaskan jenis ujian bagi jiwa yang akan merasakan mati, yaitu berupa keburukan dan kebaikan, kemiskinan dan kekayaan, musibah dan kenikmatan, kesempitan dan kelapangan dan sebagainya. Hal ini juga mengisayaratkan bahwa hidup manusia tidak pernah luput dari ujian, karena hidup hanya berkisar pada baik dan buruk. Ujian dengan kebaikan biasanya lebih sulit dari pada ujian dengan malapetaka, karena manusia biasanya lupa daratan di kala dia senang, sedang bila dalam kesulitan, dia lebih cenderung butuh sehingga dorongan untuk mengingat Allah menjadi lebih kuat.

Agaknya kesimpulan dari hikmah al-maut dapat diperoleh dari firman Allah berikut ini:

!!! !!!!!!!!!!Ê!!Ê!Ê!!!!!!!!!!!!! !!!!! !!!!!!!!Ê!!!!!! !!!!!!!!!! !!!!!!!!!!!Ê! !Ê!!!!!!Ê! ƒ!Ê!Ê!!!!!Ê!!!! !!!!!!ƒ!!!!Ç! ƒ!!!Ê!!!! !!! !!!!!!

!!! !Ê!Ê! !!! !!!! Ê!!! !!!! !!!!!!!!Ê!!Ê!Ê!!!!!!Ê!!!Ê! È!ƒ!!!!! !!!!!!!!Ê!!!

!

145

!

72

Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur (QS. `Âli ‘Imrân: 145)73 Ayat ini memberi semangat keberanian kepada orang-orang yang pengecut dan penakut agar mereka mau terjun ke medan perang. Sebab maju ke depan melawan musuh atau lari ke belakang tidak akan mengurangi umur seseorang atau menambahnya, karena kematian jiwa adalah atas izin Allah dan sudah ditetapkan waktunya yang tidak akan dimajukan atau diakhirkan.

Selanjutnya Allah SWT berfirman barangsiapa beramal sebelum datang kematiannya untuk mengejar hasil duniawi pasti memperolehnya sesuai apa yang ditakdirkan Allah baginya, dan kelak di akhirat tidak mendapat bagian. Sebaliknya yang bertujuan dengan amalnya untuk memperoleh pahala di akhirat akan dianugerahkan oleh Allah pahala itu

73

Ayat ini dan sebelumnya (ayat 144) turun tatkala pasukan Muslimin dikalahkan dalam perang Uhud dan gugur beberapa orang di antara sahabat Rasulullah SAW sebagai syuhada, sedang Rasulullah sendiri terkena luka di kepalanya, tersiar isyu yang ditiupkan oleh Syetan; bahwa Muhammad telah terbunuh. Bahkan seorang bernama Ibnu Qami’ah mengaku telah membunuh Rasulullah SAW padahal ia hanya memukul Beliau di kepalanya, sehingga menyebabkan terluka. Tersiarnya kabar bohong ini berkesan dalam hati banyak sahabat Rasulullah SAW dan mengacaukan barisan kaum muslimin, sehingga terjadilah kelemahan dan kelesuan untuk melanjutkan pertempuran dan perlawanan terhadap pihak musyrikin. Maka dalam keadaan demikian itu diturunkan oleh Allah ayat ini untuk menemteramkan hati kaum muslimin dan membantah kata-kata bohong itu.

Diceritakan oleh Ibnu Abî Nujaih dari ayahnya, bahwa seorang sahabat Muhajirin bertanya kepada seorang sahabat Anshar yang masih berlumuran darah, “Hai Fulan, apakah engkau merasa atau mendengar bahwa Muhammad SAW terbunuh” Sang Anshar menjawab, “Jika Muhammad SAW terbunuh, maka ia telah menyampaikan (risalahnya). Bertempurlah terus membela agamamu.” Kemudian turunlah ayat ini. Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân…, jil.1 hal. 409

dengan disertai apa yang menjadi bagiannya di dunia, sebagaimana dijelaskan dalam ayat lain:

!!!!!!!!!!!!!!!!!Ê!!Ê!Ê!!!!!!!!!!!!! !!!!! !!!! !!! !Ê!!!!!! !!! !!! !!!!!Ê!Ê!!!!! !! Ê!!!!!!!!!Ê!!!!Ê!!!Ê! È!ƒ!!!!! !!!! !!! !Ê!!!!!! !!! !!! !!

Ê

! !!!!! Ê!!Ê!!!Ê! È!ƒ!!!! Ê!

!Ç! !

!

20

!

Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat (QS. al-Syûrâ: 20)

Barangsiapa telah tertanam di hatinya keimanan tentang kehidupan setelah mati, maka ia akan beramal dengan sebaik-baiknya untuk bekal di kehidupan selanjutnya. Dunia bagi seorang muslim adalah laksana ladang untuk akhirat, semakin banyak yang diraih di kehidupan dunia ini dan digunakan untuk kepentingan akhirat, semakin banyak pula ganjaran yang akan diperolehnya di akhirat, sebagaimana Allah mengajarkan doa untuk meraih hasanah (kebaikan) di dunia dan hasanah di akhirat. Oleh karena itu, melalui ayat di atas Allah hendak memfokuskan mereka kepada suatu hal yang membuat mereka cinta akan mati dan menjauhkan dari hawa nafsu, karena pada hakikatnya bukanlah mati sebenarnya yang harus ditakuti namun kekhawatiran yang utama adalah sudahkah mempersiapkan bekal amal yang mencukupi untuk kehidupan setelah mati?

Dokumen terkait