AL-MAUT DALAM AL-QUR’AN
Kajian Tafsir Tematik
Disajikan oleh:
ZARKASI
NIM: 01.2.00.1.05.01.0149
Sekolah Pascasarjana Konsentrasi Tafsir Hadis
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
AL-MAUT DALAM AL-QUR’AN
Kajian Tafsir Tematik
Tesis
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana untuk
Memenuhi Syarat-syarat Mencapai
Gelar Magister
Oleh:
ZARKASI
NIM: 01.2.00.1.05.01.0149
Di Bawah Bimbingan:
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA
Dr. A. Wahib Mu’thi
Sekolah Pascasarjana Konsentrasi Tafsir Hadis
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
PERSEMBAHAN
Untuk Ruh Bapak saya H. Afifi … yang senantiasa berdoa pada masa akhir hayatnya; “Ya Allah, ringankanlah sakaratul maut bagiku, jadikan akhir hidupku khusnul khatimah dan tidak menjadi beban bagi istri dan anak-anakku.”
Kami bersyukur kepada Allah yang telah mengabulkan doanya, sehingga kematian telah menjemputnya menjelang shalat shubuh dalam keadaan tersimpuh di atas sajadah usai menalaksanakan shalat malam. Saat itu kami sekeluarga masih menikmati santap sahur pada hari keenam bulan Ramadhan 1423 H.
Bapak seorang yang tidak takut akan kematian, akan tetapi beliau selalu mencemaskan sakaratul maut yang akan dihadapinya, Allah telah memperkenankan permohonannya …. Dan karena itulah, saya memilih judul tesis ini dengan “Kematian”, semoga pahala penulisannya diterima dan disampaikan kepada Bapak di alam kubur.
“Ya Allah, hapuslah segala dosa dan kesalahan bapak, lindungilah beliau dari
fitnah kubur dan azab neraka. Ya Allah, lapangkanlah kuburnya, tempatkanlah
beliau di rumah yang lebih baik dari rumahnya di dunia, kumpulkanlah beliau
bersama keluarga yang lebih baik dari keluarganya di dunia, masukkanlah beliau ke
dalam golongan abrar, shiddiqin, syuhada, dan shalihin, mereka sebaik-baik teman.”
“Ya Allah, mandikan dan sucikan beliau dengan air, embun dan kesejukan
air, bimbinglah beliau saat menjawab pertanyaan, dan jadikanlah beliau sebagai
pewaris surga na’im”. Amin
Ya Allah, terimalah amal ini dan jadikanlah sebagai amal yang tulus
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Tesis dengan judul AL-MAUT DALAM AL-QUR’AN; Kajian Tafsir Tematik, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 Januari 2008. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 2 (S2) pada Konsentrasi Tafsir Hadis.
Jakarta, 7 Januari 2008 Sidang Munaqasyah
Tim Penguji,
Prof. Dr. Hamdani Anwar,MA Dr. Fuad Jabali, MA
Tgl. Tgl.
Dr. Yusuf Rahman, MA Tgl.
Pembimbing,
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA Dr. A. Wahib Mu’thi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. yang telah menciptaka seluruh makhluk,
dan menetapkan kematian bagi mereka. Pujian yang layak bagi keagungan
dzat-Nya dan terkandung di dalamnya kebaikan dan keberkahan. Shalawat
dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kami
Muhammad SAW, pembawa petunjuk dan agama yang hak, rahmat bagi
semesta alam, dan semoga terlimpah juga kepada keluarga dan sahabatnya.
Karya ini hanyalah setitik ilmu yang dianugerahkan Allah kepada
hamba-Nya yang dha’if ini untuk menyelesaikan studi S2 di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga karya tulis ini bukan
sumbangan terakhir penulis dalam khazanah ilmiah Islam di Indonesia ini.
Kupersembahkan karya ini untuk ibunda tercinta, Hj. Zahro binti H. Ilyas
yang selalu lekat dalam hati penulis. Kasih sayangnya begitu besar dan
istimewa kepada penulis sebagai putra terakhir. Semoga Allah SWT
mengampuni segala kesalahan dan dosanya, semoga Allah selalu
menyayanginya sebagaimana Ibunda telah menyayangiku di waktu kecil.
Beliaulah yang senantiasa mendukung penulis dengan doa-doanya, bahkan
tidak sedikit beliau mengkhatamkan al-Qur’an sebagai tawassul kepada
Allah memohon untuk kesuksesan dan kebahagian penulis.
Terima kasih tak terhingga juga kepada istriku tersayang, Umi Hani,
S.ThI, yang senantiasa memberikan motifasi, membantu tenaga dan pikiran
untuk tercapainya cita-cita penulis. Disela-sela waktu senggangnya dalam
mendidik buah hati kami, An-Najmuts Tsaqib Ahmad Hamdah Afifi dan
Muhammad Jiddan Aqila Hamdah Afifi, serta di saat istirahat mengajar di
memberikan masukan pemikiran yang bermanfaat untuk karya tulis ini.
Terima kasih saya sampaikan juga kepada kedua orang tua istri, Drs. H.
Abdul Muthalib dan Hj. Mahmudah, yang telah memberi bantuan doa
maupun materi kepada kami. Semoga Allah Swt. mengampuni dosanya dan
memberkahi hidupnya.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Guru dan
Pembimbing ruhani, KH. Abdul Qadir Umar Basyir, Ponpes Darul Furqon
Kudus, karena kepadanya penulis menghafal al-Qur’an dan kepadanya juga
penulis selalu mengkonsultasikan semua masalah dan meminta dukungan
doa. Semoga Allah memberikan umur panjang kepadanya untuk khidmat
bagi agama dan ummat. Amin.
Penulis sangat beruntung dan bersyukur kepada Allah yang telah
mempermudah proses studi, karena secara materi/ finansial, penulis
memperoleh beasiswa dari lembaga maupun perorangan. Kepada Bapak
H. Sudomo yang telah membiayai semester I, II, dan III, penulis sangat
berterima kasih karena sungguh pertemuan di dunia maya yang menjadi
awal silaturahim. Semoga Allah menerima taubatnya dan menerima segala
kebaikannya. Juga kepada Bapak Ir. H. Herman Zaini Latief, Komisaris PT.
Karma Yudha yang meneruskan pembiayaan semester berikutnya, semoga
Allah menerima amalnya dan memberkati rizkinya.
Selanjutnya, kepada jama’ah haji KBIH Baitul Ihsan angkatan ke-3
tahun 2005-2006, yang telah banyak membantu penulis, tidak hanya dalam
proses studi, tapi juga bantuan kepada keluarga, semoga Allah menjadikan
bagi mereka haji yang mabrur, sa’i yang diterima, dosa yang diampuni dan
perniagaan yang tak pernah merugi. Juga kepada Lembaga Zakat BAZIS DKI
dana penyelesaian tesis ini. Kemudian kepada pihak-pihak yang telah
banyak memberikan bantuan finansial, semoga Allah menggantinya dengan
yang lebih baik.
Tak lupa juga saya sampaikan terima kasih kepada pimpinan civitas
akademika Universitas Islam Negeri Jakarta, Prof. DR. Komaruddin Hidayat,
MA, selaku Rektor UIN dan Prof. DR. Azyumardi Azra, MA, selaku Direktur
Pascasarjana UIN dan semua dosen yang telah memberikan ilmunya dengan
penuh keikhlasan kepada saya. Secara khusus saya ucapkan terima kasih
juga kepada Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA dan Dr. A. Wahib Mu’thi, yang
telah membimbing dan memberikan masukan, sehingga tesis ini layak untuk
diajukan ke sidang ujian tesis, semoga Allah merahmati keduanya dan
memberikan umur panjang yang bermanfaat bagi kejayaan umat.
Juga kepada Manajemen Masjid Baitul Ihsan Bank Indonesia yang
telah memfasilitasi untuk menyelesaikan tesis ini sehingga penulis dapat
secara insten memanfaatkan ruangan dan buku-buku Perpustakaan Masjid
berikut komputernya. Juga kepada jama’ah dan teman-teman sejawat di
sekretariat Masjid Baitul Ihsan yang turut berdoa.
Hanya kepada Allah saya mohon agar kiranya mereka yang telah
membantu saya dalam penulisan tesis ini diberikan balasan yang terbaik, di
PEDOMAN TRANSLITERASI
ARAB
LATIN
ARAB
LATIN
ء
‘ (apostrof)
ض
dl
ب
b
ط
th
ت
t
ظ
zh
ث
ts
ع
‘ (petik satu)
ج
j
غ
gh
ح
h
ف
f
خ
kh
ق
q
د
d
ك
k
ذ
dz
ل
l
ر
r
م
m
ز
z
ن
n
س
s
و
w
ش
sy
ه
h
ص
sh
ي
y
ة
ah (waqaf)
لا
al-(ta’rif)
Untuk tanda panjang
ا
â (a panjang), contoh:
ُﻚِﻟﺎَﻤﻟا
: al-Mâliku
ْي
î (i panjang),
contoh:
ُﻢْﯿِﺣﱠﺮﻟا
: al-Rahîmu
DAFTAR ISI
PENGESAHAN PANITIA UJIAN... i
KATA PENGANTAR ... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI... vi
DAFTAR ISI... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan... 7
D. Kajian Pustaka ... 8
E. Metodologi Penelitian ... 12
F. Sistematika Penulisan... 15
BAB II PENGERTIAN DAN TERM-TERM AL-MAUT A. Pengertian al-Maut Menurut Kebahasaan ... 17
B. Pengertian al-Maut Menurut Kedokteran... 20
C. Term-term al-Maut dalam al-Qur'an ... 26
1. Al-Maut Berarti Ketiadaan di Dunia... 27
3. Al-Mautdalam Pengertian Belum Ada Wujud... 33
4. Al-Maut dalam Pengertian Hilang Rasa Untuk Hidup .. 36
5. Al-Maut dalam Pengertian Kekafiran dan Hati yang Keras... 37
6. Muradif al-Maut dalam al-Qur’an; Wafat danImsak... 40
BAB III WAWASAN AL-MAUT DALAM AL-QURAN A. Hubungan antara Ajal dan al-Maut... 43
B. Sakaratul Maut ... 52
1. Jiwa atau Ruh... 52
2. Sakarat... 60
3. Malaikat Maut dan Proses Pencabutan Nyawa... 65
C. Hikmah dan Tujuan al-Maut... 73
1. Menanamkan Keimanan kepada Hidup dan Pembalasan setelah Mati... 73
2. Ujian bagi Manusia untuk Memperbaiki Amal... 87
D. Euthanasia sebagai Salah Satu Kondisi Kematian ... 95
1. Euthanasia Aktif... 97
BAB IV TUNTUNAN AL-QUR’AN DALAM MENJEMPUT AL-MAUT
A. Tuntunan Dalam Menggapai Husnul Khatimah ... 108
1. Taubat sebelum Sakaratul Maut ... 110
2. Berdoa untuk Husnul Khatimah... 115
3. Berwasiat tentang Keislaman dan Harta ... 119
4. Bertakwa dan Bertawakkal (Berserah Diri)... 126
5. Bersyukur dan Berharap Untuk Kehidupan Akhirat ... 129
6. Berhijrah dan Berjuang di jalan Allah ... 135
7. Berinfak dan Membelanjakan Harta di Jalan Allah ... 136
B. Amalan yang Menyebabkan Su’ul Khatimah... 141
1. Kekafiran dan Kezhaliman ... 141
2. Menghalang-halangi Jalan Allah ... 144
3. Murtad setelah Iman... 146
4. Belum Taubat sampai Kedatangan Saat Mati ... 149
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 152
B. Saran... 154
BIBLIOGRAFI... 156
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
!!!!
!!
Ê
!
ƒ!!
!!
!!
Ê
!!
!!
Ê
!!
!!!
“Cukuplah kematian itu sebagai nasehat”1, Ungkapan Rasulullah SAW ini sangat tepat dan bermanfaat bagi
mereka yang memahami arti sebuah kematian, namun bagi mereka yang
tidak memahaminya, maka seribu kali menyaksikan peristiwa kematian,
tidaklah akan berguna dan tidak cukup sebagai nasehat baginya.
Pemahaman terhadap arti kematian akan membawa kepada kesadaran dan
pemahaman akan arti kehidupan, baik sebelum atau setelah kematian.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang kematian
bukan sesuatu yang menyenangkan. Naluri manusia bahkan ingin hidup
seribu tahun (QS. al-Baqarah, 2: 96). Banyak faktor yang membuat seseorang
enggan mati. Antara lain sebagai berikut; merasa belum puas dengan
kehidupannya yang sudah dilalui, tidak mengetahui apa yang akan
dihadapinya setelah kematian, menduga bahwa yang dimiliki sekarang lebih
baik dari yang akan didapati nanti, membayangkan betapa sulit dan pedih
pengalaman mati dan sesudah mati, khawatir memikirkan dan prihatin
terhadap keluarga yang ditinggalkan, dan tidak mengetahui makna hidup
dan mati, sehingga semuanya merasa cemas dan takut menghadapi
kematian.
1
Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain al-Baihaqî, Syu’ab al-Îmân, (Bairut, Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), juz 7, bab al-Zuhd wa Qashr al-Amal, h.353
ﺎﻨﺛ ، ﺪﯿﺷر ﻦﺑ دواد ﺎﻨﺛ ، لﻻﺪﻟا ﺲﯿﻧأ ﺮﻤﻋ ﺎﻨﺛ ، رﺎﻔﺼﻟا ﺪﻤﺤﻣ ﻦﺑ ﻞﯿﻋﺎﻤﺳإ ﺎﻧأ ، ناﺮﺸﺑ ﻦﺑ ﻦﯿﺴﺤﻟا ﻮﺑأ ﺎﻧﺮﺒﺧأو لﺎﻗ ، ﺮﺳﺎﯾ ﻦﺑا ﻲﻨﻌﯾ رﺎﻤﻋ ﻦﻋ ، ﻦﺴﺤﻟا ﻦﻋ ، ﺪﯿﺒﻋ ﻦﺑ ﺲﻧﻮﯾ ﻦﻋ ، رﺪﺑ ﻦﺑ ﻊﯿﺑﺮﻟا :
ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا نﺎﻛ
لﻮﻘﯾ ﻢﻠﺳو
Kematian merupakan suatu hal yang dekat dengan manusia,
kedekatan itu tercermin dari sikap dan perasaan setiap individu bahwa
dirinya pasti akan mengalami kematian, begitu dekatnya dengan manusia
sampai-sampai sebagian manusia menganggap kematian adalah hal biasa
dan alamiah yang setiap makhluk hidup pasti mengalaminya. Kematian yang
menimpa manusia bagi mereka adalah laksana kematian yang menimpa
hewan, tumbuhan dan makhluk lainnya.
Hal ini sangat wajar, karena belum pernah terjadi seorang yang mati,
kemudian bangun kembali untuk menceritakan pengalamannya selama di
alam kematian. Sebagaimana ‘Amr ibn ‘Âsh berwasiat kepada anaknya:
”Sungguh belum pernah seorang pun kembali kepada kita setelah
kematiannya untuk bercerita tentang perjalanan mati ini, tetapi kelak apabila
kematian menjemputku, ingatkan diriku untuk menerangkan sifat dan
keadaan kematian kepada kalian.2 Anggapan seperti inilah yang membuat
manusia lengah mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah mati.
Al-Qur`ân menamai kematian antara lain dengan al-yaqîn (keyakinan),
“Sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu al-yaqîn (QS. al-Hijr: 99).
Kematian adalah keyakinan, karena ia merupakan sesuatu yang pasti, tidak
disertai secuil keraguan pun. Jika ditanyakan kepada seseorang tentang
kehadiran al-maut, tidak seorang pun meragukannya. Setiap saat kematian
terlihat, walau banyak pula orang yang lengah menyangkut kedatangannya.
Sebaliknya perubahan sosial yang begitu drastis, menciptakan babak
baru yang semakin menghimpit ekonomi, dan memperparah kehidupan
sosial dan psikologi masyarakat. Hal ini mendorong sebagian anggota
masyarakat melakukan jalan pintas dengan memutus kehidupannya dengan
2
kematian. Dalam banyak kasus bunuh diri, selalu terkait dengan tingkat
depresi (psiko-sosio-ekonomik) yang diderita seseorang, sehingga
membuatnya merasa teralienasi dalam kehidupannya. Alienasi ini tidak
hanya dalam hal penyingkiran sosial, namun juga anggapan bahwa
kehidupan yang dijalaninya sangatlah berat dan begitu jelas derita yang
dirasakan. Sementara kematian merupakan suatu alternatif yang tak pasti,
namun ketidakpastian itu masih dianggap menyimpan sebuah spekulasi atas
keterhindaran dari masalah yang ada dalam hidup.3
Hal lain yang juga masih terkait dengan kematian yang disengaja
adalah euthanasia.4 Dalam era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang medik, kehidupan seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini
seringkali membuat para dokter dihadapkan pada sebuah dilema untuk
memberikan bantuan tersebut apa tidak, dan jika sudah terlanjur diberikan
bolehkah untuk dihentikan. Penghentian pertolongan tersebut merupakan
salah satu bentuk euthanasia.
Persoalan euthanasia merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain
hukum, praktik euthanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan
moral yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia.
Adanya indikasi-indikasi, baik medis maupun ekonomis tidak secara
otomatis melegitimasi praktik euthanasia, mengingat euthanasia berhadapan
dengan faham nilai yang menyangkut hak dan kewajiban menghormati dan
3
Fadila Putra, Perilaku Bunuh Diri Akibat Lemahnya Pembangunan Berbasis Komunitas, dalam Jurnal Keluarga Untuk Hidup Lebih Indah, (Jakarta: Yayasan Keluarga Indonesia, 2007), Vol.1, Nomor 1, hal. 58
4
Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negative, dan biasanya tindakan ini dilakukan oleh kalangan medis. Sehingga dengan hal demikian akan muncul yang namanya euthanasia aktif dan euthanasia pasif.
membela kehidupan. Karena itu sebagian manusia menganggap bahwa
euthanasiatergolong pembunuhan, mengingat kematian menjadi tujuan.
Sementara itu, pengembaraan manusia mencari bermula dari
kematian yang dialami jenisnya terus berlanjut, bahkan sampai kini pun,
manusia belum menemukan jawaban yang tuntas. Apa yang ditemukan lebih
banyak berupa khayalan dan dugaan, baik jalan yang ditempuh dengan jalan
filsafat, ilmu dan teknologi, maupun takhayul dan dongeng. Akal manusia
hingga kini belum puas. Begitu dia menyimpulkan sesuatu yang
dianggapnya jawaban benar, tak lama kemudian ia sadar bahwa yang
ditemukannya cuma fatamorgana.5
Kematian adalah perkara ghaib, tidak memiliki
pendahuluan-pendahuluan yang bisa dikenali atau ditentukan batasnya yang mungkin
untuk disepakati secara ilmiah maupun tradisi. Semua penyakit atau insiden
yang menjadi padanya sebab kematian hanyalah sekedar ragam kondisi yang
kadang terjadi padanya kematian ataupun tidak. Berapa banyak insiden yang
mengerikan yang mengakibatkan sejumlah orang meninggal dunia padanya,
atau tidak meninggal dunia dalam peristiwa yang sama. Seseorang terjatuh
dari tingkat paling tinggi pada salah satu bangunan bertingkat namun tidak
meninggal dunia. Bahkan pesawat terbang jatuh atau terbakar di udara
ternyata di antara para penumpangnya ada yang selamat. Kenapa demikian?
Inilah misteri yang belum terpecahkan hingga sekarang.
Misteri lain yang belum terjawab oleh ilmu manusia adalah persoalan
ruh. Manusia merupakan jasad hidup yang berdenyut padanya kehidupan
ruh berdasarkan perintah Allah SWT dan hanya diketahui oleh-Nya. Ruhlah
5
yang menjadikan manusia mampu menerima, belajar, mengingat, mengerti,
memilih, merasakan keberadaan waktu dan implementasi amanah dan
tanggungjawab serta pengabdian kepada Pencipta yang telah
menciptakannya. Itulah manusia yang diciptakan Allah SWT dari air dan
tanah, yang ditebarkan-Nya padanya kehidupan, dan kemudian Allah
membentuknya. Setelah sempurna penciptaan dan pembentukannya, maka
Allah meniupkan ruh dari “ruh-Nya”, hingga kemudian tercipta sosok
“makhluk lain” yang unik, yang diberi wewenang menjadi khalifah di muka
bumi.6
Kematian yang dialami manusia merupakan perpisahan jasad dengan
ruh yang Allah telah tiupkan padanya, sehingga kematian di luar jangkauan
akal dan pengetahuan manusia, maka al-Qur`ân menggambarkan kejadian
ini untuk manusia bahwa Allah membuka tabir penglihatan manusia saat
akan mati; “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini,
maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka
penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (QS. Qâf: 22).
Al-Qur`ân telah memberikan petunjuk bagi manusia, agar mereka
menyadari diri dan hakekat keberadaan mereka di pentas bumi ini. Juga,
agar mereka tidak terlena dengan kehidupan ini, sehingga mereka tidak
menduga bahwa hidup mereka hanya dimulai dengan kelahiran dan
berakhir dengan kematian. Memahami perjalanan kematian akan
mengajarkan kepada insan yang muslim agar terus berbuat amal saleh dalam
segala hal, baik untuk kemaslahatan dirinya ataupun dengan kehidupan
sosialnya. Semuanya diaplikasikan dalam bentuk amal perbuatannya,
tadabburnya, dan pikirannya.
6
Informasi tentang kematian dan hal-hal yang berhubungan dengannya
telah Allah paparkan di dalam Kitab Suci-Nya Al-Qur’ân. Salah satu di
antara sekian banyak cara yang dapat membantu kepada petunjuk Al-Qur’ân
adalah penafsiran maudlû’î / Tafsir Tematik (penafsiran menurut suatu
tema/subyek/obyek tertentu). Penafsiran semacam ini mengutamakan
mendapatkan jawaban Al-Qur’ân terhadap suatu masalah. Oleh karena itu,
dengan segala kekurangan dan kelemahan penulis serta dengan memohon
taufiq dan hidayah Allah SWT, penulis melalui metode Tafsir Tematik
memilih al-maut (Kematian) sebagai pembahasan tesis, dengan judul al-Maut
Dalam Al-Qur`ân.
Memang secara fakta, kajian tentang al-maut sudah banyak dikaji.
Namun penulis melihat bahwa belum ada suatu kajian yang bersifat tafsîr
maudhû’î yang mengupas tentang permasalahan ini secara concern. Artinya
bagaimana al-Qur`ân berbicara tentang al-maut secara tematik ayat-per ayat
belum penulis temukan. Pembahasan ini menurut pandangan penulis sangat
relevan bukan saja untuk membuka wawasan maut dalam perspektif
al-Qur’ân, tetapi juga memberikan petunjuk bagaimana menghadapi al-maut
dan menggapai kesudahan umur yang baik (husnul khâtimah).
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan pada pokok pemikiran yang telah diungkapkan dalam
latar belakang di atas, maka permasalahan yang muncul dapat dirumuskan
sebagai berikut; Bagaimana konsep al-maut dalam al-Qur’an? Dari masalah
pokok ini akan dibahas beberapa sub masalah; yakni,
1. Apa pengertian al-maut dalam perspektif al-Qur’an, dan pengertiannya
menurut bahasa dan kedokteran?
2. Bagaimanakah wawasan al-Qur’an sekitar permasalahan al-maut ?
Disini penulis hanya membatasi masalah pada ayat-ayat yang memuat
dan menggunakan istilah al-maut (! !!!), al-waf
â
t ( ةﺎ ﻓﻮﻟا ) dan al-imsâ
k( كﺎﺴ ﻣﻻا ).Ayat-ayat yang mengandung pengertian maut, namun tidak secara tekstual
menggunakan istilah-istilah tersebut, bukan termasuk pokok pembahasan
dalam tesis ini, tetapi hanya pendukung dan pelengkap saja.
Pembahasan juga tidak banyak memaparkan kehidupan setelah maut,
baik di alam barzakh, kebangkitan maupun kehidupan akhirat. Penulis
menjelaskannya hanya dalam konteks bahwa maut bukanlah ahir kehidupan,
tetapi hanya pintu masuk ke dalam kehidupan selanjutnya.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan bahwa kematian yang
Allah ciptakan bukan hanya sekedar untuk menakut-nakuti manusia akan
berakhirnya kehidupan mereka di dunia ini, melainkan dapat juga menjadi
motivasi untuk berbuat kebaikan dan meraih kesuksesan di kehidupan dunia
dan akhirat, karena ayat-ayat yang membicarakan tentang kematian dapat
mengantarkan pembacanya kepada tauhid dan kesadaran akan kehidupan
setelah mati.
Disamping itu, tujuan yang tak kalah pentingnya dari tujuan di atas
adalah menggali petunjuk dan tuntunan al-Qur’an untuk mengggapai husnul
khâtimah (ahir kehidupan yang baik) dan menghindari sŭul khâtimah (ahir kehidupan yang jelek).
Penelitian ini akan sangat berguna sebagai pedoman aplikatif
menghadapi kematian sesuai petunjuk al-Qur’an, karena setiap ayat yang
D. Kajian Pustaka
Beberapa buku yang membahas tentang kematian cukup banyak, di
antaranya;
1. Sayyid Salamah al-Saqqa, Asrâr al-maut wa al-Hayât wa al-Rûh wa al-Jasad,
edisi Indonesia dengan judul Menguak Rahasia Kehidupan, Kematian,
Ruh, dan Jasad,, diterjemahkan oleh Saefuddin Zuhri, (Jakarta: Cendekia
Sentra Muslim, 2006), Cet.I
2. Muhammad ibn Ahmad ibn Bakr ibn Farrâj Anshârî Khazraj
al-Andalûsî al-Qurtûbî, al-Tadzkirah fî Ahwâl al-Mautâ wa Umûr al-Âkhirah,
edisi Indonesia dengan judul Rahasia Kematian, Alam Akhirat dan Kiamat,
diterjemahkan oleh Abdur Rosyad Shiddiq, Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana, 2004, Cet.II
3. Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian; Mengubah Ketakutan Menjadi
Optimisme, (Bandung: Hikmah, 2005), cet. II
4. al-Sayyid al-Jamîlî, Sakarât al-maut, (Beirut; Dâr wa Maktabah al-Hilâl,
2001), Cet.I
5. Mâhir Ahmad al-Shûfî, al-maut wa ‘Alam al-Barzakh, (Beirut: al-Maktabah
al-‘Ashriyyah, 2004)
6. M. Quraish Shiahab, Perjalanan Menuju Keabadian; Kematian, Surga dan
Ayat-ayat Tahlil, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Menjemput Maut Bekal
Perjalanan menuju Allah SWT, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), cet. III
7. ‘Ali Muhammad Lagha, Rihlah al-maut; Hikmah al-maut wa atsaruhâ fî
I’tidâl al-Hayâh al-Islâmiyyah, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1989), Cet. I
8. Khawaja Muhammad Islam, The Spectacle of Death, (Delhi: Adam
itu Spektakuler, diterjemahkan oleh Abdullah Ali dan Satrio Wahono,
(Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001), Cet.I
9. ‘Umar Sulaimân al-Asyqar, al-Yaum al-Âkhir, al-Qiyâmah al-Shughrâ wa
‘Alâmah al-Qiyâmah al-Kubrâ, (Dâr al-Nafâis, Maktabah al-Falâh), edisi
Indonesia dengan judul Kiamat Sughra, Misteri di Balik Kematian
diterjemahkan oleh Abdul Majid Alimin, (Solo: Era Intermedia, 2005),
Cet.I
10. Abû al-Faraj Abdurrahmân ibn al-Shâlih Syihâbuddîn Ahmad ibn Rajab,
Ahwâl Qubûr wa Ahwâl Ahliha Ilâ Nusyûr, (Beirut: Dâr Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1985), Cet.I. edisi Indonesia dengan judul Kehidupan Alam
Kubur, diterjemahkan oleh Wawan Djunaedi S, S.Ag, (Jakarta: Pustaka
Azam, 2001), Cet.III
11. Jamâluddîn Abû Faraj Ibn Jauzî Qurasyî Taimî Bakrî
Baghdâdî Hanbalî Wa’îdz, Tsabât ‘Inda Mamât, (Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986), cet.I. edisi Indonesia dengan judul Tegar
Menghadapi Ajal, diterjemahkan oleh Wawan Djunaedi S,S.Ag (Jakarta:
Pustaka Azam, 2001), Cet.II
12. Ibrâhîm Muhammad Jamâl, Hayât ba’da maut, (Beirut: Dâr
al-Kitâb al-Arabiy, 1404 H)
13. Al-Ghazâlî, Remembrance of Death and The Afterlife, berdasarkan edisi
Inggris dengan Pendahuluan dan Catatan oleh T.J. Winter,
(Cambridge,UK: The Islamic Text Society, 1989), edisi Indonesia dengan
judul Metode Menjemput Maut; Perspektif Sufistik, diterjemahkan oleh
14. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Al-Rûh li Ibn Qayyim, (Beirut: Dâr
al-Qalam, 1403H), cet.II, edisi Indonesia dengan judul Roh, diterjemahkan
oleh Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2005), cet. XVI
15. ‘Aidh ibn Abdullâh al-Qarnî, Wa Jâ`at Sakrat al-maut bi al-Haqq, (Beirut:
Dâr Ibn Hazm, 2000), Cet. I
16. Saefulloh Muhammad Satori, Mengungkap Tabir Kematian, (Jakarta: Progres,
2005), Cet. I
Sayyid Salamah al-Saqqa dalam buku pertama telah menjelaskan
rahasia kematian dengan panjang lebar, terutama proses kematian setelah
berpisahnya ruh dengan jasad dari sudut pandang ilmu kedokteran.
Sebelumnya ia menjelaskan rasasia kehidupan sel dan kelangsungan Gen
manusia dari zaman ke zaman, meski nenek moyang mereka telah tiada.
Buku ini merupakan salah satu rujukan bagi penulis ketika menjelaskan
ayat-ayat kematian dalam perspektif kedokteran.
Buku kedua al-Tadzkîrah fî Ahwâl al-mautâ wa Umûr al-Âkhirah karya
Imam al-Qurtûbî membahas rahasia kematian, alam akhirat dan kiamat
berdasarkan Al-Qur`ân, Hadits dan Atsar. Sebagai pakar tafsir, beliau
mampu mengetengahkan tema-tema kematian yang didukung ayat-ayat,
beliau juga mampu memperkuat bahasanya dengan hadits dan atsar dengan
panjang lebar, sehingga buku tersebut lebih banyak merujuk kepada hadits
dari pada kepada Al-Qur`ân.
Buku ketiga, Psikologi Kematian; Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme
karya Komaruddin Hidayat memberikan harapan dan optimisme dalam
menghadapi kematian yang oleh sebagian manusia menjadi ‘momok’ yang
menakutkan. Dengan pendekatan psikologi, beliau mampu menggugah jiwa
datang. Untuk mendukung pembahasannya, tidak sedikit menyajikan
cerita-cerita seputar kematian yang membangkitkan optimisme. Buku ini sangat
mendorong penulis untuk membuktikan tesis Komaruddin Hidayat bahwa
kematian dapat menjadi motivasi untuk menumbuhkan sikap optimis dalam
mengarungi kehidupan ini melalui pendekatan tafsir tematik.
Buku keempat, Sakarât al-maut karya al-Sayyid al-Jamîlî menjelaskan
dua pembahasan, pertama; proses sakaratul maut, yaitu saat malaikat
diperintahkan mencabut nyawa hamba dan kedua; pembahasan taubat
sebagai jalan menuju husnul khatimah. Kajian buku yang sangat singkat ini,
sebagaimana pendahulunya al-Qurtûbî, banyak merujuk kepada hadis dan
atsar.
Buku kelima al-maut wa ‘Alam al-Barzakh karya Mâhir Ahmad al-Shûfî,
adalah buku yang sangat relevan dengan kajian penulis, karena dalam
pembahasannya banyak merujuk lepada al-Qur’an, namun ia banyak
mengangkat pembahasan tentang kehidupan setelah mati. Berbeda dengan
kajian penulis yang dibatasi pada pembahasan proses kematian dan
tuntunan menghadapi kematian.
Buku keenam dan ketujuh, Menjemput al-maut, Bekal Perjalanan Menuju
Allah SWT, dan Perjalanan Menuju Keabadian; Kematian, Surga dan Ayat-ayat
Tahlil karya Muhammad Quraish Shihab membahas tentang kematian dan
bekal menuju kehidupan setelah mati. Pembahasannya cukup memadai,
namun kedua buku itu tidak ditulis menurut metode tafsir maudhû`î.
Pembahasan beliau tentang kematian berdasarkan metode tafsir maudhû`î
dipaparkan dalam bukunya Wawasan Al-Qur`ân, namun sangat terbatas
sehingg belum membicarakan tentang kematian secara menyeluruh. Dalam
sehingga –dengan segala kekurangan penulis- jawaban Al-Qur`ân tentang
kematian menjadi lebih fokus, terutama dalam menggapai husnul khâtimah.
Beberapa buku yang membahas tentang kematian cukup banyak,
namun sebagaimana yang penulis kemukakan sebelumnya, sistem
pembahasan, pemetaan mereka tentang ayat-ayat kematian secara tematik
sepanjang pengetahuan penulis masih sangat terbatas.
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan data
Tesis ini ditulis dengan menggunakan metode penelitian kajian
kepustakaan (Library Research); yaitu mencari dan mengumpulkan
berbagai literatur yang relevan. Data-data primer seperti buku-buku tafsir
dan data-data sekunder seperti tulisan-tulisan yang berkaitan dengan
al-maut baik itu berupa artikel, buku atau thesis. Adapun sumber-sumber
utama penelitian ini adalah :
a. AL-Qur’ân dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh Khâdim al-
Haramain Syarîfain Fahd ‘Abd ‘Azîz Sa’ûd, Madinah
al-Munawwarah, bekerjasama dan disyahkan oleh Departemen Agama
republik Indonesia
b. Kitab-kitab tafsir baik yang klasik maupun kontemporer; Dalam hal
ini penulis lebih banyak merujuk kepada tafsir al-Mishbah karya M.
Quraish Shihab dengan pertimbangan bahwa al-Mishbah merupakan
tafsir kontemporer -yang menurut hemat penulis- sangat
representatif mengangkat kondisi dan masalah kekinian. Namun
demikian ia mampu memaparkan pendapat ulama tafsir klasik
pemikiran klasik dengan tetap terbuka untuk menerima pemikiran
kontemporer yang lebih mashlahat.
c. Kamus bahasa Arab Lisân al-‘Arab karya Ibn Manzhûr (1232-1311 H)
d. Kamus bahasa Arab Mu`jam Alfâzh al-Qur`ân karya Abû al-Qâsim
Abû al-Husayn bin Muhammad al-Râghib al-Ashfahâni (w. 502 H).
e. Kamus bahasa Arab Mu’jam Maqâyîs Lughah karya Abî
al-Hussain Ahmad bin Fâris.
f. Al-Mu`jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur`ân al-Karîm karya
Muhammad Fu’âd Abd al-Bâqî.
2. Metode Pembahasan
Metode pembahasan dalam tesis ini adalah “deskriptif analitis”,
yaitu mendiskripsikan data-data yang ada, baik data-data primer maupun
sekunder, kemudian menganalisanya secara proporsional. Metode
pembahasan yang digunakan merupakan ilmiah analisis. Yaitu
menggunakan langkah tersusun agar dapat mencapai pengungkapan
hakekat dan kejelasannya, dengan cara membagi masing-masing menurut
bagian-bagiannya dan mengembalikan sesuatu ke unsur pembentukannya.
Sumber data dari penelitian ini adalah ayat-ayat al-Qur`ân. Oleh
karena itu pendekatan yang dipilih adalah pendekatan ilmu tafsir. Ilmu
tafsir mengenal beberapa corak atau metode penafsiran yang
masing-masing mempunyai ciri khas. Hingga saat ini, sekurang-kurangnya ada
tahlîlî, metode muqarîn, metode ijmâlî dan metode mawdhû`î.7 Dalam
penelitian ini penulis menggunakan metode mawdhû`î.8
Tafsir mawdhû`î, adalah suatu metode tafsir yang berusaha mencari
jawaban al-Qur`ân tentang tema tertentu, maka tafsir ini juga dinamakan
tafsir tematik. Cara kerja metode ini ialah menghimpun seluruh ayat yang
berhubungan dengan tema yang dimaksud, kemudian menganalisanya
lewat ilmu-ilmu bantu yang relevan dengan masalah yang dibahas, yang
pada akhirnya melahirkan konsep yang utuh dari al-Qur`ân tentang tema
tersebut.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam tafsir mawdhû`î. adalah
sebagai berikut :
1. Menetapkan al-maut sebagai tema
2. Mengumpulkan ayat-ayat al-Qur`ân yang menyebut term al-maut.
3. Merumuskan makna al-maut dari ayat-ayat tersebut dengan mencari tafsir pada ayat-ayat yang lain atau dari munasabahnya dengan ayat sebelum dan sesudahnya, dalam hal ini disebut tafsir al-Qur`ân dengan al-Qur`ân.
7 ‘Abd al-Hayy al-Farmawî, a
l-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Mawdhû`î: Dirâsât Manhâjiyyah Mawdhû`iyyah, (Kairo: Maktabah Jumhûriyyah Mishriyyah, 1977), cet. Kedua, h. 23
8
Setiap metode memiliki kelebihan dan kelemahan, tetapi perkembangan metodologi tafsir menunjukkan adanya usaha yang dilakukan secara terus menerus untuk memahami pesan al-Qur`ân. Metode tahlîlî memusatkan usahanya pada membedah masalah pada setiap ayat, sehingga perhatiannya kurang dalam merumuskan gagasan umum al-Qur`ân. Metode tafsir muqarîn
4. Bila dibutuhkan, penulis mencari keterangan pada hadits-hadits Nabi yang mendukung penafsiran suatu ayat.
5. Penulis membandingkan penafsiran itu dengan penafsiran yang telah dilakukan oleh para mufassir terdahulu dan tidak menutup penafsiran-penafsiran dari para ulama zaman sekarang.
6. Penulis memberi analisa dan kesimpulan terhadap penafsiran ayat-ayat tersebut.
3. Sistem Penulisan
Acuan umum penulisan tesis disesuaikan dengan buku Panduan
Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
tahun ajaran 2007.
F. Sistimatika Penulisan
Untuk memperjelas pembahasan tesis ini, selanjutnya penulis
memaparkan rencana sistematika penulisan yang akan dijabarkan berikut ini:
BAB I : pendahuluan yang memuat tentang latar belakang masalah,
rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, kajian
pustaka, , metodologi penulisan, serta sistematika penulisan.
BAB II : pengertian al-maut atau mati sangat beragam, tergantung
konteks pembicaraannya, baik dalam bahasa Indonesia, Arab maupun dalam
al-Qur`ân, untuk itu dalam bab ini diuraikan tentang pengertian al-maut
menurut istilah kebahasaan, dan kapan suatu jiwa dinyatakan mati menurut
ilmu kedokteran serta dijelaskan pula tentang term-term maut dalam
al-Qur`ân.
BAB III : wawasan al-maut dalam al-Qur`ân, yakni suatu uraian
tentang hikmah penciptaan al-mautdan prosesnya bagi setiap jiwa, serta
hikmah al-maut, hubungan antara ajal dan al-maut, penjelasan tentang ruh
atau jiwa, sakarat, malaikat al-maut dan proses al-maut bagi orang beriman
dan orang kafir. Bab ini ditutup dengan pembahasan tentang euthanasia
menurut al-Qur`ân
BAB IV : tuntunan al-Qur`ân dalam menyikapi al-maut; yakni suatu
uraian tematik dengan mengambil pokok bahasan ayat-ayat yang memuat
kata al-maut dan kata jadiannya. Bab ini dibagi menjadi dua sub, yakni
menggapai khusnul khatimah dan mengetahui amalan yang menyebabkan
su’ul khatimah.
BAB V : yaitu bab penutup, penulis menarik kesimpulan dari isi tesis
ini secara keseluruhan sebagai penegasan terhadap permasalahan yang
dikemukakan serta memberikan saran-saran dan diakhiri dengan daftar
BAB II
PENGERTIAN DAN TERM-TERM
AL-MAUT
A. Pengertian al-Maut Menurut Kebahasaan
Sebelum menggali petunjuk al-Qur`ân tentang kematian, dan untuk
memahami makna kematian yang Allah telah tetapkan bagi makhluk-Nya,
diperlukan pemahaman tentang arti kematian menurut bahasa dan ilmu
kedokteran.
Kehidupan dan kematian bertentangan seperti pertentangan cahaya
dan kegelapan, dingin dan panas. Karena itu kamus-kamus bahasa Arab
mendefinisikan salah satu dari keduanya dengan lawan kata bagi yang lain.
Pengertian al-maut atau mawatan atau muwat menurut bahasa Arab, berasal
dari kata
!!!!!º !! !!! ! º ! !! !º !
yang berarti lawan kata dari hayat (hidup).Sedangkan menurut al-Azhari dari al-Laitsi; bahwa al-maut merupakan
makhluk Allah SWT. Sibawih mengelompokkan al-maut ke dalam fi’il mu’tal
yang aslinya adalah
!! Ê
!!!
menurut wazan!! !!ƒ!!!!!! Ê
!!!!
1Al-maut merupakan bentuk mashdar dari
!!º !!!!! !!!! !!
dan menurutal-Jauhari dari al-Farra’; bentuk fa’il dari al-maut adalah
!!! º !!!!!!!! !!!!!!! !!!
berarti orang yang telah mati atau yang akan mati sebagaimana firman Allah
SWT:
!! !!!!!!!!!! !!!!Ê
!!!!!! !!!!!!! !!Ê
!
dan bentuk jama’-nya! !!!!!!!! !!!!!!!!! !!!!!!!! !!!!!
.Bentuk muannats dan mudzakkar memiliki satu bentuk, hal ini menurut
al-Zajjâj seperti firman Allah SWT:
!!º !!!!!!
!
!!!!! º ƒ!
!!!!Ê
!º Ê
!!!! Ê
!!! !!Ê
!
tidak dikatakan!!º !!!!!
.2Pengertian al-maut sangat beragam sebagaimana diterangkan di atas, al-maut
juga dapat digunakan untuk hal-hal yang memberatkan seperti; kefakiran,
1
Muhammad ibn Mukram ibn Manzhûr al-Afriqî al-Mishrî, Lisân al-‘Arab, (Bairut: Dâr Shâdir, tt), jilid 6, h. 4294
2
kehinaan, minta-minta, lanjut usia, ma’shiat, sebagaimana dalam riwayat
!! !!!
!!!! !º !!!!! !º !!! º !
(makhluk yang pertama mati adalah Iblis) karena dialah yang pertama kali berma’shiat kepada Allah SWT.3Ibn Zakariyyâ mengartikan kata al-maut secara bahasa sebagai
“Hilangnya kekuatan dari sesuatu, dan hilang itu berarti mati; lawan katanya
adalah hidup (hayy). Ia mendasari pengertian kepada kandungan makna
sebuah hadist : “Siapa yang memakan (buah) dari kayu yang tidak baik ini,
jangan dekati masjid kami. Jika terpaksa juga memakannya, maka
kekuatannya hendaknya dimatikan (dihilangkan)..”4
Al-Jurjânî memberikan pengertian al-maut dalam Ta’rîfat-nya dengan;
memaksa dan memalingkan hawa nafsu dari semua keinginannya, maka
barangsiapa yang mematikan hawa nafsunya maka sungguh ia telah hidup
dengan petunjuk Allah SWT.5 Lebih lanjut al-maut dibagi menjadi 4 macam,
sebagai berikut:
a. Al-maut al-Abyadh; adalah lapar, karena lapar menerangi batin, dan
memutihkan wajah hati, barangsiapa mati perutnya maka hidup
kecerdasannya.
b. Al-maut al-Ahmar; adalah memalingkan keinginan nafsu
c. Al-maut al-Ahdhar; berpakaian dengan baju tambalan yang tak berharga,
karena hidupnya penuh dengan sifat qanâ’ah (merasa cukup dengan apa
yang dikaruniakan Allah SWT)
3
Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, h. 4296
4
Abû Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyyâ, Mu’jam al-Maqâyîs fî al-Lughah, Baerut: Dâr al-Fikr, 1994), h. 968
5
d. Al-maut al-Aswad; sabar menghadapi perlakuan makhluk, dan lebur ke
dalam kekuasaan Allah SWT karena menyaksikan siksaan dari-Nya, dan
melihat leburnya af’âldalam af’âl Kekasihnya Allah SWT.6
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, maut atau mati berasal dari akar
bahasa Arab. Kata ini diartikan dengan mati yang berarti: sudah hilang
nyawanya, tidak hidup lagi, tidak bernyawa, tidak berair; sumur itu sudah
mati, tidak berasa lagi; kulit ini mati, dan banyak lagi pengertian mati dalam
bahasa Indonesia.7 Kata Mati merupakan lawan dari hidup yang berati:
masih terus ada, bergerak, dan bekerja sebagaimana mestinya.8
Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan bahwa maut atau mati adalah;
Terpisahnya roh dari zat, psike dari fisik, jiwa dari badan, atau yang ghaib
dari yang nyata; keluarnya roh dari badan atau jasmani.9
Banyak pengertian tentang hakekat mati, menurut kepercayaan orang
atau menurut ilmu pengetahuan, a.l.: 1). Menurut orang yang tidak
beragama, mati berarti akhir hidup, dan tak ada kelangsungannya setelah
mati. 2). Menurut orang yang beragama, mati berarti permulaan hidup baru
yang kekal. 3). Bagi ilmu kedokteran, mati adalah jika keadaan manusia atau
binatang, alat badannya itu tidak dapat menjalankan fungsinya lagi. Tanda
mati menurut ilmu kedokteran, ialah lemban mayat (hypostace) yang terjadi
karena turun sebagian badan yang paling rendah dan membeku disana,
kaku mayat (rigor mortis). Jika pasien tidak kedengaran bernafas lagi dan
6
Al-Jurjânî, Kitâb al-Ta’rîfat, hal. 304
7
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka. 1988). h. 638
8
Departemen Pendidikan..., Kamus Besar..., h. 350
9
jantungnya tak terasa berdenyut, maka hal itu belum berarti mati, karena
gejala demikian juga terjadi pada orang pingsang nyenyak, tetapi memang
ada bahagian tubuhnya yang mati. Mati adalah perpisahan tubuh kasar
dengan tubuh halus yaitu jiwa. Tubuh kasar kembali kepada asalnya yaitu
tanah, dan jiwa terus berada ke alam kubur. Mati adalah sesuatu yang harus
dialami oleh setiap manusia dan makhluk yang hidup, dimana dan bilapun
terjadi.10
Pengertian kebahasaan ini tidak sepenuhnya sama dengan pengertian
kedokteran maupun menurut penggunaan al-Qur’ân. Ini didasari atas asumsi
bahwa ruang lingkup pengertian maut lebih luas dari sekedar pemaknaan
tekstual, Tesa ini dapat dibuktikan jika penggunaan term maut dalam
al-Qur’ân dikaji dan dianalisa dengan seksama.
B. Pengertian al-Maut Menurut Kedokteran
Menurut standar tradisional, seorang manusia dikatakan mati apabila
jantung dan paru-parunya berhenti berfungsi. Dalam beberapa kasus,
kegagalan jantung dan paru-paru didahului oleh adanya kehilangan
kesadaran secara permanen. Namun jarak antara dua kejadian ini bisa
berjam-jam atau berhari-hari, dan standar tradisional hanya
memperhitungkan yang sampai berhari-hari saja.11
Saat ini lima puluh negara bagian Amerika dan distrik Colombia
mengikuti Uniform Determination of Death Act (UDDA) atau
Undang-Undang Keseragaman Penetapan Kematian dalam mengakui whole-brain
10
Mochtar Efendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, (Universitas Sriwijaya, Palembang: cet. I, buku-3), hal. 390
11
death atau kematian otak secara keseluruhan -kegagalan permanen semua
fungsi otak secara keseluruhan– sebagai standar kematian yang legal. UDDA
tidak membuang standar jantung dan paru-paru. Bahkan ia menetapkan
bahwa kematian terjadi kapanpun salah satu standar tersebut terpenuhi.
Salah satu konsekuensi perubahan ini adalah bahwa seorang individu dapat
dikatakan mati secara resmi meskipun sistem jantung dan paru-parunya
terus berfungsi. Jika keseluruhan otak seorang pasien tidak berfungsi
sehingga pernapasan dan detak jantung dipertahankan oleh alat bantu
buatan, pasien tersebut telah memenuhi kriteria standar kematian otak secara
keseluruhan.12
Charles Culver dan Bernard Gert telah membantu mendefinisikan
kematian dalam perspektif biologis adalah sebagai “kegagalan permanen
fungsi organisme secara keseluruhan.” Frase “organisme secara keseluruhan”
tidak berarti secara literal sebagai keseluruhan organ (karena kehilangan
lengan atau limpa misalnya, tidak berarti mati); ia merujuk pada fungsi
integratif kebanyakan atau semua sub sistem yang penting. Secara kasar,
inilah arti utama “kematian” dilihat dari perspektif biologis.13
Para ilmuwan dalam bidang kedokteran telah mampu menyelam di
kedalaman sel, menyaksikan banyak sekali detail-detail sel hidup,
memberikan gambaran untuk kita banyak hal yang terjadi di dalam inti sel
hidup dan di dalam materi cytoplasm yang mengitari sel, berupa
proses-proses pembangunan, penghancuran, pelepasan energi, penyimpanan energi,
kosumsi untuk pembakaran dan tata cara selamat dari meteri-materi
12
DeGrazia, Biology, Consciousness…, h.1
13
berbahaya, bagaimana memerangi penyerang yang berasal dari makhluk
hidup yang lain, serta melawan racun dan lain sebagainya. Padahal
misteri-misteri itu masih banyak sekali, hal-hal yang gaib tidak pernah berakhir, dan
tanda tanya semakin bertambah saat kajian semakin jauh, sementara rahasia
kehidupan tetap miterius dan masalah gaib tanpa bisa diketahui kecuali oleh
Allah SWT.14 Pembahasan kematian juga merupakan hal yang belum dapat
digapai oleh ilmu pengetahuan. Dan memang sangat mustahil sekali, sebab
hal ini adalah kajian yang tidak bisa dijangkau akal dan tidak tunduk kepada
eksperimen.
Ketika raga kehilangan ragam manifestasi kehidupan dari perasaan,
respon serta gerakan, dan berhentinya organ-organnya dari fungsinya secara
otomatis, saat itulah dapat dipastikan berlakunya penetapan kematiannya
oleh kalangan dokter, demikian menurut Sayyid Salamah al-Saqqa.15
Untuk meyakinkan terjadi kematian, biasanya para dokter berpegang
pada beberapa tanda yang menandakan terhentinya berbagai aktifitas
beberapa organ tubuh. Di antaranya adalah: berhentinya detak jantung dan
aliran darah yang ditandai dengan hilangnya denyut nadi. Begitu pula
dengan denyut jantung yang apabila terjadi dan dipotong salah satu urat
nadi, maka darah tidak akan memancar darinya, karena tidak adanya aliran
darah atau darahnya hanya akan mengalir setetes demi setetes saja tanpa
pancaran. Adapun terhentinya organ pernafasan dari fungsinya dapat
dikenali melalui terhentinya gerakan nafas secara penuh, sekiranya tidak
14
Sayyid Salamah al-Saqqâ, Asrâr al-Maut wa al-Hayât wa al-Rûh wa al-Jasad, edisi Indonesia dengan judul Menguak Rahasia Kehidupan, Kematian, Ruh, dan Jasad,, diterjemahkan oleh Saefuddin Zuhri, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2006), Cet.I, hal.100
15
memungkinkan untuk mengamati gerakan apapun di dada atau perut,
terkadang digunakan potongan kecil kapas yang diletakkan di depan lubang
hidung, dalam upaya mengintai adanya gerakan udara yang keluar masuk,
atau cermin diletakkan di hadapan lubang hidung sekiranya memungkin
untuk mengamati adanya uap air yang keluar dari hidung bersamaan
dengan udara yang dihembuskan jika masih ada bekas dari berbagai gerakan
nafas.
Sementara terhentinya aktivitas organ saraf dan otot menampakkan
ciri-ciri berbeda lainnya guna memastikan tidak adanya lagi respon tubuh
terhadap berbagai rangsangan, baik secara sadar atau refleks. Pupil mata
melebar dan tidak terpengaruh oleh cahaya dan seluruh otot pun
mengendor. Dengan itu kerutan muka akan menjadi tersembunyi, pelipis
mengempis, rahang bawah akan menganga, kedua mata tetap terbuka dan
kehilangan rasa hingga tidak berkedip saat didekatkan benda apapun atau
hingga disentuh bola mata atau korneanya dengan jari. Kornea mata menjadi
gelap, seluruh otot tubuh menjadi lunak saat ditekan dan tidak ada pantulan
darinya. Ketika kedua mata ditekan, tempat yang disentuh menjadi lunak
dan bentuk organ-organ mata berubah saat ditekan.16
Sedang suhu tubuh yang bisa diukur melalui anus pada kondisi
demikian mulai menurun setelah kematian datang. Penurunan itu terus
berlanjut dalam standar tertentu yang ikut berpengaruh padanya beberapa
faktor yang banyak, diantaranya: tingkat panas tubuh mayit sebelum
kematiannya, suhu udara serta apa yang ada di sekitar mayit berupa selimut
dan lain-lain, postur tubuh mayit secara fisik, umurnya dan sebagainya. Pada
16
kondisi normal suhu tubuh berkurang dari 100° sebanyak 1,5° setiap per jam.
Hal itu berlangsung selama enam jam berikut setelah kematian. Kemudian
ukuran itu berkurang untuk menjadi 1° dari seratus persen setiap enam jam
hingga tingkat suhu tubuh mayit menjadi sama dengan tingkat suhu normal
yang mengelilinginya. Pengukuran suhu tubuh mayit membantu para dokter
dalam menentukan jangka waktu yang telah berlalu sejak kematian,
disamping beberapa tanda dan isyarat-isyarat yang lain.17 Setelah
kematiannya, jasad tidak akan tetap pada kondisinya semula, tetapi akan
melalui beberapa tahap perubahan secara gradual hingga berakhir menjadi
tanah.
Konsep mati dari segi kedokteran tampaknya mempunyai beberapa
nama. Nama-nama tersebut antara lain ‘mati sosial’,18 ‘mati murni,19 dan
‘mati tenang’. Penamaan-penamaan tersebut diberikan berdasarkan keadaan
atau penyebab (proses)20 kematian itu. Nama mati sosial diberikan kepada
seseorang yang sebenarnya masih hidup, namun karena yang bersangkutan
tidak mampu lagi mecerna keadaan lingkungannya, maka disebutlah sebagai
17
al-Saqqâ, Asrâr al-Maut..., h. 234-236
18
Guno Semekto dalam Majalah Panji Masyarakat “Membunuh Pasien Menjelang Sekarat”, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, No.612, tgl.21-31 Mei 1989), h. 19
19
H. Subki Abdul kadir dalam Majalah Panji Masyarakat...., h.21
20
orang mati. Nama mati murni diberikan kepada seseorang yang meninggal
dunia dan kematiannya itu dipandang wajar tanpa campur tangan orang lain
termasuk dokter.
Adapun mati tenang diberikan kepada seseorang yang mati atau
meninggal karena kesengajaan. Kematian seperti itu biasanya disebut sebagai
the mercy killing yaitu suatu pembunuhan karena belas kasihan. Pembunuhan
itu sendiri dalam bidang kedokteran disebut sebagai euthanasia.21
Data survey mengungkapkan beberapa hal yang memotivasi
permintaan PAS/Physician-Assisted Suicide (bunuh diri dengan bantuan
dokter) ini. Pada umumnya, gejala fisik sangat jarang menjadi motivasi
utama atau satu-satunya dibalik permintaan ini. Malahan, nilai-nilai
individulah yang lebih utama. Dalam sebuah penelitian terhadap 100 pasien,
yang mempertimbangkan PAS adalah mereka yang kurang religius, tinggi
nilai keputusasaaannya, dan memiliki rasa kurangnya kualitas hidup.
Pasien-pasien seperti ini tidak berbeda dalam tingkat rasa sakit dan penderitaannya,
tingkat ketidakmampuan, dukungan sosial, penggunaan alat rawat rumah
sakit, atau frekuensi depresinya dibandingkan dengan mereka yang tidak
mempertimbangkan PAS.22
21
Menurut Veronica Komalawati, Euthanasia dibagi atas 3 macam, 1). Euthanasia yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga kesehatan, untuk memperpendek dan mengakhiri hidup pasien. Misalnya, dengan memberikan tablet sianida atau dengan menyuntikan zat-zat mematikan kedalam tubuh pasien. 2). Euthanasia pasif yaitu tindakan dokter secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya, tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernafasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat. 3). Autoeuthanasia yaitu pasien yang menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah penyataan tertulis, dengan demikian autoeuthanasia pada dasarnya adalah Euthanasia pasif atas permintaan. www.kompas.co.id/kompas-cetak. malpraktik UU Nomor 29 Tahun 2004, Tentang Praktek Kedokteran.
22
Di Washington, 828 dokter melaporkan bahwa pasien yang meminta
PAS menyoroti issue seperti kehilangan kontrol, perasaan menjadi beban,
menjadi tergantung pada orang lain untuk perawatan pribadi, dan
kehilangan martabat sebagai hal-hal yang memotivasi permintaan tersebut.
Rasa sakit yang tidak terkontrol dan tekanan keuangan sangat jarang menjadi
faktor utama.23
C. Term-term al-Maut dalam al-Qur`ân
Bahwa al-Qur’ân diturunkan dalam bahasa Arab ditegaskan sendiri
oleh al-Qur’ân. Sebanyak enam kali muncul ungkapan qur’ân ‘arabiyy
(al-Qur’ân yang berbahasa Arab)24 dan tiga kali dengan ungkapan lisan ‘arabiyy
(dengan bahasa Arab)25 dalam al-Qur’ân.
Salah satu keistimewaan bahasa Arab yang dipilih oleh Tuhan menjadi
bahasa al-Qur’ân adalah ungkapan-ungkapannya yang singkat tetapi padat
serta kaya dengan isi dan makna yang dalam. Variasi bentukan kata-katanya
sangat berpola. Setiap bentukan mempunyai makna dan pesan khas yang
berbeda dengan bentukan lainnya meskipun berasal dari kosa kata yang satu
dan kendatipun terjemah harfiahnya sama.26
Hal ini juga dapat ditemukan ketika membahas tentang kematian atau
al-maut. Dengan metodenya yang sangat beragam, Al-Qur`ân memberikan
gambaran yang baik tentang kematian yang dialami oleh setiap makhluk
hidup.
23
DeGrazia, Biology, Consciousness…, h. 77
24
Lihat, QS. Thâhâ: 113; QS. Zumar: 28; QS. Fushshilat: 3; QS. Syûrâ: 7; QS. al-Zukhruf: 3, dan Yûsuf: 2.
25
Lihat, QS. QS. al-Nahl; 103; QS. al-Syu’arâ’: 195 dan QS. al-Ahqâf: 12.
26
Istilah al-maut dengan segala perubahannya dipergunakan sebayak
kurang lebih 138 kali dalam al-Qur`ân, demikian menurut Muhammad Fuâd
‘Abd al-Bâqî.27 Sementara pakar memperkirakan tidak kurang dari tiga
ratusan ayat yang berbicara tentang berbagai aspek kematian dan kehidupan
sesudah kematian kedua.28 Term al-maut dalam al-Qur`ân muncul dalam
beberapa kata jadian (isytiqâq), untuk lebih jelasnya penulis gambarkan
dalam bentuk tabel sebagaimana terlampir.
Keindahan dan kekayaan struktur bahasa al-Qur’ân dapat diamati dari
banyak ayat pada tabel dalam lembar lampiran, hal ini mengindikasikan
betapa besar perhatian al-Qur’ân terhadap al-maut. Penulis mencoba
mengumpulkan dan menganalisa term al-maut dalam al-Qur’ân, serta
bagaimana kata tersebut digunakan al-Qur’ân dari sudut pemaknaannya,
antara lain sebagai berikut:
1. Al-Maut Berarti Ketiadaan Hidup di Dunia
! Ê
! !!!
memahami mati dalam arti ketiadaan wujud. Yang memahami demikian
memahami ayat di atas dalam arti Allah menciptakan sebab-sebab
kematian. Menurut Quraish Shihab, kalaupun kematian diartikan dengan
ketiadaan, maka itu hanya berarti ketiadaan di pentas bumi ini.29
Ayat-ayat al-Qur`ân dan Hadis Nabi menunjukkan bahwa al-maut
bukanlah ketiadaan hidup secara mutlak, tetapi ia adalah ketiadaan hidup
di dunia, dalam arti bahwa manusia yang meninggal pada hakikatnya mendapat rezki (QS. Âli ‘Imrân: 169)
!! !!
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya (QS. al-Baqarah: 154)
Melalui ayat Âli ‘Imrân ini, Al-Qur`ân menanggapi cemoohan dan issu
kaum munafikin yang diisyaratkan oleh ayat sebelumnya. Ayat ini
memberikan informasi bahwa keadaan mereka yang gugur di jalan Allah,
mempertahankan atau memperjuangkan nilai-nilai Ilahi. Janganlah
engkau yakin bahwa mereka telah mati dan punah, sekarang ini bahkan
mereka itu hidup dengan kehidupan yang berbeda dengan kehidupan
manusia yang masih hidup di dunia, karena hidup mereka di sisi Tuhan
29
mereka yang Maha Agung dalam keadaan dianugerahi rezeki yang sesuai
dengan alam tempat mereka kini berada dan sesuai pula dengan nilai
perjuangan mereka dan kebesaran serta kemurahan Allah SWT.30
Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya ruh dari badan,
merupakan sebab yang mengantar manusia menuju kenikmatan abadi.
Kematian adalah perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain,
sebagaimana diriwayatkan bahwa, “Sesungguhnya kalian diciptakan
untuk hidup abadi, tetapi kalian harus berpindah dari satu negeri ke
negeri yang lain sehingga kalian menetap di satu tempat”.31
Imam Bukhârî meriwayatkan melalui sahabat Nabi al-Barrâ’, bahwa
Rasulullah SAW bersabda ketika putra beliau, Ibrâhîm, meninggal dunia,
“Sesungguhnya untuk dia (Ibrâhîm) ada seseorang yang menyusukannya
di surga”.32
manusia pasti memasukinya, dan setelah pintu itu pasti ada rumah yang
akan dihuni selamanya.
Oleh karena itu, sangat tepat penggunaan bahasa Indonesia kepada
seseorang yang telah dijemput al-maut dengan ucapan “meninggal
dunia”, karena pada hakekatnya ia tidak binasa bersama jasadnya dalam
30
Shihab, Tafsir al-Mishbah…, hal. 276
31
Shihab, Wawasan al-Qur`ân…, hal. 73
32
tanah, ia hanya meninggalkan kehidupan dunia ini menuju alam lain
yang belum kita merasakanya. Karena kematian jiwa adalah terpisahnya
jiwa itu dari badan dan keluarnya dari sana.33
2. Al-Maut dalam Pengertian Tidur membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan. Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat- malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya” (QS. al-An’âm: 60-61)
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir” (QS. al-Zumar:42)
Kedua surat dan ayat di atas menjelaskan tentang wafat atau
kematian. Disebutkan dalam surat al-An’âm wafat kecil kemudian wafat
besar, sedangkan dalam al-Zumar disebutkan wafar besar terlebih
33
dahulu kemudian wafat kecil. Hal ini mengisyaratkan bahwa kedua
wafat ini berkumpul dalam jiwa manusia.34 Maksud dari wafat kecil
adalah tidur dan wafat besar adalah al-maut.
Pakar tafsir Baidhâwî menulis ketika menafsirkan ayat 42 dari
al-Zumar, bahwa nafs berpisah dengan jasmani manusia pada saat
kematiaannya dengan pemisahan yang sempurna. Pada saat tidur,
pemisahannya tidak sempurna. Karena itu nafs bagi yang tidur kembali
ke wadah yang menampungnya sampai tiba masa pemisahannya yang
sempurna, yakni kematiannya.35 Itu sebabnya bila kematian tiba, hilang
gerak, rasa, dan tahu/ kesadaran dari tubuh makhluk hidup akibat
perpisahan yang sempurna itu. Ini karena potensi yang memerintahkan
bergerak, yang merasa dan tahu telah meninggalkannya. Sedang pada
orang tidur, karena perpisahab nafs dengan badan belum sempurna,
maka yang hilang darinya hanya unsur kesadaran itu saja. Sebagian
gerak, yakni yang bukan lahir dari kehendak dan kontrolnya, demikian
juga sebagian rasa, masih menyertai yang tidur.36
Rasulullah SAW pun dalam sekian sabda beliau mempersamakan
antara mati dan tidur. Salah satu doa yang diajarkan ketika bangun tidur
adalah:
34
Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Damasyqî, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, (Bairut: Dâr al-Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1999), cet. II, hal. 463
35
Nâshiruddîn Abû Sa’îd Abdullah ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Baidhâwî, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, (Bairut: Dâr Shâdir, tt), juz 5, h. 29
36
!!!!!!! !!
ketika bangun membaca, “Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kebangkitan” (HR. Bukhâri)Yang dimaksud dengan menghidupkan adalah membangunkan dari
tidur, sedang mematikan adalah menidurkan. Walaupun mati serupa
dengan tidur, dan tidur dinilai nyaman, tetapi tidur tidak selalu
demikian. Saat tidur ada mimpi-mimpi yang dapat menjadikan tidur
lebih nyaman dan yang bersangkutan terbangun optimis, serta ada juga
yang mengerikan yang menjadikan seseorang risau dan gundah.
Demikian juga mati, walaupun tentu saja apa yang dialami saat mimpi
tidak merupakan kenyataan yang riil, sedang yang dialami pada saat
kematian adalah kenyataan yang sebenarnya.38
Allah memberitahukan, bahwa kedua jiwa yang dipegang dan dilepas
itu “mati dalam arti “tidur”, sedang jiwa yang mati dengan kematian
sebenarnya, ia adalah bagian ketiga, adalah yang didahulukan oleh-Nya
dengan firman-Nya, Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya
(al-Zumar: 42). Allah menyebut dua kematian dalam ayat tersebut; kematian
37
Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî…, juz 19, h. 374
38
yang berarti mati dan kematian yang berarti tidur. Allah juga menyebut
penahanan jiwa yang dimatikan dan pelepasan yang lain.39
Telah dimaklumi bahwa Allah menahan setiap jiwa yang mati, baik ia
mati dalam tidur atau sebelumnya, dan melepas orang yang belum mati.
Firman-Nya, Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya (al-Zumar:
42) mencakup jiwa yang mati dalam jaga dan jiwa yang mati dalam tidur
maka ketika menyebut kematian Dia menyebutkan bahwa
ditahan-Nyalah keduanya dalam salah satu kematian dan melepaskannya dalam
waktu yang lain.40
Tidur mirip kematian. Karena itu, ulama menamainya “kematian kecil”.
Tidur adalah kematian dan bangun dari tidur adalah kebangkitan serta
hidup kembali.
3. Al-Maut dalam Pengertian Belum Ada Wujud
!! !!!!
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?” (QS. al-Baqarah: 28)
Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini, menjelaskan; Bagaimana
bisa, indra kamu yang mana yang menjadikan kamu terus-menerus kafir
kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, yakni tidak berada di pentas
bumi ini kemudian Dia menghidupkan kamu di permukaan bumi ini,
kemudian Dia mematikan kamu dengan mencabut nyawa kamu
sehingga kamu meninggalkan pentas bumi ini, kemudian Dia
39
‘Umar Sulaiman al-Asyqar, Yaum Âkhir, Qiyâmah Shughrâ wa ‘Alâmah al-Qiyâmah al-Kubrâ, (Bairut: Dâr al-Thayyibah li al-Nasyr wa al- Tauzî’, 1999), h. 23
40