• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zarkasi Al Maut Dalam Al Quran (kajian Tafsir Tematik)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Zarkasi Al Maut Dalam Al Quran (kajian Tafsir Tematik)"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

AL-MAUT DALAM AL-QUR’AN

Kajian Tafsir Tematik

Disajikan oleh:

ZARKASI

NIM: 01.2.00.1.05.01.0149

Sekolah Pascasarjana Konsentrasi Tafsir Hadis

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

(2)

AL-MAUT DALAM AL-QUR’AN

Kajian Tafsir Tematik

Tesis

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana untuk

Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Magister

Oleh:

ZARKASI

NIM: 01.2.00.1.05.01.0149

Di Bawah Bimbingan:

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA

Dr. A. Wahib Mu’thi

Sekolah Pascasarjana Konsentrasi Tafsir Hadis

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

(3)

PERSEMBAHAN

Untuk Ruh Bapak saya H. Afifi … yang senantiasa berdoa pada masa akhir hayatnya; “Ya Allah, ringankanlah sakaratul maut bagiku, jadikan akhir hidupku khusnul khatimah dan tidak menjadi beban bagi istri dan anak-anakku.”

Kami bersyukur kepada Allah yang telah mengabulkan doanya, sehingga kematian telah menjemputnya menjelang shalat shubuh dalam keadaan tersimpuh di atas sajadah usai menalaksanakan shalat malam. Saat itu kami sekeluarga masih menikmati santap sahur pada hari keenam bulan Ramadhan 1423 H.

Bapak seorang yang tidak takut akan kematian, akan tetapi beliau selalu mencemaskan sakaratul maut yang akan dihadapinya, Allah telah memperkenankan permohonannya …. Dan karena itulah, saya memilih judul tesis ini dengan “Kematian”, semoga pahala penulisannya diterima dan disampaikan kepada Bapak di alam kubur.

“Ya Allah, hapuslah segala dosa dan kesalahan bapak, lindungilah beliau dari

fitnah kubur dan azab neraka. Ya Allah, lapangkanlah kuburnya, tempatkanlah

beliau di rumah yang lebih baik dari rumahnya di dunia, kumpulkanlah beliau

bersama keluarga yang lebih baik dari keluarganya di dunia, masukkanlah beliau ke

dalam golongan abrar, shiddiqin, syuhada, dan shalihin, mereka sebaik-baik teman.”

“Ya Allah, mandikan dan sucikan beliau dengan air, embun dan kesejukan

air, bimbinglah beliau saat menjawab pertanyaan, dan jadikanlah beliau sebagai

pewaris surga na’im”. Amin

Ya Allah, terimalah amal ini dan jadikanlah sebagai amal yang tulus

(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Tesis dengan judul AL-MAUT DALAM AL-QUR’AN; Kajian Tafsir Tematik, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 Januari 2008. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 2 (S2) pada Konsentrasi Tafsir Hadis.

Jakarta, 7 Januari 2008 Sidang Munaqasyah

Tim Penguji,

Prof. Dr. Hamdani Anwar,MA Dr. Fuad Jabali, MA

Tgl. Tgl.

Dr. Yusuf Rahman, MA Tgl.

Pembimbing,

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA Dr. A. Wahib Mu’thi

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. yang telah menciptaka seluruh makhluk,

dan menetapkan kematian bagi mereka. Pujian yang layak bagi keagungan

dzat-Nya dan terkandung di dalamnya kebaikan dan keberkahan. Shalawat

dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kami

Muhammad SAW, pembawa petunjuk dan agama yang hak, rahmat bagi

semesta alam, dan semoga terlimpah juga kepada keluarga dan sahabatnya.

Karya ini hanyalah setitik ilmu yang dianugerahkan Allah kepada

hamba-Nya yang dha’if ini untuk menyelesaikan studi S2 di Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga karya tulis ini bukan

sumbangan terakhir penulis dalam khazanah ilmiah Islam di Indonesia ini.

Kupersembahkan karya ini untuk ibunda tercinta, Hj. Zahro binti H. Ilyas

yang selalu lekat dalam hati penulis. Kasih sayangnya begitu besar dan

istimewa kepada penulis sebagai putra terakhir. Semoga Allah SWT

mengampuni segala kesalahan dan dosanya, semoga Allah selalu

menyayanginya sebagaimana Ibunda telah menyayangiku di waktu kecil.

Beliaulah yang senantiasa mendukung penulis dengan doa-doanya, bahkan

tidak sedikit beliau mengkhatamkan al-Qur’an sebagai tawassul kepada

Allah memohon untuk kesuksesan dan kebahagian penulis.

Terima kasih tak terhingga juga kepada istriku tersayang, Umi Hani,

S.ThI, yang senantiasa memberikan motifasi, membantu tenaga dan pikiran

untuk tercapainya cita-cita penulis. Disela-sela waktu senggangnya dalam

mendidik buah hati kami, An-Najmuts Tsaqib Ahmad Hamdah Afifi dan

Muhammad Jiddan Aqila Hamdah Afifi, serta di saat istirahat mengajar di

(6)

memberikan masukan pemikiran yang bermanfaat untuk karya tulis ini.

Terima kasih saya sampaikan juga kepada kedua orang tua istri, Drs. H.

Abdul Muthalib dan Hj. Mahmudah, yang telah memberi bantuan doa

maupun materi kepada kami. Semoga Allah Swt. mengampuni dosanya dan

memberkahi hidupnya.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Guru dan

Pembimbing ruhani, KH. Abdul Qadir Umar Basyir, Ponpes Darul Furqon

Kudus, karena kepadanya penulis menghafal al-Qur’an dan kepadanya juga

penulis selalu mengkonsultasikan semua masalah dan meminta dukungan

doa. Semoga Allah memberikan umur panjang kepadanya untuk khidmat

bagi agama dan ummat. Amin.

Penulis sangat beruntung dan bersyukur kepada Allah yang telah

mempermudah proses studi, karena secara materi/ finansial, penulis

memperoleh beasiswa dari lembaga maupun perorangan. Kepada Bapak

H. Sudomo yang telah membiayai semester I, II, dan III, penulis sangat

berterima kasih karena sungguh pertemuan di dunia maya yang menjadi

awal silaturahim. Semoga Allah menerima taubatnya dan menerima segala

kebaikannya. Juga kepada Bapak Ir. H. Herman Zaini Latief, Komisaris PT.

Karma Yudha yang meneruskan pembiayaan semester berikutnya, semoga

Allah menerima amalnya dan memberkati rizkinya.

Selanjutnya, kepada jama’ah haji KBIH Baitul Ihsan angkatan ke-3

tahun 2005-2006, yang telah banyak membantu penulis, tidak hanya dalam

proses studi, tapi juga bantuan kepada keluarga, semoga Allah menjadikan

bagi mereka haji yang mabrur, sa’i yang diterima, dosa yang diampuni dan

perniagaan yang tak pernah merugi. Juga kepada Lembaga Zakat BAZIS DKI

(7)

dana penyelesaian tesis ini. Kemudian kepada pihak-pihak yang telah

banyak memberikan bantuan finansial, semoga Allah menggantinya dengan

yang lebih baik.

Tak lupa juga saya sampaikan terima kasih kepada pimpinan civitas

akademika Universitas Islam Negeri Jakarta, Prof. DR. Komaruddin Hidayat,

MA, selaku Rektor UIN dan Prof. DR. Azyumardi Azra, MA, selaku Direktur

Pascasarjana UIN dan semua dosen yang telah memberikan ilmunya dengan

penuh keikhlasan kepada saya. Secara khusus saya ucapkan terima kasih

juga kepada Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA dan Dr. A. Wahib Mu’thi, yang

telah membimbing dan memberikan masukan, sehingga tesis ini layak untuk

diajukan ke sidang ujian tesis, semoga Allah merahmati keduanya dan

memberikan umur panjang yang bermanfaat bagi kejayaan umat.

Juga kepada Manajemen Masjid Baitul Ihsan Bank Indonesia yang

telah memfasilitasi untuk menyelesaikan tesis ini sehingga penulis dapat

secara insten memanfaatkan ruangan dan buku-buku Perpustakaan Masjid

berikut komputernya. Juga kepada jama’ah dan teman-teman sejawat di

sekretariat Masjid Baitul Ihsan yang turut berdoa.

Hanya kepada Allah saya mohon agar kiranya mereka yang telah

membantu saya dalam penulisan tesis ini diberikan balasan yang terbaik, di

(8)

PEDOMAN TRANSLITERASI

ARAB

LATIN

ARAB

LATIN

ء

‘ (apostrof)

ض

dl

ب

b

ط

th

ت

t

ظ

zh

ث

ts

ع

‘ (petik satu)

ج

j

غ

gh

ح

h

ف

f

خ

kh

ق

q

د

d

ك

k

ذ

dz

ل

l

ر

r

م

m

ز

z

ن

n

س

s

و

w

ش

sy

ه

h

ص

sh

ي

y

ة

ah (waqaf)

لا

al-(ta’rif)

Untuk tanda panjang

ا

â (a panjang), contoh:

ُﻚِﻟﺎَﻤﻟا

: al-Mâliku

ْي

î (i panjang),

contoh:

ُﻢْﯿِﺣﱠﺮﻟا

: al-Rahîmu

(9)

DAFTAR ISI

PENGESAHAN PANITIA UJIAN... i

KATA PENGANTAR ... ii

PEDOMAN TRANSLITERASI... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan... 7

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Metodologi Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan... 15

BAB II PENGERTIAN DAN TERM-TERM AL-MAUT A. Pengertian al-Maut Menurut Kebahasaan ... 17

B. Pengertian al-Maut Menurut Kedokteran... 20

C. Term-term al-Maut dalam al-Qur'an ... 26

1. Al-Maut Berarti Ketiadaan di Dunia... 27

(10)

3. Al-Mautdalam Pengertian Belum Ada Wujud... 33

4. Al-Maut dalam Pengertian Hilang Rasa Untuk Hidup .. 36

5. Al-Maut dalam Pengertian Kekafiran dan Hati yang Keras... 37

6. Muradif al-Maut dalam al-Qur’an; Wafat danImsak... 40

BAB III WAWASAN AL-MAUT DALAM AL-QURAN A. Hubungan antara Ajal dan al-Maut... 43

B. Sakaratul Maut ... 52

1. Jiwa atau Ruh... 52

2. Sakarat... 60

3. Malaikat Maut dan Proses Pencabutan Nyawa... 65

C. Hikmah dan Tujuan al-Maut... 73

1. Menanamkan Keimanan kepada Hidup dan Pembalasan setelah Mati... 73

2. Ujian bagi Manusia untuk Memperbaiki Amal... 87

D. Euthanasia sebagai Salah Satu Kondisi Kematian ... 95

1. Euthanasia Aktif... 97

(11)

BAB IV TUNTUNAN AL-QUR’AN DALAM MENJEMPUT AL-MAUT

A. Tuntunan Dalam Menggapai Husnul Khatimah ... 108

1. Taubat sebelum Sakaratul Maut ... 110

2. Berdoa untuk Husnul Khatimah... 115

3. Berwasiat tentang Keislaman dan Harta ... 119

4. Bertakwa dan Bertawakkal (Berserah Diri)... 126

5. Bersyukur dan Berharap Untuk Kehidupan Akhirat ... 129

6. Berhijrah dan Berjuang di jalan Allah ... 135

7. Berinfak dan Membelanjakan Harta di Jalan Allah ... 136

B. Amalan yang Menyebabkan Su’ul Khatimah... 141

1. Kekafiran dan Kezhaliman ... 141

2. Menghalang-halangi Jalan Allah ... 144

3. Murtad setelah Iman... 146

4. Belum Taubat sampai Kedatangan Saat Mati ... 149

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 152

B. Saran... 154

BIBLIOGRAFI... 156

LAMPIRAN

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

!!!!

!!

Ê

!

ƒ!!

!!

!!

Ê

!!

!!

Ê

!!

!!!

“Cukuplah kematian itu sebagai nasehat”1, Ungkapan Rasulullah SAW ini sangat tepat dan bermanfaat bagi

mereka yang memahami arti sebuah kematian, namun bagi mereka yang

tidak memahaminya, maka seribu kali menyaksikan peristiwa kematian,

tidaklah akan berguna dan tidak cukup sebagai nasehat baginya.

Pemahaman terhadap arti kematian akan membawa kepada kesadaran dan

pemahaman akan arti kehidupan, baik sebelum atau setelah kematian.

Secara umum dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang kematian

bukan sesuatu yang menyenangkan. Naluri manusia bahkan ingin hidup

seribu tahun (QS. al-Baqarah, 2: 96). Banyak faktor yang membuat seseorang

enggan mati. Antara lain sebagai berikut; merasa belum puas dengan

kehidupannya yang sudah dilalui, tidak mengetahui apa yang akan

dihadapinya setelah kematian, menduga bahwa yang dimiliki sekarang lebih

baik dari yang akan didapati nanti, membayangkan betapa sulit dan pedih

pengalaman mati dan sesudah mati, khawatir memikirkan dan prihatin

terhadap keluarga yang ditinggalkan, dan tidak mengetahui makna hidup

dan mati, sehingga semuanya merasa cemas dan takut menghadapi

kematian.

1

Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain al-Baihaqî, Syu’ab al-Îmân, (Bairut, Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), juz 7, bab al-Zuhd wa Qashr al-Amal, h.353

ﺎﻨﺛ ، ﺪﯿﺷر ﻦﺑ دواد ﺎﻨﺛ ، لﻻﺪﻟا ﺲﯿﻧأ ﺮﻤﻋ ﺎﻨﺛ ، رﺎﻔﺼﻟا ﺪﻤﺤﻣ ﻦﺑ ﻞﯿﻋﺎﻤﺳإ ﺎﻧأ ، ناﺮﺸﺑ ﻦﺑ ﻦﯿﺴﺤﻟا ﻮﺑأ ﺎﻧﺮﺒﺧأو لﺎﻗ ، ﺮﺳﺎﯾ ﻦﺑا ﻲﻨﻌﯾ رﺎﻤﻋ ﻦﻋ ، ﻦﺴﺤﻟا ﻦﻋ ، ﺪﯿﺒﻋ ﻦﺑ ﺲﻧﻮﯾ ﻦﻋ ، رﺪﺑ ﻦﺑ ﻊﯿﺑﺮﻟا :

ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا نﺎﻛ

لﻮﻘﯾ ﻢﻠﺳو

(13)

Kematian merupakan suatu hal yang dekat dengan manusia,

kedekatan itu tercermin dari sikap dan perasaan setiap individu bahwa

dirinya pasti akan mengalami kematian, begitu dekatnya dengan manusia

sampai-sampai sebagian manusia menganggap kematian adalah hal biasa

dan alamiah yang setiap makhluk hidup pasti mengalaminya. Kematian yang

menimpa manusia bagi mereka adalah laksana kematian yang menimpa

hewan, tumbuhan dan makhluk lainnya.

Hal ini sangat wajar, karena belum pernah terjadi seorang yang mati,

kemudian bangun kembali untuk menceritakan pengalamannya selama di

alam kematian. Sebagaimana ‘Amr ibn ‘Âsh berwasiat kepada anaknya:

”Sungguh belum pernah seorang pun kembali kepada kita setelah

kematiannya untuk bercerita tentang perjalanan mati ini, tetapi kelak apabila

kematian menjemputku, ingatkan diriku untuk menerangkan sifat dan

keadaan kematian kepada kalian.2 Anggapan seperti inilah yang membuat

manusia lengah mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah mati.

Al-Qur`ân menamai kematian antara lain dengan al-yaqîn (keyakinan),

“Sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu al-yaqîn (QS. al-Hijr: 99).

Kematian adalah keyakinan, karena ia merupakan sesuatu yang pasti, tidak

disertai secuil keraguan pun. Jika ditanyakan kepada seseorang tentang

kehadiran al-maut, tidak seorang pun meragukannya. Setiap saat kematian

terlihat, walau banyak pula orang yang lengah menyangkut kedatangannya.

Sebaliknya perubahan sosial yang begitu drastis, menciptakan babak

baru yang semakin menghimpit ekonomi, dan memperparah kehidupan

sosial dan psikologi masyarakat. Hal ini mendorong sebagian anggota

masyarakat melakukan jalan pintas dengan memutus kehidupannya dengan

2

(14)

kematian. Dalam banyak kasus bunuh diri, selalu terkait dengan tingkat

depresi (psiko-sosio-ekonomik) yang diderita seseorang, sehingga

membuatnya merasa teralienasi dalam kehidupannya. Alienasi ini tidak

hanya dalam hal penyingkiran sosial, namun juga anggapan bahwa

kehidupan yang dijalaninya sangatlah berat dan begitu jelas derita yang

dirasakan. Sementara kematian merupakan suatu alternatif yang tak pasti,

namun ketidakpastian itu masih dianggap menyimpan sebuah spekulasi atas

keterhindaran dari masalah yang ada dalam hidup.3

Hal lain yang juga masih terkait dengan kematian yang disengaja

adalah euthanasia.4 Dalam era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di

bidang medik, kehidupan seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini

seringkali membuat para dokter dihadapkan pada sebuah dilema untuk

memberikan bantuan tersebut apa tidak, dan jika sudah terlanjur diberikan

bolehkah untuk dihentikan. Penghentian pertolongan tersebut merupakan

salah satu bentuk euthanasia.

Persoalan euthanasia merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain

hukum, praktik euthanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan

moral yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia.

Adanya indikasi-indikasi, baik medis maupun ekonomis tidak secara

otomatis melegitimasi praktik euthanasia, mengingat euthanasia berhadapan

dengan faham nilai yang menyangkut hak dan kewajiban menghormati dan

3

Fadila Putra, Perilaku Bunuh Diri Akibat Lemahnya Pembangunan Berbasis Komunitas, dalam Jurnal Keluarga Untuk Hidup Lebih Indah, (Jakarta: Yayasan Keluarga Indonesia, 2007), Vol.1, Nomor 1, hal. 58

4

Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negative, dan biasanya tindakan ini dilakukan oleh kalangan medis. Sehingga dengan hal demikian akan muncul yang namanya euthanasia aktif dan euthanasia pasif.

(15)

membela kehidupan. Karena itu sebagian manusia menganggap bahwa

euthanasiatergolong pembunuhan, mengingat kematian menjadi tujuan.

Sementara itu, pengembaraan manusia mencari bermula dari

kematian yang dialami jenisnya terus berlanjut, bahkan sampai kini pun,

manusia belum menemukan jawaban yang tuntas. Apa yang ditemukan lebih

banyak berupa khayalan dan dugaan, baik jalan yang ditempuh dengan jalan

filsafat, ilmu dan teknologi, maupun takhayul dan dongeng. Akal manusia

hingga kini belum puas. Begitu dia menyimpulkan sesuatu yang

dianggapnya jawaban benar, tak lama kemudian ia sadar bahwa yang

ditemukannya cuma fatamorgana.5

Kematian adalah perkara ghaib, tidak memiliki

pendahuluan-pendahuluan yang bisa dikenali atau ditentukan batasnya yang mungkin

untuk disepakati secara ilmiah maupun tradisi. Semua penyakit atau insiden

yang menjadi padanya sebab kematian hanyalah sekedar ragam kondisi yang

kadang terjadi padanya kematian ataupun tidak. Berapa banyak insiden yang

mengerikan yang mengakibatkan sejumlah orang meninggal dunia padanya,

atau tidak meninggal dunia dalam peristiwa yang sama. Seseorang terjatuh

dari tingkat paling tinggi pada salah satu bangunan bertingkat namun tidak

meninggal dunia. Bahkan pesawat terbang jatuh atau terbakar di udara

ternyata di antara para penumpangnya ada yang selamat. Kenapa demikian?

Inilah misteri yang belum terpecahkan hingga sekarang.

Misteri lain yang belum terjawab oleh ilmu manusia adalah persoalan

ruh. Manusia merupakan jasad hidup yang berdenyut padanya kehidupan

ruh berdasarkan perintah Allah SWT dan hanya diketahui oleh-Nya. Ruhlah

5

(16)

yang menjadikan manusia mampu menerima, belajar, mengingat, mengerti,

memilih, merasakan keberadaan waktu dan implementasi amanah dan

tanggungjawab serta pengabdian kepada Pencipta yang telah

menciptakannya. Itulah manusia yang diciptakan Allah SWT dari air dan

tanah, yang ditebarkan-Nya padanya kehidupan, dan kemudian Allah

membentuknya. Setelah sempurna penciptaan dan pembentukannya, maka

Allah meniupkan ruh dari “ruh-Nya”, hingga kemudian tercipta sosok

“makhluk lain” yang unik, yang diberi wewenang menjadi khalifah di muka

bumi.6

Kematian yang dialami manusia merupakan perpisahan jasad dengan

ruh yang Allah telah tiupkan padanya, sehingga kematian di luar jangkauan

akal dan pengetahuan manusia, maka al-Qur`ân menggambarkan kejadian

ini untuk manusia bahwa Allah membuka tabir penglihatan manusia saat

akan mati; “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini,

maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka

penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (QS. Qâf: 22).

Al-Qur`ân telah memberikan petunjuk bagi manusia, agar mereka

menyadari diri dan hakekat keberadaan mereka di pentas bumi ini. Juga,

agar mereka tidak terlena dengan kehidupan ini, sehingga mereka tidak

menduga bahwa hidup mereka hanya dimulai dengan kelahiran dan

berakhir dengan kematian. Memahami perjalanan kematian akan

mengajarkan kepada insan yang muslim agar terus berbuat amal saleh dalam

segala hal, baik untuk kemaslahatan dirinya ataupun dengan kehidupan

sosialnya. Semuanya diaplikasikan dalam bentuk amal perbuatannya,

tadabburnya, dan pikirannya.

6

(17)

Informasi tentang kematian dan hal-hal yang berhubungan dengannya

telah Allah paparkan di dalam Kitab Suci-Nya Al-Qur’ân. Salah satu di

antara sekian banyak cara yang dapat membantu kepada petunjuk Al-Qur’ân

adalah penafsiran maudlû’î / Tafsir Tematik (penafsiran menurut suatu

tema/subyek/obyek tertentu). Penafsiran semacam ini mengutamakan

mendapatkan jawaban Al-Qur’ân terhadap suatu masalah. Oleh karena itu,

dengan segala kekurangan dan kelemahan penulis serta dengan memohon

taufiq dan hidayah Allah SWT, penulis melalui metode Tafsir Tematik

memilih al-maut (Kematian) sebagai pembahasan tesis, dengan judul al-Maut

Dalam Al-Qur`ân.

Memang secara fakta, kajian tentang al-maut sudah banyak dikaji.

Namun penulis melihat bahwa belum ada suatu kajian yang bersifat tafsîr

maudhû’î yang mengupas tentang permasalahan ini secara concern. Artinya

bagaimana al-Qur`ân berbicara tentang al-maut secara tematik ayat-per ayat

belum penulis temukan. Pembahasan ini menurut pandangan penulis sangat

relevan bukan saja untuk membuka wawasan maut dalam perspektif

al-Qur’ân, tetapi juga memberikan petunjuk bagaimana menghadapi al-maut

dan menggapai kesudahan umur yang baik (husnul khâtimah).

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan pada pokok pemikiran yang telah diungkapkan dalam

latar belakang di atas, maka permasalahan yang muncul dapat dirumuskan

sebagai berikut; Bagaimana konsep al-maut dalam al-Qur’an? Dari masalah

pokok ini akan dibahas beberapa sub masalah; yakni,

1. Apa pengertian al-maut dalam perspektif al-Qur’an, dan pengertiannya

menurut bahasa dan kedokteran?

2. Bagaimanakah wawasan al-Qur’an sekitar permasalahan al-maut ?

(18)

Disini penulis hanya membatasi masalah pada ayat-ayat yang memuat

dan menggunakan istilah al-maut (! !!!), al-waf

â

t ( ةﺎ ﻓﻮﻟا ) dan al-ims

â

k( كﺎﺴ ﻣﻻا ).

Ayat-ayat yang mengandung pengertian maut, namun tidak secara tekstual

menggunakan istilah-istilah tersebut, bukan termasuk pokok pembahasan

dalam tesis ini, tetapi hanya pendukung dan pelengkap saja.

Pembahasan juga tidak banyak memaparkan kehidupan setelah maut,

baik di alam barzakh, kebangkitan maupun kehidupan akhirat. Penulis

menjelaskannya hanya dalam konteks bahwa maut bukanlah ahir kehidupan,

tetapi hanya pintu masuk ke dalam kehidupan selanjutnya.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan bahwa kematian yang

Allah ciptakan bukan hanya sekedar untuk menakut-nakuti manusia akan

berakhirnya kehidupan mereka di dunia ini, melainkan dapat juga menjadi

motivasi untuk berbuat kebaikan dan meraih kesuksesan di kehidupan dunia

dan akhirat, karena ayat-ayat yang membicarakan tentang kematian dapat

mengantarkan pembacanya kepada tauhid dan kesadaran akan kehidupan

setelah mati.

Disamping itu, tujuan yang tak kalah pentingnya dari tujuan di atas

adalah menggali petunjuk dan tuntunan al-Qur’an untuk mengggapai husnul

khâtimah (ahir kehidupan yang baik) dan menghindari sŭul khâtimah (ahir kehidupan yang jelek).

Penelitian ini akan sangat berguna sebagai pedoman aplikatif

menghadapi kematian sesuai petunjuk al-Qur’an, karena setiap ayat yang

(19)

D. Kajian Pustaka

Beberapa buku yang membahas tentang kematian cukup banyak, di

antaranya;

1. Sayyid Salamah al-Saqqa, Asrâr al-maut wa al-Hayât wa al-Rûh wa al-Jasad,

edisi Indonesia dengan judul Menguak Rahasia Kehidupan, Kematian,

Ruh, dan Jasad,, diterjemahkan oleh Saefuddin Zuhri, (Jakarta: Cendekia

Sentra Muslim, 2006), Cet.I

2. Muhammad ibn Ahmad ibn Bakr ibn Farrâj Anshârî Khazraj

al-Andalûsî al-Qurtûbî, al-Tadzkirah fî Ahwâl al-Mautâ wa Umûr al-Âkhirah,

edisi Indonesia dengan judul Rahasia Kematian, Alam Akhirat dan Kiamat,

diterjemahkan oleh Abdur Rosyad Shiddiq, Jakarta: Akbar Media Eka

Sarana, 2004, Cet.II

3. Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian; Mengubah Ketakutan Menjadi

Optimisme, (Bandung: Hikmah, 2005), cet. II

4. al-Sayyid al-Jamîlî, Sakarât al-maut, (Beirut; Dâr wa Maktabah al-Hilâl,

2001), Cet.I

5. Mâhir Ahmad al-Shûfî, al-maut wa ‘Alam al-Barzakh, (Beirut: al-Maktabah

al-‘Ashriyyah, 2004)

6. M. Quraish Shiahab, Perjalanan Menuju Keabadian; Kematian, Surga dan

Ayat-ayat Tahlil, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Menjemput Maut Bekal

Perjalanan menuju Allah SWT, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), cet. III

7. ‘Ali Muhammad Lagha, Rihlah al-maut; Hikmah al-maut wa atsaruhâ fî

I’tidâl al-Hayâh al-Islâmiyyah, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1989), Cet. I

8. Khawaja Muhammad Islam, The Spectacle of Death, (Delhi: Adam

(20)

itu Spektakuler, diterjemahkan oleh Abdullah Ali dan Satrio Wahono,

(Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001), Cet.I

9. ‘Umar Sulaimân al-Asyqar, al-Yaum al-Âkhir, al-Qiyâmah al-Shughrâ wa

‘Alâmah al-Qiyâmah al-Kubrâ, (Dâr al-Nafâis, Maktabah al-Falâh), edisi

Indonesia dengan judul Kiamat Sughra, Misteri di Balik Kematian

diterjemahkan oleh Abdul Majid Alimin, (Solo: Era Intermedia, 2005),

Cet.I

10. Abû al-Faraj Abdurrahmân ibn al-Shâlih Syihâbuddîn Ahmad ibn Rajab,

Ahwâl Qubûr wa Ahwâl Ahliha Ilâ Nusyûr, (Beirut: Dâr Kutub

al-‘Ilmiyyah, 1985), Cet.I. edisi Indonesia dengan judul Kehidupan Alam

Kubur, diterjemahkan oleh Wawan Djunaedi S, S.Ag, (Jakarta: Pustaka

Azam, 2001), Cet.III

11. Jamâluddîn Abû Faraj Ibn Jauzî Qurasyî Taimî Bakrî

Baghdâdî Hanbalî Wa’îdz, Tsabât ‘Inda Mamât, (Beirut: Dâr

al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986), cet.I. edisi Indonesia dengan judul Tegar

Menghadapi Ajal, diterjemahkan oleh Wawan Djunaedi S,S.Ag (Jakarta:

Pustaka Azam, 2001), Cet.II

12. Ibrâhîm Muhammad Jamâl, Hayât ba’da maut, (Beirut: Dâr

al-Kitâb al-Arabiy, 1404 H)

13. Al-Ghazâlî, Remembrance of Death and The Afterlife, berdasarkan edisi

Inggris dengan Pendahuluan dan Catatan oleh T.J. Winter,

(Cambridge,UK: The Islamic Text Society, 1989), edisi Indonesia dengan

judul Metode Menjemput Maut; Perspektif Sufistik, diterjemahkan oleh

(21)

14. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Al-Rûh li Ibn Qayyim, (Beirut: Dâr

al-Qalam, 1403H), cet.II, edisi Indonesia dengan judul Roh, diterjemahkan

oleh Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2005), cet. XVI

15. ‘Aidh ibn Abdullâh al-Qarnî, Wa Jâ`at Sakrat al-maut bi al-Haqq, (Beirut:

Dâr Ibn Hazm, 2000), Cet. I

16. Saefulloh Muhammad Satori, Mengungkap Tabir Kematian, (Jakarta: Progres,

2005), Cet. I

Sayyid Salamah al-Saqqa dalam buku pertama telah menjelaskan

rahasia kematian dengan panjang lebar, terutama proses kematian setelah

berpisahnya ruh dengan jasad dari sudut pandang ilmu kedokteran.

Sebelumnya ia menjelaskan rasasia kehidupan sel dan kelangsungan Gen

manusia dari zaman ke zaman, meski nenek moyang mereka telah tiada.

Buku ini merupakan salah satu rujukan bagi penulis ketika menjelaskan

ayat-ayat kematian dalam perspektif kedokteran.

Buku kedua al-Tadzkîrah fî Ahwâl al-mautâ wa Umûr al-Âkhirah karya

Imam al-Qurtûbî membahas rahasia kematian, alam akhirat dan kiamat

berdasarkan Al-Qur`ân, Hadits dan Atsar. Sebagai pakar tafsir, beliau

mampu mengetengahkan tema-tema kematian yang didukung ayat-ayat,

beliau juga mampu memperkuat bahasanya dengan hadits dan atsar dengan

panjang lebar, sehingga buku tersebut lebih banyak merujuk kepada hadits

dari pada kepada Al-Qur`ân.

Buku ketiga, Psikologi Kematian; Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme

karya Komaruddin Hidayat memberikan harapan dan optimisme dalam

menghadapi kematian yang oleh sebagian manusia menjadi ‘momok’ yang

menakutkan. Dengan pendekatan psikologi, beliau mampu menggugah jiwa

(22)

datang. Untuk mendukung pembahasannya, tidak sedikit menyajikan

cerita-cerita seputar kematian yang membangkitkan optimisme. Buku ini sangat

mendorong penulis untuk membuktikan tesis Komaruddin Hidayat bahwa

kematian dapat menjadi motivasi untuk menumbuhkan sikap optimis dalam

mengarungi kehidupan ini melalui pendekatan tafsir tematik.

Buku keempat, Sakarât al-maut karya al-Sayyid al-Jamîlî menjelaskan

dua pembahasan, pertama; proses sakaratul maut, yaitu saat malaikat

diperintahkan mencabut nyawa hamba dan kedua; pembahasan taubat

sebagai jalan menuju husnul khatimah. Kajian buku yang sangat singkat ini,

sebagaimana pendahulunya al-Qurtûbî, banyak merujuk kepada hadis dan

atsar.

Buku kelima al-maut wa ‘Alam al-Barzakh karya Mâhir Ahmad al-Shûfî,

adalah buku yang sangat relevan dengan kajian penulis, karena dalam

pembahasannya banyak merujuk lepada al-Qur’an, namun ia banyak

mengangkat pembahasan tentang kehidupan setelah mati. Berbeda dengan

kajian penulis yang dibatasi pada pembahasan proses kematian dan

tuntunan menghadapi kematian.

Buku keenam dan ketujuh, Menjemput al-maut, Bekal Perjalanan Menuju

Allah SWT, dan Perjalanan Menuju Keabadian; Kematian, Surga dan Ayat-ayat

Tahlil karya Muhammad Quraish Shihab membahas tentang kematian dan

bekal menuju kehidupan setelah mati. Pembahasannya cukup memadai,

namun kedua buku itu tidak ditulis menurut metode tafsir maudhû`î.

Pembahasan beliau tentang kematian berdasarkan metode tafsir maudhû`î

dipaparkan dalam bukunya Wawasan Al-Qur`ân, namun sangat terbatas

sehingg belum membicarakan tentang kematian secara menyeluruh. Dalam

(23)

sehingga –dengan segala kekurangan penulis- jawaban Al-Qur`ân tentang

kematian menjadi lebih fokus, terutama dalam menggapai husnul khâtimah.

Beberapa buku yang membahas tentang kematian cukup banyak,

namun sebagaimana yang penulis kemukakan sebelumnya, sistem

pembahasan, pemetaan mereka tentang ayat-ayat kematian secara tematik

sepanjang pengetahuan penulis masih sangat terbatas.

E. Metodologi Penelitian

1. Metode Pengumpulan data

Tesis ini ditulis dengan menggunakan metode penelitian kajian

kepustakaan (Library Research); yaitu mencari dan mengumpulkan

berbagai literatur yang relevan. Data-data primer seperti buku-buku tafsir

dan data-data sekunder seperti tulisan-tulisan yang berkaitan dengan

al-maut baik itu berupa artikel, buku atau thesis. Adapun sumber-sumber

utama penelitian ini adalah :

a. AL-Qur’ân dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh Khâdim al-

Haramain Syarîfain Fahd ‘Abd ‘Azîz Sa’ûd, Madinah

al-Munawwarah, bekerjasama dan disyahkan oleh Departemen Agama

republik Indonesia

b. Kitab-kitab tafsir baik yang klasik maupun kontemporer; Dalam hal

ini penulis lebih banyak merujuk kepada tafsir al-Mishbah karya M.

Quraish Shihab dengan pertimbangan bahwa al-Mishbah merupakan

tafsir kontemporer -yang menurut hemat penulis- sangat

representatif mengangkat kondisi dan masalah kekinian. Namun

demikian ia mampu memaparkan pendapat ulama tafsir klasik

(24)

pemikiran klasik dengan tetap terbuka untuk menerima pemikiran

kontemporer yang lebih mashlahat.

c. Kamus bahasa Arab Lisân al-‘Arab karya Ibn Manzhûr (1232-1311 H)

d. Kamus bahasa Arab Mu`jam Alfâzh al-Qur`ân karya Abû al-Qâsim

Abû al-Husayn bin Muhammad al-Râghib al-Ashfahâni (w. 502 H).

e. Kamus bahasa Arab Mu’jam Maqâyîs Lughah karya Abî

al-Hussain Ahmad bin Fâris.

f. Al-Mu`jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur`ân al-Karîm karya

Muhammad Fu’âd Abd al-Bâqî.

2. Metode Pembahasan

Metode pembahasan dalam tesis ini adalah “deskriptif analitis”,

yaitu mendiskripsikan data-data yang ada, baik data-data primer maupun

sekunder, kemudian menganalisanya secara proporsional. Metode

pembahasan yang digunakan merupakan ilmiah analisis. Yaitu

menggunakan langkah tersusun agar dapat mencapai pengungkapan

hakekat dan kejelasannya, dengan cara membagi masing-masing menurut

bagian-bagiannya dan mengembalikan sesuatu ke unsur pembentukannya.

Sumber data dari penelitian ini adalah ayat-ayat al-Qur`ân. Oleh

karena itu pendekatan yang dipilih adalah pendekatan ilmu tafsir. Ilmu

tafsir mengenal beberapa corak atau metode penafsiran yang

masing-masing mempunyai ciri khas. Hingga saat ini, sekurang-kurangnya ada

(25)

tahlîlî, metode muqarîn, metode ijmâlî dan metode mawdhû`î.7 Dalam

penelitian ini penulis menggunakan metode mawdhû`î.8

Tafsir mawdhû`î, adalah suatu metode tafsir yang berusaha mencari

jawaban al-Qur`ân tentang tema tertentu, maka tafsir ini juga dinamakan

tafsir tematik. Cara kerja metode ini ialah menghimpun seluruh ayat yang

berhubungan dengan tema yang dimaksud, kemudian menganalisanya

lewat ilmu-ilmu bantu yang relevan dengan masalah yang dibahas, yang

pada akhirnya melahirkan konsep yang utuh dari al-Qur`ân tentang tema

tersebut.

Langkah-langkah yang ditempuh dalam tafsir mawdhû`î. adalah

sebagai berikut :

1. Menetapkan al-maut sebagai tema

2. Mengumpulkan ayat-ayat al-Qur`ân yang menyebut term al-maut.

3. Merumuskan makna al-maut dari ayat-ayat tersebut dengan mencari tafsir pada ayat-ayat yang lain atau dari munasabahnya dengan ayat sebelum dan sesudahnya, dalam hal ini disebut tafsir al-Qur`ân dengan al-Qur`ân.

7 ‘Abd al-Hayy al-Farmawî, a

l-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Mawdhû`î: Dirâsât Manhâjiyyah Mawdhû`iyyah, (Kairo: Maktabah Jumhûriyyah Mishriyyah, 1977), cet. Kedua, h. 23

8

Setiap metode memiliki kelebihan dan kelemahan, tetapi perkembangan metodologi tafsir menunjukkan adanya usaha yang dilakukan secara terus menerus untuk memahami pesan al-Qur`ân. Metode tahlîlî memusatkan usahanya pada membedah masalah pada setiap ayat, sehingga perhatiannya kurang dalam merumuskan gagasan umum al-Qur`ân. Metode tafsir muqarîn

(26)

4. Bila dibutuhkan, penulis mencari keterangan pada hadits-hadits Nabi yang mendukung penafsiran suatu ayat.

5. Penulis membandingkan penafsiran itu dengan penafsiran yang telah dilakukan oleh para mufassir terdahulu dan tidak menutup penafsiran-penafsiran dari para ulama zaman sekarang.

6. Penulis memberi analisa dan kesimpulan terhadap penafsiran ayat-ayat tersebut.

3. Sistem Penulisan

Acuan umum penulisan tesis disesuaikan dengan buku Panduan

Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

tahun ajaran 2007.

F. Sistimatika Penulisan

Untuk memperjelas pembahasan tesis ini, selanjutnya penulis

memaparkan rencana sistematika penulisan yang akan dijabarkan berikut ini:

BAB I : pendahuluan yang memuat tentang latar belakang masalah,

rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, kajian

pustaka, , metodologi penulisan, serta sistematika penulisan.

BAB II : pengertian al-maut atau mati sangat beragam, tergantung

konteks pembicaraannya, baik dalam bahasa Indonesia, Arab maupun dalam

al-Qur`ân, untuk itu dalam bab ini diuraikan tentang pengertian al-maut

menurut istilah kebahasaan, dan kapan suatu jiwa dinyatakan mati menurut

ilmu kedokteran serta dijelaskan pula tentang term-term maut dalam

al-Qur`ân.

BAB III : wawasan al-maut dalam al-Qur`ân, yakni suatu uraian

tentang hikmah penciptaan al-mautdan prosesnya bagi setiap jiwa, serta

(27)

hikmah al-maut, hubungan antara ajal dan al-maut, penjelasan tentang ruh

atau jiwa, sakarat, malaikat al-maut dan proses al-maut bagi orang beriman

dan orang kafir. Bab ini ditutup dengan pembahasan tentang euthanasia

menurut al-Qur`ân

BAB IV : tuntunan al-Qur`ân dalam menyikapi al-maut; yakni suatu

uraian tematik dengan mengambil pokok bahasan ayat-ayat yang memuat

kata al-maut dan kata jadiannya. Bab ini dibagi menjadi dua sub, yakni

menggapai khusnul khatimah dan mengetahui amalan yang menyebabkan

su’ul khatimah.

BAB V : yaitu bab penutup, penulis menarik kesimpulan dari isi tesis

ini secara keseluruhan sebagai penegasan terhadap permasalahan yang

dikemukakan serta memberikan saran-saran dan diakhiri dengan daftar

(28)

BAB II

PENGERTIAN DAN TERM-TERM

AL-MAUT

A. Pengertian al-Maut Menurut Kebahasaan

Sebelum menggali petunjuk al-Qur`ân tentang kematian, dan untuk

memahami makna kematian yang Allah telah tetapkan bagi makhluk-Nya,

diperlukan pemahaman tentang arti kematian menurut bahasa dan ilmu

kedokteran.

Kehidupan dan kematian bertentangan seperti pertentangan cahaya

dan kegelapan, dingin dan panas. Karena itu kamus-kamus bahasa Arab

mendefinisikan salah satu dari keduanya dengan lawan kata bagi yang lain.

Pengertian al-maut atau mawatan atau muwat menurut bahasa Arab, berasal

dari kata

!!!!!º !! !!! ! º ! !! !º !

yang berarti lawan kata dari hayat (hidup).

Sedangkan menurut al-Azhari dari al-Laitsi; bahwa al-maut merupakan

makhluk Allah SWT. Sibawih mengelompokkan al-maut ke dalam fi’il mu’tal

yang aslinya adalah

!! Ê

!!!

menurut wazan

!! !!ƒ!!!!!! Ê

!!!!

1

Al-maut merupakan bentuk mashdar dari

!!º !!!!! !!!! !!

dan menurut

al-Jauhari dari al-Farra’; bentuk fa’il dari al-maut adalah

!!! º !!!!!!!! !!!!!!! !!!

berarti orang yang telah mati atau yang akan mati sebagaimana firman Allah

SWT:

!! !!!!!!!!!! !!!!Ê

!!!!!! !!!!!!! !!Ê

!

dan bentuk jama’-nya

! !!!!!!!! !!!!!!!!! !!!!!!!! !!!!!

.

Bentuk muannats dan mudzakkar memiliki satu bentuk, hal ini menurut

al-Zajjâj seperti firman Allah SWT:

!!º !!!!!!

!

!!!!! º ƒ!

!!!!Ê

!º Ê

!!!! Ê

!!! !!Ê

!

tidak dikatakan

!!º !!!!!

.2

Pengertian al-maut sangat beragam sebagaimana diterangkan di atas, al-maut

juga dapat digunakan untuk hal-hal yang memberatkan seperti; kefakiran,

1

Muhammad ibn Mukram ibn Manzhûr al-Afriqî al-Mishrî, Lisân al-‘Arab, (Bairut: Dâr Shâdir, tt), jilid 6, h. 4294

2

(29)

kehinaan, minta-minta, lanjut usia, ma’shiat, sebagaimana dalam riwayat

!! !!!

!!!! !º !!!!! !º !!! º !

(makhluk yang pertama mati adalah Iblis) karena dialah yang pertama kali berma’shiat kepada Allah SWT.3

Ibn Zakariyyâ mengartikan kata al-maut secara bahasa sebagai

“Hilangnya kekuatan dari sesuatu, dan hilang itu berarti mati; lawan katanya

adalah hidup (hayy). Ia mendasari pengertian kepada kandungan makna

sebuah hadist : “Siapa yang memakan (buah) dari kayu yang tidak baik ini,

jangan dekati masjid kami. Jika terpaksa juga memakannya, maka

kekuatannya hendaknya dimatikan (dihilangkan)..”4

Al-Jurjânî memberikan pengertian al-maut dalam Ta’rîfat-nya dengan;

memaksa dan memalingkan hawa nafsu dari semua keinginannya, maka

barangsiapa yang mematikan hawa nafsunya maka sungguh ia telah hidup

dengan petunjuk Allah SWT.5 Lebih lanjut al-maut dibagi menjadi 4 macam,

sebagai berikut:

a. Al-maut al-Abyadh; adalah lapar, karena lapar menerangi batin, dan

memutihkan wajah hati, barangsiapa mati perutnya maka hidup

kecerdasannya.

b. Al-maut al-Ahmar; adalah memalingkan keinginan nafsu

c. Al-maut al-Ahdhar; berpakaian dengan baju tambalan yang tak berharga,

karena hidupnya penuh dengan sifat qanâ’ah (merasa cukup dengan apa

yang dikaruniakan Allah SWT)

3

Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, h. 4296

4

Abû Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyyâ, Mu’jam al-Maqâyîs fî al-Lughah, Baerut: Dâr al-Fikr, 1994), h. 968

5

(30)

d. Al-maut al-Aswad; sabar menghadapi perlakuan makhluk, dan lebur ke

dalam kekuasaan Allah SWT karena menyaksikan siksaan dari-Nya, dan

melihat leburnya af’âldalam af’âl Kekasihnya Allah SWT.6

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, maut atau mati berasal dari akar

bahasa Arab. Kata ini diartikan dengan mati yang berarti: sudah hilang

nyawanya, tidak hidup lagi, tidak bernyawa, tidak berair; sumur itu sudah

mati, tidak berasa lagi; kulit ini mati, dan banyak lagi pengertian mati dalam

bahasa Indonesia.7 Kata Mati merupakan lawan dari hidup yang berati:

masih terus ada, bergerak, dan bekerja sebagaimana mestinya.8

Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan bahwa maut atau mati adalah;

Terpisahnya roh dari zat, psike dari fisik, jiwa dari badan, atau yang ghaib

dari yang nyata; keluarnya roh dari badan atau jasmani.9

Banyak pengertian tentang hakekat mati, menurut kepercayaan orang

atau menurut ilmu pengetahuan, a.l.: 1). Menurut orang yang tidak

beragama, mati berarti akhir hidup, dan tak ada kelangsungannya setelah

mati. 2). Menurut orang yang beragama, mati berarti permulaan hidup baru

yang kekal. 3). Bagi ilmu kedokteran, mati adalah jika keadaan manusia atau

binatang, alat badannya itu tidak dapat menjalankan fungsinya lagi. Tanda

mati menurut ilmu kedokteran, ialah lemban mayat (hypostace) yang terjadi

karena turun sebagian badan yang paling rendah dan membeku disana,

kaku mayat (rigor mortis). Jika pasien tidak kedengaran bernafas lagi dan

6

Al-Jurjânî, Kitâb al-Ta’rîfat, hal. 304

7

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka. 1988). h. 638

8

Departemen Pendidikan..., Kamus Besar..., h. 350

9

(31)

jantungnya tak terasa berdenyut, maka hal itu belum berarti mati, karena

gejala demikian juga terjadi pada orang pingsang nyenyak, tetapi memang

ada bahagian tubuhnya yang mati. Mati adalah perpisahan tubuh kasar

dengan tubuh halus yaitu jiwa. Tubuh kasar kembali kepada asalnya yaitu

tanah, dan jiwa terus berada ke alam kubur. Mati adalah sesuatu yang harus

dialami oleh setiap manusia dan makhluk yang hidup, dimana dan bilapun

terjadi.10

Pengertian kebahasaan ini tidak sepenuhnya sama dengan pengertian

kedokteran maupun menurut penggunaan al-Qur’ân. Ini didasari atas asumsi

bahwa ruang lingkup pengertian maut lebih luas dari sekedar pemaknaan

tekstual, Tesa ini dapat dibuktikan jika penggunaan term maut dalam

al-Qur’ân dikaji dan dianalisa dengan seksama.

B. Pengertian al-Maut Menurut Kedokteran

Menurut standar tradisional, seorang manusia dikatakan mati apabila

jantung dan paru-parunya berhenti berfungsi. Dalam beberapa kasus,

kegagalan jantung dan paru-paru didahului oleh adanya kehilangan

kesadaran secara permanen. Namun jarak antara dua kejadian ini bisa

berjam-jam atau berhari-hari, dan standar tradisional hanya

memperhitungkan yang sampai berhari-hari saja.11

Saat ini lima puluh negara bagian Amerika dan distrik Colombia

mengikuti Uniform Determination of Death Act (UDDA) atau

Undang-Undang Keseragaman Penetapan Kematian dalam mengakui whole-brain

10

Mochtar Efendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, (Universitas Sriwijaya, Palembang: cet. I, buku-3), hal. 390

11

(32)

death atau kematian otak secara keseluruhan -kegagalan permanen semua

fungsi otak secara keseluruhan– sebagai standar kematian yang legal. UDDA

tidak membuang standar jantung dan paru-paru. Bahkan ia menetapkan

bahwa kematian terjadi kapanpun salah satu standar tersebut terpenuhi.

Salah satu konsekuensi perubahan ini adalah bahwa seorang individu dapat

dikatakan mati secara resmi meskipun sistem jantung dan paru-parunya

terus berfungsi. Jika keseluruhan otak seorang pasien tidak berfungsi

sehingga pernapasan dan detak jantung dipertahankan oleh alat bantu

buatan, pasien tersebut telah memenuhi kriteria standar kematian otak secara

keseluruhan.12

Charles Culver dan Bernard Gert telah membantu mendefinisikan

kematian dalam perspektif biologis adalah sebagai “kegagalan permanen

fungsi organisme secara keseluruhan.” Frase “organisme secara keseluruhan”

tidak berarti secara literal sebagai keseluruhan organ (karena kehilangan

lengan atau limpa misalnya, tidak berarti mati); ia merujuk pada fungsi

integratif kebanyakan atau semua sub sistem yang penting. Secara kasar,

inilah arti utama “kematian” dilihat dari perspektif biologis.13

Para ilmuwan dalam bidang kedokteran telah mampu menyelam di

kedalaman sel, menyaksikan banyak sekali detail-detail sel hidup,

memberikan gambaran untuk kita banyak hal yang terjadi di dalam inti sel

hidup dan di dalam materi cytoplasm yang mengitari sel, berupa

proses-proses pembangunan, penghancuran, pelepasan energi, penyimpanan energi,

kosumsi untuk pembakaran dan tata cara selamat dari meteri-materi

12

DeGrazia, Biology, Consciousness…, h.1

13

(33)

berbahaya, bagaimana memerangi penyerang yang berasal dari makhluk

hidup yang lain, serta melawan racun dan lain sebagainya. Padahal

misteri-misteri itu masih banyak sekali, hal-hal yang gaib tidak pernah berakhir, dan

tanda tanya semakin bertambah saat kajian semakin jauh, sementara rahasia

kehidupan tetap miterius dan masalah gaib tanpa bisa diketahui kecuali oleh

Allah SWT.14 Pembahasan kematian juga merupakan hal yang belum dapat

digapai oleh ilmu pengetahuan. Dan memang sangat mustahil sekali, sebab

hal ini adalah kajian yang tidak bisa dijangkau akal dan tidak tunduk kepada

eksperimen.

Ketika raga kehilangan ragam manifestasi kehidupan dari perasaan,

respon serta gerakan, dan berhentinya organ-organnya dari fungsinya secara

otomatis, saat itulah dapat dipastikan berlakunya penetapan kematiannya

oleh kalangan dokter, demikian menurut Sayyid Salamah al-Saqqa.15

Untuk meyakinkan terjadi kematian, biasanya para dokter berpegang

pada beberapa tanda yang menandakan terhentinya berbagai aktifitas

beberapa organ tubuh. Di antaranya adalah: berhentinya detak jantung dan

aliran darah yang ditandai dengan hilangnya denyut nadi. Begitu pula

dengan denyut jantung yang apabila terjadi dan dipotong salah satu urat

nadi, maka darah tidak akan memancar darinya, karena tidak adanya aliran

darah atau darahnya hanya akan mengalir setetes demi setetes saja tanpa

pancaran. Adapun terhentinya organ pernafasan dari fungsinya dapat

dikenali melalui terhentinya gerakan nafas secara penuh, sekiranya tidak

14

Sayyid Salamah al-Saqqâ, Asrâr al-Maut wa al-Hayât wa al-Rûh wa al-Jasad, edisi Indonesia dengan judul Menguak Rahasia Kehidupan, Kematian, Ruh, dan Jasad,, diterjemahkan oleh Saefuddin Zuhri, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2006), Cet.I, hal.100

15

(34)

memungkinkan untuk mengamati gerakan apapun di dada atau perut,

terkadang digunakan potongan kecil kapas yang diletakkan di depan lubang

hidung, dalam upaya mengintai adanya gerakan udara yang keluar masuk,

atau cermin diletakkan di hadapan lubang hidung sekiranya memungkin

untuk mengamati adanya uap air yang keluar dari hidung bersamaan

dengan udara yang dihembuskan jika masih ada bekas dari berbagai gerakan

nafas.

Sementara terhentinya aktivitas organ saraf dan otot menampakkan

ciri-ciri berbeda lainnya guna memastikan tidak adanya lagi respon tubuh

terhadap berbagai rangsangan, baik secara sadar atau refleks. Pupil mata

melebar dan tidak terpengaruh oleh cahaya dan seluruh otot pun

mengendor. Dengan itu kerutan muka akan menjadi tersembunyi, pelipis

mengempis, rahang bawah akan menganga, kedua mata tetap terbuka dan

kehilangan rasa hingga tidak berkedip saat didekatkan benda apapun atau

hingga disentuh bola mata atau korneanya dengan jari. Kornea mata menjadi

gelap, seluruh otot tubuh menjadi lunak saat ditekan dan tidak ada pantulan

darinya. Ketika kedua mata ditekan, tempat yang disentuh menjadi lunak

dan bentuk organ-organ mata berubah saat ditekan.16

Sedang suhu tubuh yang bisa diukur melalui anus pada kondisi

demikian mulai menurun setelah kematian datang. Penurunan itu terus

berlanjut dalam standar tertentu yang ikut berpengaruh padanya beberapa

faktor yang banyak, diantaranya: tingkat panas tubuh mayit sebelum

kematiannya, suhu udara serta apa yang ada di sekitar mayit berupa selimut

dan lain-lain, postur tubuh mayit secara fisik, umurnya dan sebagainya. Pada

16

(35)

kondisi normal suhu tubuh berkurang dari 100° sebanyak 1,5° setiap per jam.

Hal itu berlangsung selama enam jam berikut setelah kematian. Kemudian

ukuran itu berkurang untuk menjadi 1° dari seratus persen setiap enam jam

hingga tingkat suhu tubuh mayit menjadi sama dengan tingkat suhu normal

yang mengelilinginya. Pengukuran suhu tubuh mayit membantu para dokter

dalam menentukan jangka waktu yang telah berlalu sejak kematian,

disamping beberapa tanda dan isyarat-isyarat yang lain.17 Setelah

kematiannya, jasad tidak akan tetap pada kondisinya semula, tetapi akan

melalui beberapa tahap perubahan secara gradual hingga berakhir menjadi

tanah.

Konsep mati dari segi kedokteran tampaknya mempunyai beberapa

nama. Nama-nama tersebut antara lain ‘mati sosial’,18 ‘mati murni,19 dan

‘mati tenang’. Penamaan-penamaan tersebut diberikan berdasarkan keadaan

atau penyebab (proses)20 kematian itu. Nama mati sosial diberikan kepada

seseorang yang sebenarnya masih hidup, namun karena yang bersangkutan

tidak mampu lagi mecerna keadaan lingkungannya, maka disebutlah sebagai

17

al-Saqqâ, Asrâr al-Maut..., h. 234-236

18

Guno Semekto dalam Majalah Panji Masyarakat “Membunuh Pasien Menjelang Sekarat”, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, No.612, tgl.21-31 Mei 1989), h. 19

19

H. Subki Abdul kadir dalam Majalah Panji Masyarakat...., h.21

20

(36)

orang mati. Nama mati murni diberikan kepada seseorang yang meninggal

dunia dan kematiannya itu dipandang wajar tanpa campur tangan orang lain

termasuk dokter.

Adapun mati tenang diberikan kepada seseorang yang mati atau

meninggal karena kesengajaan. Kematian seperti itu biasanya disebut sebagai

the mercy killing yaitu suatu pembunuhan karena belas kasihan. Pembunuhan

itu sendiri dalam bidang kedokteran disebut sebagai euthanasia.21

Data survey mengungkapkan beberapa hal yang memotivasi

permintaan PAS/Physician-Assisted Suicide (bunuh diri dengan bantuan

dokter) ini. Pada umumnya, gejala fisik sangat jarang menjadi motivasi

utama atau satu-satunya dibalik permintaan ini. Malahan, nilai-nilai

individulah yang lebih utama. Dalam sebuah penelitian terhadap 100 pasien,

yang mempertimbangkan PAS adalah mereka yang kurang religius, tinggi

nilai keputusasaaannya, dan memiliki rasa kurangnya kualitas hidup.

Pasien-pasien seperti ini tidak berbeda dalam tingkat rasa sakit dan penderitaannya,

tingkat ketidakmampuan, dukungan sosial, penggunaan alat rawat rumah

sakit, atau frekuensi depresinya dibandingkan dengan mereka yang tidak

mempertimbangkan PAS.22

21

Menurut Veronica Komalawati, Euthanasia dibagi atas 3 macam, 1). Euthanasia yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga kesehatan, untuk memperpendek dan mengakhiri hidup pasien. Misalnya, dengan memberikan tablet sianida atau dengan menyuntikan zat-zat mematikan kedalam tubuh pasien. 2). Euthanasia pasif yaitu tindakan dokter secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya, tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernafasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat. 3). Autoeuthanasia yaitu pasien yang menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah penyataan tertulis, dengan demikian autoeuthanasia pada dasarnya adalah Euthanasia pasif atas permintaan. www.kompas.co.id/kompas-cetak. malpraktik UU Nomor 29 Tahun 2004, Tentang Praktek Kedokteran.

22

(37)

Di Washington, 828 dokter melaporkan bahwa pasien yang meminta

PAS menyoroti issue seperti kehilangan kontrol, perasaan menjadi beban,

menjadi tergantung pada orang lain untuk perawatan pribadi, dan

kehilangan martabat sebagai hal-hal yang memotivasi permintaan tersebut.

Rasa sakit yang tidak terkontrol dan tekanan keuangan sangat jarang menjadi

faktor utama.23

C. Term-term al-Maut dalam al-Qur`ân

Bahwa al-Qur’ân diturunkan dalam bahasa Arab ditegaskan sendiri

oleh al-Qur’ân. Sebanyak enam kali muncul ungkapan qur’ân ‘arabiyy

(al-Qur’ân yang berbahasa Arab)24 dan tiga kali dengan ungkapan lisan ‘arabiyy

(dengan bahasa Arab)25 dalam al-Qur’ân.

Salah satu keistimewaan bahasa Arab yang dipilih oleh Tuhan menjadi

bahasa al-Qur’ân adalah ungkapan-ungkapannya yang singkat tetapi padat

serta kaya dengan isi dan makna yang dalam. Variasi bentukan kata-katanya

sangat berpola. Setiap bentukan mempunyai makna dan pesan khas yang

berbeda dengan bentukan lainnya meskipun berasal dari kosa kata yang satu

dan kendatipun terjemah harfiahnya sama.26

Hal ini juga dapat ditemukan ketika membahas tentang kematian atau

al-maut. Dengan metodenya yang sangat beragam, Al-Qur`ân memberikan

gambaran yang baik tentang kematian yang dialami oleh setiap makhluk

hidup.

23

DeGrazia, Biology, Consciousness…, h. 77

24

Lihat, QS. Thâhâ: 113; QS. Zumar: 28; QS. Fushshilat: 3; QS. Syûrâ: 7; QS. al-Zukhruf: 3, dan Yûsuf: 2.

25

Lihat, QS. QS. al-Nahl; 103; QS. al-Syu’arâ’: 195 dan QS. al-Ahqâf: 12.

26

(38)

Istilah al-maut dengan segala perubahannya dipergunakan sebayak

kurang lebih 138 kali dalam al-Qur`ân, demikian menurut Muhammad Fuâd

‘Abd al-Bâqî.27 Sementara pakar memperkirakan tidak kurang dari tiga

ratusan ayat yang berbicara tentang berbagai aspek kematian dan kehidupan

sesudah kematian kedua.28 Term al-maut dalam al-Qur`ân muncul dalam

beberapa kata jadian (isytiqâq), untuk lebih jelasnya penulis gambarkan

dalam bentuk tabel sebagaimana terlampir.

Keindahan dan kekayaan struktur bahasa al-Qur’ân dapat diamati dari

banyak ayat pada tabel dalam lembar lampiran, hal ini mengindikasikan

betapa besar perhatian al-Qur’ân terhadap al-maut. Penulis mencoba

mengumpulkan dan menganalisa term al-maut dalam al-Qur’ân, serta

bagaimana kata tersebut digunakan al-Qur’ân dari sudut pemaknaannya,

antara lain sebagai berikut:

1. Al-Maut Berarti Ketiadaan Hidup di Dunia

! Ê

! !!!

(39)

memahami mati dalam arti ketiadaan wujud. Yang memahami demikian

memahami ayat di atas dalam arti Allah menciptakan sebab-sebab

kematian. Menurut Quraish Shihab, kalaupun kematian diartikan dengan

ketiadaan, maka itu hanya berarti ketiadaan di pentas bumi ini.29

Ayat-ayat al-Qur`ân dan Hadis Nabi menunjukkan bahwa al-maut

bukanlah ketiadaan hidup secara mutlak, tetapi ia adalah ketiadaan hidup

di dunia, dalam arti bahwa manusia yang meninggal pada hakikatnya mendapat rezki (QS. Âli ‘Imrân: 169)

!! !!

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya (QS. al-Baqarah: 154)

Melalui ayat Âli ‘Imrân ini, Al-Qur`ân menanggapi cemoohan dan issu

kaum munafikin yang diisyaratkan oleh ayat sebelumnya. Ayat ini

memberikan informasi bahwa keadaan mereka yang gugur di jalan Allah,

mempertahankan atau memperjuangkan nilai-nilai Ilahi. Janganlah

engkau yakin bahwa mereka telah mati dan punah, sekarang ini bahkan

mereka itu hidup dengan kehidupan yang berbeda dengan kehidupan

manusia yang masih hidup di dunia, karena hidup mereka di sisi Tuhan

29

(40)

mereka yang Maha Agung dalam keadaan dianugerahi rezeki yang sesuai

dengan alam tempat mereka kini berada dan sesuai pula dengan nilai

perjuangan mereka dan kebesaran serta kemurahan Allah SWT.30

Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya ruh dari badan,

merupakan sebab yang mengantar manusia menuju kenikmatan abadi.

Kematian adalah perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain,

sebagaimana diriwayatkan bahwa, “Sesungguhnya kalian diciptakan

untuk hidup abadi, tetapi kalian harus berpindah dari satu negeri ke

negeri yang lain sehingga kalian menetap di satu tempat”.31

Imam Bukhârî meriwayatkan melalui sahabat Nabi al-Barrâ’, bahwa

Rasulullah SAW bersabda ketika putra beliau, Ibrâhîm, meninggal dunia,

“Sesungguhnya untuk dia (Ibrâhîm) ada seseorang yang menyusukannya

di surga”.32

manusia pasti memasukinya, dan setelah pintu itu pasti ada rumah yang

akan dihuni selamanya.

Oleh karena itu, sangat tepat penggunaan bahasa Indonesia kepada

seseorang yang telah dijemput al-maut dengan ucapan “meninggal

dunia”, karena pada hakekatnya ia tidak binasa bersama jasadnya dalam

30

Shihab, Tafsir al-Mishbah…, hal. 276

31

Shihab, Wawasan al-Qur`ân…, hal. 73

32

(41)

tanah, ia hanya meninggalkan kehidupan dunia ini menuju alam lain

yang belum kita merasakanya. Karena kematian jiwa adalah terpisahnya

jiwa itu dari badan dan keluarnya dari sana.33

2. Al-Maut dalam Pengertian Tidur membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan. Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat- malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya” (QS. al-An’âm: 60-61)

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir” (QS. al-Zumar:42)

Kedua surat dan ayat di atas menjelaskan tentang wafat atau

kematian. Disebutkan dalam surat al-An’âm wafat kecil kemudian wafat

besar, sedangkan dalam al-Zumar disebutkan wafar besar terlebih

33

(42)

dahulu kemudian wafat kecil. Hal ini mengisyaratkan bahwa kedua

wafat ini berkumpul dalam jiwa manusia.34 Maksud dari wafat kecil

adalah tidur dan wafat besar adalah al-maut.

Pakar tafsir Baidhâwî menulis ketika menafsirkan ayat 42 dari

al-Zumar, bahwa nafs berpisah dengan jasmani manusia pada saat

kematiaannya dengan pemisahan yang sempurna. Pada saat tidur,

pemisahannya tidak sempurna. Karena itu nafs bagi yang tidur kembali

ke wadah yang menampungnya sampai tiba masa pemisahannya yang

sempurna, yakni kematiannya.35 Itu sebabnya bila kematian tiba, hilang

gerak, rasa, dan tahu/ kesadaran dari tubuh makhluk hidup akibat

perpisahan yang sempurna itu. Ini karena potensi yang memerintahkan

bergerak, yang merasa dan tahu telah meninggalkannya. Sedang pada

orang tidur, karena perpisahab nafs dengan badan belum sempurna,

maka yang hilang darinya hanya unsur kesadaran itu saja. Sebagian

gerak, yakni yang bukan lahir dari kehendak dan kontrolnya, demikian

juga sebagian rasa, masih menyertai yang tidur.36

Rasulullah SAW pun dalam sekian sabda beliau mempersamakan

antara mati dan tidur. Salah satu doa yang diajarkan ketika bangun tidur

adalah:

34

Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Damasyqî, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, (Bairut: Dâr al-Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1999), cet. II, hal. 463

35

Nâshiruddîn Abû Sa’îd Abdullah ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Baidhâwî, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, (Bairut: Dâr Shâdir, tt), juz 5, h. 29

36

(43)

!!!!!!! !!

ketika bangun membaca, “Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kebangkitan” (HR. Bukhâri)

Yang dimaksud dengan menghidupkan adalah membangunkan dari

tidur, sedang mematikan adalah menidurkan. Walaupun mati serupa

dengan tidur, dan tidur dinilai nyaman, tetapi tidur tidak selalu

demikian. Saat tidur ada mimpi-mimpi yang dapat menjadikan tidur

lebih nyaman dan yang bersangkutan terbangun optimis, serta ada juga

yang mengerikan yang menjadikan seseorang risau dan gundah.

Demikian juga mati, walaupun tentu saja apa yang dialami saat mimpi

tidak merupakan kenyataan yang riil, sedang yang dialami pada saat

kematian adalah kenyataan yang sebenarnya.38

Allah memberitahukan, bahwa kedua jiwa yang dipegang dan dilepas

itu “mati dalam arti “tidur”, sedang jiwa yang mati dengan kematian

sebenarnya, ia adalah bagian ketiga, adalah yang didahulukan oleh-Nya

dengan firman-Nya, Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya

(al-Zumar: 42). Allah menyebut dua kematian dalam ayat tersebut; kematian

37

Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî…, juz 19, h. 374

38

(44)

yang berarti mati dan kematian yang berarti tidur. Allah juga menyebut

penahanan jiwa yang dimatikan dan pelepasan yang lain.39

Telah dimaklumi bahwa Allah menahan setiap jiwa yang mati, baik ia

mati dalam tidur atau sebelumnya, dan melepas orang yang belum mati.

Firman-Nya, Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya (al-Zumar:

42) mencakup jiwa yang mati dalam jaga dan jiwa yang mati dalam tidur

maka ketika menyebut kematian Dia menyebutkan bahwa

ditahan-Nyalah keduanya dalam salah satu kematian dan melepaskannya dalam

waktu yang lain.40

Tidur mirip kematian. Karena itu, ulama menamainya “kematian kecil”.

Tidur adalah kematian dan bangun dari tidur adalah kebangkitan serta

hidup kembali.

3. Al-Maut dalam Pengertian Belum Ada Wujud

!! !!!!

“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?” (QS. al-Baqarah: 28)

Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini, menjelaskan; Bagaimana

bisa, indra kamu yang mana yang menjadikan kamu terus-menerus kafir

kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, yakni tidak berada di pentas

bumi ini kemudian Dia menghidupkan kamu di permukaan bumi ini,

kemudian Dia mematikan kamu dengan mencabut nyawa kamu

sehingga kamu meninggalkan pentas bumi ini, kemudian Dia

39

‘Umar Sulaiman al-Asyqar, Yaum Âkhir, Qiyâmah Shughrâ wa ‘Alâmah al-Qiyâmah al-Kubrâ, (Bairut: Dâr al-Thayyibah li al-Nasyr wa al- Tauzî’, 1999), h. 23

40

Referensi

Dokumen terkait

Tafsir: Sesungguhnya mereka yang membakar lelaki mukmin dan wanita mukminah dengan api untuk memalingkan mereka dari agama Allah kemudian tidak bertaubat, maka bagi mereka

Al-Quran, di samping sebagai kitab suci yang menjadi panduan pengambilan hukum dalam agama Islam, ia tidak bisa dipungkiri juga merupakan kumpulan teks yang memiliki

Kisah-kisah perempuan yang diceritakan dalam Alquran beragam, ada kalanya menceritakan kisah wanita yang mulia, ada kalanya juga menceritakan kisah wanita yang

Prinsip ini sekali lagi menegaskan bahwa al-Qur'an tidak melarang manusia memiliki kekayaan dan meraih kebahagian duniawi, Manusia diingatkan agar tidak

karena konteks kehidupan manusia pertama kali yaitu di bumi, selain itu juga untuk menunjukkan sisi kelemahan manusia bahwa kehidupan itu pada hakikatnya di awali

Ibnu Abbas berkata, "maka janganlah kamu bertengkar tentang hal mereka kecuali pertengkaran lahir semata, "artinya, cukuplah bagimu apa yang telah Aku (Allah)

Undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas menyatakan, yang disebut penyandang disabilitas adalah orang yanag mengalami keterbatasan fisik,

Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka 103 Sesungguhnya orang-orang munafik itu pada tempat atau tingkat yang paling bawah dari neraka yakni bagian