• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORETIS

B. Kajian Teoretis

1. Unsur Intrinsik Novel

1. Unsur Intrinsik Novel

Nurgiyantoro (2013: 30) menjelaskan bahwa unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual dijumpai jika orang membaca karya sastra.

Novel merupakan karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku (Sugono, 2008: 969). Karya sastra yang satu ini dibangun oleh dua unsur. Salah satunya adalah unsur intrinsik seperti tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan amanat.

Di bawah ini merupakan unsur intrinsik yang terdapat dalam novel.

a. Tema

Scharback (dalam Aminuddin, 2013: 91) menjelaskan bahwa tema berasal dari bahasa Latin yang berarti “tempat meletakkan suatu perangkat”. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.

Nurgiyantoro (2013:32) menyatakan bahwa tema merupakan gagasan yang mendasari suatu karya sastra. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, sosial, dan sebagainya. Tema adalah gagasan yang mendasari karya sastra sehingga dapat menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa dalam satu alur (Sudjiman, 1988: 51).

Sudjiman (1988: 50-51) berpendapat bahwa tema cerita dapat dinyatakan secara eksplisit (jelas) dan implisit (simbolis). Akan tetapi, tidak semudah itu menemukan tema cerita karena lebih sering tema itu implisit (tersirat). Hanya dengan membaca cerita secara keseluruhan kita dapat menemukan temanya. Tema yang implisit membuat pembaca merasa penasaran untuk menemukan tema dalam karya sastra tersebut sehingga memacu minat pembaca untuk membaca secara cermat dan tekun untuk menemukan tema karya sastra tersebut. Gaya penulisan tema yang implisit membuat karya sastra itu makin mempunyai nilai keindahan sebagai sebuah karya sastra.

Tema pada hakikatnya merupakan makna yang dikandung cerita. Makna cerita atau tema dalam sebuah karya fiksi (novel), mungkin saja lebih dari satu makna cerita. Makna cerita atau tema dibedakan menjadi tema pokok atau tema mayor dan tema tambahan atau tema minor. Tema mayor adalah makna pokok yang menjadi dasar atau gagasan dasar suatu karya sastra, sedangkan tema minor adalah makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita atau dapat diidentifikasikan sebagai makna tambahan. Banyak sedikitnya tema minor tergantung pada banyak sedikitnya makna tambahan yang dapat ditafsirkan dari sebuah cerita novel (Nurgiyantoro, 2013: 125).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tema merupakan ide atau gagasan utama yang dijadikan sebagai dasar cerita yang disampaikan baik secara eksplisit maupun implisit oleh pengarangnya sebagai pandangan dasar hidup tertentu atau rangkaian nilai-nilai tertentu dalam suatu karya sastra. Tema dalam karya sastra biasanya lebih dari satu tema, yaitu tema pokok atau tema mayor dan tema tambahan atau tema minor.

b. Tokoh dan Penokohan

Tokoh dan penokohan merupakan salah satu unsur yang paling penting dalam sebuah novel. Aminuddin (2013: 79) mendefinisikan tokoh sebagai pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. Nurgiyantoro (2013: 254) menyatakan bahwa penokohan merupakan bagian, unsur, yang bersama dengan unsur-unsur yang lain membentuk suatu totalitas. Dengan demikian, penokohan mempunyai peranan yang besar dalam menentukan keutuhan dan keartistikan sebuah fiksi.

Berdasarkan tingkat pentingnya tokoh dalam suatu cerita menurut Sudjiman (1988: 17-19) dan Nurgiyantoro (2013: 258-259) tokoh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.

1) Tokoh Sentral atau Tokoh Utama

Tokoh sentral atau tokoh utama merupakan tokoh yang memegang peran utama dalam penceritaannya. Bahkan, pada novel-novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian.

2) Tokoh Bawahan

Tokoh bawahan merupakan tokoh yang memiliki kedudukan sentral. Namun, kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang tokoh utama.

Selanjutnya, berdasarkan peran tokoh menurut Sudjiman (1988: 17-19) dan Nurgiyantoro (2013: 260-261) tokoh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.

1) Protagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita, tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, dan harapan-harapan kita.

2) Antagonis

Tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik dalam sebuah novel. Tokoh antagonis ini merupakan tokoh yang menentang arus cerita dan menimbulkan rasa benci pada diri pembaca.

Kemudian, berdasarkan cara menampilkan tokoh cerita menurut Sudjiman (1988: 21) dan Nurgiyantoro (2013: 264-266) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.

1) Tokoh Datar

Tokoh datar merupakan tokoh sederhana dan bersifat statis dalam berkembangan watak. Sebagai seorang tokoh manusia, ia tidak diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya.

2) Tokoh Bulat

Tokoh bulat merupakan tokoh yang lebih dari segi wataknya sehingga tokoh ini dapat dibedakan dari tokoh yang lain. Selain itu, tokoh bulat mampu memberikan kejutan karena tiba-tiba dimunculkan wataknya yang tak terduga-duga.

Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan menurut Nurgiyantoro (2013: 272-274), tokoh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.

1) Tokoh Statis

Tokoh statis adalah tokoh cerita yang memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tak berkembang, sejak awal sampai akhir cerita. Tokoh statis tampak seperti kurang terlibat dan tak berpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan lingkungan.

2) Tokoh Berkembang

Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa

dan plot yang dikisahkan. Ia secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, maupun yang lain.

Menurut Sudjiman (1988: 24-26) terdapat dua metode dalam mengembangkan penokohan, yaitu sebagai berikut.

1) Metode Analitis

Metode analitis yaitu metode yang menjelaskan secara langsung watak tokoh dalam sebuah cerita. Selain itu, pengarang hanya memaparkan watak tokoh saja.

2) Metode Dramatis

Metode dramatis adalah metode yang watak tokohnya disimpulkan dari pemikiran pembaca. Selain itu, watak tokohnya dapat disimpulkan dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh dan penokohan adalah unsur penting dalam sebuah novel. Tokoh merupakan pelaku dalam cerita, sedangkan penokohan merupakan cara pengarang dalam menampilkan tokoh.

Berdasarkan tingkat pentingnya tokoh dalam suatu cerita menurut Sudjiman (1988: 17-19) dan Nurgiyantoro (2013: 258-259) tokoh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Selanjutnya, berdasarkan peran tokoh, menurut Sudjiman (1988: 17-19) dan Nurgiyantoro (2013: 260-261) tokoh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu protagonis dan antagonis. Kemudian, berdasarkan cara menampilkan tokoh cerita menurut

Sudjiman (1988: 21) dan Nurgiyantoro (2012: 181-183) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh datar dan tokoh bulat.

Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan menurut Nurgiyantoro (2013: 272-274), tokoh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh statis dan tokoh berkembang. Menurut Sudjiman (1988: 24-26) terdapat dua metode dalam mengembangkan penokohan, yaitu metode analitis dan metode dramatis.

Dari pendapat para pakar yang telah diuraikan di atas, penulis menggunakan pendapat Sudjiman dan Nurgiyantoro. Dalam penelitian ini penulis menganalisis tokoh dan penokohan yang meliputi tingkat pentingnya tokoh, peran tokoh, cara menampilkan tokoh, dan metode dalam mengembangkan penokohan.

c. Alur

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 45) alur adalah jalinan peristiwa dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu (pautannya) dapat diwujudkan oleh hubungan temporal atau waktu dan oleh hubungan kausal atau sebab-akibat. Stanton (2012: 26) menyatakan alur adalah rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita yang menunjukkan adanya hubungan kausalitas. Plot memegang peranan penting dalam cerita. Fungsi plot memberikan penguatan dalam proses membangun cerita. Selain itu, alur atau plot memberikan kemudahan pemahaman terhadap cerita dalam karya sastra dan menjadi salah satu kekuatan novel untuk mencapai efek estetis (Nurgiyantoro, 2013: 164-165).

Sudjiman (1988: 29) “alur adalah peristiwa yang diurutkan yang membangun tulang punggung cerita”. Struktur alur menurut Sudjiman (1988: 30) dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu awal, tengahan, dan akhir.

Tahap awal cerita biasanya disebut perkenalan. Pada tahap awal ini terdiri dari tiga bagian, yaitu paparan, rangsangan, dan gawatan. Paparan merupakan peristiwa awal dan gambaran masalah yang dihadapi tokoh. Tahap awal yang berupa pengenalan tokoh akan membawa pembaca untuk segera berkenalan dengan tokoh yang akan dikisahkan. Rangsangan merupakan alur yang mengarah terjadinya tindakan awal tokoh. Dengan cara ini kita dapat mengetahui tentang siapa dan bagaimana tokoh khususnya yang berhubungan dengan jati diri tokoh. Pada tahap awal cerita, di samping untuk memperkenalkan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita, konflik sedikit demi sedikit juga sudah mulai dimunculkan melalui gawatan. Masalah-masalah yang dihadapi tokoh akan memuncak di bagian tengah cerita, klimaks, mulai dihadirkan dan diurai.

Tahap tengah cerita terdiri dari tiga bagian, yaitu tikaian, rumitan, dan klimaks. Tikaian merupakan gambaran perbedaan sikap, keinginan, pandangan masalah para tokoh. Konflik yang sudah dimunculkan pada tahap awal, menjadi makin meningkat dan menegangkan. Dalam tahap tengah klimaks ditampilkan, yaitu ketajaman konflik yang dihadapi tokoh.

Tahap akhir sebuah cerita dibagi menjadi dua, yaitu leraian dan selesaian. Dalam tahap leraian menampilkan adegan tertentu sebagai akibat

klimaks. Jadi, bagian ini berisi bagaimana kesudahan cerita. Selesaian merupakan gambaran nasib tokoh terhadap penyelesaian.

Menurut Sudjiman (1988: 36-37), unsur kemenarikan alur atau keindahan alur adalah sebagai berikut.

1) Kebolehjadian (Plausibility)

Penyelesaian masalah pada akhir cerita sudah terbayangkan di awal cerita. 2) Kejutan (Surprise)

Pemecahan misteri secara mengejutkan untuk mengecewakan harapan pembaca tentang alur.

3) Kebetulan

Peristiwa yang sengaja direncanakan demi kelancaran jalannya cerita, tetapi tidak sampai menimbulkan kekakuan.

4) Tegangan (Suspense)

Cara menyusun suatu cerita sehingga para pembaca selalu ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

5) Daya Duga Bayang (Foreshadowing)

Bayangan beberapa kejadian yang akan berlangsung kepada pembaca. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alur merupakan urutan peristiwa yang diwujudkan oleh hubungan sebab-akibat yang membangun cerita dalam karya sastra. Peristiwa yang satu akan mengakibatkan timbulnya peristiwa yang lain, peristiwa yang lain itu akan menjadi sebab bagi timbulnya peristiwa berikutnya dan seterusnya sampai akhir cerita tersebut berakhir. Alur memberikan kemudahan kepada pembaca untuk memahami cerita dalam

karya sastra. Selain itu, alur juga menjadi salah satu kekuatan novel untuk mencapai efek estetis.

Struktur alur menurut Sudjiman (1988: 30) dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu awal, tengahan, dan akhir. Selanjutnya, unsur kemenarikan alur atau keindahan alur menurut Sudjiman (1988: 36-37) adalah kebolehjadian, kejutan, kebetulan, tegangan, dan daya duga bayang.

Berdasarkan pendapat para pakar yang telah diuraikan di atas, penulis menggunakan pendapat Sudjiman. Dalam penelitian ini penulis menganalisis alur yang meliputi struktur alur dan kemenarikan alur.

d. Latar

Stanton (2012: 35) menyatakan latar atau setting lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita dan semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar adalah keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra (Sugono, 2008: 794).

Tarigan (1986: 136) menyatakan bahwa maksud dan tujuan latar, yaitu (1) latar dapat dengan mudah dikenal kembali dan dilukiskan dengan terang dan jelas serta mudah diingat, cenderung memperbesar keyakinan terhadap tokoh dan geraknya serta tindakannya; (2) latar dapat mempunyai suatu relasi yang lebih langsung; (3) latar dapat bekerja bagi maksud-maksud yang lebih terdahulu dan terarah dari pada menciptakan suatu atmosfer yang bermanfaat dan berguna.

Nurgiyantoro (2013: 314-325) membedakan unsur latar menjadi tiga unsur, diantaranya sebagai berikut.

1) Latar Tempat

Latar tempat adalah lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

2) Latar Waktu

Latar waktu adalah hubungan dengan “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

3) Latar Sosial-budaya

Latar sosial adalah hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.

Latar merupakan bagian cerita yang tidak terpisahkan dari unsur-unsur yang lainnya. Selain sebagai unsur fiksi yang membentuk cerita, Nurgiyantoro (2013: 330-335) berpendapat bahwa latar juga dapat dilihat dari sisi fungsi yang lain, yaitu latar sebagai metaforik dan latar sebagai atmosfer yang dijelaskan sebagai berikut.

1) Latar sebagai Metaforik

Ekspresi yang berupa ungkapan-ungkapan tertentu sering disampaikan dengan bentuk metafora daripada literal. Dalam kaitan ini adalah latar yang berfungsi metaforik. Deskripsi latar yang melukiskan sifat, keadaan atau suasana tertentu sekaligus berfungsi metaforik terhadap suasana internal tokoh. Deskripsi latar yang menyangkut hubungan alam, tidak hanya mencerminkan suasana internal tokoh. Namun, juga menunjukkan

suasana kehidupan masyarakat, kondisi spiritual masyarakat yang bersangkutan.

2) Latar sebagai Atmosfer

Atmosfer cerita adalah emosi yang dominan yang merasukinya, yang berfungsi mendukung elemen-elemen cerita yang lain untuk memperoleh efek yang mempersatukan. Atmosfer itu sendiri dapat ditimbulkan dengan deskripsi detail, irama tindakan, tingkat kejelasan dan kemasukakalan berbagai peristiwa, kualitas dialog, dan bahasa yang digunakan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan waktu, tempat, dan sosial-budaya masyarakat. Latar waktu, tempat, dan sosial-budaya masyarakat digambarkan melalui peristiwa di dalam novel tersebut. Latar juga berfungsi sebagai metaforik dan atmosfer.

e. Sudut Pandang

Abrams (Nurgiyantoro, 2013: 338) menyatakan bahwa sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Penggunaan sudut pandang yang berbeda menghasilkan versi yang berbeda dari peristiwa atau rentetan peristiwa yang sama dan menyajikan rincian yang berbeda dari peristiwa yang sama (Sudjiman, 1988: 72).

Sudjiman (1988: 72) berpendapat bahwa sudut pandang dapat digolongkan sebagai berikut.

1) Sudut Pandang Orang Pertama

Sudut pandang orang pertama adalah pencerita berada di dalam yang ikut terlibat di dalam cerita. Sudut pandang ini dibagi menjadi dua, di antaranya sebagai berikut.

a) Sudut Pandang Orang Pertama Akuan Sertaan

Sudut pandang orang pertama akuan sertaan, yaitu “aku” mengisahkan berbagai peristiwa atau kejadian yang dialaminya. Dengan sudut pandang akuan sertaan, pembaca seakan benar-benar terlibat di dalam cerita.

b) Sudut Pandang Orang Pertama Akuan Tak Sertaan

Sudut pandang orang pertama akuan tak sertaan, yaitu “aku” mengisahkan berbagai peristiwa atau kejadian yang dialami orang lain, “aku” hanya sebagai pencerita, tetapi tidak ikut terlibat di dalam cerita tersebut.

2) Sudut Pandang Orang Ketiga

Sudut pandang orang ketiga adalah pengarang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh dengan menyebut nama atau kata gantinya “ia”, “dia”, dan “mereka”. Sudut pandang ini digolongkan menjadi dua, di antaranya sebagai berikut.

a) Sudut Pandang Orang Ketiga Diaan Serbatahu

Sudut pandang orang ketiga diaan serbatahu, yaitu pengarang sebagai narator yang dapat menceritakan apa saja yang menyangkut tokoh utama dan dapat memasukkan unsur emosi dan penilaian subjektifnya ke dalam kisahannya.

b) Sudut Pandang Orang Ketiga Diaan Terbatas

Sudut pandang orang ketiga diaan terbatas, yaitu pengarang sebagai narator yang berada di luar cerita. Pengarang tidak dapat menembusi pikiran dan perasaan tokoh-tokoh yang lain, tetapi hanya terbatas pada apa yang diamatinya, yaitu tokoh “dia” sebagai tokoh utama.

Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa sudut pandang adalah cara pengarang untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Pengarang dapat menggunakan sudut pandang orang pertama (“aku”) atau sudut pandang orang ketiga (nama tokoh, “ia”, “dia”, dan “mereka”).

f. Amanat

Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra, pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar (Sugono, 2008: 47). Sudjiman (1988: 57) mendefinisikan amanat sebagai pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karya sastranya, baik disampaikan secara implisit maupun secara eksplisit. Implisit, jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Tema

disampaikan secara eksplisit, jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan, dan sebagainya, berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita itu (Sudjiman, 1988: 57-58).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa amanat adalah suatu pesan positif yang disampaikan pengarang untuk pembacanya. Pesan tersebut disampaikan melalui tokoh-tokohnya, baik secara implisit maupun secara eksplisit atau langsung.

Pesan yang disampaikan pengarang secara implisit dengan tidak menggurui pembaca membuat karya sastra indah dan mempunyai seni. Pembaca merasa terhibur dan dapat mengambil pesan dari karya sastra tanpa tahu kalau mereka sebenarnya sedang dinasihati. Hal itulah yang membe-dakan karya sastra dengan buku pelajaran.

g. Hubungan Antarunsur

Hubungan antarunsur pada novel Api Tauhid Karya Habiburrahman El Shirazy terdiri dari tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan amanat. Hubungan antarunsur menurut Sudjiman (1988: 27, 40, 48,) dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: (1) hubungan tokoh dengan unsur cerita yang lain, (2) hubungan alur dengan unsur cerita yang lain, dan (3) hubungan latar dengan unsur cerita yang lain.

1) Hubungan Tokoh dengan Unsur Cerita yang Lain

Untuk membuat tokoh-tokoh yang meyakinkan, pengarang harus melengkapi diri dengan pengetahuan yang luas dan dalam tentang sifat

tabiat manusia, serta tentang kebiasaan bertindak dan berujar dalam lingkungan masyarakat yang hendak digunakannya sebagai latar. Tokoh dan latar memang merupakan dua unsur cerita rekaan yang erat berhubungan dan tunjang-menunjang.

Hudson (dalam Sudjiman, 1988:27) menjelaskan bahwa penokohan penting, bahkan lebih penting daripada pengaluran. Dalam konflik kepentingan alur dan penokohan, biasanya penokohan diutamakan. Lagi pula, novel-novel yang dianggap bernilai sastra pada umumnya adalah novel yang cermat penokohannya. Penokohan dapat mengungkapkan makna niatan si pengarang sebagai pencipta tokoh.

2) Hubungan Alur dengan Unsur Cerita yang Lain

Di dalam sebuah cerita unsur-unsur itu tidak berdiri terlepas-lepas. Dalam perkembangan cerita selalu ada interaksi antara unsur-unsur cerita. Dalam hal tokoh dan alur ini, misalnya, sulitlah mengatakan dengan pasti mana yang lebih dahulu ada: tokoh atau alur. Dalam membicarakan sarana pengikat peristiwa telah disinggung-singgung hubungan alur dengan tokoh dan alur dengan tema.

3) Hubungan Latar dengan Unsur Cerita yang Lain

Meskipun dalam suatu novel boleh jadi latar merupakan unsur yang dominan, latar tidak pernah berdiri sendiri. Namanya juga unsur bagian, bagian dari suatu keutuhan artistik yang harus dipahami dalam hubungannya dengan unsur-unsur lain dalam cerita.

Latar dapat menentukan tipe tokoh cerita; sebaliknya juga tipe tokoh tertentu menghendaki latar yang tertentu pula. Latar dapat juga mengungkapkan watak tokoh.

Demikianlah latar sebagai unsur cerita yang dinamis membantu pengembangan unsur-unsur lainnya. Hubungannya dengan unsur-unsur lain itu boleh jadi selaras, boleh jadi pula berkontras.

Dokumen terkait