• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

F. Unsur Pembangun Karya Sastra

Karya sastra merupakan sebuah hasil karya pengarang yang diwakili dalam bentuk kata-kata dan rangkaian cerita yang saling membangun. Unsur pembangun karya sastra, khususnya novel terdiri dari unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

1. Intrinsik

Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai orang membaca karya sastra. Unsur yang terkandung dalam instrinsik menjadi bahan kajian kritik sastra seperti tema, alur, tokoh, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa.

a. Tema

Tema merupakan aspek yang sejajar dengan „makna’ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman

19

begitu diingat. 20 Ada banyak kisah berhubungan dengan pengalaman yang dirasakan manusia, mulai dari cinta hingga penderitaan. Aminuddin berpendapat tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang saat memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya. 21 Hartoko & Rahmanto mengemukakan bahwa tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan terkandung di dalam teks sebagai struktur sistematis dan menyangkut persamaan juga perbedaan.22 Di pihak lain, Nurgiyantoro menyimpulkan tema sebagai gagasan (makna) dasar umum yang menompang sebuah karya sastra sebagai struktur sematis dan bersifat abstrak secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit.23 Dari beberapa pendapat ahli, diketahui bahwa tema merupakan makna pokok pembicaraan sebuah cerita, kemunculannya akan lebih sering terlihat karena masalah-masalah yang ada pada cerita akan menuju kepada makna tersebut.

b. Alur

Stanton menjelaskan bahwa alur atau plot (istilah yang digunakan Nurgiyantoro) merupakan cerita yang berisi urutan kejadian, namun kejadian dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.24 Pendapat Stanton sebelumnya sudah dikemukakan oleh Forster yang mengartikan alur sebagai peristiwa-peristiwa

20

Robert Stanton, Op.cit., h. 36 21

Wahyudi Siswanto, Op.cit, h. 161

22

Burhan Nurgiyantoro, Op.cit, h.115

23Ibid. 24Ibid.,

cerita yang mempunyai pendekatan pada adanya hubungan kausalitas. Penggambaran peristiwa berdasarkan pada urutan cerita saja tidak dapat menggambarkan pengertian alur. Alur haruslah menjadi sebuah jalinan cerita yang memiliki keterkaitan cerita satu dengan yang lain. Peristiwa terjadi pasti ada penyebabnya, atau peristiwa itu terjadi karena penyebab peristiwa lain. Hal seperti itu merupakan jalinan cerita saling berkaitan, maka akan terjadilah jalinan cerita tidak hanya berdasarkan urutan cerita, tapi lebih kepada kaitan antar cerita yang memiliki ikatan satu sama lain.

Abrams mengungkapkan, bahwa alur haruslah berupa rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. 25 Sedangkan Sudjiman mengartikan alur sebagai jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Siswanto mengartikan alur adalah rangkaian peristiwa rekaan dan dijalani dengan saksama, menggerakan jalan cerita melalui rumitan ke arak klimaks dan selesaian. Menurut pendapat Abrams dan Siswanto menggambarkan alur dengan tahapan-tahapan tertentu sehingga cerita dapat bergerak menghadirkan peristiwa. Bila dilihat kembali dari pendapat beberapa ahli seputar alur atau plot, cerita fiksi pada umumnya harus memiliki jalinan peristiwa yang memiliki keterkaitan sehingga akan menimbulkan tahapan-tahapan pembangun cerita yang akan mengesankan pembaca.

Tahapan alur menurut Aminuddin diawali dengan pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian. Pengenalan adalah tahapan peristiwa suatu cerita rekaan atau

25

drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita. Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama. Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah alur cerita rekaan atau drama yang mengembangkan tikaian. Klimaks merupakan bagian alur cerita rekaan atau drama yang melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan emosional pembaca. Krisis atau titik balik berupa bagian alur yang mengawali penyelesaian. Leraian adalah bagian struktur alur sesudah tercapainya klimaks. Selesaian merupakan tahap akhir suatu cerita rekaan atau drama. 26 Sedangkan Nurgiyantoro membedakan alur berdasarkan kriteria urutan waktu, yaitu alur lurus (progresif), alur sorot-balik (flash back), dan alur campuran. Alur lurus menekankan kepada urutan kronologis yang tertata dari awal hingga akhir cerita. Alur sorot-balik lebih kepada pengambilan tengah cerita sebagai pembuka cerita, kemudian barulah cerita dilanjutkan secara berurutan. Alur campuran merupakan penggambungan antara alur lurus dan alur sorot-balik. c. Tokoh

Aminudin mengungkapkan bahwa tokoh merupakan pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh menurut Sudjiman merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Di samping tokoh utama (protagonis), ada jenis-jenis tokoh lain, yang terpenting adalah tokoh lawan (antagonis), yakni tokoh yang diciptakan untuk

26Ibid.,

mengimbangi tokoh utama. Konflik di antara mereka itulah yang menjadi inti dan menggerakan cerita.27 Bukan perkara tokoh protagonis adalah tokoh baik, atau tokoh antagonis adalah tokoh jahat. Tapi, lebih menyoroti kedudukan tokoh dalam cerita.

Boulton mengungkapkan bahwa cara sastrawan

menggambarkan atau memunculkan tokoh dapat menempuh berbagai cara.28 Jadi, dapat dikatakan tokoh merupakan tokoh rekaan yang menjalani peristiwa sehingga membangun cerita. Setiap tokoh memiliki karakterisasi atau pemeranaan, pelukisan watak. Metode karakterisasi dalam telaah karya sastra adalah metode melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi. 29 Sehingga pengambaran tokoh ditunjukan oleh pengarang dapat dilihat melalui metode langsung (telling) dan metode tidak langsung (showing). Menurut Minderpop, metode langsung dapat disimak bahwa pengarang tidak sekadar menyampaikan watak para tokoh berdasarkan apa yang tampak melalui lakuan tokoh tetapi ia mampu menembus pikiran, perasaan, gejolak serta konflik batin dan bahkan motivasi yang melandasi tingkah laku para tokoh. Sedangkan metode tidak langsung dapat dijelaskan ketika seorang tokoh membicarakan tingkah laku tokoh lainnya ternyata pembicaraan justru dapat menunjukan tidak sekadar watak tokoh yang dibicarakan, bahkan watak si penutur sendiri tampak jelas.

27

Melani Budianta dkk, Membaca Sastra: Pengentar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi, (Indonesia Tera: Magelang, 2006) h. 86

28

Wahyudi Siswanto, Op.cit, h. 104

29

Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2005) h. 2

d. Latar

Latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang dan susana terjadinya lakuan pada karya sastra. Deskripsi latar dapat bersifat fisik, realistis, dokumenter, dapat pula berupa deskipsi perasaan.30 Wellek & Warren mengemukakan bahwa latar adalah lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonimia, metafora, atau ekspresi tokohnya. Abrams mengemukakan latar cerita adalah tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumatances) pada setiap episode atau bagian-bagian tempat.31 Latar merupakan lingkungan yang menjelaskan segala keterangan, mencakup tempat, waktu, dan suasana.

Leo Hamalida dan Frederick R. Karell menjelaskan bahwa latar cerita karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta benda-benda di lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problem tertentu. Pendapat Leo & Frederick sepaham dengan pendapat Abrams yang menyebutkan bahwa latar sebagai landasan tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa diceritakan. 32 Latar berhubungan dengan keadaan tertentu dikenal melalui penggambaran latar suasana, gambaran terjadi lebih membangun nuansa yang terasa oleh pembaca.

30

Melani Budianta dkk, Op.cit., h.

31

Wahyudi Siswanto, Op.cit., h.149

32

e. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang cerita, dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri. 33 Hal itu biasanya dikemukakan oleh narator. Berbicara tentang narator, berarti berbicara tentang sudut pandang, yaitu suatu metode narasi yang menentukan posisi atau sudut pandang darimana cerita disampaikan.34 Sedangkan menurut Aminuddin, titik pandang diartikan sebagai cara pengarang menampilkan pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Titik pandang meliputi (1) narrator omniscient, (2) narrator observer, (3) narrator observer omniscient, dan (4) narrator the thrid person omnisceant.

Harry Shaw menyatakan titik pandang terdiri atas (1) sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi cerita, (2) sudut pandang nentral, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah dalam cerita, dan (3) sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang dipilih pengarang dalam membawa cerita; sebagai orang pertama, kedua, atau ketiga. Sudut pandang pribadi dibagi atas (a) pengarang menguatkan sudut pandang tokoh, (b) pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, dan (c) pengarang menggunakan sudut pandang yang impersonal: ia sama sekali berdiri di luar cerita.35 Pengarang sudah tidak punya kedudukan ketika cerita sudah dipaparkan. Tidak ada pengarang dalam cerita, melainkan tokoh yang diciptakan pengarang untuk memandu cerita.

33

Wahyudi Siswanto, Op.cit., h. 151

34

Albertine Minderop, Op.cit., h. 44

35

Baik tokoh yang terlibat langsung, atau tokoh di luar cerita berlangsung.

Sudut pandang orang pertama atau “akuan” adalah tokoh yang terdapat dalam cerita, walau kehadirannya belum tentu sebagai tokoh utama. Sedangkan sudut pandang orang ketiga atau “diaan” mengacu kepada kata ganti orang ketiga, dia, atau ia. Sudut

pandang “diaan” berada di luar cerita, ia bertugas menyampaikan

suatu cerita tanpa ikut terlibat di dalamnya.36 Selain itu, ada pula sebutan sudut pandangan gabungan dapat mengamati bagaimana pengarang menyampaikan ceritanya. Menggunakan sudut pandang gabungan dapat melihat sebuah masalah ditinjau lebih dari satu tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut.37 Menurut Miderop, sudut pandang berfungsi sebagai penentu tokoh mayor (utama) dan minor (bawahan), memahami perwatakan para tokoh yang dianalisi, memperlihatkan motivasi, menentukan alur dan latar bila dianggap perlu untuk mendukung perwatakn atau tema, dan menentukan tema karya sastra tersebut.

f. Gaya Bahasa

Aminuddin mengungkapkan bahwa gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. 38 Gorys Keraf membedakan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna ke dalam dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris dan kisan. Gaya retoris adalah gaya bahasa yang harus diartikan menurut nilai lahirnya atau

36

Melani Budianta, dkk, Op.cit., h. 90

37

Albertine Minderop, Op.cit., h. 91

38

memiliki unsur kelangsungan makna. Sebaliknya, gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang maknanya tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan makna kata-kata yang membentuknya.39 Gaya bahasa kiasan umumnya dikenal dengan sebutan majas.

Umumnya gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa biasa digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau objek. Gaya bahasa mencangkup: arti kata, citra, perumpamaan, serta simbol dan alegori. Arti kata mencangkup, antara lain: arti denotatif dan konotatif, alusi, parodi, dan sebagainya; sedangkan perumpamaan mencangkup, antara lain: simile (merupakan perbandinngan langsung antara benda-benda yang tidak selalu mirip secara ensesial), matafor (suatu gaya bahasa yang membandingkan suatu benda dangan benda lain secara langsung, dalam bahasa Inggris menggunakan to be dan bisa digunakan secara langsung) dan personifikasi (suatu proses penggunaan karakteristik manusia untuk benda-benda non-manusia, termasuk abstrak dan gagasan).40 Ada beberapa macam gaya bahas kiasan selain perumpamaan. Ada kaya bahasa yang berupa perbandingan, sindiran, pertentangan, dan penegasan. 2. Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar teks sastra itu, tetapi tidak langsung memengaruhi bangun atau sistem organisme teks sastra, atau secara khusus dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangunan cerita sebagai karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.41

39

Burhan Nurgiyantoro, Op.cit., h. 399

40

Albertine Minderop, Op. cit., h. 42

41

Faktor lingkungan dan sejarah menjadi salah satu pembentuk unsur ekstrinsik sebuah karya.

Seperti ungkapan Wellek dan Warren yang meyakinkan bahwa metode terbaik dalam ekstrinsik adalah mengaitkan karya sastra dengan latar belakang keseluruhan.42 Baik dari segi biografi, psikologi, sosiologi, maupun pemikiran pengarang. Segala aspek kehidupan yang berada di lingkungan kehidupan pengarang dapat menjadi wahana pembangun sebuah karya sastra secara tidak langsung, baik itu disadari ataupun tidak oleh pengarang.

Dokumen terkait