• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KEDEWASAAN DALAM BERKOMUNIKASI

A. KEDEWASAAN

2. Unsur-unsur Kedewasaan

(1972: 3-6) dalam buku berjudul Kedewasaan Manusiawi dan

Kedewasaan Kristiani menyebutkan unsur-unsur yang harus termasuk dalam

konsep kedewasaan demikian:

a. Telah mencapai suatu kesatuan fundamental dalam kepribadiannya

Seorang dewasa adalah seseorang yang kesatuan fundamental dan kepribadiannya telah tercapai. Ia tidak lagi dalam proses penemuan serta realisasi diri sendiri seperti halnya para remaja. Seorang dewasa bukan lagi seorang yang sedang berkembang namun sudah berkembang, sudah sepenuhnya menyelami kepribadiannya. Ia telah menemukan segala akal dayanya serta manfaat dari segala bakatnnya, mengerti dirinya sendiri. Ia dapat memusatkan kekuatan-kekuatannya, sehingga dapat mengungkapkan serta memberikan dirinya kepada orang lain dengan suatu perbuatan yang sepenuhnya bebas. Ia telah mencapai keteguhan, kestabilan dalam k , 1972: 3-4).

b. Sudah berkembang melampaui antusiasme sementara dan kini hidup sesuai dengan keyakinannya

Seorang dewasa berarti seseorang yang sudah berkembang melampaui

keyakinannya. Antusiasme ini ditandai oleh ketulusan hati, tetapi ditandai juga oleh kurang adanya keterlibatan sepenuhnya, refleksi ataupun kebebasan sejati. Orang dewasa menyadari bahwa manusia mempunyai nilai selaras dengan nilai hatinya

, 1972: 4).

c. Sadar bahwa ia bertanggung jawab atas tiap segi kehidupannya Seorang dewasa sadar bahwa ia bertanggung jawab atas m

-, 1972: 5).

d. Sadar dimensi sosialnya

Seorang dewasa sadar bahwa ia berakar dalam masyarakat, berada dengan orang lain. Keanggotaannya dalam keluarga manusia menuntut suatu hubungan pribadi dengan orang lain. Ia tidak lagi berpusat pada dirinya sendiri, tetapi terbuka secara bertanggungjawab terhadap lingkungan

, 1972: 5).

e. Menyesuaikan dirinya dengan realita hidup

-, 1972: 6).

3. Sikap-sikap yang Mendasari Proses Pendewasaan Diri

J. M. Fuster, SJ (1985: 125-141) dalam bukunya berjudul Teknik

Mendewasakan Diri menyatakan bahwa sikap-sikap manusia akan mempengaruhi

dalam bertingkah laku. Sikap negatif terhadap diri membuat manusia menjadi rendah diri, murung, iri, menyendiri dan membuat terhalang untuk mengasihi orang lain dan menerima kasih mereka sehingga sulit untuk bertumbuh. Maka sikap yang perlu dikembangkan untuk lebih siap menanggapi rahmat Allah adalah sikap empati, otentik, respek, konfrontasi dan perwujudan diri. Fuster melihat satu persatu sikap-sikap itu demikian:

a. Sikap empati

Sikap empati berarti kesanggupan untuk merasakan dan mengerti perasaan-perasaan orang lain seolah-olah itu perasaan-perasaan kita sendiri. Sekarang yang menjadi orang lain adalah diri kita sendiri. Maka sikap empati terhadap diri sendiri berarti kesanggupan untuk merasakan dan mengerti dengan tepat apa yang saya alami dan saya rasakan dan dengan jelas dapat mengungkapkan pengalaman itu. Sikap empati ini efektif untuk mendorong pendewasaan diri dalam Kristus sebab, pertama: setelah menyadari perasaan-perasaan sendiri, orang diringankan dari beban perasaan diri itu. Seolah-olah beban perasaan itu pergi dari pikiran diri dan ia bisa berpikir jernih. Ketakutan dan kekacauan terjadi ketika seseorang mengalami perasaan-perasaan tertentu tetapi tidak dapat menerangkannya Kedua: sikap empati terhadap diri mengembangkan kesadaran diri akan

pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaannya. Penyadaran diri yang dalam ini semakin mendorong orang untuk lebih dalam lagi menggali diri (Fuster, 1985: 125-126). b. Sikap otentik

Otentik berarti asli. Sikap otentik dapat disebut juga jujur, polos, apa adanya. Maka sikap otentik berarti orang mau mengatakan apa yang sungguh-sungguh ada dalam diri sendiri. Dengan jujur mengakui bahwa yang diungkapkan itu milik diri, tetapi juga dengan jujur mau memutuskan untuk meneruskan atau membuang. Sikap ini penting karena membantu seseorang untuk bersikap empati terhadap diri dan membantu seseorang untuk mengerti diri yang sebenarnya. Bila orang mengerti diri sendiri secara obyektif, dapat menyebut perasaan-perasaan dengan tepat, maka ia dapat menyentuh realitas diri dan tahu dimana dirinya berada. Bila orang menipu diri hanya karena takut menatap diri apa adanya, maka ia akan tetap kebingungan dan tidak dapat membantu diri sendiri. Kebingungan yang terjadi terus-menerus ini akan sungguh menghambat proses pendewasaan diri dalam Kristus (Fuster, 1985: 126-128).

c. Sikap respek

Respek berarti menaruh hormat atau menghargai. Sikap hormat terhadap diri berarti mau menerima diri apa adanya dengan penuh cinta karena sadar bahwa seperti apapun keadaan diri, namun tetap bernilai dan memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi lebih baik. Sikap respek terhadap diri membuat orang selalu mensyukuri anugerah-anugerah Allah bagi hidupnya. Sikap respek terhadap diri membuat ia tidak minder, tidak rendah diri, tetapi dengan apa adanya ia merasa cukup mampu berhubungan dengan orang lain dan melaksanakan tugas dengan

penuh semangat karena percaya akan karya Allah yang terjadi dalam dirinya dalam keadaan apapun (Fuster, 1985: 128-129).

d. Konfrontasi diri

Konfrontasi berarti saling berhadapan atau bertatapan. Dalam konfrontasi diri, orang mau mencari kekurangan-kekurangan dirinya dan menyadarinya secara penuh. Ia mau mencari kekurangan-kekurangan diri dengan menyelidiki diri, meneliti diri dalam batin tiap hari, rekoleksi bulanan, retret tahunan. Bila orang tidak pernah menyadari kekurangan-kekurangannya, merasa diri segalanya beres dan puas diri maka ia tak akan ada kemajuan dalam hidupnya. Konfrontasi diri membuat orang sadar penuh akan diri yang sebenarnya dan bagaimana kedudukan diri yang sebenarnya di hadapan Allah. Kesadaran ini adalah kerendahan hati. Kerendahan hati adalah jalan yang baik untuk mengalami sentuhan lembut yang menyembuhkan dari Tuhan yang bangkit terhadap luka-luka manusia dan untuk mengalami kekuatan-Nya untuk mengubah menurut kehendak-Nya. Proses pendewasaan dalam Kristus terjadi dalam rentetan konfrontasi diri yang terus menerus tak habis-habisnya (Fuster, 1985: 131-134).

e. Perwujudan diri

Yang dimaksud perwujudan diri di sini adalah sikap mau mengejar dengan penuh semangat perwujudan diri yang semakin sempurna sehingga orang mempunyai kemauan kuat untuk maju, untuk mencapai realisasi diri yang semakin penuh. Dalam iman Katolik, pribadi yang telah mewujudkan diri ialah orang yang berusaha keras untuk semakin memahami rencana Allah bagi dirinya dan menjawab dengan lembut terang yang diterima dari Roh Kudus. Pribadi yang

telah mewujudkan diri sekaligus menyadari bahwa Allah mempunyai rencana bagi setiap orang. Dengan demikian ia bekerja sama dengan Allah dalam membantu mereka agar menjadi lebih dekat dengan Allah. Seseorang telah mampu mewujudkan diri bila mengerti diri (kekuatan, kelemahan), memanfaatkan kesempatan-kesempatan untuk menyempurnakan diri, belajar bagaimana maju bersama orang lain dan mendorong mereka untuk tumbuh, jujur dengan diri sendiri dan orang lain, bertanggungjawab dan dapat dipercaya, menguasai diri dan murah hati kepada orang lain, tahu arah hidup dan tahu kemana akan menuju. Semakin orang tumbuh dalam sikap-sikap di atas, ia akan semakin tumbuh dalam kematangan sehingga orang akan lebih siap menjawab undangan roh untuk menjadi dewasa dalam Kristus (Fuster, 1985: 134-141).