• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGOLAHAN KEDEWASAAN BERKOMUNIKASI SEBAGAI SARANA HIDUP BERKOMUNITAS PARA SUSTER ABDI KRISTUS SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGOLAHAN KEDEWASAAN BERKOMUNIKASI SEBAGAI SARANA HIDUP BERKOMUNITAS PARA SUSTER ABDI KRISTUS SKRIPSI"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

PENGOLAHAN KEDEWASAAN BERKOMUNIKASI

SEBAGAI SARANA HIDUP BERKOMUNITAS

PARA SUSTER ABDI KRISTUS

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Agnes Suswindarti

NIM: 081124029

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN

KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan kepada:

(5)

MOTTO

“Jiwaku memuliakan Tuhan,

dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya.

Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia”

(6)
(7)
(8)

ABSTRAK

Judul karya tulis ini ialah PENGOLAHAN KEDEWASAAN BERKOMUNIKASI SEBAGAI SARANA HIDUP BERKOMUNITAS PARA SUSTER ABDI KRISTUS, dipilih berdasarkan situasi dan kenyataan adanya upaya mewujudkan kerinduan para suster Abdi Kristus untuk membangun komunitas yang hidup, baik secara personal maupun bersama namun belum terprogram dengan baik sehingga kurang efektif dan berdaya guna. Komunitas yang hidup yang diharapkan oleh para suster Abdi Kristus adalah komunitas yang dipenuhi oleh kasih dan kegembiraan dalam Roh seturut teladan Bunda Maria pelindung pertama Kongregasi Biarawati Abdi Kristus. Upaya yang kurang efektif dan berdaya guna tersebut tampak dalam refleksi para suster Abdi Kristus yang secara umum menemukan sulitnya hidup bersama dalam komunitas karena masing-masing pribadi belum mempunyai kesadaran untuk mengolah diri sehingga dalam sikap hidup terutama cara berkomunikasi tidak menampakkan kualitas hidup yang matang. Kenyataan yang terjadi dalam hidup berkomunitas adalah saling mendiamkan, masalah senioritas, krisis kepercayaan dan keteladanan, kesalahpahaman dan konflik yang tidak terselesaikan, egois dll. Bertitik tolak dari situasi dan kenyataan tersebut, karya tulis ini dimaksudkan untuk membantu para suster Abdi Kristus mengolah kedewasaan berkomunikasi sebagai sarana hidup berkomunitas melalui rekoleksi sebagai salah satu program pengolahan hidup terus menerus.

Karya tulis ini merupakan kajian tentang kedewasaan berkomunikasi dan hidup berkomunitas para suster Abdi Kristus. Tulisan ini mendukung Kongregasi Abdi Kristus dalam upaya peningkatan kualitas hidup para suster Abdi Kristus yang hidup dalam komunitas-komunitas melalui pengolahan hidup terus-menerus yang dikemas dalam rekoleksi menyambut Hari Raya Bunda Maria Menerima Kabar Sukacita dan pembaharuan kaul Tri Prasetya para suster Abdi Kristus. Buah dari pengolahan hidup yang dirindukan adalah terciptanya komunitas kasih yang penuh kegembiraan dalam Roh seturut teladan Bunda Maria yang memang harus diupayakan terus-menerus baik secara personal maupun bersama.

(9)

ABSTRACT

The title of this paper is THE FORMATION OF MATURATION IN COMMUNICATION AS MEDIUM IN COMMUNITY LIFE FOR THE ABDI KRISTUS (CHRIST’S SERVANT) SISTERS. It is chosen based on the situation and reality that there has been an effort to manifest the longing of the Abdi Kristus sisters to build a life community, both personal and communal but it has not been done and programmed well so it is not effective and efficient. The ideal community of the Abdi Kristus sisters is the community that is full of love and happiness in Spirit according to the example of Mother Mary, the first patron of the Abdi Kristus Congregation. That uneffectivity and unefficience effort is shown in the reflection of the Abdi Kristus sisters that generally shows difficulties of community life because of each person has not been aware of their own formation therefore their attitudes, especially in the way of communication, do not show the maturation of life quality. The reality in community life: they do not speak to each other, seniority problems, crisis in confidence and example, misunderstanding and unfinish conflict, selfish etc. Based on these situation and realities, this paper is written to help the Abdi Kristus sisters in formation of maturation in communication as medium in community life through recollection, one of the ongoing formation programmes.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa atas kasih karunia dan rahmat-Nya yang berlimpah sehingga penulis bersama Bunda Maria mengalami kegembiraan yang mendalam karena dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi berjudul PENGOLAHAN KEDEWASAAN BERKOMUNIKASI SEBAGAI SARANA HIDUP BERKOMUNITAS PARA SUSTER ABDI KRISTUS ditulis sebagai wujud kepedulian penulis dalam meningkatkan kualitas iman dan pribadi para suster Abdi Kristus, khususnya dalam berkomunikasi.

Mengingat pentingnya pengolahan hidup secara terus-menerus, terlebih dalam berkomunikasi sebagai sarana hidup berkomunitas menentukan kelangsungan suatu kongregasi, maka penulis mencoba turut memikirkan salah satu usulan program pengolahan hidup terus-menerus yang dikemas dalam rekoleksi menyambut Hari Raya Maria Menerima Kabar Suka Cita dan pembaharuan Tri Prasetya para suster Abdi Kristus. Rekoleksi ini mengajak para suster Abdi Kristus, baik yunior, medior maupun senior untuk memperbaharui diri bersama Bunda Maria terutama dalam cara berkomunikasi sebagai sarana hidup berkomunitas sehingga terciptalah komunitas kasih penuh kegembiraan dalam Roh seperti yang dirindukan oleh para suster Abdi Kristus.

(11)

yang penulis terima dan rasakan, dengan tulus penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Rm. Drs. H. J. Suhardiyanto, S. J. selaku Kaprodi IPPAK Universitas Sanata Dharma yang senantiasa memberikan dukungan dalam seluruh proses menyelesaikan skripsi ini.

2. Rm. Dr. B. Agus Rukiyanto, S. J. selaku dosen pembimbing utama yang selalu mendampingi dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan tulus hati dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Drs. L. Bambang Hendarto Y. M., Hum. selaku dosen pembimbing Akademik sekaligus dosen penguji kedua yang telah memberikan perhatian dan mendukung seluruh perjalanan belajar penulis di Prodi IPPAK.

4. Rm. Drs. M. Sumarno Ds., S. J., M. A. selaku dosen penguji ketiga yang senantiasa menyemangati penulis untuk menyelesaikan skripsi.

5. Sr. M. Lissieux, A. K. sebagai Pemimpin Umum Kongregasi Abdi Kristus yang telah memberi kesempatan, kepercayaan dan peneguhan kepada penulis untuk menjalani studi di IPPAK. Terimakasih atas doa, kasih dan dukungan yang selalu penulis terima, rasakan sehingga penulis bersemangat menyelesaikan skripsi.

6. Sr. M. Bertha, A. K. yang telah bersusah payah mengumpulkan data-data dan memberikan informasi yang dibutuhkan penulis dalam penulisan skripsi.

(12)

8. Para suster sekomunitas, Sr. Marcellina, A. K., Sr. M. Scholastika, A. K., Sr.

M. Clementia, A. K., Sr. M. Benidikta, A. K., Sr. M. Diana, A. K., Sr. M. Chayetien, A. K. yang telah memberikan doa, kasih dan dukungannya

selama studi dan menyelesaikan skripsi.

9. Para suster Abdi Kristus dimanapun berada atas doa-doanya, sumbang saran yang dapat mendukung saya selama studi dan penyelesaian skripsi ini.

10.Segenap Bapak, Ibu, Romo dosen dan seluruh staf karyawan prodi IPPAK Universitas Sanata Dharma yang secara langsung dan tidak langsung selalu memberikan dorongan kepada penulis.

11.Keluarga tercinta, Bapak Y. Suwandar, Ibu M. Sumiyati, kakak-kakak dan adik-adik yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan dalam menyelesaikan perkuliahan.

12.Rm. Ag. Sudarisman, Pr., yang dengan setia menemani dan memberikan masukan dalam menyelesaikan skripsi.

13.Oktivia Astuti, teman seangkatan yang selalu mendorong dan memberikan bantuan dan belajar bersama selama proses belajar sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan penuh kegembiraan dan kelancaran.

14.Teman-teman angkatan 2008 untuk kebersamaan dan persaudaraan yang telah terjalin selama studi sehingga penulis mengalami kegembiraan selama menjalani perkuliahan.

(13)
(14)

DAFTAR ISI

a. Telah mencapai suatu kesatuan fundamental dalam kepribadiannya ... . 12

(15)

c. Sadar bahwa ia bertanggungjawab atas tiap segi kehidupannya 13

d. Sadar dimensi sosialnya ... 13

e. Menyesuaikan dirinya dengan realita hidup ... 13

3. Sikap-sikap yang mendasari proses pendewasan diri ... 14

a. Kemampuan untuk menerima kenyataan ... 17

b. Menerima dan menghayati apa yang bernilai ... 18

c. Mengarahkan daya-daya hidupnya untuk menghayati nilai-nilai yang dipeluk dan diwartakannya dalam hidup ... 18

d. Tidak cenderung mengurbankan nilai dan prinsip demi suatu pragmatisme ... 19

e. Memiliki cinta yang tidak egois ... 19

f. Sikap realistis ... 19

g. Mampu mempercayai orang lain ... 20

h. Memiliki kepercayaan dan keyakinan pada diri sendiri ... 20

i. Relasi sosial yang berciri dependibility ... 20

j. Mampu membatinkan nilai panggilan ... 21

B. KOMUNIKASI ... 21

1. Pengertian Komunikasi ... 22

2. Proses Komunikasi ... 23

a. Proses komunikasi secara primer ... 23

b. Proses komunikasi secara sekunder ... 24

3. Perilaku yang Mempengaruhi Komunikasi ... 24

a. Non-asertif ... 24

b. Agresif ... 24

c. Asertif ... 25

(16)

1. Ketrampilan Berkomunikasi ... 25

a. Memahami dan mempercayai ... 26

b. Berkomunikasi secara tepat dan jelas ... 26

c. Menerima dan membantu ... 27

d. Mengatasi konflik dan masalah dalam hubungan pribadi secara konstruktif ... 27

2. Berkomunikasi yang Bijaksana dan Efektif ... 27

a. Kemampuan-kemampuan yang diperlukan dalam asertvitas bijaksana dan efektif dalam berkomunikasi ... 28

b. Halangan-halangan berkomunikasi ... 29

D. SPIRITUALITAS KOMUNIKASI ... 35

1. Keterbukaan kepada Allah ... 35

2. Keterbukaan kepada Diri Sendiri ... 36

3. Keterbukaan kepada Orang-orang Lain ... 36

E. KESIMPULAN ... 37

BAB III. HIDUP BERKOMUNITAS PARA SUSTER ABDI KRISTUS BERDASARKAN KONSTITUSI TAREKAT

1. Gambaran Singkat Kongregasi Biarawati Abdi Kristus ... 43

2. Bunda Maria Teladan Hidup Berkomunitas Para Suster Abdi Kristus ... 43

3. Pribadi Bunda Maria Menjadi Jiwa Komunitas Para Suster Abdi Kristus ... 50

a. Kemiskinan dalam budi ... 52

b. Kemiskinan dalam hati ... 53

C. RUMAH BIARA ADALAH RUMAH KOMUNITAS KASIH .... 54

1. Komunitas Kasih yang Penuh Kegembiraan dalam Roh ... 54

(17)

Abdi Kristus ... 59

D.KOMUNITAS ABDI KRISTUS DALAM GERAKAN ONGOING FORMATION DEMI TERWUJUDNYA KOMUNITAS KASIH YANG PENUH KEGEMBIRAAN DALAM ROH ... 61

1. Pentingnya Ongoing Formation bagi Komunitas Religius ... 63

a. Aspek kognitif ... 65

2. Pembinaan Terus-menerus dalam Menumbuhkembangkan Kualitas Hidup Para Suster Abdi Kristus demi Terwujud- nya Komunitas Kasih Penuh Kegembiraan dalam Roh ... 67

a. Aspek pembinaan terus-menerus ... 68

b. Pembinaan terus menerus para suster Abdi Kristus ... 69

E. KESIMPULAN ... 74

BAB IV. SITUASI HIDUP BERKOMUNITAS PARA SUSTER ABDI KRISTUS ... 77

A. GAMBARAN SINGKAT KOMUNITAS-KOMUNITAS ABDI KRISTUS ... 77

B. KEDEWASAAN BERKOMUNIKASI PARA SUSTER ABDI KRISTUS DALAM HIDUP BERKOMUNITAS... 79

1. Keprihatinan Kualitas Hidup Para Suster Abdi Kristus ... 80

2. Refleksi Para Suster Abdi Kristus ... 82

a. Refleksi para suster yunior... 83

b. Refleksi para suster medior ... 87

c. Refleksi para suster senior ... 91

BAB V. USULAN PROGRAM PENGOLAHAN KEDEWASAAN BERKOMUNIKASI SEBAGAI SARANA HIDUP BERKOMUNITAS PARA SUSTER ABDI KRISTUS ... 97

A. LATAR BELAKANG USULAN PROGRAM ... 98 B. ALASAN DAN TUJUAN DIADAKAN PROGRAM

(18)

C. RUMUSAN TEMA DAN TUJUAN ... 100

D. PETUNJUK PELAKSANAAN PROGRAM ... 101

1. Langkah-langkah Shared Christian Praxis (SCP) ... 101

a. Langkah I: Mengungkap pengalaman hidup peserta ... 101

b. Langkah II: Mendalami pengalaman hidup peserta ... 102

c. Langkah III: Menggalai pengalaman Iman Kristiani ... 102

d. Langkah IV: Menerapkan Iman Kristiani dalam situasi peserta konkret ... 102

e.Langkah V: Mengusahakan suatu aksi konkret ... 103

2. Susunan Acara... 103

E. PENJABARAN PROGRAM ... 104

F. CONTOH SATUAN PELAKSANAAN ... 107

BAB V. PENUTUP ... 125

A. KESIMPULAN ... 125

B. SARAN ... 129

1. Bagi Kaum Religius pada Umumnya ... 129

2. Bagi Para Suster Abdi Kristus ... 131

DAFTAR PUSTAKA ... 134

LAMPIRAN ... 136

Lampiran 1: Cerita Lengkap Film ‘Doubt’ ... (1)

(19)

DAFTAR SINGKATAN

A. SINGKATAN KITAB SUCI

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci

Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan kepada

Umat Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal. 8.

B. SINGKATAN DOKUMEN RESMI GEREJA

KGK : Katekismus Gereja Katolik, disyahkan oleh para Uskup Propinsi Gerejani Ende dan diakui oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia, diberikan pada hari ulang tahun ketigapuluh pembukaan Konsili Vatikan II, 11 Oktober 1992 oleh Bapa Paus Yohanes II.

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja pada 21 November 1964.

PC : Perfectae Caritatis, Dekrit Konsili Vatikan II tentang pembaharuan dan penyesuaian hidup religius, 28 Oktober 1965.

C. SINGKATAN LAIN

AK : Abdi Kristus

DPU : Dewan Pimpinan Umum

(20)

Komkat : Komisi Kateketik

Kons. : Konstitusi Tarekat Abdi Kristus, disyahkan oleh Julius Kardinal Darmoatmojo pada tanggal 25 Oktober 1995 di Semarang.

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia LCD : Liquid Crystal Display

Rm. : Romo

SCP : Shared Christian Praxis S. J. : Serikat Jesus

Sr. : Suster

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Komunitas akan hanya menjadi sebuah tempat berkumpulnya orang-orang ‘sakit’, jika para penghuninya tidak mau mengolah hidupnya terus menerus, demikian pernyataan seorang formator yang mempunyai kepedulian terhadap pengolahan hidup kaum religius. Yang dimaksud ‘sakit’ adalah adanya kecenderungan pribadi akan pemenuhan berbagai macam kebutuhan psikologis sehingga menjadi penghambat dalam menanggapi panggilan-Nya di dalam komunitas hidup bakti. Pernyataan ini tentu saja menggelitik kaum religius yang dalam kenyataannya hidup dalam komunitas dimana tidak selalu harmonis dalam arti kadang kala terjadi kesalahpahaman yang disebabkan oleh berbagai macam permasalahan pribadi yang belum disadari dan terolah.

Dalam hidup bersama, meski semua orang berkehendak baik mau mengungkapkan semangat cinta kasih, namun seringkali terjadi konflik, debat sengit, pertengkaran bahkan saling mendiamkan untuk beberapa saat. Diskusi atau pun diskresiyang pada mulanya berjalan amat mulus dapat berakhir dengan saling mencela karena masing-masing pribadi mempunyai kepentingan pribadi yang harus dituruti bukannya melihat kehendak Allah yang berkarya dalam dirinya.

(22)

berdosa, supaya mereka bertobat” (Luk 5:31-32). Kata ‘orang sehat’ sejajar dengan ‘orang benar’, sedangkan kata ‘orang sakit’ sejajar dengan ‘orang berdosa’. Tuhan Yesus memanggil orang berdosa supaya bertobat, artinya Ia memanggil orang yang tidak benar atau ‘sakit’ supaya bertobat, tidak berbuat dosa lagi. Bertitik tolak dari permasalahan dalam kehidupan kaum religius, panggilan Yesus supaya bertobat ini menjadi dasar bagi kaum religius untuk melihat kembali panggilan-Nya yang khas dalam hidup bakti yang pada dasarnya memerlukan proses discernment (diskresi) dalam konteks mau terus-menerus mencari kehendak Allah.

(23)

sistem kehidupan berkomunitas , baik dalam hidup karya, doa dan bersama menjadi tidak harmonis, lebih dikuasai ketegangan antara pemimpin dan anggotanya, antara religius senior dan yunior.

Semua permasalahan yang terungkap seperti di atas sangat erat kaitannya dengan permasalahan masing-masing pribadi yang belum terolah dengan semestinya sehingga kedewasaan iman yang mengandaikan adanya kedewasaan manusiawi belum tercapai. Pribadi yang telah mencapai kedewasaan manusiawi dengan sendirinya akan selalu menghidupi gaya komunikasi yang datang kedalaman hidupnya dan tampak dalam kemampuan mengenal diri, memperjuangkan sistem nilai, kepercayaan dan harga diri yang sehat, menegakkan hak-hak pribadinya dengan cara dialog, mengekspresikan keyakinan, perasaan, pikiran yang diungkapkan secara verbal, langsung, jujur, nyaman tanpa mengabaikan hak orang lain.

(24)

komunikasi di dalam sebuah komunitas diartikan sebagai jalinan hubungan antara pemimpin dan anggota dan di antara sesama anggota yang menunjukkan mutu yang dapat diandalkan untuk mencapai tujuan, tanggungjawab komunitas, kesatuan, keseimbangan, proses pertumbuhan masing-masing pribadi.

(25)

Dari uraian di atas tampak adanya hubungan antara kedewasaan berkomunikasi dengan permasalahan-permasalahan dalam hidup berkomunitas, serta kerinduan para suster Abdi Kristus akan komunitas yang hidup, yaitu komunitas kasih penuh kegembiraan dalam Roh. Dengan melihat persoalan tersebut di atas, penulis mengangkat “PENGOLAHAN KEDEWASAAN BERKOMUNIKASI SEBAGAI SARANA HIDUP BERKOMUNITAS

PARA SUSTER ABDI KRISTUS” sebagai judul skripsi ini.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan permasalahan di atas, masalah dalam karya tulis ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan kedewasaan berkomunikasi?

2. Apakah yang dimaksud dengan hidup berkomunitas kaum religius, khususnya hidup berkomunitas para suster Abdi Kristus?

3. Bagaimana kedewasaan berkomunikasi menjadi sarana hidup berkomunitas para suster Abdi Kristus sehingga tercapai apa yang dirindukan oleh para suster Abdi Kristus untuk membangun komunitas kasih penuh kegembiraan dalam Roh?

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penyusunan karya tulis ini adalah sebagai berikut:

(26)

2. Menemukan makna hidup berkomunitas kaum religius, khususnya komunitas para suster Abdi Kristus dengan menggali dasar, tujuan dan alasan hidup berkomunitas dalam Kongregasi Biarawati Abdi Kristus.

3. Mengusahakan bersama kedewasaan berkomunikasi sehingga menjadi sarana hidup berkomunitas para suster Abdi Kristus dalam upaya membangun komunitas yang penuh kasih kegembiraan dalam Roh.

D. MANFAAT PENULISAN

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:

1. Bagi Para Biarawan-biarawati

• Para biarawan-biarawati diharapkan semakin menyadari pentingnya

kedewasaan berkomunikasi sehingga menjadi sarana hidup berkomunitas. • Para biarawan-biarawati diharapkan mau mengupayakan komunikasi yang

mengalir dari kesadaran pribadi sebagai seorang religius yang telah memiliki kedewasaan.

• Para biarawan-biarawati diharapkan supaya menyadari perannya dalam

menjalankan tugas perutusan sebagai seorang religius yang mengedepankan komunikasi untuk membangun komunitas yang penuh kasih baik di dalam maupun di luar kongregasi.

2. Bagi Para Pemimpin Komunitas

(27)

penuh kasih persaudaraan. Penulisan ini juga diharapkan akan memberi wawasan yang lebih luas bagi pemimpin komunitas dalam mengelola para anggotanya dengan mengedepankan kedewasaan berkomunikasi sebagai sarana dalam hidup berkomunitas. Baik pemimpin komunitas maupun anggotanya diharapkan mampu berkomunikasi yang bijaksana dan efektif. Dengan demikian pemimpin dan anggotanya akan mampu bekerjasama dan penuh persaudaraan membangun komunitas seturut cita-cita dan kharisma kongregasi.

3. Bagi Penulis

Penulis sebagai suster yang bergabung dalam Kongregasi Biarawati Abdi Kristus diharapkan semakin menemukan kedewasaan diri dalam berkomunikasi sehingga mampu hidup berkomunitas dengan bijaksana. Bersama para suster Abdi Kristus dan seturut teladan Bunda Maria penulis berharap dimampukan turut serta terlibat dalam upaya membangun komunitas kasih penuh kegembiraan dalam Roh.

E. METODE PENULISAN

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif analitis dengan studi pustaka, yaitu menggambarkan serta menganalisis aspek-aspek kedewasaan manusiawi dalam berkomunikasi dan pengolahannya dengan membaca dan mempelajari buku-buku sumber bacaan, artikel-artikel, tulisan-tulisan yang berkaitan dengan judul skripsi.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

(28)

Bab I berisikan pendahuluan yang meliputi: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, manfaat penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II berisi tentang landasan teori dari berbagai buku dan literatur yang akan mendasari pembahasan-pembahasan selanjutnya. Bagian pertama menguraikan tentang kedewasaan yang berisi pengertian kedewasaan dan orang dewasa, unsur-unsur kedewasaan, sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri, arah kedewasaan pribadi. Bagian kedua akan menguraikan seputar komunikasi, yaitu pengertian komunikasi, proses komunikasi dan perilaku yang mempengaruhi komunikasi. Bagian ketiga dalam bab ini memaparkan tentang kedewasaan berkomunikasi yang berisi tentang ketrampilan berkomunikasi dan berkomunikasi yang bijaksana dan efektif. Spiritualitas komunikasi sebagai landasan berkomunikasi akan dipaparkan dalam bagian terakhir untuk mendukung terjadinya komunikasi yang semakin dewasa sebagai umat Kristiani.

(29)

para suster Abdi Kristus dengan meneladani Bunda Maria yang dikisahkan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, yaitu sejak ia menerima Kabar Gembira hingga peristiwa saat-saat akhir bersama Yesus. Rumah biara yang dicita-citakan oleh para suster sebagai komunitas kasih dalam Roh, didasari oleh Sabda Allah dan komunitas yang dirindukan sebagai ‘oase’ kehidupan para suster Abdi Kristus juga akan dibahas dalam bab III ini. Dalam bagian akhir bab III, penulis akan membahas mengenai komunitas Abdi Kristus dalam gerakan ongoing formation dan upaya pembinaan terus-menerus para suster Abdi Kristus demi terwujudnya komunitas kasih penuh kegembiraan dalam Roh.

Situasi hidup berkomunitas para suster Abdi Kristus akan dibahas dalam bab IV penulisan ini. Penulis membahas dalam dua bagian. Pada bagian pertama, penulis memaparkan secara singkat gambaran mengenai komunitas-komunitas Abdi Kristus. Pengolahan kedewasaan berkomunikasi para suster Abdi Kristus yang berisi tentang refleksi para suster Abdi Kristus dalam masa yunior, medior dan senior dipaparkan dalam bagian kedua bab ini.

(30)

dijabarkan dalam tiga sub tema akan dipaparkan dalam bagian ini. Bagian berikutnya, penulis memapaparkan petunjuk tentang pelaksanaan program, berisi tentang langkah-langkah model katekese Shared Chritian Praxis (SCP) dan susunan acara rekoleksi. Penjabaran program rekoleksi dan salah satu contoh satuan pelaksanaan rekoleksi komunitas dipaparkan dalam bagian-bagian selanjutnya.

Dalam bab akhir dari skripsi, yaitu bab penutup, penulis akan membahas kesimpulan dan saran yang dapat diajukan demi terwujudnya kedewasaan berkomunikasi sebagai sarana hidup berkomunitas para suster Abdi Kristus.

(31)

BAB II

KEDEWASAAN DALAM BERKOMUNIKASI

Dalam bab ini, penulis akan membahas kedewasaan dalam berkomunikasi yang akan dijabarkan dalam empat bagian, yaitu kedewasaan, komunikasi, kedewasaan berkomunikasi dan spiritualitas komunikasi. Pembahasan masing-masing bagian diperkuat dengan pandangan para ahli dari berbagai sumber yang sekaligus berfungsi sebagai pendukung berbagai gagasan penulis, baik gagasan yang telah dituangkan dalam bab I maupun pada bab-bab berikutnya.

A. KEDEWASAAN

Pembahasan mengenai kedewasaan dimulai dengan menjelaskan pengertian kedewasaan dan orang dewasa, dilanjutkan dengan pemaparan mengenai unsur-unsur kedewasaan, sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri dan arah kedewasaan pribadi.

1. Pengertian Kedewasaan dan Orang Dewasa

Elizabeth Hurlock B. (1997: 246) mendefinisikan kedewasaan dan orang dewasa dengan melihat istilah adult dari kata kerja latin, seperti juga istilah

adolescene –adolescere yang berarti tumbuh dalam kedewasaan. Akan tetapi, kata

adult berasal dari bentuk lampau partsipel dari kata kerja adultus yang berarti

(32)

Elizabeth Hurlock B (1997:247) menjelaskan lebih lanjut bahwa orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.

2. Unsur-unsur Kedewasaan

(1972: 3-6) dalam buku berjudul Kedewasaan Manusiawi dan

Kedewasaan Kristiani menyebutkan unsur-unsur yang harus termasuk dalam

konsep kedewasaan demikian:

a. Telah mencapai suatu kesatuan fundamental dalam kepribadiannya

Seorang dewasa adalah seseorang yang kesatuan fundamental dan kepribadiannya telah tercapai. Ia tidak lagi dalam proses penemuan serta realisasi diri sendiri seperti halnya para remaja. Seorang dewasa bukan lagi seorang yang sedang berkembang namun sudah berkembang, sudah sepenuhnya menyelami kepribadiannya. Ia telah menemukan segala akal dayanya serta manfaat dari segala bakatnnya, mengerti dirinya sendiri. Ia dapat memusatkan kekuatan-kekuatannya, sehingga dapat mengungkapkan serta memberikan dirinya kepada orang lain dengan suatu perbuatan yang sepenuhnya bebas. Ia telah mencapai keteguhan, kestabilan dalam k , 1972: 3-4).

b. Sudah berkembang melampaui antusiasme sementara dan kini hidup sesuai dengan keyakinannya

Seorang dewasa berarti seseorang yang sudah berkembang melampaui

(33)

keyakinannya. Antusiasme ini ditandai oleh ketulusan hati, tetapi ditandai juga oleh kurang adanya keterlibatan sepenuhnya, refleksi ataupun kebebasan sejati. Orang dewasa menyadari bahwa manusia mempunyai nilai selaras dengan nilai hatinya

, 1972: 4).

c. Sadar bahwa ia bertanggung jawab atas tiap segi kehidupannya Seorang dewasa sadar bahwa ia bertanggung jawab atas m

-, 1972: 5).

d. Sadar dimensi sosialnya

Seorang dewasa sadar bahwa ia berakar dalam masyarakat, berada dengan orang lain. Keanggotaannya dalam keluarga manusia menuntut suatu hubungan pribadi dengan orang lain. Ia tidak lagi berpusat pada dirinya sendiri, tetapi terbuka secara bertanggungjawab terhadap lingkungan

, 1972: 5).

e. Menyesuaikan dirinya dengan realita hidup

(34)

-, 1972: 6).

3. Sikap-sikap yang Mendasari Proses Pendewasaan Diri

J. M. Fuster, SJ (1985: 125-141) dalam bukunya berjudul Teknik

Mendewasakan Diri menyatakan bahwa sikap-sikap manusia akan mempengaruhi

dalam bertingkah laku. Sikap negatif terhadap diri membuat manusia menjadi rendah diri, murung, iri, menyendiri dan membuat terhalang untuk mengasihi orang lain dan menerima kasih mereka sehingga sulit untuk bertumbuh. Maka sikap yang perlu dikembangkan untuk lebih siap menanggapi rahmat Allah adalah sikap empati, otentik, respek, konfrontasi dan perwujudan diri. Fuster melihat satu persatu sikap-sikap itu demikian:

a. Sikap empati

(35)

pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaannya. Penyadaran diri yang dalam ini semakin mendorong orang untuk lebih dalam lagi menggali diri (Fuster, 1985: 125-126). b. Sikap otentik

Otentik berarti asli. Sikap otentik dapat disebut juga jujur, polos, apa adanya. Maka sikap otentik berarti orang mau mengatakan apa yang sungguh-sungguh ada dalam diri sendiri. Dengan jujur mengakui bahwa yang diungkapkan itu milik diri, tetapi juga dengan jujur mau memutuskan untuk meneruskan atau membuang. Sikap ini penting karena membantu seseorang untuk bersikap empati terhadap diri dan membantu seseorang untuk mengerti diri yang sebenarnya. Bila orang mengerti diri sendiri secara obyektif, dapat menyebut perasaan-perasaan dengan tepat, maka ia dapat menyentuh realitas diri dan tahu dimana dirinya berada. Bila orang menipu diri hanya karena takut menatap diri apa adanya, maka ia akan tetap kebingungan dan tidak dapat membantu diri sendiri. Kebingungan yang terjadi terus-menerus ini akan sungguh menghambat proses pendewasaan diri dalam Kristus (Fuster, 1985: 126-128).

c. Sikap respek

(36)

penuh semangat karena percaya akan karya Allah yang terjadi dalam dirinya dalam keadaan apapun (Fuster, 1985: 128-129).

d. Konfrontasi diri

Konfrontasi berarti saling berhadapan atau bertatapan. Dalam konfrontasi diri, orang mau mencari kekurangan-kekurangan dirinya dan menyadarinya secara penuh. Ia mau mencari kekurangan-kekurangan diri dengan menyelidiki diri, meneliti diri dalam batin tiap hari, rekoleksi bulanan, retret tahunan. Bila orang tidak pernah menyadari kekurangan-kekurangannya, merasa diri segalanya beres dan puas diri maka ia tak akan ada kemajuan dalam hidupnya. Konfrontasi diri membuat orang sadar penuh akan diri yang sebenarnya dan bagaimana kedudukan diri yang sebenarnya di hadapan Allah. Kesadaran ini adalah kerendahan hati. Kerendahan hati adalah jalan yang baik untuk mengalami sentuhan lembut yang menyembuhkan dari Tuhan yang bangkit terhadap luka-luka manusia dan untuk mengalami kekuatan-Nya untuk mengubah menurut kehendak-Nya. Proses pendewasaan dalam Kristus terjadi dalam rentetan konfrontasi diri yang terus menerus tak habis-habisnya (Fuster, 1985: 131-134).

e. Perwujudan diri

(37)

telah mewujudkan diri sekaligus menyadari bahwa Allah mempunyai rencana bagi setiap orang. Dengan demikian ia bekerja sama dengan Allah dalam membantu mereka agar menjadi lebih dekat dengan Allah. Seseorang telah mampu mewujudkan diri bila mengerti diri (kekuatan, kelemahan), memanfaatkan kesempatan-kesempatan untuk menyempurnakan diri, belajar bagaimana maju bersama orang lain dan mendorong mereka untuk tumbuh, jujur dengan diri sendiri dan orang lain, bertanggungjawab dan dapat dipercaya, menguasai diri dan murah hati kepada orang lain, tahu arah hidup dan tahu kemana akan menuju. Semakin orang tumbuh dalam sikap-sikap di atas, ia akan semakin tumbuh dalam kematangan sehingga orang akan lebih siap menjawab undangan roh untuk menjadi dewasa dalam Kristus (Fuster, 1985: 134-141).

4. Arah Kedewasaan Pribadi

Pribadi yang dalam hidupnya menunjukkan kedewasaan dalam dimensi-dimensinya dan juga kebebasan afektif lebih besar untuk membatinkan nilai-nilai panggilan, dialah yang mestinya lebih mempunyai disposisi untuk mengikuti panggilannya lebih baik. Bagaimanakah konkretnya kedewasaan tersebut terwujud? Sekedar ciri-ciri untuk melacak kedewasaan, Mardi Prasetya (1992b: 100-105) menjelaskan demikian:

a. Kemampuan untuk menerima kenyataan

(38)

menyembunyikan kelemahannya sendiri dan kelemahan orang lain tetapi dapat memahami dan menerimanya, tidak meremehkan masalah atau mengesampingkan persoalan yang dihadapi, apalagi melarikan diri dari persoalan untuk kemudian mencari kompensasi dengan pura-pura aktif atau sebaliknya malas dan acuh tak acuh. Ia pun tidak melemparkan masalah pada orang lain, atau bahkan mempermasalahkan pembesar, komunitas atau kongregasi sebagai kambing hitam (Mardi Prasetya, 1992b: 100-101).

b. Menerima dan menghayati apa yang bernilai

Orang dewasa berusaha mengatur dan menghayati hidup atas dorongan lurus dalam panggilannya yaitu nilai-nilai hidup rohani atau nilai-nilai panggilan/ Injili. Ia benar-benar menerima dan menghayati nilai-nilai Injili (nilai hidup rohani) dan menghayatinya demi Kristus dan bukannya demi kepentingan yang sifatnya menguntungkan dirinya sendiri atau sekedar memamerkan kesalehan dan kesucian. Dengan ini akan tampak bahwa ia ambil bagian dalam kebebasan untuk memeluk cinta dan afeksi rohani (Mardi Prasetya, 1992b: 101).

c. Mengarahkan daya-daya hidupnya untuk menghayati nilai-nilai yang dipeluk dan diwartakannya dalam hidup

(39)

tulus mewujudkan nilai-nilai yang diyakini baik atas dasar pengalaman rohani (Mardi Prasetya, 1992b: 101-102).

d. Tidak cenderung mengurbankan nilai dan prinsip demi suatu pragmatisme Orang dewasa dapat memiliki fleksibelitas sekaligus sikap seorang hamba Tuhan yang setaraf dengan kedewasaannya, lebih-lebih dalam membela nilai-nilai Kristus dalam arti bahwa ia tidak menjadi agresif dan fanatik dalam membela diri dan kemudian menghindari tanggung jawab. Ia justru lebih peka terhadap perasaan orang lain dan lebih terbuka untuk mencari jalan keluar bersama sesama, mengingat keterbatasan diri dan sesama (Mardi Prasetya, 1992b: 102).

e. Memiliki cinta yang tidak egois

Cinta yang tidak egois adalah cinta yang melampaui personalisme dan tidak menuntut apa-apa bagi diri-sendiri (tanpa pamrih). Suatu cinta tanpa pamrih yang menomorsatukan nilai cinta kasih Kristus. Ini berarti bahwa cinta tersebut bukanlah cinta yang semata-mata digerakkan oleh dorongan psikologis, misalnya untuk menyayangi dan memperhatikan sesama. Selain itu juga bukan cinta yang diberikan untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya (hanya ungkapan dari ketergantungan afeksi) dan bukan cintakasih yang menuntut sahabat atau orang lain untuk memperhatikan dirinya yang disertai kecemburuan dan ketergantungan seperti anak kecil (Mardi Prasetya, 1992b: 102-103).

f. Sikap realistis

(40)

hakiki dan tidak, mana fakta dan prinsip, mana kompromi faktual dan kompromi prinsip. Orang memiliki sikap realistis tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam. Kenabian tidak muncul dari interpretasi subyektif terhadap tradisi, spiritualitas dan konstitusi yang dibuat demi menonjolkan diri (kesombongan), melainkan dari warta Yesus Kristus yang didukung oleh kesaksiannya (Mardi Prasetya, 1992b: 103).

g. Mampu mempercayai orang lain

Ini adalah sikap dasar yang muncul dari kepercayaan terhadap diri sendiri, sehingga mampu hidup bersama orang lain tanpa kegelisahan dan tanpa kemarahan yang tidak perlu. Ia merasa bebas untuk memberi dan menerima dari hidup bersama yang makin memperkaya kepribadiannya sendiri (Mardi Prasetya, 1992b: 103).

h. Memiliki kepercayaan dan keyakinan pada diri sendiri

Kepercayaan dan keyakinan pada diri sendiri tidak hanya dalam hal-hal yang sudah dialami dan ternyata mendatangkan keberhasilan baginya, tetapi juga terhadap hal-hal yang masih sedang diusahakannya. Orang ini dapat gagal dan salah tetapi ia pun memiliki semangat pembaharuan terus-menerus sebelum soal baru datang untuk dihadapi. Ia tidak pernah mandheg dalam pertobatan dan pembaharuan hidup (Mardi Prasetya, 1992b: 103-104).

i. Relasi sosial yang berciri dependibility

(41)

tidak ada orang lain yang membantu, kemampuan menyesuaikan diri dengan yang lain tanpa merasa terancam atau merasa lebih unggul, kemampuan mengambil keputusan juga bila ada orang lain yang membantu, karena orang lain tidaklah dianggap sebagai penghalang atau pembatas kebebasan geraknya, memiliki kepekaan untuk menentukan diri atas dasar pertimbangan objektif atas dirinya sendiri dan juga atas dasar pertimbangan dari orang lain, kemampuan membatinkan nilai panggilan, dapat menerima iman dan kepercayaan karena memang sesuai dengan sistem dasariah nilai dan tujuan hidupnya, sehingga rangsangan dari luar lebih sekunder sifatnya (Mardi Prasetya, 1992b: 104).

j. Mampu membatinkan nilai panggilan

Orang semacam ini adalah orang yang dapat menerima iman dan kepercayaan karena memang sesuai dengan sistem dasariah nilai dan tujuan hidupnya, sehingga rangsangan dari luar lebih sekunder sifatnya. Dengan segala mutu kepribadian di atas, seorang religius akan berusaha maju dan bertekun dalam panggilan dan hidup rohaninya sebagai rohaniwan atau rohaniwati (Mardi Prasetya, 1992b: 104-105).

B. KOMUNIKASI

(42)

mempengaruhi komunikasi, kedewasaan berkomunikasi dan spiritualitas komunikasi menurut pendapat beberapa ahli.

1. Pengertian Komunikasi

Agus M. Hardjana (2003: 10) berpendapat bahwa kata komunikasi berasal dari bahasa latin cum yaitu kata depan yang berarti dengan, bersama dengan dan

unus’ yaitu kata bilangan yang berarti satu. Dari kedua kata itu terbentuk kata

benda cummunio yang dalam bahasa Inggris menjadi communion dan berarti kebersamaan, persatuan, gabungan, pergaulan, hubungan. Karena untuk

ber-communio diperlukan usaha dan kerja maka dari kata itu dibuat kata kerja

communicare yang berarti membagi sesuatu dengan seseorang, memberikan

sebagian kepada seseorang, tukar-menukar, membicarakan sesuatu dengan seseorang, bercakap-cakap, bertukar pikiran, berhubungan, berteman. Kata kerja

communicare itu pada akhirnya dijadikan kata benda communicati, atau dalam

bahasa Inggris communication dan dalam bahasa Indonesia diserap menjadi komunikasi. Berdasarkan berbagai arti kata communicare yang menjadi asal kata komunikasi, maka secara harafiah komunikasi berarti pemberitahuan, pembicaraan, percakapan, pertukaran pikiran atau hubungan.

(43)

efektivitas pesan yang dikirimkannya. Berdasarkan tanggapan itu, pengirim dapat mengetahui apakah pesannya dapat dimengerti dan sejauh mana pesannya dimengerti oleh orang yang dikirimi pesan itu. Dari penjelasan ini, secara teknis pelaksanaan, komunikasi dapat dirumuskan sebagai kegiatan dimana seseorang menyampaikan pesan melalui media tertentu kepada orang lain dan sesudah menerima pesan serta memahaminya sejauh kemampuannya, penerima pesan menyampaikan tanggapan melalui media tertentu pula kepada orang yang menyampaikan pesan itu kepadanya.

2. Proses Komunikasi

Proses komunikasi menurut Onong Uchjana Effendi (2000: 11-16) terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan sekunder, dijelaskan demikian:

a. Proses komunikasi secara primer

(44)

Aristoteles, Plato, dan Socrates. Selain itu orang juga dapat menjadi manusia yang beradab serta berbudaya dan dapat memperkirakan apa yang akan terjadi pada tahun, dekade bahkan abad yang akan datang (Effendi, 2000: 11).

b. Proses komunikasi secara sekunder

Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat relatif jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, film dan banyak lagi adalah media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi (Effendi, 2000: 16).

3. Perilaku yang Mempengaruhi Komunikasi

R. Sinurat (2000b: 31-32) dalam buku berjudul Ketrampilan Komunikasi-2 menyebutkan perilaku-perilaku yang mempengaruhi seseorang dalam berkomunikasi sebagai berikut:

a. Non-asertif

Perilaku ini bersifat pasif, tidak langsung dan mengungkapkan sejenis inferioritas. Dengan menjadi tidak asertif, orang membiarkan keinginan, kebutuhan dan hak orang lain menjadi lebih penting daripada kebutuhan-kebutuhan, keinginan dan hak pribadi. Ia membuat dirinya kalah, menjadi korban dan membiarkan orang lain menang (Sinurat, 2000b: 31).

(45)

Perilaku ini dapat aktif atau pasif, langsung atau tidak langsung, jujur atau tidak jujur dan mengomunikasikan sejenis superioritas dan tidak adanya respek. Dengan menjadi agresif orang menempatkan keinginan, kebutuhan dan hak pribadi di atas keinginan, kebutuhan dan hak orang lain. Ia berusaha menuruti kemauan sendiri dan tidak memberi kesempatan bagi orang lain untuk memilih. Orientasinya adalah berusaha menang dan orang lain kalah (Sinurat, 2000b: 31).

c. Asertif

Sifat perilaku ini aktif, langsung, jujur dan mengomunikasikan respek terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain. Dengan menjadi asertif, ia memandang keinginan, kebutuhan dan haknya sama dengan keinginan, kebutuhan dan hak orang lain, menciptakan suasana sama-sama menang (Sinurat, 2000b: 31).

C. KEDEWASAAN BERKOMUNIKASI

Seorang dewasa sadar akan dimensi sosialnya. Ia sadar bahwa berada dengan orang lain. Keanggotaannya dalam keluarga manusia menuntut suatu hubungan pribadi dengan orang lain, oleh karena itu dituntut adanya kedewasaan berkomunikasi. Untuk mencapai kedewasaan berkomunikasi, Sinurat dalam buku berjudul Ketrampilan Berkomunikasi-1 (2000a: 6-7) menyebutkan perlunya ketrampilan berkomunikasi, dan dalam buku Ketrampilan Berkomunikasi-2 Sinurat (2000b: 31-32) menjelaskan pentingnya berkomunikasi yang bijaksana dan efektif dalam hidup bersama.

(46)

Untuk memulai meningkatkan dan mempertahankan hubungan antar pribadi yang dekat dan produktif perlulah dikuasai berbagai ketrampilan dasar dalam berkomunikasi. Ketrampilan berkomunikasi ini digolongkan dalam beberapa ketrampilan sebagai berikut:

a. Memahami dan mempercayai

Ketrampilan memahami dan mempercayai mencakup pembukaan diri, keinsafan, pemahaman diri, penerimaan diri dan sikap mempercayai. Untuk itu diperlukan adanya sikap saling mempercayai dan dorongan untuk berusaha saling memahami. Untuk semakin memahami, masing-masing pribadi harus bisa saling mengungkapkan diri, mengungkapkan bagaimana tanggapannya terhadap sesuatu yang sedang terjadi atau berlangsung, termasuk bagaimana perasaannya terhadap hal yang sedang terjadi. Agar dapat mengungkapkan diri, seseorang harus memahami dan menerima dirinya terlebih dahulu. Kalau sesorang tidak menyadari perasaan dan reaksi dalam dirinya sendiri, maka ia tidak dapat mengungkapkannya bahkan cenderung menyembunyikannya. Orang yang mampu mengungkapkan diri kepada orang lain dan mendengarkan dengan penuh perhatian ketika orang lain membuka diri adalah cara melanjutkan hubungan dalam berkomunikasi dengan sesama (Sinurat, 2000a: 6-7).

b. Berkomunikasi secara tepat dan jelas

(47)

secara tepat dan jelas. Selain itu berkomunikasi secara tepat dan jelas juga berupa kemampuan untuk mendengarkan orang lain dengan cara-cara yang akan menunjukkan bahwa sepenuhnya telah memahami dan mengerti lawan bicara. Dengan saling mengirim dan saling menerima pesan, hubungan antar pribadi dimulai, dikembangkan dan dimantapkan (Sinurat, 2000a: 7).

c. Menerima dan membantu

Ketrampilan menerima dan membantu merupakan ketrampilan yang menyangkut kemampuan untuk memberikan tanggapan yang bersifat menolong atau menumbuhkan bagi orang yang bermasalah. Selain itu juga merupakan kemampuan menunjukkan sikap menerima dan mendukung, kemampuan memberikan pujian dan teladan demi konstruktifnya tingkah laku orang lain (Sinurat, 2000a: 7).

d. Mengatasi konflik dan masalah dalam hubungan pribadi secara konstruktif Untuk menjaga kelestarian hubungan yang sudah terjalin, orang perlu memiliki kemampuan-kemampuan untuk memecahkan konflik-konflik dan masalah-masalah antar pribadi. Untuk itu diperlukan cara-cara yang dapat semakin mendekatkan diri pada lawan komunikasi dan yang akan membuat hubungan antar pribadi semakin bertumbuh dalam kehidupan bersama melalui komunikasi (Sinurat, 2000a: 7).

2. Berkomunikasi yang Bijaksana dan Efektif

(48)

bijaksana dan efektif dalam kehidupan bersama, Sinurat dalam buku Ketrampilan

Berkomunikasi-2 menjelaskan perlunya asertivitas-asertivitas bijaksana dan

efektif dalam berkomunikasi yang memerlukan kemampuan-kemampuan tertentu. a. Kemampuan-kemampuan yang diperlukan dalam asertivitas bijaksana dan

efektif dalam berkomunikasi

Kemampuan untuk memilih asertif atau tidak, merupakan kemampuan untuk menentukan apakah perlu berperilaku asertif atau sebaliknya tidak asertif pada situasi yang bersangkutan. Maka orang yang mau berkomunikasi memerlukan juga kemampuan untuk menemukan saat yang tepat, yaitu kemampuan memilih waktu dan tempat yang sesuai untuk asertif. Biasanya memang sebaiknya segera, langsung dalam situasi aktual yang sedang dihadapi, tetapi adakalanya menunggu saat yang sesuai dimana pihak yang dihadapi telah siap mendengarkan dengan lebih teliti dan tidak begitu defensive. Selain itu juga diperlukan kemampuan berkomunikasi nonverbal dan bersuara yang tepat. Kemampuan berkomunikasi nonverbal adalah kemampuan mempertahankan kontak mata secara langsung dan dengan posisi penuh percaya diri, gerak-gerik dan ekspresi wajah yang mendukung dalam mengomunikasikan. Sedangkan kemampuan bersuara secara tepat menyangkut kemampuan menggunakan nada,

infleksi dan volume suara secara tepat.

(49)

berkomunikasi, orang memerlukan juga kemampuan memperlihatkan penghargaan dan pertimbangan yaitu dengan menekankan kemampuan mendengarkan, menunjukkan pengertian, mengakui argumen yang sah, memodifikasikan pendirian bila mana perlu. Kemampuan mengulangi dan merumuskan pendirian dan kemampuan melihat alternatif strategi dan cara lain jika belum merasa puas juga merupakan kemampuan yang diperlukan agar orang mampu berkomunikasi dengan asertivitas bijaksana dan efektif (Sinurat, 2000b: 31-32).

Agus M. Hardjana (2003: 40) menjelaskan bahwa komunikasi akan efektif jika pesan diterima dan dimengerti sebagaimana yang dimaksud oleh pengirimnya, pesan disetujui oleh penerima dan ditindaklanjuti dengan perbuatan yang diminta oleh pengirim, tidak ada hambatan untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk menindaklanjuti pesan yang dikirim.

b. Halangan-halangan berkomunikasi

Agus M. Hardjana (2003: 40-46) memaparkan lebih lanjut perlunya kesadaran bahwa komunikasi yang efektif tidak selalu bisa terjadi karena ada halangan-halangan yang menghadang dalam proses komunikasi. Halangan-halangan yang terjadi dalam proses komunikasi dapat bersifat interpersonal dan struktural.

1) Halangan interpersonal

(50)

a) Persepsi

Persepsi adalah pandangan orang tentang kenyataan. Persepsi merupakan proses yang kompleks yang dilakukan orang untuk memilih, mengatur dan memberi makna pada kenyataan yang dijumpai di sekelilingnya. Persepsi dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan dan kebudayaan. Ada dua persepsi yang menghalangi komunikasi. Pertama, persepsi selektif (selective perception), yaitu kecenderungan orang untuk melihat orang, objek dan situasi bukan sebagaimana adanya tetapi sebagaimana dikehendakinya. Kedua, persepsi stereotype, yaitu kecenderungan orang untuk melihat dan mengatur kenyataan menurut pola yang tetap, pasti dan dapat diramalkan. Contohnya: “ Perempuan pasti suka begini atau begitu”, “ Laki-laki pasti suka begini, begitu,” “ Orang bule pasti…..” dan seterusnya (Hardjana, 2003: 40-41).

b) Status orang-orang yang berkomunikasi

(51)

c) Sikap defensif

Sikap defensif adalah sikap mental orang untuk menjaga dan melindungi diri dari bahaya, entah itu nyata atau hanya bayangan saja. Sikap defensif pada pengirim pesan lisan membuat raut wajah, gerak tubuh dan cara berbicara yang membuat penerima ikut-ikutan menjadi bersikap defensif pula. Akibatnya, pesan yang diterima tidak tepat dan maksud pengirim tidak dimengerti secara benar. Jika bersikap defensif, perhatian penerima pesan yang mendengar pesan menjadi terpusat pada apa yang mau untuk menjawab dan bukan pada apa yang disampaikan oleh pengirim pesan (Hardjana, 2003: 41-42).

d) Perasaan negatif

Perasaan negatif bisa berupa berbagai macam rasa tidak nyaman, seperti: takut, tertekan, terpaksa, enggan, agresif, menolak, malu. Oleh perasaan-perasaan negatif itu pengirim atau penerima pesan terlalu sibuk dengan diri sendiri dan hal-hal di luar hal yang harus didengarkan. Akibatnya, pengirim tidak dapat mengemas dan mengirim pesannya dengan baik dan penerima pesan tidak siap menerima pesan yang disampaikan kepadanya (Hardjana, 2003: 42).

e) Asumsi

(52)

f) Bahasa

Bahasa, terdiri dari bahasa verbal dan bahasa non verbal. Bahasa verbal yaitu bahasa yang menggunakan kata-kata entah lisan atau tulisan dan bahasa nonverbal yaitu bahasa tanpa kata-kata, berbentuk bahasa tubuh, tindakan atau objek. Bahasa verbal maupun nonverbal ini merupakan wahana untuk menyampaikan pesan dari pengirim kepada penerima. Bahasa dapat menjadi penghalang komunikasi antara lain karena kata yang sama diartikan secara berbeda, kata dan kalimat kabur. Kata terlalu khas dan merupakan istilah pada bidang khusus yang tidak umum dipakai juga dapat menjadi penghalang dalam berkomunikasi. Selain itu kalimat bertele-tele dan sulit dimengerti sering dilakukan oleh sebagian besar orang saat berkomunikasi juga merupakan bahasa yang dapat menjadi penghalang komunikasi (Hardjana, 2003: 42).

g) Tidak mampu mendengarkan

Tidak mampu mendengarkan terjadi karena kebiasaan orang mendengarkan yang jelek, memberi kesan tidak memperhatikan lawan bicara, misalnya hanya mendengarkan secara dangkal, tidak mendengarkan sungguh-sungguh, tidak berusaha memahami kerangka berpikir pengirim pesan (Hardjana, 2003: 42-43).

h) Lingkungan

(53)

2) Halangan stuktural

Halangan struktural adalah halangan-halangan berkomunikasi yang disebabkan oleh struktur lembaga. Halangan ini berupa halangan tingkat hierarki, otoritas manajerial dan spesialisasi kerja. Berikut ini adalah penjabaran halangan berkomunikasi yang bersifat struktural.

a) Tingkat hierarki

Berdasaran fungsi, sekurang-kurangnya ada tiga tingkat hierarki dalam lembaga, yaitu tingkat atas, menengah dan bawah. Pesan yang disampaikan dari tingkat atas ke bawah, yang melewati beberapa tingkat mengalami beberapa kali penyaringan. Karena setiap penerima pada setiap tingkat menyaring pesan menurut persepsi, motif, kepentingan dan kebutuhan masing-masing, penerima pada setiap tingkat dapat menambah, mengurangi, menyesuaikan atau mengubah sama sekali maksud pesan yang diterimanya. Alasan pokoknya adalah karena pesan dari atas pada umumnya bersifat lebih umum dan lebih luas. Maka, setiap tingkat berusaha menyesuaikan pesan itu dengan lingkup dan pokok kerjanya (Hardjana, 2003: 43).

b) Otoritas manajerial

(54)

bawahan ada kecenderungan untuk menghindari situasi yang menuntut mereka untuk mengungkapkan informasi yang mereka rasa membuat mereka tampak tidak baik di mata atasan. Akibatnya, sikap saling terus terang dan transparan tidak muncul dan informasi dari atas ke bawah cenderung menjadi makin keras, sebaliknya informasi dari bawah ke atas cenderung menjadi semakin lemah. Kedua akibat itu sama-sama membuat komunikasi yang terjadi menyampaikan pesan yang bukan sebenarnya sehingga pesan yang diterima tidak benar juga adanya. Hasilnya adalah komunikasi yang benar-benar terhalang (Hardjana, 2003: 43-44).

c) Spesialisasi kerja

Spesialisasi kerja diperlukan agar kerja dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Dalam bidang kerja khusus itu para spesialis yang memegang pekerjaan khusus memiliki kepentingan sendiri dan mempunyai istilah-istilah sendiri. Keadaan ini membuat jurang antarspesialis dan antara spesialis dengan petugas nonspesilais. Akibatnya, sulit menciptakan kesamaan rasa dan pengertian antar para petugas dalam lembaga. Hal ini tentu saja menjadi penghalang untuk komunikasi (Hardjana, 2003: 45).

(55)

dengan berusaha menempatkan diri di tempat penerima. Persepsi perlu dipertajam dengan membayangkan pesan yang akan diterima, dibaca, ditafsir dan ditanggapi oleh penerima. Tanggapan perlu dikendalikan dengan menggunakan kode atau lambang yang tepat dan saluran yang sesuai. Akhirnya pengirim hendaknya bersedia menerima umpan balik yang positif maupun negatif. Sebagai penerima, agar ia dapat menjadi rekan komunikasi yang baik, ia perlu meningkatkan kemampuan mendengarkan sampai mampu mendengarkan dengan empatik.

A. G. Lunandi (1987: 35) menjelaskan bahwa semua orang yang tidak tuli bisa mendengar. Telinga bisa mendengar segala suara, tetapi mendengarkan suatu komunikasi harus dilakukan dengan pikiran, hati dan segenap indera yang diarahkan kepada si pembicara.

D. SPIRITUALITAS KOMUNIKASI

Spiritualitas komunikasi dikenal oleh umat Kristiani sebagai landasan untuk semua komunikasi Kristiani yang sangat mendukung terjadinya kedewasaan berkomunikasi. Frans-Josef Eilers (2008: 33-37) menegaskan bahwa spiritualitas komunikasi berawal dari pengalaman dan api Roh Kudus serta keinginan untuk mengungkapkan dan membagikan kepenuhan ini juga kepada orang-orang lain.

Pada dasarnya, spiritualitas komunikasi ini menuntut keterbukaan rangkap tiga dari setiap komunikator yaitu keterbukaan kepada Allah, keterbukaan kepada diri sendiri dan keterbukaan kepada sesama. Penjelasan mengenai spiritualiatas komunikasi adalah sebagai berikut:

(56)

Keterbukaan kepada Allah dan Roh-Nya berawal dengan pengalaman pribadi tentang Tuhan di dalam doa, dalam merenungkan Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, dalam renungan-renungan pribadinya tentang Allah, dalam pengalaman-pengalaman akan Roh-Nya yang hadir dalam kehidupannya, dalam perayaan liturgi bersama serta persekutuan jemaat. Keterbukaan total kepada Roh merupakan syarat pertama, untuk setiap spiritualitas komunikasi sebagaimana dikutip oleh Frans-Josef Eilers bahwa Paus Yohanes Paulus II dalam amanatnya untuk Hari Komunikasi Sedunia tahun 1998 menandaskan demikian: “ Para komunikator Kristen harus menjadi manusia pendoa yang dipenuhi Roh, sembari semakin dalam memasuki persekutuan dengan Allah agar kian bertambah dalam kemampuannya untuk memicu kerukunan di antara sesama manusia. Mereka harus dididik mengenai pengharapan oleh Roh Kudus, pelaku utama evangelisasi” (Eilers, 2008: 33).

2. Keterbukaan kepada Diri Sendiri

Semua orang ingin berkomunikasi dengan seorang pribadi yang nyata, seimbang, matang, dipenuhi Roh serta bertanggungjawab, dan bukan dengan boneka yang semu atau orang-orang yang terpuruk dengan berbagai kesulitannya sendiri. Jadi seorang komunikator Kristen peduli dengan kehidupan dan pertumbuhan spiritualnya sendiri dan juga perkembangan insaninya (Eilers, 2008: 36-37).

(57)

Keterbukaan kepada Allah dan diri sendiri bermuara pada keterbukaan kepada orang-orang lain, dalam mendengarkan kisah-kisah dan pengalaman-pengalaman mereka, berbagai kebutuhan dan cita-cita mereka dengan berbagi pengalaman iman, serta dengan menciptakan dan mendukung jemaat-jemaat yang ada. Semuanya ini merupakan sumber penting bagi kehidupan komunikator. Dalam komitmen pribadi bidang komunikasi, orang membutuhkan komunitas yang memelihara dan mendukungnya. Dalam keterbukaan kepada orang-orang lain, cintakasih apostolik merupakan buah keterbukaan kepada Allah (Eilers, 2008: 37-39).

E. KESIMPULAN

Berdasarkan berbagai sudut pandang para ahli serta kenyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia mencapai kedewasaan dalam berkomunikasi tidak terjadi dengan sendirinya. Ada proses menuju pendewasaan diri yang memerlukan adanya berbagai macam unsur dan sikap yang harus ada sebagai manusia dewasa secara manusiawi dan rohani.

(58)

memerlukan adanya ketrampilan berkomunikasi serta kemampuan berkomunikasi yang bijaksana dan efektif. Tentu saja kemampuan berkomunikasi yang bijaksana dan efektif ini tidak mudah untuk mewujudkannya. Banyak halangan yang menghadang dalam proses komunikasi yaitu halangan yang bersifat interpersonal dan struktural. Oleh karena itu ketersalingan antara pengirim dan penerima untuk saling membantu dalam meningkatkan evektivitas komunikasi perlu ditingkatkan terus-menerus.

Umat Kristiani mengenal spiritualitas berkomunikasi sebagai landasan semua komunikasi. Spiritulitas komunikasi menuntut keterbukaan kepada Allah, diri sendiri dan sesama, berawal dari pengalaman dan api Roh Kudus serta keinginan untuk mengungkapkan dan membagikannya kepada sesama.

(59)

BAB III

HIDUP BERKOMUNITAS PARA SUSTER ABDI KRISTUS

BERDASARKAN KONSTITUSI TAREKAT ABDI KRISTUS

Bab tiga ini akan membahas hidup berkomunitas para suster Abdi Kristus. Untuk mempermudah pendalaman penulisan, pada bagian pertama akan diuraikan pengertian komunitas dan hidup berkomunitas. Bagian kedua, penulis mengajak untuk lebih mendalami hidup berkomunitas para suster Abdi Kristus diawali dengan menggambarkan secara singkat sejarah, panggilan dan spiritualitas Kongregasi Biarawati Abdi Kristus, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai pribadi Bunda Maria yang menjadi teladan hidup berkomunitas dan rumah biara sebagai rumah komunitas kasih, berisi tentang komunitas kasih yang penuh kegembiraan dalam Roh, Sabda Allah dasar hidup berkomunitas dan komunitas menjadi ‘oase’ kehidupan para suster Abdi Kristus. Komunitas Abdi Kristus dalam gerakan ‘ongoing formation’ demi terwujudnya komunitas kasih yang penuh kegembiraan dalam Roh akan dibahas dalam bagian akhir bab ini. Bagian akhir ini akan membahas tentang pentingnya ‘ongoing formation’ bagi komunitas religius dan pembinaan terus menerus dalam menumbuhkembangkan kualitas hidup Abdi Kristus demi terwujudnya komunitas kasih yang penuh kegembiraan dalam Roh

(60)

A. KOMUNITAS

1. Pengertian Komunitas

Josef Frans Eilers (2003: 37) mengemukakan bahwa bukan tanpa alasan kedua kata komunitas dan komunikasi memiliki akar kata yang sama dalam bahasa Latin, yakni ‘communis’ yang berarti bersama atau umum. Ketika menelisik makna asli kedua kata ini, pada awalnya dicermati dua dimensi yang menjadi akar kata. Istilah itu berasal dari kata ‘mum’ yang berarti sesuatu seperti kubu atau tembok perlindungan. Orang-orang yang berada dalam komunio, berkomunikasi satu sama lain di belakang tembok yang sama, bersama-sama berada pada tempat dan lingkungan yang sama dimana yang satu bergantung pada yang lain. Arti kedua juga didasarkan pada akar kata ‘mum’ yang sama sebagai tercermin dalam kata latin ‘munus’ yang berarti hadiah, pelayanan dan komitmen. Hal ini menyiratkan bahwa komunikator berada demi melayani orang-orang lain, membagikan dirinya dan segala sesuatu sedemikian rupa sehingga dari sesuatu yang sama ini lahirlah komunitas atau persekutuan.

2. Komunitas Kaum Religius

(61)

hubungan satu dengan yang lain di dalam persekutuan ini membentuk persekutuan hidup bakti dengan kelompok yang paling kecil disebut komunitas.

B. KOMUNITAS PARA SUSTER ABDI KRISTUS

Komunitas tidak hanya berarti tinggal bersama seperti hidup di hotel atau dalam kos, tetapi suatu bentuk hidup bersama untuk membangun nilai setidak-tidaknya sejauh yang diharapkan dari spiritualitas Ordo atau Kongregasi (Mardi Prasetya, 1992b: 208). Mardi Prasetya (1992b: 213) melanjutkan demikian:

Tentu saja tiap komunitas mendapatkan inspirasi dari spiritualitasnya khususnitas yang menjadi wahana untuk mencapai tujuan Ordo atau Kongregasinya yang menyangkut nilai-nilai yang mau diwujudkan. Oleh karena itu konstitusi pasti juga menggariskan tujuan, nilai persekutuan dan hidup komu. Namun secara umum komunitas pun mestinya ingin dijadikan salah satu bentuk mengikuti Kristus demi Kerajaan Bapa sebagaimana dicerminkan oleh umat Kristen pertama.

Umat atau jemaat Kristen pertama yang sering disebut buah Paska Tuhan merupakan inspirasi dasar dari komunitas. Inspirasi dasar komunitas berupa perdamaian dan kegembiraan Paska suatu komunitas selalu merupakan buah kematian terhadap diri sendiri dan peneriman Roh Kudus. Oleh karena itu suatu komunitas diharapkan membina sejauh ia memungkinkan setiap anggotanya bertumbuh dan berkembang dalam kesetiaan kepada Tuhan sesuai dengan Kharisma lembaganya.

(62)

komunitas. Mutu komunitas ini merupakan hasil suasananya yang umum dan gaya hidup para anggotanya, sesuai dengan sifat dan semangat khusus lembaga. Suatu sikap realistis yang rendah hati yang disertai iman, hendaknya menjiwai usaha-usaha pembinaan menuju hidup dalam persaudaraan. Dalam buku

Pedoman-pedoman Pembinaan dalam Lembaga-lembaga Religius yang dikeluarkan oleh

Kongregasi untuk Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan dijelaskan bahwa komunitas didirikan dan bertahan, bukan karena para anggotanya menemukan bahwa mereka berbahagia bersama-sama berkat persamaan pikiran, watak, atau sikap-sikap mereka, melainkan karena Tuhan telah menghimpun dan mempersatukan mereka oleh pembaktian bersama demi tugas perutusan bersama di dalam Gereja (Kongregasi untuk Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan (1992: 31).

(63)

bagian berikut ini, penulis akan memulai pemaparan dengan menggambarkan secara singkat Kongregasi Biarawati Abdi Kristus.

1. Gambaran Singkat Kongregasi Biarawati Abdi Kristus

Kongregasi Biarawati Abdi Kristus lahir atas prakarsa Mgr. Petrus Willekens, SJ yang pada waktu itu menjabat sebagai Vikaris Apostolik Batavia. Keinginan beliau untuk memajukan orang-orang pribumi dan memperkembangkan kebudayaan pribumi, terwujud dengan mendirikan Kongregasi Biarawati Abdi Kristus yang pada waktu pendiriannya diberi nama “Kongregasi Abdi Dalem Sang Kristus,” di Ambarawa pada 29 Juni 1938 (Setyakarjana, 2003: 20-21).

Dalam mengikuti Kristus pergi kepada Bapa, Kongregasi Biarawati Abdi Kristus terpanggil untuk menyebarluaskan karya penyelamatan Kristus, yang datang untuk membawa tahun rahmat Tuhan Allah bagi bangsa manusia, terutama yang miskin dan tertindas (Luk 4:18-19). Lewat hidup dan karya-karya, Kongregasi Biarawati Abdi Kristus ingin menyatakan bahwa Allah menyertai mereka, membawa perukunan dan pendamaian di dunia, serta mengangkat hidup dan budaya mereka untuk berbakti kepada Allah (Kons. 31).

Bersama Bunda Maria, yang menghampakan diri untuk menyambut kedatangan Sang Penebus dan demi terlaksananya karya penebusan-Nya dengan menyebut dirinya Hamba Allah (Luk 1:38), Kongregasi Biarawati Abdi Kristus menyambut rahmat panggilan untuk ikut serta di dalam karya panggilan-Nya. Maria Hamba Allah merupakan spiritualitas Kongregasi Biarawati Abdi Krsitus.

(64)

Dalam buku Pedoman-pedoman Pembinaan dalam Lembaga-lembaga

Religius yang dikeluarkan oleh Kongregasi untuk Lembaga Hidup Bakti dan

Serikat Hidup Kerasulan dijelaskan lebih lanjut bahwa Allah sendirilah yang memanggil seseorang kepada hidup bakti di dalam Gereja. Allah sendirilah yang dalam seluruh perjalanan hidup religius, tetap memegang prakarsa: “Dia yang memanggil kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapinya” (1 Tes 5:23-24). Sama seperti Yesus sendiri yang tidak puas hanya dengan memanggil murid-murid-Nya, tetapi dengan sabar mendidik mereka selama hidup-Nya di depan umum, demikian, sesudah kebangkitan-Nya, Dia melanjutkannya melalui Roh-Nya, memimpin mereka ke dalam seluruh kebenaran” (Kongregasi untuk Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, 1992: 26).

Adapun karya Roh itu selalu dikaitkan dengan Perawan Maria, Bunda Allah dan Bunda semua anggota umat Allah. Melalui Roh itulah dia mengandung Sabda Allah dalam rahimnya; untuk Roh itulah pula dia menunggu bersama para rasul, sambil bertekun dalam doa mengikuti kenaikan Tuhan ke surga. Inilah sebabnya kehadiran Perawan Maria dialami oleh para religius sejak awal hingga akhir pembinaan mereka (Kongregasi untuk Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, 1992: 27).

(65)

Aku”. Dan dia, Sang Ibu mengikuti Kristus sebagai Guru kemurnian, kemiskinan serta ketaatan. Jika Gereja menemukan dalam diri Maria modelnya yang pertama, maka lebih-lebih lagi para kaum religius, entah sebagai individu-individu maupun komunitas-komunitas yang dibaktikan dalam Gereja menemukan dia sebagai model. Setiap religius diajak supaya memperbaharui pembaktian religius menurut model pembaktian Bunda Allah sendiri. Oleh karena itu seorang religius bertemu dengan Maria, tidak hanya sebagai seorang teladan melainkan juga sebagai seorang ibu. Maria adalah ibu yang dibaktikan dan diutus. Dalam fiat dan

magnifikat-nya hidup religius menemukan totalitas penyerahan dirinya kepada

Allah dan debaran kegembiraannya di dalam tindak pembaktian-Nya.

Para suster Abdi Kristus mempunyai keyakinan bahwa hidup bersama dalam satu komunitas merupakan karya Roh Allah sendiri, terjadi karena masing-masing pribadi ingin menanggapi panggilan Tuhan. Untuk itu persatuan antar anggota maupun persatuan anggota dengan pimpinan komunitas diyakini sebagai sarana pengudusan dalam panggilan kerasulan dengan menempatkan komunikasi sebagai hal utama agar komunitas mampu menghidupi para penghuninya. Keyakinan ini dihayati oleh para suster Abdi Kristus yang diteguhkan dalam Konstitusi Tarekat Abdi Kristus demikian:

(66)

segala macam cara bersapa dan berkomunikasi harus kita beri tempat yang utama, supaya pembicaraan-pembicaraan kita, supaya musyawarah, konsultasi dan pembagian tugas dan kerja sama dapat dipupuk dan menghasilkan buah-buahnya (Kons. 281).

Dengan meneladani Bunda Maria Hamba Allah pelindung pertama Kongregasi Biarawati Abdi Kristus, semua anggota komunitas belajar selalu memandang dan mengakui bagaimana segala sesuatu yang baik dan segala anugerah itu datangnya dari Allah. Dengan mata Iman itu, para suster Abdi Kristus memiliki keyakinan akan kekuatan Allah yang mengatasi segala macam cobaan dan tegangan-tegangan yang sering dapat terjadi di dalam komunitas-komunitas. Masing-masing pribadi diharapkan memohon rahmat agar saat-saat seperti itu berbalik menjadi saat yang membawa kurnia yang menumbuhkan dan mengembangkan rasa cinta pada panggilan.

Dalam kenyataan hidup bersama, memang tidak akan pernah lepas dari ketegangan-ketegangan yang muncul antara harapan pribadi dan kesatuan komunitas yang akhirnya membentuk gaya atau cara hidup kekeluargaan yang unik. Masing-masing pribadi mempunyai cara berpikir, cara merasakan dan cara bertindak tertentu yang belum tentu seragam dan ingin dikembangkan dalam hidup berkomunitas kaum religius.

(67)

terus-menerus. Mungkin malah dapat tercipta model hidup birokratis di mana terdapat jarak antara pimpinan dan anggota, kurang kehangatan dalam berelasi antara pimpinan dengan anggotanya, pimpinan hanya mau menanggapi anggotanya lewat orang yang dipercayainya dan tidak pernah terjadi kontak pribadi. Atau kemungkinan yang terburuk adalah kalau masing-masing pribadi mulai berjalan sendiri-sendiri seturut keinginannya sendiri.

Mardi Prasetya (1992b: 210) melanjutkan bahwa dimensi-dimensi dalam persekutuan, yaitu pribadi-pribadi, komunikasi, dimensi sosial dan apostolis juga menciptakan peranan pribadi dalam persekutuan entah struktural atau tidak yang akan membentuk gaya/cara hidup komunitas dengan sifat saling melengkapi atau malah bersaing. Bila ada peranan yang saling melengkapi, biasanya akan tercipta juga suasana untuk bertumbuh. Ini mudah dipahami karena kalau yang satu mau maju, hal itu akan membangkitkan semangat juga pada yang lain. Kemajuan seorang anggota akan menentukan kebaikan seluruh komunitas yang mau bertumbuh bersama-sama. Tetapi kalau fungsi saling mendukung dan melengkapi itu berhenti, maka mudah berhenti juga pertumbuhannya. Bahkan dapat terjadi, kalau yang satu maju, yang lain iri dan bereaksi jelek.

(68)

pendapatnya sendiri. Kalau semua anggota menjadi emosional tentu saja akan kesulitan untuk mengambil keputusan bersama.

Mardi Prasetya (1992b: 210-211) melanjutkan penjelasannya mengenai pentingnya komunikasi dalam komunitas yaitu bahwa tujuan dan tanggungjawab komunitas, kesatuan dan keseimbangan, proses pertumbuhan kedewasaan akan terdukung manakala komunikasi atau jalinan hubungan antara pemimpin dan anggota dan antara sesama menunjukkan mutu yang diandalkan. Pertama-tama diperlukan jalinan komunikasi yang saling mendukung. Ini berarti bahwa komunikasi itu tidak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi demi pelayanan. Pemimpin tidak dapat terus-menerus mempertahankan kelekatan afeksi dan kehangatan dengan anggota tertentu, apalagi pasti tidak pada tempatnya kalau anggota-anggota dijadikan untuk tempat pelampiasan kebutuhan emosionalnya. Konflik pasti akan terjadi kalau orang tidak lagi berorientasi pada nilai. Misalnya, pemimpin justru bersekongkol dengan salah seorang anggota untuk memusuhi saingannya, atau sebaliknya kelompok muda membentuk clique untuk melawan pimpinan. Pimpinan juga tidak boleh menggunakan anggotanya sebagai kambing hitam dari persoalan-persoalan pribadinya, karena mungkin terjadi seorang anggota menjadi penumpahan kemarahan yang tidak pada tempatnya.

Berdasarkan buku Menjadi Religius Abdi Kristus Konstitusional, hasil karya Kapitel Umum V Kongregasi Biarawati Abdi Kristus di Ungaran pada tanggal 2-18 Januari 2008 ditemukan adanya kesadaran kecenderungan-kecenderungan cara/gaya hidup para suster Abdi Kristus yang mulai terbawa arus zaman, dinyatakan demikian: Dunia Post-modern yang dijiwai dengan semangat konsumeristik dan

(69)

merasa, cara menilai, cara merayakan serta gaya hidup manusia. Cara berpikir praktis-pragmatis, bukan proses dan perjuangan. Cara merasa berdasarkan nikmat untuk ‘saya’ bukan yang perlu dan berguna. Cara menilai berdasarkan hukum senang-tidak senang bukan cinta. Cara merayakan dan memuji-muji kesuksesan, bukan tersembunyi. Gaya hidup menjadi ‘aneh-aneh’, banyak bicara ‘besar-besar’ tanpa berbuat, tanpa kerja mau dapat banyak, bisa tanpa Allah sehingga tidak ada kelembutan hati, keadilan dan perdamaian (Kapitel Umum V, 2008: 7).

Untuk mewujudkan visi-misi dengan bertitik tolak pada spiritualitas Abdi Kristus seturut teladan Bunda Maria Hamba Allah, gaya hidup yang akan diusahakan oleh Kongregasi Biarawati Abdi Kristus adalah sebagai berikut:

a. Hidup doa

Hidup doa ditandai oleh suasana bakti pada kehadiran Allah sebagaimana tampak dalam keheningan, doa pribadi, doa bersama sehingga dapat memperkaya hidup batin dan rohani (Kons. 248). Hidup doa ini diupayakan terus-menerus dengan memupuk keyakinan bahwa Bunda Maria pasti membawa manusia pada putranya;

Per Mariam ad Jesum (Kons. 249). Doa tidaklah mengurangi keterlibatan

Referensi

Dokumen terkait

[r]

UIN sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam, perlu mengubah realitas tersebut dengan upaya pengembangan keilmuan dan kurikulum dengan menggunakan pendekatan

masing-masing bagian merupakan salah satu usaha perusahaan dalam mengendalikan biaya, karena apabila ada biaya yang berlebihan maka kepala produksi atau kepala

Konsekuensi kedua, karena memandang masa kini dalam perspektif sejarah adalah perlu untuk memperlakukan struktur sosial dan ekonomi Indonesia, tidak sebagai rangka di dalam

Hasil analisis batuan sumber, baik yang tersingkap di Karawang maupun di Bogor, menunjukkan bahwa batuan sumber yang dapat menggenerasi hidrokarbon di Cekungan

Survey awal dilakukan dengan cara menyebar kuesioner kepada 17 orang mahasiswa yang dilakukan pada tanggal 14 januari 2017 didapatkan hubungan kualitas tidur dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesifikasi alat tangkap gill net dasar dengan panjang jaring 52 meter dan ukuran mata 3" (inchi) kemudian dengan

Berdasarkan perintah kepala bidang maka bagian sekertariat akan membuatkan surat perintah tugas bagi pegawai untuk melaksanakan tugas sesuai dengan tujuan yang