• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS DATA

5.11. Analisis Data Kuantitatif Perbandingan Perkembangan Kelompok CU Sebelum dan

5.11.12. Uji t untuk Hubungan Antar Anggota

∑฀2 = 18 N = 32 t = ∑D √( N∑฀2 – ( ∑D)2 N-1 t = -12 √(32) (18) – (-12)2 32-1 t = -12 √ 576 – 144 31 t = -12 √ 432 31 t = -12 = -12 √ 13,94 3,73 t = - 3,22 dk = N-1 = 32 -1 = 31

Nilai kritis untuk t dalam dk = 31 pada level kofiden (atau ฀ ) 0,05 = 2.0395 dan 0,01 = 2.7440 maka hasil t sebesar – 3,22 < 2.0395 atau -3,22 < 2.7440 dan nilai t = -3,22 berada di daerah Ho ditolak karena menggunakan uji 2 sisi yaitu – 2-7079 dan + 2.7079 sehingga signifikan baik pada ฀ 0,05 dan ฀ 0,01. Maka Ho ditolak dan Ha diterima.

dinyatakan bahwa hubungan semakin baik, sehingga berdasarkan hipotesis penelitian terdapat dampak hubungan yang setelah adanya upaya pemberdayaan.

BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan

Berdasarkan data yang telah dikumpulakan melalui kuesioner dan telah dianalisis, dapat ditarik kesimpulkan sebagai berikut:

1. Adanya upaya pemberdayaan memberikan dampak terhadap perkembangan kelompok CU. Dampak positif yaitu sikap kritis anggota dilihat dari kemampuan menyampaikan pendapat, mampu memahami masalah dan menyelesaikan masalah yang ada di desa maupun kelompoknya. Dampak positif juga dilihat dari meningkatnya pendapatan anggota, sehingga dapat memenuhi kebutuhan konsumsi, perumahan, pendidikan anak dan perawatan kesehatan. Selain itu dampak positif adanya upaya pemberdayaan yaitu terpenuhinya kebutuhan air minum anggota.

2. Adanya upaya pemberdayaan melalui kelompok CU memberikan dampak langsung bagi anggota, yaitu bertambahnya pengetahuan anggota mengenai masalah-masalah sosial dengan diberikannya pendidikan.

3. Adanya upaya pemberdayaan memberikan dampak tidak langsung bagi anggota CU maupun yang bukan anggota CU. Bagi sesama anggota CU, hubungan interaksi mereka terjalin dengan baik, sedangkan bagi yang bukan anggota CU merasakan manfaat adanya fasilitas air yang dapat dinikmati oleh semua orang.

4. Anggota CU memahami permasalahan yang ada di desa maupun kelompoknya. Adanya permasalahan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian hutan, maraknya isu peredaran dan penggunaan narkoba dan kesalah pamahan mengenai pendidikan gender.

Bersadarkan kesimpulan yang ada, penulis menyarankan:

1. Perlunya penyadaran bagi anggota CU agar lebih memahami, bahwa upaya pemberdayaan yang dilakukan melalui CU untuk mengingatkan anggota bahwa CU tidak hanya sebatas simpanan dan pinjaman, namun ada kegiatan-kegiatan yang dapat menambah pengetahuan.

2. Adanya masalah peredaran narkoba dikalangan masyarakat pastilah meresahkan, hal ini terjadi dikalangan remaja. Oleh karena itu perlu kiranya pendidikan narkoba dan isu masalah sosial lainnya diberikan tidak hanya pada orang tua sebagai angota CU, tetapi juga pada kalangan remaja yang rentan terhadap narkoba.

3. Dari masalah yang ada, Yayasan Ate Keleng sebagai pendamping kelompok CU perlu kiranya menyadarkan masyarakat bahwa kelestarian alam dan hutan menjadi tanggung jawab bersama. Diberi pemahaman pada masyarakat bahwa kesetaraan gender bukan melihat tinggi atau rendahnya derajat antara laki-laki dan perempuan. Sehingga tidak terjadi kesalahpahaman mengenai tugas dan tanggung jawab dalam rumah tangga.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Dampak

Dampak adalah suatu perubahan yang terjadi akibat suatu aktivitas. Aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, baik sosial, ekonomi, fisik, kimia maupun biologi. Sedangakan menurut KBBI dampak adalah benturan, pengaruh yang mendatangkan akibat baik positif maupun negatif. Pengaruh adalah daya yang ada dan timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak kepercayaan atau perbuatan seseorang.

Adapun dampak memberikan pengaruh berupa:

1. Dampak Positif yaitu dampak yang berpengaruh positif. 2. Dampak Negatif yaitu dampak yang berpengaruh negatif.

3. Dampak Langsung yaitu dampak yang dirasakan langsung dan berkaitan dengan dampak positif.

4. Dampak tidak langsung yaitu dampak tidak langsung yang dirasakan dengan adanya suatu pengaruh.

2.2. Kemiskinan

2.2.1 Pengertian Kemiskinan

Memahami kemiskinan tidak cukup dari satu aspek saja, mengingat kemiskinan itu multideminsi apabila dilihat dari kondisi kebutuhan manusia yang juga beragam. Kemiskinan mencakup dimensi kerentanan, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan. Kemiskinan memiliki berbagai dimensi, yaitu:

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan) 2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan,

sanitasi, air bersih dan transportasi)

keluarga)

4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal. 5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber alam 6. Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat

7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan

8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental 9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (Suharto, dkk, 2004)

Aspek-aspek kemiskinan saling berkaitan satu sama lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemiskinan dapat diukur dengan adanya standart kebutuhan hidup layak dan yang miskin adalah manusianya. Lebih dalam lagi, jika kemiskinan ditinjau dari sandart kebutuhan hidup yang layak atau pemenuhan kebutuhan pokok, maka kemiskinan adalah suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok atau kebutuhan- kebutuhan dasar yang disebabkan kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan dalam upaya memenuhi sndart hidup yang layak.

Ditinjau dari segi pendapatan, dapat didefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi kurangnya pendapatan sebagai modal untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Apabila ditinjau dari segi kesempatan, maka kemiskinan merupakan dampak dari ketidaksamaan kesempatan memperoleh dan mengakumulasikan basis-basis kekuatan sosial, seperti:

e. Sumber-sumber modal yang diperlukan dalam upaya peningkatan pengembangan kehidupan.

Kemiskinan dalam perspektif ekonomi, didefinisikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Sementara Kemiskinan dalam perspektif kesejahteraan sosial mengarah pada keterbatasan individu atau kelompok dalam mengakses jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Ada 2 faktor yang menjadi penghambat keterbatasan individu untuk mendapatkan kesempatan, yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal bersumber dari diri individu, disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan adanya hambatan budaya mengakibatkan seseorang tidak mendapat kesempatan untuk meningkatkan produktivitasnya. Sedangkan Faktor eksternal berasal dari luar individu, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan yang dapat menghambat seseorang mendapatkan sumber daya.

Sementara Mencher dalam Siagian (2012) mengemukakan, kemiskinan adalah gejala penurunan kemampuan seseorang atau sekelompok orang atau wilayah sehingga mempengaruhi daya dukung hidup seseorang atau sekelompok orang tersebut, dimana pada suatu titik waktu secara nyata mereka tidak mampu mencapai kehidupan yang layak. Dalam hal ini dipahami bahwa kemiskinan terjadi karena seseorang atau sekelompok orang tidak lagi mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan hidupnya atau wilayah mengalami penurunan produksi.

2.2.2. Ciri-ciri Kemiskinan

Adapun ciri-ciri kemiskinan itu yakni:

1. Tidak memiliki faktor produksi, seperti tanah yang luas, modal yang memadai dan keterampilan yang memadai untuk melakukan suatu aktivitas ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

dengan kekuatan sendiri sehingga aktivitas hanya berorientasi pada pemenuhan konsumsi semata.

3. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah, dimana seseorang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk memperoleh kesempatan kerja.

4. Penduduk miskin pada umumnya tergolong kedalam kategori setengah menganggur, yang disebabkan karena pendidikan dan keterampilan yang rendah membuat mereka sulit mendapat akses diberbagai sektor formal.

5. Mereka yang datang dari desa ke kota dengan maksud mencari pekerjaan, namun tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai dalam berbagai bidang pekerjaan.

2.2.3. Indikator kemiskinan

Dalam laporan PBB 1 berjudul Report on International Definition and Measurement of Living, badan dunia tersebut menetapkan 12 jenis komponen yang digunakan sebagai dasar memperkirakan kebutuhan manusia, meliputi:

1. Kesehatan, termasuk kondisi demografi 2. Makanan dan Gizi

3. Pendidikan, termasuk literacy dan skill 4. Kondisi pekerjaan

5. Situasi kesempatan kerja

11. Jaminan sosial 12. Kebebasan manusia

Departemen sosial dalam rangka menetapkan sasaran pelayanan kesejahteraan sosial, dirumuskan indikator yang merefleksikan tingkat kemiskinan yang ada di masyarakat, diantaranya:

1. Penghasilan rendah atau berada dibawah garis sangat miskin yang diukur dari tingkat pengeluaran perorangan perbulan berdasarkan standar BPS per wilayah provinsi dan kabupaten/kota.

2. Ketergantungan pada bantuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/ beras untuk miskin/ santunan sosial).

3. Keterbatasan kepemilikan pakaian untuk setiap anggota keluarga pertahun (hanya mampu memiliki satu stel pakaian lengkap perorang pertahun).

4. Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit. 5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar sembilan tahun anak-anaknya.

6. Tidak memiliki harta (asset) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan atau dua kali batas garis sangat miskin. 7. Ada anggota keluarga yang meninggal dalam usia muda atau kurang dari 40 tahun

akibat tidak mampu mengobati penyakit sejak awal.

8. Ada anggota keluarga usia 15 tahun ke atas yang buta huruf. 9. Tinggal dirumah yang tidak layak huni.

10. Luas rumah kurang dari 4 meter persegi. 11. Kesulitan air bersih.

12. Rumah tidak mempunyai sirkulasi udara.

13. Sanitasi lingkungan yang kumuh atau tidak sehat (Departemen Sosial, 2006)

Secara umum ada dua faktor penyebab kemiskinan, yaitu:

1. Faktor Internal, merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu yang mengalami kemiskinan yang secara substansial adalah dalam bentuk kekurangmampuan, meliputi:

a. Fisik, misalnya cacat, kurang gizi, sakit-sakitan.

b. Intelektual, seperti kurangnya pengetahuan, kebodohan, miskinnya informasi c. Mental emosional atau tempramental, seperti malas, mudah menyerah dan putus

asa

d. Spiritual, seperti tidak jujur, penipu, serakah, dan tidak disiplin

e. Sosial psikologis, seperti kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi, stress, kurang relasi dan kurang mampu mencari dukungan.

f. Keterampilan, seperti tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja

g. Asset, seperti tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah, tabungan, kendaraan dan modal kerja

2. Faktor Eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu atau keluarga yang mengalami dan menghadapi kemiskinan itu, sehingga pada suatu titik waktu menjadikannya miskin, meliputi:

a. Terbatasnya pelayanan sosial dasar

d. Kebijakan perbankan terhadap pelayanan kredit mikro dan tingkat bunga yang tidak mendukung sektor usaha mikro

e. Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor riil masyarakat banyak

f. Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang belum optimal, seperti zakat

g. Dampak sosial negatif dari program penyesuaian struktural (srtructural adjusment program)

h. Budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan i. Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil atau daerah bencana j. Pembangunan yang lebih berorientasi fisik material.

k. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata

l. Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin

2.3. Koperasi Simpan Pinjam/Credit Union 2.3.1 Pengertian Koperasi

Koperasi menurut Undang-Undang Koperasi tahun 1967 No. 12 tentang pokok-pokok Perkoperasian adalah: organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial, beranggotakan orang- orang atau badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Tujuan dari koperasi sendiri adalah memajukan kesejahteraan khususnya anggota dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyat yang berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur dalam tata perekonomian nasional yang disusun sebagai

mengembangkan usaha dan kelembagaan termasuk menciptakan profit, benefit dan efisiensi serta meningkatkan kesejahteraan anggota. Koperasi sebagai badan usaha berbeda dengan badan usaha lainnya dan secara spesifik memiliki prinsip-prinsip dan nilai-nilai koperasi, dimana didalamnya terkandung unsur-unsur moral dan etika. Nilai-nilai yang terkandung dalam koperasi yaitu menolong diri sendiri dan percaya pada diri sendiri serta kebersamaan dalam lembaga koperasi. Kekuatan pokok koperasi terletak pada kepercayaan dan kebersamaan anggota. Oleh karena itu partisipasi dan peran aktif anggota perlu diperkokoh dan ditumbuh kembangkan. Sifat keanggotaan koperasi adalah sukarela dan terbuka, yang mana setiap anggota koperasi tidak boleh dipaksakan, anggota koperasi dapat mengundurkan diri dari keanggotaannya serta sifat terbuka mengandung makna keanggotaan tidak dilakukan pembatasan dalam bentuk apapun (Sinaga, Pariaman dkk, 2008).

Dalam UU RI No. 25 Tahun 1992 Pasal 16 dinyatakan bahwa, jenis koperasi didasarkan pada kesamaan kegiatan dan kepentingan ekonomi anggotanya. Dasar untuk menentukan jenis koperasi adalah kesamaan aktifitas, kepentingan dan kebutuhan ekonomi anggotanya, seperti Koperasi Konsumsi, Koperasi Kredit (Koperasi Simpan Pinjam), Koperasi Produksi, Koperasi Jasa dan Koperasi Serba Usaha.

Koperasi berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan. Dimana asas kekeluargaan ialah mencerminkan adanya kesadaran dari budi hati nurani manusia untuk bekerja sama dalam koperasi oleh semua untuk semua, di bawah pimpinan pengurus serta pemilikan dari pada anggota atas dasar keadilan dan kebenaran serta keberanian berkorban bagi kepentingan

Untuk mewujudkan pembangunan menuju masyarakat sejahtera sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu tercapainya masyarakat yang adil dan makmur baik materiil maupun spiritual adalah dengan berkoperasi. Sistem perkoperasin yang dimaksud adalah koperasi yang mendorong adanya produktifitas setiap anggota koperasi (Firdaus & Susanto, 2004)

Kegiatan koperasi yang menekankan produktifitas setiap anggota adalah Koperasi Simpan Pinjam. Dimana ada usaha yang dilakukan yaitu mengumpulkan uang untuk dijadikan modal koperasi. Modal yang ada dipinjamkan kepada sesama yang menjadi anggota koperasi dan pinjaman digunakan untuk tujuan produktif dan bermanfaat bagi peminjam. 2.3.2 Koperasi Simpan Pinjam atau Credit Union

Koperasi simpan pinjam adalah koperasi yang bergerak dalam lapangan usaha pembentukan modal melalui tabungan para anggota secara teratur dan terus-menerus untuk kemudian dipinjamkan kepada para anggota dengan cara mudah, murah, cepat dan tepat untuk tujuan produktif dan kesejahteraan. Unit koperasi Simpan Pinjam adalah Credit Union (Anoraga & Widiyanti, 2007: 23).

Credit Union pertama kali diperkenalkan oleh Friedrich Wilhelm Raiffeisen sebagai solusi mengatasi masalah kemiskinan yang terjadi akibat revolusi industri di jerman pada abad 19. CU merupakan sebuah lembaga keuangan yang bergerak dibidang simpan pinjam dengan tujuan memberdayakan masyarakat (anggotanya) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan. Konsep CU yang kembangkan beliau ialah kaum miskin harus dibantu oleh sesama kaum miskin juga. Kaum miskin mengumpulkan uang secara bersama-sama untuk dipinjamkan kepada sesama mereka yang membutuhkan dan pinjaman digunakan untuk tujuan produktif dan bermanfaat. Pinjaman diberikan atas dasar kepercayaan.

CU berasal dari bahasa Latin “credere” yang artinya percaya dan “union” atau “unus” berarti kumpulan. Sehingga “Credit Union” memiliki makna kumpulan orang yang saling

sehingga menciptakan modal bersama untuk dipinjamkan kepada anggota dengan tujuan produktif dan kesejahteraan.

CU didirikan untuk memberikan kesempatan kepada anggota-anggotanya memperoleh pimjaman dengan mudah dan dengan bunga yang ringan. Untuk dapat memberikan pinjaman, Koperasi memerlukan modal. Modal koperasi yang utama adalah simpanan anggota sendiri. Dari uang simpanan yang dikumpulkan bersama-sama itu diberikan pinjaman kepada anggota yang perlu dibantu.

Fungsi pinjaman dalam CU adalah sesuai dengan tujuan-tujuan koperasi pada umumnya, yaitu untuk memperbaiki kehidupan para anggotanya. Dalam memberikan pelayanan-pelayanan itu pengurus CU selalu berusaha supaya bunga ditetapkan serendah mungkin agar dirasakan ringan oleh para anggotanya. Selain itu pengurus CU harus memperhatikan agar pinjaman itu betul-betul digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat Ibid, dalam Anoraga & Widiyanti (2007).

Selain mudah memperoleh pinjaman dengan suku bunga rendah, CU memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk berinvestasi dalam skala kecil. Bagaiman menyimpan uang dan kemudian menggunakannya untuk keperluan yang bermanfaat. Kehadiran CU juga dapat menjadi jalan bagi masyarakat untuk mengenal lembaga keuangan yang lebih besar sehingga mereka punya pemahaman mengenai tabungan dan melakukan pinjaman.

Sebagai lembaga keuangan yang didirikan secara bersama untuk mengubah nasib anggotanya, CU memegang prinsip bahwa CU dibentuk karena ada sekelompok orang yang

2.3.3. Anggota Credit Union

Berdasakan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992, anggota koperasi begitu juga dengan CU adalah pemilik dan seklaigus pangguna jasa CU. Sebagai pemilik dan pengguna jasa CU, anggota berpartisipasi aktif dalam kegiatan CU. Anggota CU adalah setiap warga negara Indonesia pemilik sekaligus pengguna jasa CU yang mampu melakukan tindakan hukum atau CU yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam anggaran dasar.

Untuk menjadi anggota CU diwajibkan membayar uang pangkal sebesar Rp. 25.000, simpanan pokok Rp. 25.000 dan Simpanan Wajib minimal Rp. 20.000. Aturan menyimpan dilakukan setiap bulan atau sebulan sekali, disesuaikan aturan kelompok CU. Anggota yang meminjam diberlakukan pinjaman 3 kali saham. Dana uang pangkal dipakai untuk membeli buku dan gaji untuk pengajar dalam melakukan pendidikan.

Adapun Syarat-syarat untuk menjadi anggota CU adalah: 1. Mampu berpartisipasi aktif dalam CU

2. Memanfaatka pelayanan-pelayanan yang diberikan CU

3. Bersedia menaati peraturan-peraturan CU terutama untuk menabung terus menerus 4. Yang lebih bersifat normatifnya, mempunyai ikatan kepentingan yang sama, seperti

anggota lain

Keanggotaan CU dapat lebih dari satu orang dalam sebuah keluarga, karena keanggotannya adalah perorangan maka setiap orang dalam sebuah keluarga dapat menjadi anggota CU. Hendaknya tujuan mereka bukannya untuk mendapatkan pinjaman sebanyak mungkin. Seseorang yang ingin menjadi anggota CU harus mendapatkan pendidikan tentang dasar-dasar CU. Dasar dan prinsip CU/ Koperasi yang terpenting adalah:

1. Pengendalian secara demokratis 2. Keanggotaan yang terbuka 3. Bunga terbatas atas modal

5. Pembayaran secara tunai atas transaksi perdagangan 6. Tidak menjual barang palsu

7. Mengadakan pendidikan kepada anggota atas asas koperasi dan perdagangan yang saling membantu

8. Netral terhadap agama dan politik

2.4. Lembaga Swadaya Masyarakat

LSM adalah bentuk organisasi yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja untuk memberdayakan sekelompok masyarakat. Lebih dalam lagi, melalui LSM sekelompok minoritas kreatif menganalisis, merencanakan dan melakukan sesuatu bagi mayoritas masyarakat pasif (Dominggo, 2004).

Dalam perspektif ilmu kesejahteraan sosial, LSM disebut juga Lembaga Kesejahteraan Sosial. Dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial mendefinisikan Lembaga kesejahteraan Sosial sebagai organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Lembaga kesejahteraan sosial berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.

kesejahteraan masyarakat yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya (Siagian, 2007).

2.5. Pemberdayaan

2.5.1 Pengertian Pemberdayaan

Pemberdayaan selalu dihadapkan dengan fenomena ketidakberdayaan sebagai titik tolak dari aktivitas pembedayaan. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya yang dilakukan untuk mengoptimalkan potensi diri agar individu berdaya dan mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga dapat hidup layak dan sejahtera.

Pemberdayaan adalah proses meningkatkan kekuatan pribadi, antarpribadi, atau politik sehingga individu-individu, keluarga-keluarga, dan komunitas-komunitas dapat mengambil tindakan-tindakan untuk memperbaiki situasi-situasi mereka (Gutierrez dalam Fahrudin, 2012).

Menurut (Robbins, Chatterjee, dan Canda dalam Fahrudin, 2012) pemberdayaan menunjukkan proses yang dengan itu individu-individu dan kelompok-kelompok memperoleh kekuatan, akses pada sumber-sumber, dan kontrol atas kehidupan mereka sendiri. Dalam melakukan itu, mereka memperoleh kemampuan untuk mencapai aspirasi- aspirasi dan tujuan-tujuan pribadi dan kolektif mereka yang tertinggi.

Teori pemberdayaan secara tegas memusat pada hambatan-hambatan yang menghalangi seseorang untuk menjangkau sumber-sumber yang diperlukan untuk kesejahteraan. Hambatan ini dapat berupa distribusi kekayaan yang timpang akibat ketidakberdayaan individu-individu maupun kelompok-kelompok tertekan dan termarginalkan. Teori Pemberdayaan menekankan proses pemberdayaan dan juga hasil dengan memberi akses lebih besar pada sumber-sumber dan kekuatan bagi individu dan kelompok marginal.

Proses pemberdayaan pada intinya dilakukan guna membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan yang terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dan melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya Payne dalam Adi (2003).

DuBois & Miley dalam Fahrudin (2012) menyatakan beberapa unsur yang menandai proses pemberdayaan:

1. Memusatkan pada kekuatan-kekuatan. Walaupun menyadari adanya masalah dan kekurangan-kekurangan pada diri individu maupun kelompok, pelaku pemberdayaan menekankan adanya kekuatan-kekuatan dan kemampuan-kemampuan yang ada pada mereka untuk dikembangkan lebih lanjut. Menekankan kekuatan dan kemampuan yang ada pada klien lebih dapat mendorong mereka untuk melakukan perubahan atas situasinya ketimbang mengemukakan masalah dan kekurangan-kekurangannya.

2. Bekerja secara kolaboratif atau partisipatif. Klien harus terlibat secara integral dalam proses perubahan, mulai dari merumuskan situasi sampai pada penentuan tujuan, memilih rangkaian tindakan, dan mengevaluasi hasilnya. Klien dipandang sebagai kolega, atau bahkan sebagai ahli dan konsultan dalam proses perubahan atas situasinya.

4. Menghubungkan kekuatan pribadi meliputi kemampuan individu untuk mengontrol kehidupannya dan mempengaruhi lingkungannya. Kekuatan politis adalah kemampuan untuk mengubah sistem, mendistribusikan kembali sumber-sumber, membuka struktur kesempatan, dan mengorganisasi kembali masyarakat. Berpartisipasi dalam perumusan kebijakan sosial merupakan jalan untuk melaksanakan kekuatan politik untuk perubahan sosial yang konstruktif.

Pemberdayaan sebagai proses memiliki lima dimensi yaitu:

1. Enabling, yaitu menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan

Dokumen terkait