• Tidak ada hasil yang ditemukan

AlCl3 UNTUK MENGHASILKAN SOMAKLON YANG PUTATIF TOLERAN CEKAMAN TANAH MASAM

Abstrak

Setiap tahun impor kedelai Indonesia semakin meningkat akibat kurangnya produksi nasional. Salah satu upaya peningkatan produksi kedelai nasional adalah melalui perluasan areal tanam ke daerah berlahan marginal. Lahan marginal di Indonesia sebagian besar berupa lahan kering masam. Kendala pada tanah masam yaitu keracunan aluminium (Al) dan pH tanah yang rendah. Kendala pada tanah masam tersebut dapat diatasi melalui penggunaan varietas kedelai yang toleran terhadap pH rendah dan keracunan Al. Seleksi in vitro merupakan salah satu cara untuk menghasilkan varietas kedelai yang toleran terhadap pH rendah dan keracunan Al. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan somaklon toleran terhadap cekaman Al (putatif). Pada percobaan awal, kalus embriogenik terbentuk dari kalus dikultur dalam medium MS dengan penambahan 2,4-D 10 mg/l dan NAA 10 mg/l. Kalus embriogenik kemudian diseleksi dalam media MS modifikasi dengan diberi agen seleksi AlCl3 (0, 100, 200, 300, 400 dan 500 mg/l). Kandidat somaklon diperoleh dari masing-masing genotipe, yaitu Wilis (3 kandidat), Tanggamus (2 kandidat), SP-10-4 (1 kandidat), dan CG-22-10 (3 kandidat). Seleksi in vitro juga dilakukan pada tahap embrio somatik fase globular. Jumlah total kandidat somaklon toleran cekaman Al (putatif) yang berhasil didapatkan adalah 9 kandidat yaitu Wilis (3), Tanggamus (2), SP-10-4 (1), dan CG-22-10 (3).

Kata kunci: Kedelai, AlCl3, somaklon, tanah masam. Abstract

Indonesia’s soybean imports have increased every year due to decreasing national production. Expansion of soybean harvested area should be the main priority in the effort to increase soybean national production. Dry acid soil, the main marginal lands in Indonesia, can be developed as an expansion of soybean planting areas. However, the problems that were found in acid soil is the toxicity of aluminum (Al) and low pH. Constraints on acid soils can be overcome through the use of soybean varieties tolerant to low pH and Al toxicity. In vitro selection is one strategy from non conventional plant breeding to produce soybean varieties tolerant to low pH and Al toxicity. This study was aimed to obtain somaclone tolerance to Al toxicity. In the preliminary experiment, embryogenic callus were formed from callus cultured in MS medium supplemented with 10 mg/l 2,4-D and 10 mg/l NAA. Those embryogenic callus was then cultured in selection medium containing various concentration of AlCl3 (0, 100, 200, 300, 400 and 500 mg/l). Somaclone candidates were obtained from each genotypes, those were Wilis (3 candidates), Tanggamus (2 candidates), SP-10-4 (1 candidate), and CG-22-10 (3 candidates). Since the selection was done at embryogenic callus, the regeneration of somaclone candidate took long time. Therefore, embryo somatic induction was

44

repeated for Wilis and Tanggamus genotypes. The total number of somaclonetolerance to Al candidates (putative) was 9 candidates, consisted of Wilis (3), Tanggamus (2), SP-10-4 (1), and CG-22-10 (3).

Keywords : Soybean, AlCl3, somaclone, acid soil. Pendahuluan

Program peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan melalui metode intensifikasi, yaitu perbaikan teknik budidaya dan perbaikan varietas, serta melalui program ekstensifikasi yaitu perluasan areal tanam termasuk ke daerah berlahan marginal. Lahan marginal di Indonesia sebagian besar berupa tanah masam. Tanah masam pada pH dibawah 4.2 memiliki unsur hara yang sedikit serta keracunan aluminium (Al) bagi tanaman sehingga pertumbuhan tanaman menjadi tidak subur (Sanchez 1992). Untuk mengatasi masalah keracunan di tanah masam maka perlu digunakan varietas unggul tanaman yang toleran terhadap tanah masam. Varietas kedelai nasional toleran tanah masam yang sudah dilepas oleh pemerintah adalah Tanggamus, Sibayak, Nanti, Ratai dan Seluah. Tim pemulia kedelai IPB memiliki beberapa galur harapan toleran naungan dengan produktivitas tinggi (F7) yaitu CG-22-10 dan SP-10-4 namun sampai saat ini belum diketahui tingkat toleransinya terhadap cekaman Al (tanah masam). Keragaman plasma nutfah yang tinggi diperlukan dalam perbaikan varietas tanaman.

Perbaikan varietas tanaman dapat dilakukan secara konvensional ataupun non konvensional. Secara konvensional dapat dilakukan dengan cara introduksi dan persilangan, akan tetapi cara ini memerlukan waktu yang cukup lama. Metode seleksi in vitro adalah salah satu contoh dari perakitan varietas tanaman secara non konvensional. Peran seleksi in vitro dalam program pemuliaan tanaman adalah mempercepat waktu seleksi (Jain 2001). Selain itu, kelebihan dari seleksi in vitro adalah tempat yang dibutuhkan lebih sempit dan efektivitas seleksi lebih tinggi serta tidak dipengaruhi oleh musim. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan somaklon yang putatif toleran cekaman tanah masam. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan somaklon kedelai yang putatif toleran cekaman Al.

45 Bahan dan Metode

2.a. Seleksi In Vitro Empat Genotipe Kedelai dengan Agen Seleksi AlCl3

Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mendapatkan somaklon kedelai yang putatif toleran cekaman Al. Eksplan yang digunakan adalah kalus embriogenik yang dihasilkan pada Percobaan 1a. Kalus dengan bobot awal sekitar 0.2 - 0.6 g klum kalus per botol selanjutnya dipindahkan pada media seleksi selama tiga bulan dan setiap satu bulan di subkultur pada media seleksi yang sama. Percobaan disusun berdasarkan rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktor. Faktor pertama adalah genotipe kedelai (Tanggamus, Wilis, CG-22-10 dan SP-10-4). Faktor kedua adalah konsentrasi AlCl3 (0, 100, 300, 400 dan 500 mg/l). Media seleksi in vitro adalah media dasar MS modifikasi + sukrosa 30 g/l + 2,4-D 10 mg/l + NAA 10 mg/l + vit B5. Media MS modifikasi yaitu dengan menggunakan NH4NO3 2.4 mg/l, CaCl2.2H2O 15 mg/l, KH2PO4 13 mg/l, dan FeSO4.7H2O 28 mg/l yang tidak dikelat oleh EDTA, yang bertujuan untuk memunculkan toksisitas Al. Media yang mengandung AlCl3 memiliki pH 4.0 dan gelrite 4 g/ldigunakan sebagai pemadat (Lampiran 7). Pada media kontrol (media tanpa penambahan AlCl3) memiliki pH 5.8 dan gelrite 2 g/l digunakan sebagai pemadat. Percobaan ini terdiri atas 10 ulangan dengan 1 klum kalus per botol kultur sebagai satu satuan percobaan pada tiap genotipe. Pengamatan dilakukan terhadap persentase kematian kalus (Gambar 19) dan pertambahan bobot kalus (4, 8, dan 12 MSP).

2.b. Regenerasi Somaklon Toleran Cekaman Al (Putatif)

Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mendapatkan planlet dari somaklon hasil percobaan 2a. Media yang digunakan adalah media MS0 yaitu media MS tanpa penambahan ZPT.

Analisis Data

Data yang diperoleh di analisis ragam menggunakan uji F pada taraf nyata 5%, dan uji lanjut menggunakan DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5 %.

46

Gambar 19. Persentase kematian kalus. A) kalus hidup, B) 0% > kalus coklat >25%, C) 25% > kalus coklat > 50%, D) 50% > kalus coklat > 75%, E) 75% > kalus coklat > 100%, F) 100% kalus mencoklat. (Bar = 1 cm)

Hasil dan Pembahasan

Seleksi In Vitro Empat Genotipe Kedelai dengan Agen Seleksi AlCl3

Seleksi in vitro yang dilakukan pada penelitian ini adalah seleksi pada tahap kalus embriogenik. Kalus yang digunakan adalah kalus embriogenik yang berasal dari induksi kalus pada media MS dengan penambahan 2,4-D 10 mg/l + NAA 10 mg/l. Penelitian embriogenesis kedelai sebelumnya melaporkan bahwa penggunaan ZPT 2,4-D pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan variasi somaklonal (Gesteira et al. 2002). Kalus yang berasal dari media MS dengan penambahan 2,4-D 10 mg/l + NAA 10 mg/l diduga mengalami variasi somaklonal sehingga terdapat keragaman di tingkat sel atau jaringan. Keragaman yang ada kemudian diseleksi secara in vitro pada media MS modifikasi menggunakan agen seleksi AlCl3 dengan berbagai konsentrasi untuk mendapatkan somaklon dengan sifat toleran terhadap cekaman Al (putatif). Roy dan Mandal (2005) menunjukkan bahwa penggunaan konsentrasi AlCl3 yang tinggi pada seleksi in vitro akan

A a B a C a D a E a F a

47 bersifat intensif. Pada penelitian ini digunakan konsentrasi sampai dengan 500 mg/l agar seleksi in vitro dapat dilakukan secara intensif, yaitu hanya somaklon yang putatif terhadap cekaman tanah masam yang akan hidup.

Pengamatan dilakukan terhadap persentase kematian kalus dan pertambahan bobot segar kalus. Persentase kematian kalus diamati pada 2, 4, 8 dan 12 MSP.Pada 2 MSP persentase kematian kalus cenderung meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi AlCl3 (0 - 300 mg/l), akan tetapi pada konsentrasi 400 dan 500 mg/l persentase kematian kalus semakin rendah. Menurunnya persentase kematian kalus pada konsentrasi 400 dan 500 mg/l diduga disebabkan oleh adanya keragaman yang muncul pada populasi kalus yang diuji. Peningkatan konsentrasi AlCl3 pada 4, 8, dan 12 MSP cenderung menyebabkan peningkatan persentase kematian kalus. Persentase kematian kalus juga semakin meningkat seiring dengan semakin lama kalus berada dalam media seleksi (Tabel 14).

Pengamatan secara histologi dilakukan pada kalus yang mati yaitu kalus yang memiliki ciri-ciri berwarna coklat kehitaman (Gambar 20A). Sel pada kalus mati memperlihatkan adanya kerusakan pada dinding sel. Kerusakan pada dinding sel diduga akibat adanya konsentrasi AlCl3 yang tinggi pada media seleksi (Gambar 20).

Gambar 20. Kalus yang mati pada media seleksi AlCl3 500 mg/l pada genotipe Tanggamus. A) kalus mati, B) pengamatan histologi terhadap kalus mati. Bar = 5 mm.

Bobot kalus dari keempat genotipe kedelai yang diuji mengalami peningkatan setiap minggunya sampai dengan pengamatan pada 12 MSP (Gambar 21A). Peningkatan bobot kalus pada genotipe Wilis lebih tinggi dibandingkan tiga genotipe lainya, sedangkan untuk genotipe Tanggamus, SP-10-4 dan CG-22-10 memiliki peningkatan bobot kalus yang cenderung sama (Gambar 21A). Bobot

A a

B a

48

kalus pada semua genotipe tanpa pemberian AlCl3 mengalami peningkatan setiap minggu pengamatan. Bobot kalus dengan pemberian AlCl3 100-500 mg/l hampir seluruhnya mengalami peningkatan sampai dengan 8 MSP, akan tetapi mulai terjadi penurunan pada 12 MSP (Gambar 21B). Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama kalus berada dalam media seleksi maka pertambahan bobot kalus akan semakin menurun. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Baogui et al (2010) yang menunjukkan bahwa tingkat keracunan Al tergantung pada konsentrasi dan waktu dari lamanya perlakuan.

Tabel 14. Rataan persentase jumlah kalus yang mati akibat keracunan Al pada keempat genotipe kedelai yang diuji pada 2, 4, 8, dan 12 MSP

Genotipe Konsentrasi AlCl3 (mg/l)

Persentase kematian kalus (%)

2 MSP 4 MSP 8 MSP 12 MSP Wilis 0 0.0 0.0 0.0 0.0 100 0.0 20.0 70.0 100.0 200 0.0 30.0 100.0 100.0 300 0.0 88.9 88.9 88.9 400 0.0 30.0 90.0 90.0 500 10.0 70.0 90.0 90.0 Rata-rata 1.7 39.8 73.2 78.1 Tanggamus 0 0.0 0.0 0.0 0.0 100 0.0 10.0 10.0 90.0 200 0.0 40.0 70.0 90.0 300 22.2 22.2 77.8 100.0 400 22.2 80.0 90.0 100.0 500 10.0 60.0 100.0 100.0 Rata-rata 13.7 35.4 57.9 80.0 SP-10-4 0 0.0 0.0 0.0 0.0 100 0.0 50.0 80.0 90.0 200 10.0 50.0 90.0 100.0 300 10.0 70.0 100.0 100.0 400 10.0 60.0 100.0 100.0 500 10.0 70.0 90.0 100.0 Rata-rata 11.7 50.0 76.7 81.7 CG-22-10 0 0.0 0.0 0.0 0.0 100 0.0 20.0 100.0 100.0 200 20.0 50.0 80.0 90.0 300 0.0 50.0 60.0 80.0 400 20.0 30.0 100.0 100.0 500 0.0 70.0 100.0 100.0 Rata-rata 6.6 36.7 73.3 783

49 Persentase kematian kalus pada genotipe SP-10-4 dan CG-22-10 di media yang mengandung AlCl3 cenderung sama dengan persentase kematian kalus pada genotipe Wilis dan Tanggamus. Genotipe Wilis dan Tanggamus merupakan genotipe toleran Al. Hal ini menunjukkkan bahwa kalus kedelai genotipe SP-10-4 dan CG-22-10 diduga memiliki sifat toleran terhadap cekaman Al yang sama atau lebih baik daripada kalus genotipe Wilis dan Tanggamus. Kandidat somaklon toleran cekaman Al (putatif) berhasil didapatkan dari semua genotipe yaitu Wilis (3 kandidat), Tanggamus (2 kandidat), SP-10-4 (1 kandidat), dan CG-22-10 (3 kandidat) (Tabel 15).

A

B

Gambar 21. Bobot kalus selama 12 MSP. (A) Pada empat genotipe kedelai, (B) Pada konsentrasi AlCl3 yang berbeda.

Genotipe

50

Tabel 15. Rataan persentase kalus yang mati akibat keracunan Al dan jumlah kalus hidup pada keempat genotipe kedelai pada 12 MSP

Genotipe Konsentrasi AlCl3 (mg/l) Rataan ∑ Kalus Hidup 0 100 200 300 400 500 Wilis 0.0 100 100.0 88.9 90.0 90.0 78.1 3 Tanggamus 0.0 90.0 90.0 100.0 100.0 100.0 80.0 2 SP-10-4 0.0 90.0 100.0 100.0 100.0 100.0 81.7 1 CG-22-10 0.0 100.0 90.0 80.0 100.0 100.0 78.3 3 Rataan 0.0 95.0 95.0 92.2 97.5 97.5

Seleksi in vitro juga dilakukan pada tahap embrio globular pada konsentrasi AlCl3 200 mg/l pada media padat dan cair. Purnamaningsih dan Mariska et al. (2005) dan Mariska et al. (2004) menunjukkan bahwa seleksi langsung pada eksplan embrio lebih banyak memunculkan sel-sel yang mempunyai sifat ketahanan terhadap Al, bahkan jumlah tanaman yang beregenerasi lebih tinggi daripada seleksi pada tahap kalus dan regenerasi pada penambahan Al 300 mg/l. Pada penelitian ini proses seleksi in vitro pada AlCl3 200 mg/l baik pada media padat maupun cair terbukti belum optimal untuk mendapatkan embrio globular yang toleran Al. Hal ini diduga bahwa penggunaan konsentrasi AlCl3 200 mg/l pada seleksi in vitro tingkat embrio globular terlalu tinggi sehingga menyebabkan kematian pada seluruh embrio globular (Gambar 22).

Regenerasi somaklon toleran cekaman Al

Kandidat somaklon yang dihasilkan pada percobaan seleksi in vitro empat genotipe kedelai dengan agen seleksi AlCl3 kemudian diregenerasikan. Media regenerasi yang digunakan adalah media free hormon yaitu MS0. Kandidat somaklon diharapkan untuk diregenerasikan menjadi planlet agar dapat diuji lebih lanjut sifat toleran terhadap sekaman Al. Hasil penelitian menunjukkan bahwa somaklon belum berhasil beregenerasi menjadi planlet. Kandidat somaklon yang dipindahkan pada media MS0 tidak mengalami perubahan ke arah regenerasi menjadi planlet. Kandidat somaklon tetap dalam bentuk kalus yang ditunjukkan pada Gambar 23. Hal ini diduga bahwa kalus yang dihasilkan merupakan kalus sulit diregenerasikan karena termasuk pada tipe kalus yang bersifat kalusgenesis.

51 Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Komatsuda dan Ohyama (1988) yang menyatakan bahwa pada embriogenesis kedelai terdapat tipe kalus yang bersifat kalusgenesis dengan ciri-ciri kalus berwarna putih. Fenomena kalusgenesis diduga akan menyebabkan regenerasi yang berasal dari kalus akan sulit dilakukan.

Gambar 22. Kondisi embrio globular setelah di pindahkan ke media media seleksi Al cair dan padat. A) Kumpulan globular pada media proliferasi yang digunakan sebagai eksplan pada percobaan di media seleksi, B) Globular pada media seleksi cair dengan AlCl3 200 mg/l, C) Globular pada media seleksi padat dengan AlCl3 200 mg/l. Bar = 3 mm.

Gambar 23. Kondisi kandidat somaklon pada media MS0 pada 24 MSP. A) Somaklon genotipe Tanggamus yang berasal dari media seleksi AlCl3 400 mg/l, B) Somaklon genotipe SP-10-4 yang berasal dari media seleksi AlCl3 500 mg/l. Bar = 5 mm

A a B a C a A a B a

52

Simpulan

Sembilan kandidat somaklon toleran cekaman Al (putatif) yang berhasil didapatkan dari seleksi in vitro empat genotipe kedelai dengan agen seleksi AlCl3 yaitu Wilis (tiga kandidat), Tanggamus (dua kandidat), SP-10-4 (satu kandidat), dan CG-22-10 (tiga kandidat).

53

PEMBAHASAN UMUM

Penelitian ini terdiri dari dua percobaan yaitu induksi variasi somaklonal empat genotipe kedelai melalui embriogenesis somatik dan seleksi in vitro empat genotipe kedelai menggunakan AlCl3 untuk menghasilkan somaklon yang putatif toleran cekaman tanah masam. Keragaman plasma nutfah yang tinggi diperlukan dalam perakitan varietas unggul tanaman (Jain 2011). Peningkatan keragaman genetik dapat dilakukan melalui metode konvensional dan non konvensional. Metode konvensional dapat dilakukan melalui persilangan dan introduksi, sedangkan secara non konvensional dapat dilakukan melalui fusi protoplas, kultur anter, rekayasa genetika dan variasi somaklonal. Variasi somaklonal adalah keragaman genetik yang berasal dari kultur in vitro (Larkin & Scowcroft 1981). Induksi variasi somaklonal melalui embriogenesis somatik memberikan peluang peningkatan keragaman yang tinggi dan bisa diarahkan melalui seleksi in vitro (Riduan 2007).

Variasi somaklonal dipengaruhi oleh pemilihan jenis dan konsentrasi ZPT dalam media (Bairu et al. 2011). Penelitian embriogenesis kedelai sebelumnya melaporkan bahwa penggunaan ZPT 2,4-D pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan variasi somaklonal (Gesteira et al. 2002). Somaklon yang didapatkan dari embriogenesis somatik kemudian diseleksi secara in vitro dengan agen seleksi AlCl3 untuk mendapatkan somaklon yang toleran terhadap cekaman Al (putatif). Protokol embriogenesis somatik kedelai perlu diketahui agar somaklon hasil dari seleksi in vitro dapat diregenerasikan. Pada penelitian ini diperoleh media induksi kalus embriogenik yaitu media MS dengan penambahan 10 mg/l 2,4-D dan 10 mg/l NAA. Media induksi embrio somatik yang paling banyak menghasilkan embrio adalah media MS dengan penambahan 40 mg/l 2,4-D pada genotipe Tanggamus. Media proliferasi yang paling baik adalah media MS padat dan cair dengan penambahan 10 mg/l 2,4-D pada genotipe Tanggamus. Seleksi yang dilakukan pada penelitian ini adalah menggunakan bahan tanam kalus dan embrio tahap globular.

Berbagai komponen seleksi (toksin murni atau filtrat, Al dan pH rendah, PEG, zat pengatur tumbuh, dan lain-lain) dapat digunakan untuk menghasilkan

54

genotipe baru yang diinginkan (Hutami et al. 2006). Melalui seleksi in vitro dengan menggunakan agen seleksi AlCl3 telah didapatkan tanaman kedelai yang memiliki ketahanan terhadap cekaman Al (Mariska et al. 2004). Seleksi in vitro yang dilakukan pada penelitian ini adalah menggunakan agen seleksi AlCl3 dan pH rendah pada seleksi tahap kalus embriogenik dan tahap embrio somatik. Sembilan kandidat somaklon toleran cekaman Al (putatif) yang berhasil didapatkan dari seleksi in vitro empat genotipe kedelai dengan agen seleksi AlCl3

yaitu Wilis (tiga kandidat), Tanggamus (dua kandidat), SP-10-4 (satu kandidat), dan CG-22-10 (tiga kandidat). Kandidat somaklon yang didapatkan pada tingkat kalus diduga memiliki ketahanan terhadap Al yang sama pada tingkat tanaman.

Baogui et al. (2010) mempelajari mekanisme ketahanan terhadap Al pada tingkat kalus dan akar. Mekanisme toleransi terhadap Al pada tingkat tanaman secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu mekanisme eksternal dan internal. Mekanisme eksternal merupakan mekanisme eksklusi Al (menghambat Al masuk ke jaringan), yaitu meningkatnya pH dalam rizosfir atau apoplas akar, eksudasi senyawa organik pengkelat Al, immobilisasi Al pada dinding sel, dan permeabilitas selektif dari membran plasma. Mekanisme internal merupakan mekanisme yang menyebabkan tanaman memiliki daya toleransi untuk mengakumulasi Al dalam sel (inklusi Al). mekanisme inklusi yaitu kompartementasi Al di vakuola,sintesis protein pengikat Al yang akan menurunkan serapan Al, dan kelatisasi oleh asam organik (asam malat, oksalat, fenolat, fulfat dan tartat) (Kochian et al. 2005).

Mekanisme toleransi terhadap Al pada tingkat sel berhubungan dengan target utama keracunan Al pada tingkat sel yaitu pada plasma membran. Pada kondisi tanaman yang keracunan Al baik secara in vitro ataupun in vivo akan mengeluarkan membentuk reactive-oxygen species (ROS) yang diduga bahwa Al bisa mengubah sifat membran plasma dan permeabilitas dan menyebabkan stres oksidatif (Yamamato et al. 2003). Menurut Guo et al. (2004) enzim superoxide dismutase (SOD) berperan dalam detoxifikasi stres oksidatif, sehingga terjadi peningkatan SOD pada genotipe tanaman yang toleran cekaman Al. Pada genotipe tanaman yang toleran terhadap cekaman Al juga diketahui bahwa lipid peroksidase akan menurun. Baogui et al. (2010) melakukan penelitian untuk

55 mengetahui aktivitas SOD dan lipid peroksidase pada tingkat kalus dan akar. Hasil penelitian Baogui et al. (2010) menunjukkan bahwa pada genotipe tanaman toleran Al maka aktivitas enzim SOD akan meningkat sedangkan lipid peroksidase akan menurun baik pada tingkat kalus maupun akar. Oleh karena itu diduga bahwa mekanisme ketahanan Al pada tingkat kalus dan akar (tanaman) adalah sama. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rai et al. (2011) serta Yuliasti dan Sudarsono (2011) yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara seleksi in vitro,seleksi dengan sistem hidroponik serta seleksi di lapang. Sehinga seleksi in vitro dapat efektif dan efisien karena dapat diarahkan pada sifat yang diharapkan.

57

SIMPULAN

Media induksi yang paling banyak menghasilkan embrio somatik adalah MS + 40 mg/l 2,4-D pada genotipe Tanggamus. Media proliferasi yang paling baik adalah MS padat dan cair + 10 mg/l 2,4-D pada genotipe Tanggamus. Sembilan kandidat somaklon toleran cekaman Al (putatif) yang berhasil didapatkan dari seleksi in vitro empat genotipe kedelai dengan agen seleksi AlCl3

yaitu Wilis (tiga kandidat), Tanggamus (dua kandidat), SP-10-4 (satu kandidat), dan CG-22-10 (tiga kandidat).

SARAN

Penelitian mengenai media pendewasaan kalus embriogenik dan embrio somatik perlu dilakukan agar didapatkan planlet. Penggunaan konsentrasi AlCl3

dibawah 200 mg/l perlu dilakukan pada seleksi in vitro tahap embrio somatik agar didapatkan embrio somatik yang dapat diregenerasikan menjadi planlet dan dapat diuji lebih lanjut.

59

DAFTAR PUSTAKA

Adie MM, Krisnawati A. 2007. Biologi tanaman kedelai. Di dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Kasim H, editor. Kedelai:Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 45-73.

Adisarwanto T, Novianti S. 2000. Pengelolaan hara pada tanaman kedelai dan strategi penelitiannya. Di dalam: Gunawan LW, Sunarlim N, Handayani T, Soegiarto B, Adil W, Priyanto B, Suwarno, editor. Penelitian dan Pengembangan Produksi Kedelai di Indonesia. Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hlm 71-79.

Anwar K, Askin A, Niarti R. 1995. Pengaruh sumber, takaran fosfat, dan pengapuran terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai di lahan sulfat masam Karang Agung Ulu. Di dalam : Sunihardi, Musaddad A, Alihamsyah T, Ismail IG, editor. Teknologi Produksi dan Pengembangan Sistem Usahatani di Lahan Rawa. hlm 45-51.

Arsyad, DM. 2000. Varietas unggul dan strategi pemuliaan kedelai di Indonesia. Di dalam: Gunawan LW, Sunarlim N, Handayani T, Soegiarto B, Adil W, Priyanto B, Suwarno, editor. Penelitian dan Pengembangan Produksi Kedelai di Indonesia. Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 39-42.

Atman. 2006. Pengelolaan tanaman kedelai di lahan kering masam. J Ilmiah Tambua. 5(3):281-287.

Bairu MW, Aremu AO, Staden JV. 2011. Somaclonal variation in plants: causes and detection methods. Plant Growth Regul. 63:147-173.

Bajji M, Berlin PP, Lutts S, Kinet JM. 2004. Evaluation of drought resistance traits in drum wheat somaclonal lines selected in vitro. Aust J Exp Agric. 44:27-35.

Baogui D, Hai N, Zhisheng Z, Cunyi Y. 2010. Effects of aluminum on superoxide dismutase and peroxidase activities, and lipid peroxidation in the roots and calluses of soybeans differing in aluminum tolerance. Acta Physiol Plant. 32(5):883-890.

Barwale UB, Kerns HR, Widholm JM. 1986. Plant regeneration from callus cultures of several soybean genotypes via embryogenesis and organogenesis. Planta. 167:473-481.

Biswas B, Chowdhurry, Battacharya A, Mandal B. 2002. In vitro screening for increasing drought tolerance in rice. In vitro Cell Dev Biol Plant. 38:525-530.

60

BPS [Badan Pusat Statistik]. 2012. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedelai [Internet].[diunduh 2012 Jul 19]. Tersedia pada:

http://www.bps.go.id.

Chawla HS. 2002. Introduction to Plant Biotechnology. New Hampshire (US). p512.

Christianson ML, Warnick DA, Carlson PS. 1983. A morphogenetically competent soybean suspension culture. Science. 222:632-634.

Deptan [Departemen Pertanian]. 2012. Pedoman Teknis SLPTT Kedelai [Internet]. [diunduh 2012 Jul 24]. Tersedia pada: http://www.deptan.go.id. Droste A, Leite PCP, Pasquali G, Mundstock EC, Bodanese-Zanettini MH. 2001. Regeneration of soybean via embryogenic suspension culture. Scientia Agricola. 58(4):753-758.

Droste A, Silva AM, Souza IF, Wiebke-Strohm B, Bücker-Neto L, Bencke M, Sauner MV, Bodanes-Zanettini MH. 2010. Screening of Brazilian soybean genotypes with high potential for somatic embryogenesis and plant regeneration. Pesquisa Agropecuária Brasileira. 45(7):715-720.

Evans DA, Sharp WR. 1986. Somaclonal and gametoclonal variation. Di dalam: Evans DA, Sharp WR, Ammino PV, editor. Hand Book of Plant Cell Culture Vol.4: Techniques and Application. New York (US): Macmilan Pub.Co. p 97-132.

Fernando JA, Vieira MLC, Geraldi IO, Appezzato-da-Glória B. 2002. Anatomical study of somatic embryogenesis in Glycine max (L.) Merrill. Braz Arch Biol Technol. 45(3):277-286.

Finer JJ, Nagasawa A. 1988. Development of an embryogenic suspension culture

Dokumen terkait