• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM

B. Upaya Menyelesaikan Hak Konsumen Perumahan yang

Besarnya tingkat pertumbuhan konsumsi masyarakat tidak seimbang dengan meningkatnya kesadaran hak konsumen dan perlindungan konsumen. Hal ini karena di Indonesia tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah disebabkan minimnya edukasi terhadap konsumen. Faktor lain minimnya kesadaran akan hak seorang konsumen juga terlihat dari rendahnya laporan

105

Wawancara dengan Bapak Gustian Danil, Direktur Utama PT.Daya Prima Indonesia dan Wakil Ketua Umum bidang penelitian dan pengembangan APERSI (Asosiasi Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia) pada Senin, 14 Mei 2013

pengaduan konsumen. Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia termasuk negara yang tingkat pengaduannya paling rendah. Bandingkan dengan Malaysia yang jumlah aduannya mencapai 32.369. Namun ini juga kecil dibandingkan

dengan Amerika Serikat yang pengaduan konsumennya mencapai 1,2 juta.107

Padahal dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen diatur akan hak konsumen dan perlindungan konsumen. UU tersebut juga menjadi payung hukum, dimana konsumen berhak tahu, apakah produk yang dibeli sudah sesuai standar nasional Indonesia, apakah barang yang dibeli dijamin kehalalannya dan aman untuk dikonsumsi atau dipakai, berhak melakukan pengaduan keluhan jika barang tidak sesuai dan berhak pula mendapatkan layanan

yang terbaik.108

Menurut Prof. Subekti, risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. Persoalan risiko berpangkal pada terjadinya suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain, persoalan risiko adalah buntut dari

kaadaan memaksa atau force majeure. Dalam Bagian Umum Buku ke III KUH

Perdata sebenarnya hanya dapat ditemukan satu pasal yang sengaja mengatur persoalan risiko, yaitu dalam Pasal 1237. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa ”Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu maka

107

Neraca, Cerdas Berbelanja Cerdas Pula Akan Haknya, http:// www.neraca.co.id/harian/article/27606/Cerdas.Berbelanja.Cerdas.Pula.Akan.Haknya, diakses pada Senin, 20 Mei 2013

barang itu semenjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggungan si

berpiutang”.109

Persoalan mengenai unsur force majeure, eksistensi perjanjian, dan risiko

yang merupakan akibat dari force majeure juga mengalami perkembangan dalam

Dalam hal ini, perkataan ”tanggungan” dipersamakan dengan ”risiko”. Jika ditilik dari redaksinya, pasal tersebut hanya mengatur mengenai perjanjian sepihak, yaitu perjanjian di mana hanya ada suatu kewajiban pada satu pihak, yaitu kewajiban untuk memberikan suatu barang tertentu, dengan tidak memikirkan bahwa pihak yang memikul kewajiban ini juga dapat menjadi pihak yang berhak atau dapat menuntut sesuatu. Pasal 1237 KUH Perdata tidak memikirkan perjanjian yang bertimbal balik sehingga untuk menentukan risiko harus mencari pasal-pasal dalam Bagian Khusus. Dalam bagian khusus, ada beberapa pasal yang mengatur persoalan risiko, misalnya Pasal 1460 mengenai risiko dalam perjanjian jual-beli, Pasal 1545 mengenai risiko dalam perjanjian tukar-menukar, dan Pasal 1553 yang mengatur risiko dalam perjanjian sewa-menyewa. Sebagai catatan, pasal-pasal di atas mengatur persoalan risiko secara berbeda. Pasal 1460 misalnya, meletakkan risiko pada pundak si pembeli, yang merupakan kreditur terhadap barang yang dibelinya. Pasal 1545 mengatur secara berbeda karena meletakkan risiko pada pundak masing-masing pemilik barang yang dipertukarkan. Pemilik dalam hal ini adalah debitur terhadap barang yang dipertukarkan dan musnah sebelum diserahkan.

109

Surah Winarni, “Pembatalan Perjanjian Kredit”, disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD): Overmacht dalam Ketentuan Perundang-undangan, Yurisprudensi, dan Doktrin, kerja sama antara Pusat Kajian Dampak Regulasi dan Otonomi Daerah FH UGM dengan National Legal Reform Program, 13 Maret 2010, Yogyakarta, dapat diakses pada http://id.scribd.com/doc/90692489/11/F-Akibat-Force-Majeure, diakses pada Senin, 27 Mei 2013

berbagai putusan pengadilan yang diteliti. Salah satu unsur force majeure menurut Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958 yaitu tidak ada lagi kemungkinan-kemungkinan alternatif lain yang legal atau tidak melanggar peraturan bagi pihak

yang terkena force majeure untuk memenuhi perjanjian.110

Menurut Gustian Danil dalam upaya menyelesaikan permasalahan hak

konsumen yang tidak terpenuhi akibat terjadinya force majeure adalah dimulai

dari melihat klasifikasi force majeure itu sendiri dan membuat konsumen sadar

akan hak dan kewajibannya. Apakah force majeure yang terjadi bersifat sementara

atau sebaliknya, apakah prestasi masih memungkinkan untuk dipenuhi atau tidak dan apakah konsumen sudah memenuhi kewajiban untuk menggunakan asuransi yang diwajibkan dalam perjanjian akad kredit. Seperti yang pernah terjadi pada salah satu proyek pembangunan PT. Daya Prima Indonesia di kabupaten Asahan

pada tahun 2006 yang tertimpa banjir. Banjir merupakan salah satu bentuk force

majeure dan konsumen tidak tertutupi dengan asuransi atas bencana ini dan rumah juga masih dalam tahap pembangunan yang masih menjadi tanggung jawab developer meskipun akad kredit sudah dijalankan. Sebagai pengembang, PT. Daya Prima Indonesia bertanggungjawab atas pembangunan selagi masih ada kemungkinan untuk meneruskannya. PT. Daya Prima Indonesia mengirimkan surat pemberitahuan kepada konsumen atas tertundanya pembangunan unit rumah yang terkena banjir dan juga menyampaikan permohonan penambahan waktu

pembangunan rumah.111

110Ibid.

111

Wawancara dengan Bapak Gustian Danil, Direktur Utama PT.Daya Prima Indonesia dan Wakil Ketua Umum bidang penelitian dan pengembangan APERSI (Asosiasi Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia) pada Senin, 14 Mei 2013

Hal ini sesuai dengan 3 (tiga) unsur yang harus di penuhi untuk force majeure ini, yaitu:112

1. Tidak memenuhi prestasi;

2. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan yang bersangkutan;

3. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepada yang bersangkutan.

Selain itu, dalam suatu force majeure harus dapat dibuktikan oleh orang

atau pihak yang bersangkutan, mengenai:113

1. Bahwa ia tidak bersalah;

2. Bahwa ia tidak dapat memenuhi kewajibannya dengan jalan lain

sekalipun;

3. Ia tidak dapat menanggung risiko.

Namun, jika force majeure yang terjadi sama sekali memusnahkan barang

yang diperjanjikan dan tidak lagi memungkinkan untuk dipenuhinya prestasi dalam hal diluar kemampuan salah satu pihak maka hal ini tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dari pihak manapun sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata sebagai berikut :

1. Pasal 1244:

“Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tidak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya. Kesemuanya itupun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”

112

Hasanuddin Rahman, Loc.Cit.

2. Pasal 1245:

“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak disengaja siberhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.”

3. Pasal 1545:

“Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah diluar salah pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar.”

4. Pasal 1553:

“Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum.”

Khusus terhadap Perjanjian Kredit, terjadinya force majeure tidak serta

merta membebaskan debitur melaksanakan kewajibannya membayar utang. Dalam kasus bencana tsunami di Aceh dan gempa bumi di Yogyakarta misalnya, terjadinya peristiwa alam tidak dijadikan sebagai suatu alasan oleh debitur untuk meminta permohonan pembatalan perjanjian kredit. Sebaliknya, pihak kreditur pun tidak memberikan perlakuan yang berbeda dengan debitur pada umumnya. Pada prinsipnya, kredit haruslah tetap dibayar sesuai dengan kemampuan

debitur.114

Terkait dengan hal ini, Bank Indonesia membuat kebijakan bahwa mereka (debitur korban bencana alam) diperlakukan sebagai debitur kolektibilitas lancar sampai dengan tiga tahun. Apabila sampai tiga tahun tetap tidak membayar kewajibannya maka Bank akan melakukan langkah-langkah penagihan sampai penjualan agunan. Khusus bagi korban tsunami yang secara nyata debitur telah

114

meninggal atau agunan telah musnah dan usaha juga tidak mungkin lagi dijalankan maka Bank membuat kebijakan untuk dihapus bukukan atau tidak lagi ditagih. Selanjutnya, pemerintah akan menanggung utang tersebut dan menjadi

beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).115

Begitu pula dalam hal KPR Indent, Bank Indonesia membuat kebijakan untuk menghapus bukukan hutang debitur dan pembangunan rumah tetap dilanjutkan dan menjadi tanggungan pemerintah. Dalam hal ini tsunami digolongkan kedalam bencana nasional yang merugikan banyak masyarakat Indonesia, sehingga pemerintah langsung turun tangan dan membuat kebijakan

untuk membantu meringankan beban para korban.116

Penyelesaian sengketa konsumen seperti yang telah dibahas sebelumnya sesuai dengan Undang –Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan dua cara penyelesaian yaitu di luar pengadilan dan

melalui pengadilan. Melalui peradilan umum dimana konsumen dapat

mengajukan kepada pengadilan negeri untuk menuntut ganti rugi dari pelaku usaha, atau bila masih ada unsur pidana, dapat melapor kepada polisi sebagai aparat penyidik umum. Selanjutnya berdasarkan laporan tersebut akan dilakukan penyidikan tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap tindak pidana perlindungan konsumen. Pemeriksaan di pengadilan menggunakan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri. Dapat pula melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen disingkat sebagai BPSK yaitu salah satu lembaga peradilan konsumen berkedudukan pada tiap Daerah Tingkat II kabupaten dan kota di

115Ibid.

116

Wawancara dengan Bapak Petrus, Staf Bagian Analis KPR Bank Tabungan Negara pada Jumat, 13 September 2013

seluruh Indonesia sebagaimana diatur menurut Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bertugas utama menyelesaikan persengketaan konsumen di luar lembaga pengadilan umum, BPSK beranggotakan unsur perwakilan aparatur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha atau produsen yang diangkat atau diberhentikan oleh Menteri, dalam menangani dan mengatur permasalahan konsumen, BPSK memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan dari para pihak yang bersengketa, melihat atau meminta tanda bayar, tagihan atau kuitansi, hasil test lab atau bukti-bukti lain, keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK) bersifat mengikat dan penyelesaian akhir bagi para pihak.117 Penyelesaian

sengketa konsumen melalui BPSK dengan cara Konsiliasi atau Mediasi atau Arbitrase, ganti rugi yang dapat dituntut konsumen dari pelaku usaha, yaitu berupa pengembalian uang pengganti, barang sejenis atau setara nilainya atau

perawatan kesehatan atau pemberian santunan atau keduanya.118

C. Hambatan yang Dihadapi Dalam Menyelesaikan Permasalahan

Dokumen terkait