PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH APABILA TERJADI FORCE MAJEURE
(STUDI PADA PT. DAYA PRIMA INDONESIA)
SKRIPSI
Disusun untuk melengkapi tugas akhir dan diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
NIM. 090200030 VILANY LAFIZA
DEPARTEMEN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH APABILA TERJADI FORCE MAJEURE
(STUDI PADA PT. DAYA PRIMA INDONESIA)
SKRIPSI
Disusun untuk melengkapi tugas akhir dan diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
NIM. 090200030 VILANY LAFIZA
DEPARTEMEN HUKUM PERDATA Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Perdata
NIP. 196603031985081001 Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum.
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum
NIP.196603031985081001 NIP.197308042002121001 Mulhadi, SH., M.Hum.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis hanturkan kepada kehadirat Allah SWT atas segala
anugerah dan kesempatan yang diberikan oleh-Nya mulai dari masa perkuliahan
sampai dengan tahap penyelesaian skripsi seperti sekarang ini pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini diberi judul “PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN
DALAM PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH APABILA TERJADI FORCE MAJEURE (STUDI PADA PT. DAYA PRIMA INDONESIA)”. Hal pertama yang melandasi pengangkatan topik ini adalah lemahnya posisi konsumen terhadap pelaku usaha, khususnya konsumen
perumahan yang sering kali hak-haknya diabaikan oleh pelaku usaha. Memang
disadari bahwa masih sulit untuk mendapatkan literatur yang membahas mengenai
perlindungan konsumen perumahan terutama menyangkut hal force majeure
secara khusus. Namun, dalam hal ini berbagai usaha diupayakan dalam
memanfaatkan bahan-bahan yang telah ada, ditambah dengan pandangan yang
diperoleh dari bahan tersebut untuk membahas permasalahan yang dimaksud.
Sungguh suatu hal yang luar biasa dimana skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik dan tepat waktu sesuai yang diharapkan. Skripsi adalah merupakan
salah satu unsur yang sangat penting sebagai pemenuhan persyaratan dalam
mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, tidak lupa terima kasih disampaikan
atas jasa-jasa yang tidak ternilai dari nama-nama yang disebutkan dibawah ini.
perkuliahan hingga selesainya skripsi ini. Penulis menghaturkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH, MSc (CTM), SpA(K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan berharga yang telah
diberikan untuk dapat menyelesaikan studi strata-I di lingkungan kampus
Universitas Sumatera Utara.
2. Pembantu Rektor I, II, III, IV dan V, Universitas Sumatera Utara beserta
staf dan jajarannya, yang baik secara langsung maupun tidak langsung
juga turut memberikan andil yang tidak ternilai.
3. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, beserta staf dan jajarannya.
4. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum, selaku Pembatu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta staf di bagian pendidikan.
5. Syafruddin Hasibuan, SH. MH.DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta staf di bagian keuangan.
6. Muhammad Husni, SH. MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, beserta staf di bagian kemahasiswaan.
7. Dr. Hasim Purba, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga sekaligus sebagai
Dosen Pembimbing I atas ilmu, pengajaran serta bimbingan dan
pengetahuan yang telah diberikan tidak hanya dalam masa penulisan
skripsi ini, tapi juga mulai dari masa awal perkuliahan sampai dengan saat
8. Mulhadi, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, atas ilmu dan
bimbingan yang telah diberikan, tidak hanya dalam masa penulisan skripsi
ini, tetapi juga sejak dalam masa perkuliahan.
9. Megarita, SH, CN, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik, atas
bimbingan, nasihat serta waktu yang telah diberikan mulai dari awal masa
perkuliahan sampai dengan saat ini.
10. Segenap Dosen dan staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara yang tidak bisa disebutkan satu per satu namanya, atas jasa-jasanya
memberikan ilmu dan bimbingan selama masa perkuliahan.
11. Papa dan Mami tercinta, Muhammad Yusuf, Bsc dan Dewi Anggreni, atas
kasih sayang, doa, nasehat, semangat dan dukungan yang tak henti -
hentinya, serta adik tersayang Adelia Mahriza atas semangat yang telah
diberikan selama ini.
12. Atok dan Andong tercinta, Alm. Drs. Danil Ahmad, DPFE dan Rohani
Darus, SH, atas segala dukungan moril dan perhatian yang tiada henti.
13. Neni tercinta, Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, atas bimbingan dan
motivasinya tidak hanya dalam menyelesaikan skripsi ini, tapi juga dalam
keseharian.
14. Teman-teman stambuk 2009 yang tidak mungkin disebutkan satu per satu
namanya, atas segala dukungan moril dan semangat yang telah diberikan
selama ini.
15. Dan tidak lupa juga seluruh staf dan pegawai di Fakultas Hukum
Selain itu, sebelum dan sesudahnya juga dimohonkan maaf atas segala
kesilapan dalam perbuatan maupun ucapan yang pernah dilakukan. Karena
sebagai manusia biasa tentunya tidak luput dari kesilapan dan kesalahan.
Skripsi yang telah diselesaikan ini tentunya masih perlu untuk diperbaiki
karena diyakini bahwa apa yang telah ditulis dalam skripsi ini masih terdapat
kekurangan. Untuk itu segala kritik maupun saran yang sifatnya membangun akan
diterima demi kemajuan bersama.
Akhir kata, terima kasih atas perhatian yang diberikan. Semoga karya ini
juga sedikit banyak dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juni 2013
Hormat Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
ABSTRAK ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan... 11
C. Tujuan Penulisan ... 11
D. Manfaat Penulisan ... 12
E. Metode Penelitian... 13
F. Keaslian Penulisan ... 14
G. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 18
A. Pengertian dan Istilah dalam Perlindungan Konsumen ... 18
1. Konsumen ... 19
2. Pelaku Usaha/Produsen ... 21
B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ... 22
C. Hak dan Kewajiban Konsumen ... 24
D. Perlindungan Konsumen dalam Peraturan Perundang-Undangan ... 31
E. Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 39
BAB III KREDIT PEMILIKAN RUMAH ... 47
A. Latar Belakang dan Pengertian Kredit Pemilikan Rumah ... 47
B. Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman Mengenai Kredit Pemilikan Rumah ... 53
C. Permasalahan yang Terdapat Dalam Kredit Pemilikan Rumah ... 56
D. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Kredit Pemilikan Rumah Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ... 59
A. Hak Konsumen Perumahan yang Tidak Terpenuhi Akibat
Force Majeure ... 65
B. Upaya Menyelesaikan Hak Konsumen Perumahan yang Tidak Terpenuhi Akibat Force Majeure ... 73
C. Hambatan yang Dihadapi dalam Menyelesaikan Permasalahan Konsumen Perumahan Apabila Terjadi Force Majeure ... 80
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 83
A. Kesimpulan ... 83
B. Saran ... 85
Abstrak Vilany Lafiza *) Hasim Purba **)
Mulhadi ***)
Pesatnya perkembangan perekonomian yang ada di Indonesia menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan barang dan jasa pada masyarakat Indonesia. Hal ini membuka peluang usaha bagi para pengusaha dalam memproduksi barang dan jasa. Namun, dalam prakteknya banyak pengusaha yang melakukan persaingan usaha yang dapat merugikan konsumen bahkan tidak sedikit diantaranya yang memanfaatkan kebutuhan masyarakat ini menjadi suatu kegiatan yang merugikan konsumen seperti dalam bentuk penipuan–penipuan ataupun kegiatan yang menyangkut keselamatan dan keamanan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Adapun permasalahan yang menjadi bahasan dalam skripsi ini adalah apa sajakah hak – hak konsumen khususnya konsumen perumahan yang tidak terpenuhi akibat adanya force majeure, bagaimana upaya penyelesaian masalah hak konsumen perumahan yang tidak terpenuhi akibat adanya force majeure, dan hambatan apa saja yang dihadapi dalam menyelesaikan permasalahan hak konsumen perumahan yang tidak terpenuhi akibat force majeure.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah gabungan metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang menggunakan data – data yang telah ada sebelumnya seperti peraturan perundang – undangan, traktat, yurisprudensi ataupun buku, karya ilmiah, dan lain - lain. Sedangkan metode
penelitian hukum empiris yaitu adalah pen elitian hukum yan g m em pergun akan
sum ber data yang diam bil lan gsun g dari m asyarakat atau dari kehidupan sehari – hari.
Dari penulisan skripsi ini diperoleh kesimpulan bahwa hak konsumen yang tidak terpenuhi akibat force majeure sesuai pasal 7 Undang – Undang Perlindungan Konsumen yaitu mendapatkan ganti rugi apabila barang yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian. Apabila terjadi pelanggaran atas hak konsumen Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan dua cara penyelesaian yaitu melalui pengadilan atau diluar pengadilan melalui BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dan hambatan yang dihadapi dalam menyelesaikan permasalahan konsumen perumahan akibat terjadinya Force Majeure adalah banyaknya konsumen yang tidak menggunakan asuransi dan tidak adanya pengaturan dan batasan yang jelas mengenai force majeure itu sendiri.
Kata kunci : Perlindungan Konsumen, Kredit Pemilikan Rumah, Force Majeure
*) Peneliti, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Abstrak Vilany Lafiza *) Hasim Purba **)
Mulhadi ***)
Pesatnya perkembangan perekonomian yang ada di Indonesia menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan barang dan jasa pada masyarakat Indonesia. Hal ini membuka peluang usaha bagi para pengusaha dalam memproduksi barang dan jasa. Namun, dalam prakteknya banyak pengusaha yang melakukan persaingan usaha yang dapat merugikan konsumen bahkan tidak sedikit diantaranya yang memanfaatkan kebutuhan masyarakat ini menjadi suatu kegiatan yang merugikan konsumen seperti dalam bentuk penipuan–penipuan ataupun kegiatan yang menyangkut keselamatan dan keamanan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Adapun permasalahan yang menjadi bahasan dalam skripsi ini adalah apa sajakah hak – hak konsumen khususnya konsumen perumahan yang tidak terpenuhi akibat adanya force majeure, bagaimana upaya penyelesaian masalah hak konsumen perumahan yang tidak terpenuhi akibat adanya force majeure, dan hambatan apa saja yang dihadapi dalam menyelesaikan permasalahan hak konsumen perumahan yang tidak terpenuhi akibat force majeure.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah gabungan metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang menggunakan data – data yang telah ada sebelumnya seperti peraturan perundang – undangan, traktat, yurisprudensi ataupun buku, karya ilmiah, dan lain - lain. Sedangkan metode
penelitian hukum empiris yaitu adalah pen elitian hukum yan g m em pergun akan
sum ber data yang diam bil lan gsun g dari m asyarakat atau dari kehidupan sehari – hari.
Dari penulisan skripsi ini diperoleh kesimpulan bahwa hak konsumen yang tidak terpenuhi akibat force majeure sesuai pasal 7 Undang – Undang Perlindungan Konsumen yaitu mendapatkan ganti rugi apabila barang yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian. Apabila terjadi pelanggaran atas hak konsumen Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan dua cara penyelesaian yaitu melalui pengadilan atau diluar pengadilan melalui BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dan hambatan yang dihadapi dalam menyelesaikan permasalahan konsumen perumahan akibat terjadinya Force Majeure adalah banyaknya konsumen yang tidak menggunakan asuransi dan tidak adanya pengaturan dan batasan yang jelas mengenai force majeure itu sendiri.
Kata kunci : Perlindungan Konsumen, Kredit Pemilikan Rumah, Force Majeure
*) Peneliti, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pesatnya perkembangan perekonomian yang ada di Indonesia
menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan barang dan jasa pada masyarakat
Indonesia. Perkembangan ekonomi yang terjadi di Indonesia ini tidak terlepas dari
pengaruh lingkungan ekonomi negara-negara di kawasan Asia dalam cakupan
terbatas dan lingkungan ekonomi dunia dalam perspektif yang lebih luas.1 Hal ini
dikarenakan sistem perekonomian Indonesia yang bersifat terbuka sehingga lebih
mudah dipengaruhi oleh prinsip-prinsip perekonomian global.2 Perkembangan
perekonomian global yang pesat mendongkrak angka permintaan dan penawaran
dari masyarakat Indonesia. Pola pikir masyarakat yang dahulunya berorientasi
hanya kepada kebutuhan primer kini berubah menjadi kebutuhan yang bersifat
lebih konsumtif. Ditambah lagi, pada awal 80-an pemerintah Indonesia
melakukan liberalisasi sistem keuangannya yang ditandai dengan pemberian
kelonggaran dalam pengawasan arus modal asing, lalu lintas devisa dan
kebebasan dalam menentukan jumlah kredit yang akan disalurkan. Implikasi dari
liberalisasi keuangan ini adalah tersedianya banyak pilihan bagi masyarakat akan
jasa-jasa keuangan dan persaingan usaha yang makin ketat.3
1
Bank Indonesia, Studi Ekonomi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Bank Indonesia, Jakarta, 2002, Hal. 6
2
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, BooksTerrace & Library, Bandung, 2007, Hal. 2
3
Hal ini didukung pula oleh setiap program yang dibentuk oleh pemerintah
yang pada hakikatnya untuk meningkatkan pembangunan di segala bidang
terutama di bidang perdagangan dan perindustrian. Dari pesatnya perkembangan
perekonomian dan pembangunan di Indonesia terbukalah peluang usaha bagi para
pengusaha dalam memproduksi barang dan jasa. Namun, dalam prakteknya
banyak pengusaha yang melakukan monopoli yang dapat merugikan konsumen
bahkan tidak sedikit diantaranya yang memanfaatkan kebutuhan masyarakat ini
menjadi suatu kegiatan yang merugikan konsumen seperti dalam bentuk
penipuan–penipuan ataupun kegiatan yang menyangkut keselamatan dan
keamanan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa.
Salah satu dampak dari liberalisasi keuangan yang terlihat dalam bidang
perdagangan adalah pengaduan/komplain dari masyarakat atas barang atau jasa
yang dikonsumsinya.4 Hal ini sesungguhnya tidak terlepas dari minimnya
pengetahuan dan kurang pedulinya konsumen terhadap hak–haknya sebagai
konsumen serta kurang kuatnya kedudukan konsumen terhadap pengusaha
sehingga menyebabkan ketidakberdayaan konsumen dalam menuntut tanggung
jawab pengusaha.5
Berdasarkan banyaknya pengaduan masyarakat akan barang dan jasa yang
dikonsumsinya, pemerintah membentuk suatu peraturan mengenai perlindungan
konsumen yaitu Undang Nomor 8 Tahun 1999. Lahirnya
Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini diharapkan dapat mendorong dibentuknya
4
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen & Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, Hal. 10
5
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, akan dapat menempatkan
posisi konsumen pada posisi yang seharusnya, yaitu menjadi seimbang.6
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
secara khusus mengatur permasalahan konsumen dan memberi wadah bagi
aspirasi dan advokasi yang akan dilakukan konsumen jika terjadi tindakan tidak
bertanggung jawab yang dilakukan oleh produsen. Harapan terhadap UUPK jelas
sangat besar. Walaupun belum sempurna, akan tetapi adanya undang-undang ini
merupakan suatu langkah maju dalam rangka menciptakan kegiatan usaha yang
sehat di Indonesia pada umumnya, dalam upaya memberikan perlindungan kepada
konsumen pada khususnya.7
Pada setiap kegiatan usaha yang sehat semestinya terdapat keseimbangan
perlindungan hukum antara konsumen dengan pengusaha. Tidak adanya
perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada dalam posisi yang
lemah. Lebih–lebih jika produk yang dihasilkan bersifat terbatas, pengusaha dapat
menyalahgunakan posisinya yang monopolistis tersebut. Hal ini tentu saja akan
merugikan konsumen.8
Indonesia sebagai negara berkembang, yang industrinya baru mengalami
tahap permulaan, perkembangan hukum perlindungan konsumennya belum Kerugian-kerugian yang dialami konsumen tersebut dapat
timbul sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara produsen
dan konsumen maupun dari adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan
oleh produsen.
6
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal. 101
7
Abdi Darwis, Hak Konsumen Untuk Mendapat Perlindungan Hukum dalam Industri Perumahan di Kota Tangerang , Tesis, Universitas Diponegoro, 2010, Hal. 14
8Ibid.,
berkembang sebagaimana di negara–negara maju. Hal ini disebabkan karena
lazimnya perkembangan perlindungan konsumen merupakan akibat dari
perkembangan industri suatu negara.9
Lambannya perkembangan perlindungan konsumen di negara berkembang
yang perkembangan industrinya baru pada tahap permulaan karena sikap
pemerintah pada umumnya masih melindungi kepentingan industri yang
merupakan faktor yang esensial dalam pembangunan suatu negara. Akibat dari
perlindungan kepentingan industri pada negara berkembang, termasuk indonesia
tersebut, maka ketentuan-ketentuan hukum yang bermaksud untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen atau anggota masyarakat kurang berfungsi karena
tidak diterapkan secara ketat. Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa
usaha pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen telah
dilakukan sejak lama, hanya saja kadang tidak disadari bahwa pada dasarnya
tindakan tertentu yang dilakukan oleh pemerintah merupakan usaha untuk
melindungi kepentingan konsumen.10
Sejak berlaku efektifnya Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen pada 20 April 2000 hingga dikeluarkannya sejumlah
peraturan pelaksanaan Undang–Undang Perlindungan Konsumen, belum banyak
perubahan sikap perlakuan pelaku usaha terhadap konsumen. Hampir pada semua
komoditas terdapat dugaan pelanggaran-pelanggaran hak-hak konsumen di
Indonesia.11
9Ibid.,
Hal. 67
10Ibid
., Hal. 68
11
Yusuf Shofie, Op.Cit., Hal. 6
Yang dimaksud dengan kata seimbang dalam tujuan dibentuknya
konsumen dan produsen, salah satunya adalah pemberian ganti rugi sesuai dengan
ketentuan Pasal 19 UUPK yang berisi :
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Walaupun dalam UUPK telah tampak adanya upaya untuk
mengembangkan kedudukan antara konsumen dengan produsen, namun dalam
UUPK tersebut masih terdapat beberapa kekurangan, baik berupa pembatasan
ruang gerak produsen secara berlebihan, maupun ketentuan-ketentuan hukum
yang sulit diterapkan dengan baik.12
Dapat dilihat bahwasanya pelaksanaan dari perlindungan konsumen ini
diperlukan pembinaan sikap, baik dari para pelaku usaha maupun para konsumen.
Salah satu bentuk dari pembinaan sikap dapat dilakukan melalui pendidikan
sebagai media sosialisasi. Melalui pendidikan, mahasiswa ataupun orang awam
dapat mengerti dan memahami hak-haknya sebagai konsumen dan melakukannya
dalam praktek di masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan pendidikan konsumen
sangat dibutuhkan dalam hal pelaksanaan perlindungan konsumen.13
Ruang lingkup pembahasan mengenai perlindungan konsumen sangat luas,
salah satunya adalah perlindungan terhadap konsumen perumahan. Pesatnya
peningkatan kepadatan penduduk di Indonesia merupakan salah satu alasan
mendasar yang mendongkrak permintaan masyarakat atas rumah.
12
Ahmadi Miru, Op.Cit., Hal. 70
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2010 –
2014 mencantumkan bahwa salah satu prioritas pembangunan di Indonesia yang
akan dilakukan adalah Perumahan Rakyat berupa pembangunan 685.000 Rumah
Sederhana Sehat Bersubsidi, 180 Rusunami dan 650 twin block berikut fasilitas
pendukung kawasan permukiman bagi keluarga yang kurang mampu. Hal ini
membuktikan bahwa perumahan dan permukiman merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya terus diupayakan agar semakin
besar lapisan masyarakat dapat menempati rumah dengan lingkungan pemukiman
yang layak, sehat, aman dan serasi.
Pembangunan perumahan dan pemukiman pada dasarnya merupakan tugas
dan tanggung jawab masyarakat sendiri. Dalam hubungan ini, negara
bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu
bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam
perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah
Indonesia. Hal ini tercantum di dalam poin b konsideran Undang-Undang No. 1
Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, rumah merupakan suatu
kebutuhan yang penting dan paling utama. Rumah yang berdiri di atas
lahan/kavling masih merupakan pilihan utama sebagian besar orang, karena
merupakan suatu yang membawa kepuasan tersendiri untuk dihuni bersama
merupakan tujuan pembangunan yang mendasari kebijakan-kebijakan yang
diambil. Kebijaksanaan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk : 14
a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat,
secara adil dan merata, serta mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia.
b. Mewujudkan pemukiman yang serasi dan seimbang, sesuai dengan pola tata
ruang kota dan tata daerah, serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna.
Pembangunan perumahan dan pemukiman, perlu diperhatikan kondisi dan
pengembangan nilai-nilai sosial budaya masyarakat, laju pertumbuhan penduduk
dan penyebarannya, pusat-pusat produksi dan tata guna tanah dalam rangka
membina kehidupan masyarakat yang maju. Pembangunan perumahan dan
pemukiman harus dapat pula mendorong perilaku hidup sehat dan tertib serta ikut
mendorong kegiatan pembangunan di sektor lain.15
Untuk membiayai pembangunan perumahan dan pemukiman, maka
lembaga pembiayaan yang melayani pembangunan perumahan perlu ditingkatkan
dan dikembangkan peranannya sehingga dapat mendorong terhimpunnya modal
yang memungkinkan pembangunan rumah milik dan rumah sewa dalam jumlah
besar. Sejalan dengan itu, perlu diciptakan iklim yang menarik bagi pembangunan
perumahan baik oleh masyarakat maupun orang perorangan antara lain dengan
penyediaan kredit yang memadai, pengaturan persewaan dan hipotik perumahan.
14
Hotman Nainggolan, Aspek Hukum Perjanjian Dalam Pembelian Rumah Melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Bank Tabungan Negara (BTN) Medan Pada Perumnas Simalingkar Medan, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, 2000 Hal. 2
Disamping itu perlu didorong partisipasi masyarakat dalam pemupukan dana bagi
perumahan.16
Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia jelas menghadapi
masalah dimana sebagian besar masyarakat masih berpenghasilan rendah.
Pemerintah perlu mengambil kebijaksanaan untuk meningkatkan taraf hidup
rakyatnya dengan jalan memberikan kredit kepada anggota masyarakat yang
sederhana salah satunya kredit pemilikan rumah. Pemberian kredit pemilikan
rumah tersebut diberikan pemerintah diwakili oleh Bank Tabungan Negara (BTN)
berdasarkan Surat Menteri Keuangan RI No.B. 49/MK/IV/I/1974, tanggal 29
Januari 1974. Adapun tujuan pemberian kredit pemilikan rumah tersebut adalah
memberikan bantuan kepada golongan masyarakat ekonomi lemah yang
berpenghasilan rendah dan menengah untuk dapat membeli rumah sederhana
dengan pembayaran secara angsuran untuk ditempati dan dihuni oleh masyarakat
itu sendiri yang belum mampu mempunyai rumah.
Namun, pada prakteknya, dapat dilihat bahwasanya kepadatan penduduk
dari tahun ke tahun semakin bertambah dan menyebabkan kebutuhan akan lahan
perumahan semakin besar sehingga lahan menjadi semakin terbatas yang
menyebabkan harga tanah menjadi semakin tinggi. Sehingga saat dibangun
perumahan maka harganya sulit untuk dijangkau masyarakat biasa yang
berpenghasilan rendah.
17
KPR adalah salah satu produk kredit yang sangat diminati oleh perbankan
untuk ditawarkan kepada konsumen Indonesia. Potensi pasar rumah yang masih
16
Andi Hamzah dkk, Dasar-dasar Hukum Perumahan, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, Hal. 1-2
17
besar dengan tingkat suku bunga yang lumayan tinggi menjadikan produk ini
memang sangat menjanjikan untuk meraih profit yang besar. Maka dari itu,
kucuran kredit di sektor perumahan terus meningkat setiap tahun.
Kenaikan permintaan atas rumah yang terus melonjak dari tahun ke tahun
dipicu oleh tumbuh kembangnya perekonomian bangsa dan tingginya kepadatan
penduduk. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya pengembang-pengembang
baru dengan berbagai fasilitas yang ditawarkan kepada masyarakat. Akan tetapi
dalam praktek akhir-akhir ini ternyata banyak sekali timbul permasalahan di
bidang tersebut yang cenderung merugikan pihak konsumen. Permasalahan
pemasaran perumahan di dalam praktek pembangunan yang terjadi itu sudah
dapat dikategorikan sebagai kejahatan.18
Merebaknya kasus perumahan pada dasarnya diawali dengan
ketidaksesuaian antara apa yang tercantum dalam brosur dengan realita yang
diterima konsumen saat menempati rumah tersebut. Seperti kualitas spesifikasi
teknis rumah yang rendah, perbedaan luas tanah, keterlambatan penyerahan
bangunan, masalah fasilitas sosial dan umum, dan sebagainya. Pemasaran yang
dilakukan developer sangat tendensius, sehingga tidak jarang informasi yang
disampaikan itu ternyata menyesatkan atau tidak benar, padahal konsumen sudah
terlanjur menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan
pengembang, atau bahkan sudah akad kredit dengan Bank pemberi kredit
pemilikan rumah.19
18
Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra Adiya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 44
19
Salah satu permasalahan konsumen Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yaitu
Force majeure/Overmacht, yaitu keadaan memaksa di luar kemampuan kedua
belah pihak yang menghalangi penunaian perikatan sehingga membebaskan
debitur untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga. Sayangnya keadaan
memaksa ini tidak diatur dalam perjanjian KPR. Keadaan memaksa ini dalam
perjanjian KPR sering disebut sebagai kejadian tak terduga.20
Digolongkan sebagai kejadian tak terduga, antara lain, perubahan
peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah di bidang perbankan.
Selain itu, keputusan likuidasi bank atau pembekuan bank tampaknya dapat
dimasukkan sebagai keadaan memaksa. Keadaan memaksa ini rupanya hanya
berlaku untuk kepentingan pihak bank saja dalam bentuk kenaikan suku bunga
yang tidak rasional. Padahal, keadaan memaksa menghentikan bekerjanya
perikatan dan menimbulkan akibat hukum, antara lain :21
a. Kreditor tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi;
b. Debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai (wanprestasi); dan
c. Risiko tidak beralih kepada debitur.
Karena lemahnya pengaturan mengenai force majeure ini di dalam
perjanjian KPR itu sendiri menyebabkan timbulnya permasalahan dimana
konsumen dirugikan akibat terjadinya force majeure tersebut. Belum lagi keadaan
memaksa ini hanya berlaku untuk kepentingan bank. Namun sesungguhnya
seluruh pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan perjanjian KPR ini, termasuk
konsumen dapat dirugikan dengan adanya suatu keadaan memaksa atau force
20
Yusuf Shofie, Op Cit., Hal. 74
21
majeure. Hal-hal tersebut diataslah yang akan menjadi pokok utama pembahasan
di dalam skripsi yang diberi judul “PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN
TERHADAP PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR) APABILA TERJADI FORCE MAJEURE (STUDI PADA PT. DAYA PRIMA INDONESIA).”
B. Permasalahan
Secara yuridis terdapat beberapa permasalahan dalam perjanjian Kredit
Pemilikan Rumah ( KPR ). Adapun pokok permasalahan dalam penulisan skripsi
ini adalah sebagai berikut :
1. Apa sajakah hak-hak konsumen perumahan yang tidak terpenuhi akibat dari
adanya Force majeure?
2. Bagaimana upaya penyelesaian masalah hak konsumen perumahan yang tidak
terpenuhi akibat Force majeure (Studi pada PT. Daya Prima Indonesia)?
3. Apa saja hambatan yang dihadapi dalam menyelesaikan permasalahan hak
konsumen perumahan yang tidak terpenuhi akibat Force majeure (Studi pada
PT. Daya Prima Indonesia)?
C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui apa sajakah hak-hak konsumen perumahan yang tidak
2. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan PT. Daya Prima Indonesia dalam
menyelesaikan permasalahan hak konsumen perumahan yang tidak terpenuhi
akibat Force majeure
3. Untuk mengetahui apa saja hambatan yang dihadapi PT. Daya Prima
Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan hak konsumen perumahan yang
tidak terpenuhi akibat Force majeure
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin dicapai dan diperoleh dari penulisan skripsi
ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis, pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah
dirumuskan diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran di
bidang perlindungan konsumen, khususnya berkaitan dengan Kredit
Pemilikan Rumah terutama force majeure. Selain itu, penelitian ini juga
diharapkan dapat menambah khasanah kepustakaan di bidang
perlindungan konsumen pada umumnya, dan atas Kredit Pemilikan
Rumah pada khususnya, serta dapat dijadikan sebagai bahan yang
memuat data empiris sebagai dasar penelitian selanjutnya.
2. Secara Praktis, pembahasan terhadap permasalahan ini diharapkan dapat
menjadi bahan masukan bagi Pemerintah dalam menentukan kebijakan
dan langkah-langkah untuk memberikan perlindungan hukum yang baik
terhadap hak-hak konsumen yang berkaitan dengan force majeure.
Dengan penelitian ini diharapkan menyarakat menyadari akan
dengan pemerintah diharapkan dapat bekerja sama dalam menghapus
hambatan terhadap pelaksanaan perlindungan hukum atas hak-hak
konsumen Kredit Pemilikan Rumah dalam hal force majeure.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
gabungan antara metode Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum
Empiris, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Jenis penelitian
Penulisan skripsi ini memakai metode penelitian hukum normatif dan
penelitian hukum empiris. Metode penelitian hukum atau metode penelitian
hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang
ada. Sedangkan penelitian hukum empiris adalah metode penelitian yang
dilakukan untuk mendapatkan data langsung dari masyarakat, dalam hal ini
penulis melakukan wawancara dengan Bapak Gustian Danil selaku Pemilik
dan Direktur Utama PT. Daya Prima Indonesia.
2. Data
Data yang dikumpulkan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini
diperoleh melalui pengumpulan bahan hukum primer dan sekunder.
a. Bahan hukum primer yaitu Peraturan Perundang-Undangan.
b. Bahan hukum sekunder yaitu buku-buku yang memberikan penjelasan
tentang bahan hukum primer seperti buku tentang hukum perlindungan
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara
lain kamus hukum.
3. Teknik Pengumpulan Data
Skripsi ini menggunakan 2 (dua) teknik pengumpulan data, yaitu :
1. Tinjauan Kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan
dengan mempelajari dan mengutip isi dari buku-buku yang membahas
mengenai hukum perlindungan konsumen dan perjanjian Kredit Pemilikan
Rumah ( KPR ).
2. Penelitian Lapangan (Field Research) yaitu penelitian yang dilakukan
dengan observasi ke lapangan dengan mengambil beberapa laporan
penelitian dari perusahaan pengembang yang menjadi objek penelitian dan
menganalisa laporan penelitian ini. Dalam hal ini Penulis melakukan
penelitian di PT. Daya Prima Indonesia yaitu dengan melakukan
wawancara langsung dengan Pemilik sekaligus Direktur Utama PT. Daya
Prima Indonesia, yaitu Bapak Gustian Danil.
F. Keaslian Penulisan
Pada dasarnya, penulisan skripsi yang bertemakan tentang Perlindungan
Konsumen telah banyak diangkat dan dibahas, namun penulisan skripsi dengan
judul Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Perjanjian Kredit
dipertanggungjawabkan penulis secara moral dan secara akademik. Dalam
penulisan ini terdapat judul yang mirip antara lain:
1. Aspek Hukum Perjanjian dalam Pembelian Rumah Melalui Kredit Pemilikan
Rumah (KPR) Bank Tabungan Negara (BTN) Medan pada Perumnas
Simalingkar ( Disusun oleh Hotman Nainggolan NIM: 930200102 pada
skripsi tahun 2000). Dengan rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah penerapan anasir-anasir dari ketentuan umum tentang
perjanjian ?
b. Bagaimanakah aspek hukum dari perjanjian jual beli ?
c. Bagaimanakah pemberlakuan ketentuan-ketentuan khusus dalam
perjanjian ?
2. Wanprestasi dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) studi kasus
pada Bank Tabungan Negara Cabang Medan Mall ( Disusun oleh Sri Chairani
Putri NIM: 070200189 pada skripsi tahun 2010). Dengan rumusan masalah
sebagai berikut :
a. Kapankah terjadinya wanprestasi dalam perjanjian Kredit Pemilikan
Rumah (KPR) ?
b. Apakah faktor-faktor yang meyebabkan terjadinya wanprestasi
dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan apakah akibat
hukumnya serta bagaimana tindakan kreditur terhadap wanprestasi
yang terjadi ?
c. Bagaimanakah bentuk penyelesaian sengketa wanprestasi yang
Daftar skripsi di atas adalah skripsi yang membahas mengenai Kredit
Pemilikan Rumah, namun dilihat dari judul dan permasalahannya tidak sama,
begitu juga dengan judul yang penulis angkat. Walaupun terdapat kutipan atau
pendapat di dalam penulisan ini, semata-mata merupakan pelengkap dan referensi
dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penulisan skripsi ini dibagi dalam suatu tahap
yang disebut Bab. Dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya sendiri.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I ( Pendahuluan ), berisi mengenai hal-hal yang bersifat umum dari tulisan
ini yang terdiri dari : Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan,
Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, Sistematika Penulisan.
BAB II (Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen), berisi sekilas tentang
perlindungan konsumen secara umum yang terdiri dari : Pengertian dan Istilah
Dalam Perlindungan Konsumen, Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen, Hak
dan Kewajiban Konsumen, Perlindungan Konsumen Dalam Peraturan
Perundang-Undangan, Penyelesaian Sengketa Konsumen.
BAB III ( Tinjauan Umum Mengenai Kredit Pemilikan Rumah (KPR) ), berisi
sekilas tentang Kredit Pemilikan Rumah (KPR) secara umum meliputi :
Pengertian dan Latar Belakang Kredit Pemilikan Rumah, Tinjauan Terhadap UU
Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Permukiman Mengenai Kredit
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Kredit Pemilikan Rumah Ditinjau dari
UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
BAB IV ( Perlindungan Hukum Konsumen dalam Perjanjian Kredit Pemilikan
Rumah (KPR) Apabila Terjadi Force majeure (Studi pada PT. Daya Prima
Indonesia) ), berisi inti dari penulisan ini yang membahas dan mengkaji
Perlindungan Hukum Konsumen Perumahan yakni terdiri atas: Penjelasan Atas
Hak-Hak Konsumen yang Tidak Terpenuhi Akibat Force majeure, Upaya
Menyelesaikan Permasalahan Hak Konsumen yang Tidak Terpenuhi Akibat
Force majeure, Hambatan yang Dihadapi Dalam Menyelesaikan Permasalahan
Konsumen.
BAB V ( Kesimpulan dan Saran ), berisi uraian mengenai kesimpulan dari seluruh
bab sebelumnya yang menjadi suatu kesimpulan penulisan serta saran-saran yang
merupakan sumbangan pemikiran dari penulis terhadap permasalahan dalam
skripsi ini.
BAB II
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Kredit Pemilikan Rumah Ditinjau dari
UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
BAB IV ( Perlindungan Hukum Konsumen dalam Perjanjian Kredit Pemilikan
Rumah (KPR) Apabila Terjadi Force majeure (Studi pada PT. Daya Prima
Indonesia) ), berisi inti dari penulisan ini yang membahas dan mengkaji
Perlindungan Hukum Konsumen Perumahan yakni terdiri atas: Penjelasan Atas
Hak-Hak Konsumen yang Tidak Terpenuhi Akibat Force majeure, Upaya
Menyelesaikan Permasalahan Hak Konsumen yang Tidak Terpenuhi Akibat
Force majeure, Hambatan yang Dihadapi Dalam Menyelesaikan Permasalahan
Konsumen.
BAB V ( Kesimpulan dan Saran ), berisi uraian mengenai kesimpulan dari seluruh
bab sebelumnya yang menjadi suatu kesimpulan penulisan serta saran-saran yang
merupakan sumbangan pemikiran dari penulis terhadap permasalahan dalam
skripsi ini.
BAB II
A. Pengertian dan Istilah dalam Perlindungan Konsumen
Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya
di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai
jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan
perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan tekhnologi telekomunikasi dan
informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa
melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang
ditawarkan menjadi lebih bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi
dalam negeri.
Kondisi seperti ini pada satu sisi mempunyai manfaat bagi konsumen
karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat
terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan
kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
Namun, disisi lain dapat pula menyebabkan kedudukan pelaku usaha dan
konsumen menjadi tidak seimbang, dimana sering kali kosumen berada pada
posisi yang lemah.22
Hal inilah yang melatarbelakangi dibentuknya Hukum Perlindungan
Konsumen sebagai salah satu upaya pemerintah untuk menyeimbangkan
kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen. Perlindungan konsumen adalah
perangkat
22
hak
dapat menuntut hak-haknya sesuai apa yang diperjanjikan.
Didalam Hukum Perlindungan Konsumen terdapat beberapa istilah-istilah
yang memiliki makna yang berbeda-beda dan menyebabkan akibat hukum yang
berbeda pula. Untuk itu perlu dibahas mengenai beberapa istilah yang sering
digunakan di dalam perlindungan konsumen tersebut.
1. Konsumen
Di dalam kegiatan sehari-hari kita tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan
yang memposisikan kita sebagai konsumen. Konsumen merupakan salah satu
pihak dalam hubungan dan transaksi ekonomi yang hak-haknya sering diabaikan.
Di dalam ilmu ekonomi ada dua jenis konsumen, yakni konsumen antara dan
konsumen akhir. Konsumen antara adalah distributor, agen dan pengecer. Mereka
membeli barang bukan untuk dipakai, melainkan untuk diperdagangkan
Sedangkan pengguna barang adalah konsumen akhir.23
23
Gunadiemaha, Pengertian Produsen dan Konsumen dalam Tinjauan TOU,
Kata “konsumen” pun sering kali di sebutkan di dalam percakapan
sehari-hari. Sehingga perlu diberikan batasan pengertian yang jelas agar mempermudah
kita dalam membahas tentang perlindungan konsumen.
Di dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(UUPK) yaitu UU Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa :
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Pengertian konsumen yang dituliskan didalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tersebut dapat kita simpulkan bahwa konsumen yang
dimaksud adalah konsumen akhir. Karena konsumen akhir memperoleh barang
dan/atau jasa bukan untuk dijual kembali, melainkan untuk digunakan, baik bagi
kepentingan dirinya sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain dimana
ia merasakan secara langsung dampak yang ditimbulkan oleh barang dan/ atau
jasa yang dikonsumsinya.24
Selain pengertian diatas, dikemukakan pula pengertian konsumen, yang
khusus berkaitan dengan masalah ganti kerugian. Di Amerika Serikat, pengertian
konsumen meliputi “korban produk yang cacat” yang bukan hanya meliputi
pembeli, melainkan juga korban yang bukan pembeli, namun pemakai, bahkan
korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan Dapat dilihat bahwa di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
ini tidak hanya manusia dan badan hukum yang dilindungi namun juga makhluk
hidup lain yang bukan manusia seperti hewan maupun tumbuh-tumbuhan.
Pengertian mengenai konsumen di dalam UUPK tersebut memberikan
perlindungan yang seluas-luasnya kepada konsumen, sehingga diharapkan dapat
menanggulangi seluruh permasalahan yang merugikan konsumen dalam
mengonsumsi barang dan/ atau jasa.
pemakai. Sedangkan di Eropa, hanya dikemukakan pengertian konsumen
berdasarkan Product Liability Directive ( Direktif Kewajiban Produk ) selanjutnya
disebut directive, sebagai pedoman bagi negara Masyarakat Ekonomi Eropa
(MEE) dalam menyusun ketentuan mengenai Hukum Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan directive tersebut yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak
yang menderita kerugian (karena kematian atau cedera) atau kerugian berupa
kerusakan benda selain produk yang cacat itu sendiri.25
2. Pelaku Usaha/ Produsen
Produksi merupakan salah satu kegiatan yang berhubungan erat dengan
kegiatan ekonomi. Melalui proses produksi bisa dihasilkan berbagai macam
barang yang dibutuhkan oleh manusia. Tingkat produksi juga dijadikan sebagai
patokan penilaian atas tingkat kesejahteraan suatu negara. Jadi tidak heran bila
setiap negara berlomba - lomba meningkatkan hasil produksi secara global untuk
meningkatkan pendapatan perkapitanya. Orang yang menjalankan proses produksi
inilah yang disebut sebagai produsen.26
25
Nurhayati Abbas, “Hukum Perlindungan Konsumen dan Beberapa Aspeknya”,
Makalah, Elips Project, Ujungpandang, 1996, Hal. 13
Kata produsen tidak digunakan didalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen sebagai lawan dari kata konsumen, melainkan menggunakan kata
pelaku usaha.
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan
bahwa:
26
Febri Jikrillah, Pengertian dan Defenisi Produksi,
“Pelaku usaha dalam setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”
Pengertian pelaku usaha yang dituangkan didalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen merupakan pengertian yang sangat luas meliputi grosir,
pengecer, dan sebagainya. Namun, dalam pengertian pelaku usaha tersebut , tidak
mencakup eksportir ataupun pelaku usaha luar negeri, karena UUPK membatasi
orang perserorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia.27
B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan pada sejumlah
asas dan tujuan yang diyakini dapat memberikan arahan dalam implementasinya
dalam kehidupan masyarakat. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum
perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
Di dalam Undang-Undang Perlindungan konsumen dicantumkan beberapa
asas-asas Perlindungan Konsumen. Asas-asas yang dianut dalam hukum
perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UUPK adalah:28
1. Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UUPK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak,
27
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, Hal. 9
28
Wibowo Tunardi, Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen,
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
2. Asas keadilan
Penerapan asas ini dimaksudkan agar peran seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan bagi konsumen dan pelaku usaha untuk dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan
substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas, yaitu:29
1. Asas Kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan konsumen.
2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan
3. Asas kepastian hukum
Masing-masing Undang memiliki tujuan khusus. Tujuan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah untuk melindungi kepentingan konsumen
dan sekaligus sebagai acuan bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas
barang dan/atau jasa yang diproduksinya. Lebih lengkapnya tujuan
29
Undang Perlindungan Konsumen dicantumkan didalam Pasal 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, yaitu :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
C. Hak dan Kewajiban Konsumen
Berbicara mengenai hak dan kewajiban, maka kita harus kembali kepada
Undang-Undang. Undang-Undang dalam hukum perdata, selain dibuat oleh badan
legislatif sebagai pembuat Undang-Undang juga dapat dilahirkan dari perjanjian
antara pihak-pihak yang berhubungan hukum antara satu dengan yang lain. Baik
perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak maupun Undang-Undang
yang dibuat oleh badan legislatif keduanya membentuk perikatan diantara pihak
yang membuatnya.30
Sebagai pemakai barang dan/atau jasa, konsumen memiliki sejumlah hak
dan kewajiban. Pengetahuan mengenai hak-hak konsumen sangat penting agar
orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika
terdapat adanya tindakan tidak adil atas dirinya, ia dapat menyadari hal tersebut.
30
Sehingga dengan demikian konsumen dapat bertindak lebih lanjut untuk
memperjuangkan hak-haknya. Sehingga konsumen tidak hanya tinggal diam
apabila ia merasa dirugikan karena hak-haknya yang tidak dipenuhi oleh pelaku
usaha.31
Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum.
Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun
materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, tetapi juga
mencakup hak-hak konsumen yang bersifat abstrak. Dengan kata lain,
perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang
diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.32
Secara umum dikenal empat hak dasar konsumen (the four consumer basic
rights) yang meliputi hak-hak sebagai berikut:33
Hak-hak dasar konsumen tersebut sebenarnya bersumber dari hak-hak
dasar umum yang diakui secara internasional. Hak-hak dasar umum tersebut
pertama kali dikemukakan oleh Jhon F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat (AS)
pada tanggal 15 Maret 1962 melalui A Special Message for the Protection of
a. Hak untuk mendapat atau memperoleh keamanan (the right to be
secured)
b. Hak untuk memperoleh informasi (the right to be informed)
c. Hak untuk memilih (the right to choose)
d. Hak untuk didengarkan (the right to be heard)
31
Happy Susanto, Hak - Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008, Hal. 22
32
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hal. 30
Consumer Interest atau yang lebih dikenal dengan istilah “Deklarasi Hak
Konsumen” (Declaration of Consumer Right).34
Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung
dalam The International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan
lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak
mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat. Namun, tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan
hak-hak tersebut, mereka bebas untuk menerima semua ataupun sebagian.35
Setelah itu, Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 Tahun
1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection),
juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang
meliputi:
Empat hak dasar yang disampaikan oleh Presiden AS tersebut kemudian
dijadikan sebagai rumusan terhadap hak-hak perlindungan konsumen.
36
34
Happy Susanto, Op.Cit., Hal. 25
35
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., Hal. 31
36
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., Hal. 27
a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;
b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;
c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;
d. Pendidikan konsumen;
e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;
f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya
Langkah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus
diawali dengan upaya untuk memahami hak-hak pokok konsumen, yang dapat
dijadikan sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut.37
Disamping hak-hak dalam Pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak
konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal
7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan
antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai
hak konsumen.
Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen pada Pasal 4 menetapkan 9 (sembilan) hak konsumen:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya
38
Selain hak-hak yang disebutkan itu, ada juga hak untuk dilindungi dari
akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan, kegiatan
37
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Loc.Cit.
38Ibid.,
bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan tidak secara jujur, yang dalam
hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang” (unfair competition).39
Akhirnya, jika semua hak-hak yang disebutkan itu disusun kembali secara
sistematis (mulai dari yang diasumsikan paling mendasar), akan diperoleh urutan
sebagai berikut :40
Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak untuk didengar. Ini disebabkan oleh informasi yang diberikan pihak a. Hak Konsumen Mendapatkan Keamanan
Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani maupun rohani.
Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen (terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati, bukan pelaku usaha. Satu hal yang juga sering dilupakan dalam kaitan dengan hak untuk mendapatkan keamanan adalah penyediaan fasilitas umum yang memenuhi syarat untuk ditetapkan.
b. Hak untuk Mendapatkan Informasi yang Benar
Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang).
Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang mengandung risiko terhadap kealaman konsumen, wajib disertai informasi berupa petunjuk pemakaian yang jelas.
Apa yang dikenal dengan consumer ignorance, yaitu ketidakmampuan konsumen menerima informasi akibat kenajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan dapat saja dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha. Itulah sebabnya, hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas informasi yang benar, yang di dalamnya tercakup juga hak atas informasi yang proporsional dan diberikan secara tidak diskriminatif.
c. Hak untuk Didengar
yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut.
d. Hak untuk Memilih
Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Ia tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingg ia tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi membeli, ia juga bebas menentukan produk mana yang akan dibeli.
Hak untuk memilih ini erat kaitannya dengan situasi pasar. Jika seseorang atau suatu golongan diberikan hak monopoli untuk memproduksi atau memasarkan barang atau jasa, maka besar kemungkinan konsumen akan kehilangan hak untuk memilih produk yang satu dengan produk yang lain.
e. Hak untuk Mendapatkan Produk Barang dan/atau Jasa Sesuai dengan Nilai Tukar
Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya. Namun, dalam ketakbebasan pasar, pelaku usaha dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga, dan konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan.
f. Hak untuk Mendapatkan Ganti Kerugian
Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti kerugian ini tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak.
g. Hak untuk Mendapatkan Penyelesaian Hukum
Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi daripada hak pelaku usaha (produsen/penyalur produk) untuk membuat klausul eksonerasi secara sepihak. Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak mendapatkan tanggapan yang layak dari pihak yang terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Dengan kata lain, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak yang dipandang merugikan karena mengkonsumsi produk itu.
h. Hak untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat
hidupnya. Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan nonfisik.
i. Hak untuk Dilindungi dari Akibat Negatif Persaingan Curang
Persaingan curang atau dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 disebut dengan “persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan iktikad baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian.
Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika persaingan curang konsumen pula yang dirugikan. Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek tetapi cepat atau lambat pasti terjadi.
j. Hak untuk Mendapatkan Pendidikan Konsumen
Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak konsumen untuk mendapatkan “pendidikan konsumen” ini. Pengertian “pendidikan” tidak harus diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Pada prinsipnya makin kompleks teknologi yang diterapkan dalam menghasilkan suatu produk menuntut pula makin banyak informasi yang harus disampaikan kepada konsumen. Bentuk indormasi yang lebih komprehensif dengan semata-mata tidak menonjolkan unsur komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen.
Selain daripada hak-hak yang dimiliki oleh konsumen yang harus dipenuhi
oleh pelaku usaha, konsumen juga memiliki beberapa kewajiban yang harus
dipenuhinya. Adapun mengenai kewajiban konsumen ini dijelaskan dalam Pasal 5
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu :
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi
dan keselamatan, merupakan hal penting mendapat pengaturan. Masalah
pemenuhan kewajiban konsumen dapat terlihat jika peringatan yang disampaikan
pelaku usaha tidak jelas atau tidak mengundang perhatian konsumen untuk
membacanya. Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah
kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut. Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam
UUPK dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak
konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut. Hak ini akan menjadi lebih mudah diperoleh jika
konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara patut. Hanya saja
kewajiban konsumen ini, tidak cukup maksud tersebut jika tidak diikuti oleh
kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha.41
D. Perlindungan Konsumen dalam Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan bahwa kesemua
Undang-Undang yang ada dan berkaitan dengan perlindungan konsumen tetap
berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau telah diatur khusus oleh
Undang-Undang. Oleh karena itu, tidak dapat lain haruslah dipelajari juga peraturan
Perundang-Undangan tentang konsumen dan/atau perlindungan konsumen ini
dalam kaidah-kaidah hukum peraturan perundang-undangan umum yang mungkin
atau dapat mengatur dan/atau melindungi hubungan dan/atau masalah konsumen
dengan penyedia barang atau jasa. Sebagai akibat dari penggunaan peraturan
perundang-undangan umum ini, dengan sendirinya berlaku pulalah asas-asas
41
hukum yang terkandung di dalamnya pada berbagai pengaturan dan/atau
perlindungan konsumen tersebut. Padahal, nanti akan nyata, di antara asas hukum
tersebut tidak cocok untuk memenuhi fungsi pengaturan dan/atau perlindungan
pada konsumen, tanpa setidak-tidaknya dilengkapi/diadakan pembatasan
berlakunya asas-asas hukum tertentu itu. Pembatasan dimaksudkan dengan tujuan
“menyeimbangkan kedudukan” di antara pihak-pihak pelaku usaha dan/atau
konsumen bersangkutan.42
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan umum adalah
semua peraturan perundangan tertulis yang diterbitkan oleh badan-badan yang
berwenang untuk itu, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Peraturan
perundang-undangan itu antara lain adalah (di pusat) Undang-Undang Dasar
1945, Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Presiden, dan seterusnya dan (di daerah-daerah) Peraturan Daerah
(Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota serta peraturan Desa dan
sebagainya).43
Alasan yang dapat dikemukakan untuk menerbitkan peraturan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur dan melindungi kepentingan konsumen
dapat disebutkan sebagai berikut :44
a. Konsumen memerlukan pengaturan tersendiri, karena dalam suatuh
ubungan hukum dengan penjual, konsumen merupakan pengguna barang dan jasa untuk kepentingan diri sendiri dan tidak untuk diproduksi ataupun diperdagangkan.
b. Konsumen memerlukan sarana atau acara hukum tersendiri sebagai upaya
guna melindungi atau memperoleh haknya.
42
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Jakarta, 2001, Hal. 30
43
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., Hal. 47
44Ibid.,
Disamping Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen
“ditemukan” di dalam berbagai peraturan perundang-undangn yang berlaku.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen berlaku setahun sejak disahkannya
pada tanggal 20 April 2000. Dengan demikian dan ditambah dengan ketentuan
Pasal 64 (Ketentuan Peralihan) undang-undang ini, berarti untuk “membela”
kepentingan konsumen, masih harus dipelajari semua peraturan
perundang-undangan umum yang berlaku memuat juga berbagai kaidah menyangkut
hubungan dan masalah konsumen. Sekalipun peraturan perundang-undangan itu
tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau perlindungan konsumen,
setidak-tidaknya ia merupakan sumber juga dari hukum konsumen dan/atau hukum
perlindungan konsumen. Beberapa diantaranya akan diuraikan berikut ini :45
1. Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR
Hukum Konsumen, terutama Hukum Perlindungan Konsumen
mendapatkan landasan hukumnya pada Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan,
Alinea ke-4 yang berbunyi :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia.”
Kata “melindungi” menurut Az. Nasution di dalamnya terkandung asas
perlindungan (hukum) pada segenap bangsa tanpa kecuali. Baik ia laki-laki
ataupun perempuan, orang kaya atau miskin, atau orang kota atau orang desa,
orang asli atau keturunan dan pengusaha/pelaku usaha atau konsumen.
45
Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan termuat dalam Pasal 27
ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan tersebut berbunyi “
“Tiap warga Negara berhak atas penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.”
Sesungguhnya, apabila kehidupan sesorang terganggu atau diganggu oleh
pihak lain, maka alat-alat negara akan turun tangan, baik diminta atau tidak, untuk
melindungi dan atau mencegah terjadinya gangguan tersebut. Penghidupan yang
layak, apalagi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak dari
warga negara dan hak semua orang.
Selanjutnya, untuk melaksanakan perintah UUD 1945 melindungi segenap
bangsa, dalam hal ini khususnya melindungi konsumen, Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) telah menetapkan berbagai ketetapan MPR, khususnya sejak tahun
1978. Dengan ketetapan terakhir Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1993
(TAP-MPR) makin jelas kehendak rakyat atau adanya perlindungan konsumen,
sekalipun dengan kualifikasi yang berbeda-beda pada masing-masing ketetapan.46
Kalau pada TAP-MPR 1978 digunakan istilah “menguntungkan”
konsumen, TAP-MPR 1998 “menjamin” kepentingan konsumen, maka pada
tahun 1993 digunakan istilah “melindungi kepentingan konsumen”. Sayangnya
dalam masing-masing TAP-MPR tersebut tidak terdapat penjelasan tentang apa
yang dimaksud dengan menguntungkan, menjamin atau melindungi kepentingan
konsumen tersebut.47
46Ibid.
2. Hukum Konsumen dalam Hukum Perdata
Dengan hukum perdata dimaksudnya hukum perdata dalam artian luas
termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang
termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Kaidah-kaidah
hukum perdata pada umumnya termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata).
KUH Perdata memuat berbagai kaidah hukum berkaitan dengan hubungan
hukum dan masalah antarpelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa dan
konsumen pengguna barang-barang atau jasa tersebut. Terutama buku kedua,
buku ketiga dan buku keempat memuat berbagai kaidah hukum yang mengatur
hubungan konsumen dan penyedia barang atau jasa konsumen tersebut. Begitu
pula dalam KUHD, baik buku pertama, maupun buku kedua, mengatur tentang
hak-hak dan kewajiban yang terbit dari, khususnya (jasa) perasuransian dan
pelayaran.
Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memang sama sekali
tidak pernah disebut-sebut kata “konsumen”. Istilah lain yang sepadang dengan
itu adalah seperti pembeli, penyewa, dan si berutang (debitur).48
Beberapa pasal yang mengatur mengenai perlindungan konsum