• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG

C. Upaya Penanggulangan Praktek Jual Rugi

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Usaha Tidak sehat juga mengatur mengenai menjual rugi sebagaimana terdapat pada Pasal 20 yang menyatakan: “Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud menyingkirkan atau mematikan usaha persaingan di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.

Pasal ini dikategorikan menggunakan pendekatan Rule of Reason dimana tindakan atau perbuatan harus dievaluasi terlebih dahulu untuk melihat akibat yang ditimbulkannya terhadap persaingan dengan membuktikan apakah telah terjadi praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Dalam banyak kajian menjual rugi diartikan “sebagai strategi atau tindakan yang dilakukan dalam tujuan sebagai upaya menguasai pasar atau dalam konteks upaya memonopoli pasar”.30

Untuk memahami larangan praktek menjual rugi menurut konteks Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dalam memenuhi apakah sebuah tindakan telah dinyatakan sebagai pelanggaran atau tidak, terdapat beberapa unsur yang harus diperhatikan.

1. Pelaku usaha.

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 menyebutkan “pelaku

30 Ningrum Natasya, Op.Cit, hal. 80.

usaha adalah setiap orang perorangan atau badan hukum, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian”.

2. Pemasokan barang.

Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menjelaskan “Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha”.

3. Dengan cara menjual rugi.

Menjual rugi tersebut pada dasarnya melakukan penjualan di bahwa harga riil yaitu harga pokok + biaya produksi. Catatan lain mengenai harga yaitu harga netto yaitu harga pokok + biaya produksi + diskon, promosi dan potongan biaya lainnya.31

4. Menetapkan harga yang sangat rendah.

Menetapkan harga yang sangat rendah berarti menetapkan harga di bawah harga pasar. Harga pasar itu sendiri adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan/atau jasa sesuai kesepakatan antara para pihak di pasar bersangkutan sesuai dengan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

5. Maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya.

Tindakan ini dilakukan dalam jangka waktu tertentu, akibat yang diberikan dari tindakan menjual rugi ini akan semakin nyata apabila ada waktu yang ditempuh, tidak seketika tetapi berkali-kali sehingga hasilnya nyata berupa kemampuan bersaing usaha lainnya yang semakin lemah.

6. Pasar bersangkutan.

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menjelaskan bahwa pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut.

Dengan melihat berbagai unsur di atas, banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam hal pembuktian untuk menentukan apakah seorang pelaku usaha telah melakukan predatory pricing atau tidak. Strategi untuk mengusir pesaing keluar dari pasar dan pembuktian mengenai tindakan berikutnya sesudah menguasai pasar dapat dikatakan bertujuan untuk memonopoli atau akan dapat dikatakan bertujuan untuk memonopoli atau akan mengeksploitasi posisi dominanya (bila berhasil menguasai pasar) ataupun demi menjaga kelanggengan koordinasi harga bila predatornya dilakukan oleh anggota oligopoli. Suatu tindakan dikatakan alamiah bila seorang pelaku berusaha mengalahkan pesaingnya dalam pasar. Oleh sebab itu, sering pembuktian mengenai tujuan menjadi sangat kabur.

Tujuan Hukum Persaingan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah dalam hubungannya dengan tindakan menjual rugi pada dasarnya berkisar antara efisiensi, kesejahteraan masyarakat ataupun kesempatan yang sama baik bagi pelaku usaha kecil, menengah dan koperasi.

Berikut ini adalah beberapa objektif yang ada dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang melarang menjual rugi:

1. Efisiensi ekonomi.

Adapun tujuan Undang-Undang Persaingan Usaha dalam hubungannya dengan efisiensi ekonomi meliputi:

a. Membatasi upaya monopolis dari kemampuan mendapatkan kembali

kehilangannya.

Analisis ekonomi dalam menentukan tindakan menjual rugi didasarkan pada teori tentang monopoli. Dalam teori tentang perilaku monopoli dimana penjual membatasi output dan kemudian menaikkan harga sehingga konsumen terpaksa membeli produk dengan harga yang dinaikkan karena keterbatasan penyediaan. Dalam pasar persaingan produser tidak akan mampu mengontrol harga dan ketika biaya marginal menjadi sama dengan harga, produser akan menghentikan produksinya. Seorang monopolis akan mampu mengontrol jumlah produksi dan menaikkan harga yang berakibat pada kesejahteraan konsumen.

b. Menjual rugi dengan tujuan untuk mendapatkan kekuatan monopoli.

Pendekatan ini cukup klasik dimana skenario menjual rugi yaitu di bawah harga produksi ditujukan untuk mengusir pesaing dari satu pasar dan kemudian berupaya mendapatkan keuntungan dan keuntungan tambahan dengan menggunakan kekuatan mopolinya kelak. Dengan kata lain, menjual rugi dinyatakan sebagai tindakan yang anti persaingan dalam standar efisiensi karena kekhawatiran upaya mendapatkan keuntungan kembali (recoupment).

c. Mengurangi akibat positif dari pemotongan harga. Banyak anggapan menyatakan bahwa harga rendah akan menguntungkan. Produser sering menggunakan alasan melakukan pemotongan harga dengan alasan kelebihan pasokan dan mengurangi biaya marginalnya sehingga tindakannya dinyatakan tidak melanggar undang-undang. Walaupun

demikian, harus dilihat bahwa tindakan tersebut tidak menimbulkan konsekuensi positif bagi kesejahteraan konsumen sepanjang tanpa maksud mematikan pesaingnya dari pasar.32

2. Menghalangi terjadinya perpindahan kesejahteraan dari konsumen ke

monopolis

Akibat lain yang mungkin terjadi adalah sebagai imbas yang kurang relevan dari perdebatan mengenai tujuan efisiensi sehingga akan terjadi perpindahan kesejahteraan dari konsumen kepada produser.

3. Perlindungan terhadap proses persaingan

Dalam membuktikan predatory pricing, seseorang akan menghadapi hal-hal sebagai berikut:

1.

Pembuktian mengenai illegetimate intent (tujuan yang melanggar hukum) melalui memorandum perusahaan walaupun dapat saja bukan merupakan cermin dari kebijakan perusahaan yang sebenarnya.

2.

Peradilan berupaya meletakkan standar dalam menentukan apa yang disebut upaya memonopoli atau menggunakan posisi dominan melalui perintah pembuktian kepada penggugat ataupun tergugat dalam hal tujuan mengeluarkan pesaing dari pasar dan kemudian melaklukan

recoupment. 3.

Pembuktian mengenai kemungkinan terjadinya kemampuan untuk memonopoli pasar setelah melakukan tindakan menjual rugi dan untuk itu dibutuhkan adanya syarat pembuktian bahwa pelaku sebelumnya telah memiliki pangsa pasar yang kuat.24

Dengan melihat uraian teoritis di atas serta melihat pada tujuan serta unsur-unsur Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang ada, konsentrasi penyelidikan dapat ditujukan pada pembuktian terjadinya harga sangat rendah serta bermaksud untuk menyingkirkan atau mematikan pesaingnya. Oleh karena, pembuktian dengan melibatkan analisis ekonomi mengenai harga

32 Ibid., hal. 75.

(price & cost rule) untuk mengetahui perhitungan harga sangat rendah atau di bawah harga pasar (below market price).

Demikian juga walaupun terbukti sudah berupaya melakukan menjual rugi, tetapi bila tidak mengakibatkan keluar (exit) atau matinya pesaing, maka sebenarnya tindakan tersebut justru menguntungkan konsumen. Apalagi bila pelaku tidak mampu atau tidak melakukan recoupment. Walaupun dilakukan juga, harus ada penentuan waktu untuk menentukan terjadinya tindakan pelanggaran yang telah mengakibatkan tujuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dilanggar.

Pengalaman di negara lain dalam menjual rugi dititik-beratkan pada tindakan selanjutnya, yaitu apakah ada kemampuan untuk melakukan

recoupment. Bila ya, maka berapa lamakah pelaku tadi mampu

memberlakukan harga monopoli sampai pesaing yang baru masuk dapat masuk kembali ke pasar sehingga menekan harga kembali ke harga pasar persaingan.

Dalam hal tindakan menjual rugi, sanksi dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 berupa perintah penghentian kegiatan yang menimbulkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat, perintah untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan, penetapan pembayaran ganti rugi, sedangkan denda ditetapkan sebesar Rp. 1- 25 milyar. Bila memiliki unsur pidana, maka pidana pokok berupa denda sebesar Rp. 5 – 25 milyar atau kurungan 6 (lima) bulan. Di samping itu, terdapat Pidana Tambahan berupa pencabutan izin usaha. Larangan menduduki

jabatan direksi atau komisaris 2 – 5 tahun, serta penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang merugikan.

Pasal 27 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan :

a. Satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha menguasai lebih dari 50%

pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

b. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih

dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Posisi dominan adalah keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokannya atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

Sanksi hukum atas pelanggaran terhadap pasar bersangkutan maka dapat dikenakan tindakan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (2) huruf c dan d Undang-Undang Persaingan Usaha yaitu:

c. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti

menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha

tidak sehat dan atau merugikan masyarakat dan atau.

d. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi

dominan, dan atau.

Selain itu pelanggaran terhadap pasar bersangkutan dapat juga dikenakan pidana pokok yaitu berupa denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

Pelaku pelanggaran terhadap pasar bersangkutan dapat juga menunjuk Pasal 10 KUH Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:

a. Pencabutan izin usaha, atau

b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran

terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun, atau.

c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya

kerugian pada pihak lain.

Contoh kasus menjual rugi yang pernah terjadi di Indonesia adalah: Salah satu contoh yang cukup menarik untuk melihat sejauh mana kemungkinan praktek curang persaingan usaha di antara para pelaku usaha adalah perang tarif penerbangan domestik di Indonesia, khususnya pada rute

Jakarta-Surabaya yang merupakan salah satu jalur gemuk (golden route).

Saat ini jalur penerbangan Jakarta-Surabaya dilayani oleh enam perusahaan penerbangan, yaitu Garuda, Mandala, Bouraq, Star Air, Kartika, dan Indonesian Airlines (IA). Adanya perang tarif tersebut terlihat antara Indonesian Airlines, sebagai maskapai penerbangan baru, dan Garuda sebagai maskapai penerbangan yang sudah lama beroperasi. GIA sebagai maskapai penerbangan baru mulai mulai beroperasi pada akhir Maret 2002. Pada jalur Jakarta-Surabaya. Ia menetapkan tarif sebesar Rp530 ribu. Garuda sebagai maskapai penerbangan terbesar tidak mau kalah dan menurunkan tarifnya dari Rp600 ribu menjadi Rp499 ribu. Merespon hal tersebut GIA menurunkan harga tiketnya lagi dari Rp530 ribu menjadi Rp390 ribu, sementara itu maskapai penerbangan lain juga melakukan penyesuaian harga tiketnya seperti Kartika dan Pelita langsung mematok tarif Rp336 ribu dan Rp333 ribu. Menanggapi hal tersebut PT. Garuda Indonesia mengatakan, pihaknya akan merevisi kembali harga tiket penerbangan rute Jakarta-Surabaya mulai 19 April 2002 dari harga promosi yang sekarang, yaitu Rp499 ribu. Akan tetapi, revisi harga tersebut belum diketahui, apakah kembali pada harga yang biasa (published rate) yaitu Rp650 ribu atau justru lebih rendah dari harga Rp499 ribu (Koran Tempo, 10 April 2002). Adanya perang tarif pada industri penerbangan ini antara lain juga disebabkan karena adanya kebijakan dari Menteri Perhubungan pada 1 Februari 2002 melalui SK No. KM8/2002 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Penumpang

Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi dan SK No. KM9/2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi. Adapun kedua surat keputusan tersebut mendasarkan pada koridor batas atas dan bawah yang harus dipatuhi semua operator penerbangan dalam penentuan tarif. Kebijakan inilah yang langsung menciptakan "perang terbuka" dalam menetapkan tarif angkutan udara serendah mungkin. Sebelumnya adanya dua surat keputusan tersebut pemberlakuan tarif penerbangan diatur oleh INACA (Indonesian National

Carriers Association), dimana besaran tarif INACA itu dipatok dalam kurs

dolar AS, yaitu 11 sen per seat per kilometer. Terhadap adanya tuduhan perang tarif ini, pihak maskapai penerbangan Garuda menyatakan bahwa diskon tarif ini hanya dibatasi untuk 5-10 kursi saja dan dilakukan pada waktu penerbangan yang kosong dengan tujuan untuk mendapat tambahan revenue saja. Hal itu sebenarnya merupakan diberlakukannya sub class dari kelas ekonomi. Apabila dilihat dari biaya yang diperlukan untuk menerbangkan pesawat sekali jalan Jakarta-Surabaya sekitar Rp40 juta. Sementara itu Apabila

load factor dinaikkan menjadi 70 persen, tiket bisa dijual dengan harga Rp339

ribu. Artinya, agar tidak rugi, operator yang menjual tiket murah harus sungguh-sungguh berusaha meningkatkan load factor-nya.

Perang tarif di bidang penerbangan di atas akan menciptakan suatu persaingan usaha tidak sehat dimana salah satunya adalah yang dilakukan oleh penerbangan GIA yang menciptakan harga di bawah pasar untuk mendapatkan

penumpang yang besar pula.

UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat mengatur kegiatan bisnis yang baik dalam arti tidak merugikan pelaku usaha lain. Monopoli tidak dilarang dalam ekonomi pasar, sejauh dapat mematuhi “rambu-rambu” atau aturan hukum persaingan yang sehat. Globalisasi ekonomi menyebabkan setiap negara di dunia harus “rela” membuka pasar domestik dari masuknya produk barang/jasa negara asing dalam perdagangan dan pasar bebas. Keadaan ini dapat mengancam ekonomi nasional dan pelanggaran usaha, apabila para pelaku usaha melakukan perbuatan tidak terpuji.

Pengaturan hukum persaingan usaha atau bisnis melalui UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (LN 1999 No. 33, TLN No. 3817) diberlakukan secara efektif pada tanggal 5 Maret 2000 merubah kegiatan bisnis dari praktik monopoli yang terselubung, diam-diam dan terbuka masa orde baru menuju praktik bisnis yang sehat. Pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1999 selama ini perlu dilakukan kaji ulang, guna mengetahui implikasi penerapan kompetisi yang “sehat” dan wajar di antara pengusaha atau pelaku usaha dalam sistem ekonomi (economic system) terhadap demokrasi ekonomi yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.

UU No. 5 Tahun 1999 merupakan salah satu perangkat hukum untuk menunjang kegiatan bisnis yang sehat dalam upaya menghadapi sistem ekonomi pasar bebas dengan bergulirnya era globalisasi dunia dan demokrasi

ekonomi yang diberlakukan di tanah air. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha yang dapat merugikan kegiatan ekonomi orang lain bahkan bagi bangsa dan negara ini dalam globalisasi ekonomi. Keberadaan undang-undang anti monopoli ini menjadi tolok ukur sejauh mana pemerintah mampu mengatur kegiatan bisnis yang sehat dan pengusaha mampu bersaing secara wajar dengan para pesaingnya.

Semua ini bertujuan untuk mendorong upaya efisiensi, investasi dan kemampuan adaptasi ekonomi bangsa dalam rangka menumbuhkembangkan potensi ekonomi rakyat, memperluas peluang usaha di dalam negeri (domestik) dan kemampuan bersaing dengan produk negara asing memasuki pasar tanah air yang terbuka dalam rangka perdagangan bebas (free trade).

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Praktek menjual rugi dalam industri retail dalam perspektif

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah dimulai dari terjadinya persaingan antar suatu produk dengan perusahaan yang lain. Dalam hal ini pengusaha memandang agar daya saing produknya dapat laku di pasaran maka produk tersebut dijual di bawah harga pasar, bahkan di jual di bawah harga produksi. Kemudian dala,m beberapa waktu setelah pesaingnya keluar dari pasar, maka produk yang dijual rugi tersebut dikembalikan kepada harga awalnya dan dalam kondisi ini persaingan tidak lagi terjadi.

2. Penyebab terjadinya praktek jual rugi dalam industri retail adalah untuk mengalahkan pesaing sehingga perusahaan yang menjual rugi dapat bersaing secara tidak baik.

3. Akibat hukum terhadap pelaku usaha yang nelakukan praktek jual rugi adalah Pelaku usaha yang terbukti telah melakukan praktik jual rugi, berarti telah melanggar Pasal 20 UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat dapat dikenakan sanksi administratif yaitu berupa perintah kepada pelaku

78

usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan tau merugikan masyarakat (Pasal 47 ayat (2) butir c), dan atau penetapan pembayaran ganti rugi (Pasal 47 ayat (2) butir f) dan atau pengenanaan denda dalam jumlah antara Rp.1000.000.000,00 (satu miliar rupiah dan setinggi – tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua piluh lima miliar rupiah) (Pasal 47 (2) butir g). dan dikenakan sanksi pidana yaitu membayar sejumlah denda atau pidana kurungan pengganti denda selama – lamanya 5 bulan. Dan juga sanksi pidana tambahan berupa: Pencabutan izin usaha, larangan menduduki jabatan direksi atau komisaris antara 2 (dua) sampai 5 (lima) tahun dan penghentian kegiatan yang dapat menimbulkan kerugian pada pihak lain.

B. Saran

1. Diharapkan dengan adanya sikap yang diberikan hukum persaingan

dalam menjual rugi maka akan tercipta pasar yang sempurna atau paling tidak mendekati makna atau pengertian pasar sempurna sehingga efektivitas persaingan benar-benar dijalankan secara sehat.

2. Hendaknya kepada pemerintah khususnya instansi membidangi secara

rutin melakukan pengawasan atas kegiatan suatu pasar sehingga dengan pengawasan tersebut efektivitas atau keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan pelanggaran terhadap praktek persaingan yang sehat.

3. Kepada pemerintah hendaknya dapat menegakkan hukum berupa memberikan tindakan terhadap perusahaan yang melakukan persaingan usaha tidak sehat dengan cara menjual rugi melalui pemberian sanksi administrasi, perdata maupun pidana.

akan diberikan kesimpulan dan saran.

BAB II

PRAKTEK MENJUAL RUGI DALAM INDUSTRI RETAIL DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999

A. Pasar Persaingan

Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan pasar diartikan sebagai lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa.

Kamus Umum Bahasa Indonesia menjelaskan pasar adalah tempat orang berjual beli, kekuatan penawaran dan permintaan, tempat penjual yang ingin menukar barang dengan uang.8

Pengertian ini senada juga dengan apa yang disebut oleh para ekonom dimana pasar adalah sebagai suatu arena yang di dalamnya pembeli dan penjual mempertukarkan barang dan jasa.9

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 istilah pasar tidak digunakan secara tersendiri, namun pengertian pasar tersebut meletakkan dasar untuk pengertian pasar bersangkutan, struktur pasar, perilaku pasar, pangsa pasar dan harga

8 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka,

Jakarta, 2003, hal. 833.

pasar.

Pasar yang paling ideal adalah pasar yang bersaing sempurna (perfect

competition market). Pasar dapat dikatakan bersifat persaingan sempurna jika

memiliki beberapa ciri :

1. Barang yang diperjual belikan homogen baik jenis maupun

kualitasnya.

2. Jumlah penjual dan pembeli sangat banyak hingga tidak ada satupun

pelaku pasar yang dapat menentukan harga secara sendiri-sendiri, baik di pihak penjual maupun di pihak pembeli. Pada kondisi seperti ini, para ekonom mengatakan bahwa harga ditentukan oleh pasar dan para penjual hanya bisa menerima harga yang ditentukan oleh pasar (price taker). Oleh karena harga ditentukan oleh pasar, berapapun jumlah barang yang dijual harganya akan tetap sama bagi pedagang tersebut sehingga pada umumnya keuntungan yang lebih banyak bagi penjual di dalam pasar persaingan sempurna dapat dicapai jika dia dapat menjual lebih banyak. Keinginan untuk menjual lebih banyak akan meningkatkan persaingan.

3. Tidak adanya hambatan masuk (barrier to entry) bagi setiap penjual untuk masuk ke dalam pasar dan tidak ada pula hambatan untuk keluar (barrier to exit) dari pasar. Pasar seperti ini biasanya ditandai dengan kecilnya komponen biaya yang hilang jika dia harus berhenti berjualan. Salah satu alasan utama yang mendorong orang untuk masuk ke dalam pasar adalah adanya keuntungan yang diterima oleh pelaku yang ada di dalam pasar. Dengan kecilnya kemungkina biaya yang hilang jika seorang penjual keluar dari pasar, maka dorongan untuk ikut berusaha dalam bidang yang sama akan semakin besar.

4. Setiap orang, baik penjual maupun pembeli, mengetahui seluruh

informasi pasar secara sempurna.10

Sedangkan Munir Fuady menjelaskan karekteristik pasar yang kompetitif tersebut dengan mengutip pendapat Sullivan yaitu :

1. Terdapatnya banyak pembeli dan penjual.

2. Idak satupun perusahaan sangat besar sehingga tindak tanduk dari

hanya satu perusahaan tersebut dapat mempengaruhi harga di pasar.

3. Produk di pasar cukup homogen, dimana setiap produk sanggup

10 Ibid., hal. 23.

23

menjadi substitusi bagi yang lain.

4. Tidak terdapat penghalangan untuk memasuki pasar (barrier to

Dokumen terkait