DAFTAR PUSTAKA
A. Buku:
Abdul R. Saliman, dan kawan-kawan, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia,
Teori dan Contoh Kasus, Prenada media, Jakarta.
Abdul R Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Jakarta, Kencana Pranada Group, 2008.
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999, Anti Monopoli, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Dinas Pendidikan Nasional, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta.
Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri-Departemen Perdagangan,
Kebijakan Pengembangan Bisnis Ritel Modern. Jakarta, 2012.
Elyta Ras Ginting, 2001, Hukum Anti Monopoli Indonesia, Analisis
Perbandingan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Euis Soliha, "Analisis Industri Ritel Di Indonesia", Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), September 2008.
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, 2004, Jual Beli, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
H.M.N. Purwosutjipto, 1999, Pengertian Pokok Hukum Dagang,
Bentuk-Bentuk Perusahaan, Djambatan, Jakarta.
Hasanuddin Rahman, 2003, Contract Drafting, Seri Keterampilan Merancang
Kontrak Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Munir Fuady, 1999, Hukum Anti Monopoli, Menyongsong Era Persaingan
Sehat, Citra Aditya Bakti, Bandung.
BAB III
AKIBAT HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG
MELAKUKAN PRAKTEK JUAL RUGI
A. Faktor Penyebab Pelaku Usaha Melakukan Perbuatan Jual Rugi
Faktor penyebab pelaku usaha melakukan perbuatan jual rugi meliputi:
1. Pelaku usaha ingin menhancurkan dan mematikan usaha lainnya, dimana
dengan cara menjual rugi maka pelaku usaha dapat menarik pembeli dan
mematikan usaha lainnya yang merupakan pesaingan perusahaan.
2. Pelaku usaha ingin mendapatkan keuntungan dari produk lain. Dimisalkan
dalam suatu pasar retail ada produk yang dijual rugi. Pembeli datang ke
retail tersebut karena adanya barang yang dijual murah. Sewaktu konsumen
membeli barang yang dijual murah tersebut, maka konsumen juga akan
membeli produk lainnya yang ada di pasar retail tersebut yang dijual
dengan harga normal. Artinya pelaku usaha rugi di satu sisi tetapi untung di
sisi yang lain.
Praktik jual rugi dalam konteks persaingan usaha adalah suatu perilaku
pelaku usaha yang umumnya memilik posisi dominan di pasar atau sebagai
pelaku usaha incumbent menetapkan harga yang merugikan secara ekonomi
selama suatu jangka waktu yang cukup panjang. Strategi ini dapat
mengakibatkan pesaingnya tersingkir dari pasar bersangkutan dan atau
58
menghambat pelaku usaha lain untuk masuk ke pasar.28
Dalam jangka pendek, jual rugi sangat menguntungkan konsumen,
namun setelah menyingkirkan pesaing dari pasar dan menghambat calon
pesaing baru, pelaku usaha dominan atau pelaku usaha incumbent tersebut
mengharap dapat menaikkan harga secara signifikan. Umumnya harga yang
ditetapkan untuk menutupi kerugian tersebut merupakan harga monopoli (yang
lebih tinggi) sehingga dapat merugikan konsumen. Praktik ini adalah upaya
untuk memaksimalkan keuntungan dan menutup kerugian yang ditimbulkan
ketika melakukan jual rugi atau harga rendah.29
Strategi penetapan harga yang sangat rendah, yang termasuk limit
pricing strategy diidentifikasikan dengan keinginan pelaku usaha monopolis
atau dominan untuk melindungi posisinya dengan cara melakukan pemotongan
harga secara substansial atau melakukan peningkatan produksi secara
signifikan. Perilaku ini dimaksud agar tidak memberi kesempatan atau daya
tarik pada pelaku usaha baru untuk masuk ke dalam industri sehingga pelaku
usaha monopolis mempertahankan posisi dominannya.
Meskipun penetapan harga rendah dapat menguntungkan konsumen,
namun keuntungan tersebut hanya untuk beberapa waktu saja, karena setelah
jangka waktu tertentu, dimana sejumlah pelaku usaha pesaing tersingkir dari
pasar, konsumen justru akan dirugikan setelah pelaku usaha menetapkan harga
28
Abdul R Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Jakarta, Kencana Pranada Group, 2008, hal. 67.
29 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Prakteknya di Indonesia),
yang sangat tinggi yang mengarah atau dapat merupakan harga monopoli.
Kegiatan usaha semacam ini perlu dilakukan pengkajian berdasarkan Pasal 20
UU No. 5 Tahun 1999 dengan mendasarkan pada kerangka analisis dan
pertimbangan ekonomi.
B. Akibat Hukum Terhadap Pelaku Usaha Yang Melakukan Praktek
Jual Rugi
Sesuai Pasal 20 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yaitu melarang
pelaku usaha melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan melakukan
jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk
menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan
sehingga menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
maka sesuai dengan Pasal 47 Undang-Undang No 5 Tahun 1999, dikenakan
sanksi administratif berupa: perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan
kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat dan tau merugikan masyarakat (Pasal 47 ayat (2) butir c), dan
atau penetapan pembayaran ganti rugi (Pasal 47 ayat (2) butir f) dan atau
pengenanaan denda dalam jumlah antara Rp.1000.000.000,00 (satu miliar
rupiah dan setinggi–tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua piluh lima miliar
rupiah) (Pasal 47 (2) butir g).
Pelaku usaha juga dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 48 yaitu
pengenanaan denda dalam jumlah antara Rp.1000.000.000,00 (satu miliar
rupiah dan setinggi–tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua piluh lima miliar
rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama – lamanya 5 bulan
(Pasal 48 ayat 2). Selain itu juga dikenakan sanksi pidana tambahan yaitu
berupa: Pencabutan izin usaha, larangan kepada pelaku usaha yang telah
terbukti melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris antara 2 (dua) tahun sampai
dengan 5 (lima) tahun atau penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang
menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Kasus predatory pricing atau menjual rugi memang tidak secara tegas
diatur dalam aturan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun, ada beberapa
pasal dalam aturan hukum persaingan usaha yang mengatur adanya dugaan
pelaku usaha melakukan praktek jual rugi untuk mematikan usaha pesaingnya
di pasar yang bersangkutan.
Aturan ini cukup jelas diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
Pasal 20 yang melarang pelaku usaha melakukan pemasokan barang atau jasa
dengan cara menjual dengan menetapkan harga yang sangat rendah dengan
maksud menyingkirkan ataumematikan usaha pesaingnya di pasar
bersangkutan. Hal ini jelas tindakan yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Hanya saja, tidak gampang untuk melakukan penyelidikan adanya
harus dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Penyelidikan kasus itu
membutuhkan waktu yang panjang karena kita harus melihat dulu average cost
(biaya produksi rata-rata) yang datanya biasa sulit diperoleh.
Adanya kemungkinan pelaku usaha bersaing dari segi harga, harus bisa
dipastikan, apakah praktek yang mereka lakukan itu telah mematikan atau
merugikan pelaku usaha lainnya. Ini yang harus diteliti lagi, jangan sampai
usaha mereka merugi akibat in-efisiensi atau faktor praktek jual/rugi.
Kemungkinan pelaku usaha berskala besar dan memiliki modal banyak
memiliki peluang untuk melakukan praktek persaingan usaha tidak sehat
tersebut.
Dalam aturan hukum persaingan usaha Pasal 25 ayat 1c juga mengatur
cukup jelas adanya kemungkinan posisi dominan yang dilakukan pelaku usaha
besar untuk menghambat pelaku usaha lainnya untuk masuk ke pasar yang
bersangkutan. Hanya saja bedanya mereka menghalang-halangi pemain baru
masuk di pasar mereka, berbeda dengan aturan sebelumnya yang telah
mempermainkan harga di saat pesaing tengah melakukan penetrasi pasar.
Budaya pesaingan mendorong bertambahnya jumlah pelaku usaha.
Namun perlu diwaspadai, makin banyak pesaing, bisa jadi justru menimbulkan
praktik persaingan usaha tidak sehat. Salah satu perilaku anti persaingan
adalah jual rugi, bahasa bekennya predatory pricing. Ketentuan ini sebenarnya
telah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Tepatnya dalam Pasal
20. Hanya, hingga sekarang belum ada pedoman yang mengatur soal teknis
penerapan Pasal 20 tersebut.
Belakangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai
pengawal Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, berencana menerbitkan
pedoman Pasal 20. Draf-nya sudah disampaikan ke publik. Memang, hingga
sekarang KPPU belum pernah menghukum pelaku usaha dengan
menggunakan Pasal 20. Namun, jika dilihat praktik bisnis yang semakin
canggih, tak ada salahnya sebagai bentuk antisipasi, Komisi menelurkan
pedoman pasal tersebut. Pasal 20 sendiri berbunyi, Pelaku usaha dilarang
melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual beli
atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk
menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
Itulah yang disebut predatory pricing. Tujuan dari pelaku usaha
melakukan kegiatan ini adalah untuk menyingkirkan atau mematikan pelaku
usaha pesaingnya di pasar yang bersangkutan. Perilaku tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang
tidak sehat. Strategi ini dapat mengakibatkan pesaingnya keluar dari pasar dan
atau menghambat pelaku usaha lain untuk masuk ke pasar (entry barrier).
Meskipun penetapan harga lebih rendah dapat menguntungkan
Sebab, setelah jangka waktu tertentu, konsumen justru akan dirugikan setelah
pelaku usaha menetapkan harga yang sangat tinggi dan mengarah pada harga
monopoli.
Mohammad Reza, Kasubdit Litigasi dan Monitoring Putusan KPPU,
menyatakan jika seseorang menjual di bawah biaya faktor produksi, maka bisa
diduga terjadi predatory pricing. Namun, lanjutnya, pelaku usaha yang
melakukan predatory pricing belum bisa dikatakan salah, apabila motif
mematikan pesaingnya tidak terbukti. Begitu juga jika kegiatan itu dalam
rangka promosi. Sebab, unsur dari Pasal 20 adalah pelaku usaha jual rugi,
pelaku usaha punya niat untuk mematikan pelaku usaha pesaingnya.
Pada umumnya predatory pricing hanya dapat dilakukan oleh pelaku
usaha yang posisinya dominan. Selain itu, jual rugi tidak mungkin dilakukan
dengan jangka waktu yang panjang. Oleh sebab itu, biasanya pelaku usaha
yang melakukan praktik semacam ini adalah pengusaha yang memiliki skala
pasar besar. Dan biasanya produk-produk yang dijual adalah yang elastisitas
permintaannya tinggi.
Selain itu, pelaku usaha yang melakukan jual rugi biasanya adalah
pelaku usaha yang dominan dalam pasar. Artinya, dia punya kekuatan besar di
pasaran yang tidak dimiliki pesaing lain. Akibatnya, konsumen akan membeli
barang dari pelaku usaha tersebut secara terus-menerus. Dan sudah bisa
ditebak, si pesaing yang tidak bisa menjual di bawah harga pasar tadi, mati.
Tujuan dibuatnya pedoman tentang jual rugi adalah memberikan
penjelasan kepada para pelaku usaha, praktisi hukum dan ekonomi, instansi
terkait, dan publik tentang Pasal 20 dan hal-hal yang dikategorikan sebagai
potensi pelanggaran Pasal 20. Pedoman pasal ini mencakup filosofi, semangat,
dan arah dari ketentuan dalam mempromosikan persaingan yang sehat.
Pada umumnya, praktek jual rugi dimaksudkan untuk lima tujuan.
Pertama, mematikan pelaku usaha pesaing. Kedua, membatasi pesaing dengan
memberlakukan jual rugi tersebut sebagai entry barrier�penghalang bagi
masuknya pelaku usaha lain. Ketiga, untuk memperoleh keuntungan dimasa
mendatang. Keempat, mengurangi kerugian lebih besar. Kelima, sebagai alat
strategi pemasaran dimana harga barang yang ditawarkan merupakan harga
promosi dalam rangka memperkenalkan produk baru.
Pelaku usaha melakukan predatory pricing dengan menetapkan harga
barang/jasa yang diproduksinya, di bawah biaya rata-rata variable cost (biaya
variabel) dalam jangka panjang.
Terdapat dua analisa yang terkait dengan diberlakukannya unreasonable
price (harga yang tidak masuk akal) oleh pelaku usaha. Pertama,
mempertimbangkan karakteristik dari pasar, seperti konsentrasi penjual dan
kondisi untuk masuk dalam pasar tersebut, yang ditunjukkan dengan adanya
market power. Kedua, memastikan bahwa tingkat harga yang diberlakukan
tersebut tidak masuk akal, dengan mengevaluasi perbandingan antara harga
C. Upaya Penanggulangan Praktek Jual Rugi
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Usaha Tidak sehat juga mengatur mengenai menjual rugi
sebagaimana terdapat pada Pasal 20 yang menyatakan: “Pelaku usaha dilarang
melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi
atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud menyingkirkan
atau mematikan usaha persaingan di pasar bersangkutan sehingga dapat
mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.
Pasal ini dikategorikan menggunakan pendekatan Rule of Reason
dimana tindakan atau perbuatan harus dievaluasi terlebih dahulu untuk melihat
akibat yang ditimbulkannya terhadap persaingan dengan membuktikan apakah
telah terjadi praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Dalam
banyak kajian menjual rugi diartikan “sebagai strategi atau tindakan yang
dilakukan dalam tujuan sebagai upaya menguasai pasar atau dalam konteks
upaya memonopoli pasar”.30
Untuk memahami larangan praktek menjual rugi menurut konteks
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dalam memenuhi apakah sebuah tindakan
telah dinyatakan sebagai pelanggaran atau tidak, terdapat beberapa unsur yang
harus diperhatikan.
1. Pelaku usaha.
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 menyebutkan “pelaku
30 Ningrum Natasya, Op.Cit, hal. 80.
usaha adalah setiap orang perorangan atau badan hukum, baik yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian”.
2. Pemasokan barang.
Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menjelaskan “Barang
adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha”.
3. Dengan cara menjual rugi.
Menjual rugi tersebut pada dasarnya melakukan penjualan di bahwa harga
riil yaitu harga pokok + biaya produksi. Catatan lain mengenai harga
yaitu harga netto yaitu harga pokok + biaya produksi + diskon, promosi
dan potongan biaya lainnya.31
4. Menetapkan harga yang sangat rendah.
Menetapkan harga yang sangat rendah berarti menetapkan harga di bawah
harga pasar. Harga pasar itu sendiri adalah harga yang dibayar dalam
transaksi barang dan/atau jasa sesuai kesepakatan antara para pihak di
pasar bersangkutan sesuai dengan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 5
Tahun 1999.
5. Maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya.
Tindakan ini dilakukan dalam jangka waktu tertentu, akibat yang diberikan
dari tindakan menjual rugi ini akan semakin nyata apabila ada waktu yang
ditempuh, tidak seketika tetapi berkali-kali sehingga hasilnya nyata berupa
kemampuan bersaing usaha lainnya yang semakin lemah.
6. Pasar bersangkutan.
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menjelaskan bahwa
pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau
daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa
yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut.
Dengan melihat berbagai unsur di atas, banyak faktor yang harus
dipertimbangkan dalam hal pembuktian untuk menentukan apakah seorang
pelaku usaha telah melakukan predatory pricing atau tidak. Strategi untuk
mengusir pesaing keluar dari pasar dan pembuktian mengenai tindakan
berikutnya sesudah menguasai pasar dapat dikatakan bertujuan untuk
memonopoli atau akan dapat dikatakan bertujuan untuk memonopoli atau akan
mengeksploitasi posisi dominanya (bila berhasil menguasai pasar) ataupun
demi menjaga kelanggengan koordinasi harga bila predatornya dilakukan oleh
anggota oligopoli. Suatu tindakan dikatakan alamiah bila seorang pelaku
berusaha mengalahkan pesaingnya dalam pasar. Oleh sebab itu, sering
pembuktian mengenai tujuan menjadi sangat kabur.
Tujuan Hukum Persaingan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 adalah dalam hubungannya dengan tindakan menjual rugi
pada dasarnya berkisar antara efisiensi, kesejahteraan masyarakat ataupun
kesempatan yang sama baik bagi pelaku usaha kecil, menengah dan koperasi.
Berikut ini adalah beberapa objektif yang ada dalam Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 yang melarang menjual rugi:
1. Efisiensi ekonomi.
Adapun tujuan Undang-Undang Persaingan Usaha dalam hubungannya
dengan efisiensi ekonomi meliputi:
a. Membatasi upaya monopolis dari kemampuan mendapatkan kembali
kehilangannya.
Analisis ekonomi dalam menentukan tindakan menjual rugi didasarkan pada teori tentang monopoli. Dalam teori tentang perilaku monopoli dimana penjual membatasi output dan kemudian menaikkan harga sehingga konsumen terpaksa membeli produk dengan harga yang dinaikkan karena keterbatasan penyediaan. Dalam pasar persaingan produser tidak akan mampu mengontrol harga dan ketika biaya marginal menjadi sama dengan harga, produser akan menghentikan produksinya. Seorang monopolis akan mampu mengontrol jumlah produksi dan menaikkan harga yang berakibat pada kesejahteraan konsumen.
b. Menjual rugi dengan tujuan untuk mendapatkan kekuatan monopoli.
Pendekatan ini cukup klasik dimana skenario menjual rugi yaitu di bawah harga produksi ditujukan untuk mengusir pesaing dari satu pasar dan kemudian berupaya mendapatkan keuntungan dan keuntungan tambahan dengan menggunakan kekuatan mopolinya kelak. Dengan kata lain, menjual rugi dinyatakan sebagai tindakan yang anti persaingan dalam standar efisiensi karena kekhawatiran upaya mendapatkan keuntungan kembali (recoupment).
demikian, harus dilihat bahwa tindakan tersebut tidak menimbulkan konsekuensi positif bagi kesejahteraan konsumen sepanjang tanpa maksud mematikan pesaingnya dari pasar.32
2. Menghalangi terjadinya perpindahan kesejahteraan dari konsumen ke
monopolis
Akibat lain yang mungkin terjadi adalah sebagai imbas yang kurang
relevan dari perdebatan mengenai tujuan efisiensi sehingga akan terjadi
perpindahan kesejahteraan dari konsumen kepada produser.
3. Perlindungan terhadap proses persaingan
Dalam membuktikan predatory pricing, seseorang akan menghadapi
hal-hal sebagai berikut:
1.
Pembuktian mengenai illegetimate intent (tujuan yang melanggar hukum) melalui memorandum perusahaan walaupun dapat saja bukan merupakan cermin dari kebijakan perusahaan yang sebenarnya.
2.
Peradilan berupaya meletakkan standar dalam menentukan apa yang disebut upaya memonopoli atau menggunakan posisi dominan melalui perintah pembuktian kepada penggugat ataupun tergugat dalam hal tujuan mengeluarkan pesaing dari pasar dan kemudian melaklukan
recoupment. 3.
Pembuktian mengenai kemungkinan terjadinya kemampuan untuk memonopoli pasar setelah melakukan tindakan menjual rugi dan untuk itu dibutuhkan adanya syarat pembuktian bahwa pelaku sebelumnya telah memiliki pangsa pasar yang kuat.24
Dengan melihat uraian teoritis di atas serta melihat pada tujuan serta
unsur-unsur Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang ada, konsentrasi
penyelidikan dapat ditujukan pada pembuktian terjadinya harga sangat rendah
serta bermaksud untuk menyingkirkan atau mematikan pesaingnya. Oleh
karena, pembuktian dengan melibatkan analisis ekonomi mengenai harga
32 Ibid., hal. 75.
(price & cost rule) untuk mengetahui perhitungan harga sangat rendah atau di
bawah harga pasar (below market price).
Demikian juga walaupun terbukti sudah berupaya melakukan menjual
rugi, tetapi bila tidak mengakibatkan keluar (exit) atau matinya pesaing, maka
sebenarnya tindakan tersebut justru menguntungkan konsumen. Apalagi bila
pelaku tidak mampu atau tidak melakukan recoupment. Walaupun dilakukan
juga, harus ada penentuan waktu untuk menentukan terjadinya tindakan
pelanggaran yang telah mengakibatkan tujuan Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 dilanggar.
Pengalaman di negara lain dalam menjual rugi dititik-beratkan pada
tindakan selanjutnya, yaitu apakah ada kemampuan untuk melakukan
recoupment. Bila ya, maka berapa lamakah pelaku tadi mampu
memberlakukan harga monopoli sampai pesaing yang baru masuk dapat masuk
kembali ke pasar sehingga menekan harga kembali ke harga pasar persaingan.
Dalam hal tindakan menjual rugi, sanksi dalam Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 berupa perintah penghentian kegiatan yang menimbulkan praktek
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan
masyarakat, perintah untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan,
penetapan pembayaran ganti rugi, sedangkan denda ditetapkan sebesar Rp. 1-
25 milyar. Bila memiliki unsur pidana, maka pidana pokok berupa denda
sebesar Rp. 5 – 25 milyar atau kurungan 6 (lima) bulan. Di samping itu,
jabatan direksi atau komisaris 2 – 5 tahun, serta penghentian kegiatan atau
tindakan tertentu yang merugikan.
Pasal 27 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa pelaku
usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis
yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama, atau mendirikan
beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan :
a. Satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha menguasai lebih dari 50%
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
b. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih
dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Posisi dominan adalah keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai
pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar
yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara
pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan,
kemampuan akses pada pasokannya atau penjualan, serta kemampuan untuk
menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Sanksi hukum atas pelanggaran terhadap pasar bersangkutan maka
dapat dikenakan tindakan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 47
ayat (2) huruf c dan d Undang-Undang Persaingan Usaha yaitu:
c. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha
tidak sehat dan atau merugikan masyarakat dan atau.
d. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi
dominan, dan atau.
Selain itu pelanggaran terhadap pasar bersangkutan dapat juga
dikenakan pidana pokok yaitu berupa denda serendah-rendahnya Rp.
1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 5.000.000.000
(lima miliar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3
(tiga) bulan.
Pelaku pelanggaran terhadap pasar bersangkutan dapat juga menunjuk
Pasal 10 KUH Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48
dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. Pencabutan izin usaha, atau
b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau
komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima)
tahun, atau.
c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian pada pihak lain.
Contoh kasus menjual rugi yang pernah terjadi di Indonesia adalah:
Salah satu contoh yang cukup menarik untuk melihat sejauh mana
kemungkinan praktek curang persaingan usaha di antara para pelaku usaha
Jakarta-Surabaya yang merupakan salah satu jalur gemuk (golden route).
Saat ini jalur penerbangan Jakarta-Surabaya dilayani oleh enam
perusahaan penerbangan, yaitu Garuda, Mandala, Bouraq, Star Air, Kartika,
dan Indonesian Airlines (IA). Adanya perang tarif tersebut terlihat antara
Indonesian Airlines, sebagai maskapai penerbangan baru, dan Garuda sebagai
maskapai penerbangan yang sudah lama beroperasi. GIA sebagai maskapai
penerbangan baru mulai mulai beroperasi pada akhir Maret 2002. Pada jalur
Jakarta-Surabaya. Ia menetapkan tarif sebesar Rp530 ribu. Garuda sebagai
maskapai penerbangan terbesar tidak mau kalah dan menurunkan tarifnya
dari Rp600 ribu menjadi Rp499 ribu. Merespon hal tersebut GIA menurunkan
harga tiketnya lagi dari Rp530 ribu menjadi Rp390 ribu, sementara itu
maskapai penerbangan lain juga melakukan penyesuaian harga tiketnya seperti
Kartika dan Pelita langsung mematok tarif Rp336 ribu dan Rp333 ribu.
Menanggapi hal tersebut PT. Garuda Indonesia mengatakan, pihaknya akan
merevisi kembali harga tiket penerbangan rute Jakarta-Surabaya mulai 19
April 2002 dari harga promosi yang sekarang, yaitu Rp499 ribu. Akan tetapi,
revisi harga tersebut belum diketahui, apakah kembali pada harga yang biasa
(published rate) yaitu Rp650 ribu atau justru lebih rendah dari harga Rp499
ribu (Koran Tempo, 10 April 2002). Adanya perang tarif pada industri
penerbangan ini antara lain juga disebabkan karena adanya kebijakan dari
Menteri Perhubungan pada 1 Februari 2002 melalui SK No. KM8/2002
tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Penumpang
Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi dan SK No.
KM9/2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal
Dalam Negeri Kelas Ekonomi. Adapun kedua surat keputusan tersebut
mendasarkan pada koridor batas atas dan bawah yang harus dipatuhi semua
operator penerbangan dalam penentuan tarif. Kebijakan inilah yang langsung
menciptakan "perang terbuka" dalam menetapkan tarif angkutan udara
serendah mungkin. Sebelumnya adanya dua surat keputusan tersebut
pemberlakuan tarif penerbangan diatur oleh INACA (Indonesian National
Carriers Association), dimana besaran tarif INACA itu dipatok dalam kurs
dolar AS, yaitu 11 sen per seat per kilometer. Terhadap adanya tuduhan perang
tarif ini, pihak maskapai penerbangan Garuda menyatakan bahwa diskon tarif
ini hanya dibatasi untuk 5-10 kursi saja dan dilakukan pada waktu
penerbangan yang kosong dengan tujuan untuk mendapat tambahan revenue
saja. Hal itu sebenarnya merupakan diberlakukannya sub class dari kelas
ekonomi. Apabila dilihat dari biaya yang diperlukan untuk menerbangkan
pesawat sekali jalan Jakarta-Surabaya sekitar Rp40 juta. Sementara itu Apabila
load factor dinaikkan menjadi 70 persen, tiket bisa dijual dengan harga Rp339
ribu. Artinya, agar tidak rugi, operator yang menjual tiket murah harus
sungguh-sungguh berusaha meningkatkan load factor-nya.
Perang tarif di bidang penerbangan di atas akan menciptakan suatu
persaingan usaha tidak sehat dimana salah satunya adalah yang dilakukan oleh
penumpang yang besar pula.
UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat mengatur kegiatan bisnis yang baik dalam arti
tidak merugikan pelaku usaha lain. Monopoli tidak dilarang dalam ekonomi
pasar, sejauh dapat mematuhi “rambu-rambu” atau aturan hukum persaingan
yang sehat. Globalisasi ekonomi menyebabkan setiap negara di dunia harus
“rela” membuka pasar domestik dari masuknya produk barang/jasa negara
asing dalam perdagangan dan pasar bebas. Keadaan ini dapat mengancam
ekonomi nasional dan pelanggaran usaha, apabila para pelaku usaha
melakukan perbuatan tidak terpuji.
Pengaturan hukum persaingan usaha atau bisnis melalui UU No. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat (LN 1999 No. 33, TLN No. 3817) diberlakukan secara efektif pada
tanggal 5 Maret 2000 merubah kegiatan bisnis dari praktik monopoli yang
terselubung, diam-diam dan terbuka masa orde baru menuju praktik bisnis
yang sehat. Pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1999 selama ini perlu dilakukan
kaji ulang, guna mengetahui implikasi penerapan kompetisi yang “sehat” dan
wajar di antara pengusaha atau pelaku usaha dalam sistem ekonomi (economic
system) terhadap demokrasi ekonomi yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.
UU No. 5 Tahun 1999 merupakan salah satu perangkat hukum untuk
menunjang kegiatan bisnis yang sehat dalam upaya menghadapi sistem
ekonomi pasar bebas dengan bergulirnya era globalisasi dunia dan demokrasi
ekonomi yang diberlakukan di tanah air. Selain itu, undang-undang ini juga
mengatur tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha yang dapat
merugikan kegiatan ekonomi orang lain bahkan bagi bangsa dan negara ini
dalam globalisasi ekonomi. Keberadaan undang-undang anti monopoli ini
menjadi tolok ukur sejauh mana pemerintah mampu mengatur kegiatan bisnis
yang sehat dan pengusaha mampu bersaing secara wajar dengan para
pesaingnya.
Semua ini bertujuan untuk mendorong upaya efisiensi, investasi dan
kemampuan adaptasi ekonomi bangsa dalam rangka menumbuhkembangkan
potensi ekonomi rakyat, memperluas peluang usaha di dalam negeri
(domestik) dan kemampuan bersaing dengan produk negara asing memasuki
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Praktek menjual rugi dalam industri retail dalam perspektif
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah dimulai dari terjadinya persaingan
antar suatu produk dengan perusahaan yang lain. Dalam hal ini
pengusaha memandang agar daya saing produknya dapat laku di
pasaran maka produk tersebut dijual di bawah harga pasar, bahkan di
jual di bawah harga produksi. Kemudian dala,m beberapa waktu setelah
pesaingnya keluar dari pasar, maka produk yang dijual rugi tersebut
dikembalikan kepada harga awalnya dan dalam kondisi ini persaingan
tidak lagi terjadi.
2. Penyebab terjadinya praktek jual rugi dalam industri retail adalah untuk mengalahkan pesaing sehingga perusahaan yang menjual rugi dapat
bersaing secara tidak baik.
3. Akibat hukum terhadap pelaku usaha yang nelakukan praktek jual rugi
adalah Pelaku usaha yang terbukti telah melakukan praktik jual rugi,
berarti telah melanggar Pasal 20 UU No.5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat dapat
dikenakan sanksi administratif yaitu berupa perintah kepada pelaku
78
usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan tau
merugikan masyarakat (Pasal 47 ayat (2) butir c), dan atau penetapan
pembayaran ganti rugi (Pasal 47 ayat (2) butir f) dan atau pengenanaan
denda dalam jumlah antara Rp.1000.000.000,00 (satu miliar rupiah dan
setinggi – tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua piluh lima miliar
rupiah) (Pasal 47 (2) butir g). dan dikenakan sanksi pidana yaitu
membayar sejumlah denda atau pidana kurungan pengganti denda
selama – lamanya 5 bulan. Dan juga sanksi pidana tambahan berupa:
Pencabutan izin usaha, larangan menduduki jabatan direksi atau
komisaris antara 2 (dua) sampai 5 (lima) tahun dan penghentian
kegiatan yang dapat menimbulkan kerugian pada pihak lain.
B. Saran
1. Diharapkan dengan adanya sikap yang diberikan hukum persaingan
dalam menjual rugi maka akan tercipta pasar yang sempurna atau
paling tidak mendekati makna atau pengertian pasar sempurna sehingga
efektivitas persaingan benar-benar dijalankan secara sehat.
2. Hendaknya kepada pemerintah khususnya instansi membidangi secara
rutin melakukan pengawasan atas kegiatan suatu pasar sehingga dengan
pengawasan tersebut efektivitas atau keadaan-keadaan yang dapat
3. Kepada pemerintah hendaknya dapat menegakkan hukum berupa
memberikan tindakan terhadap perusahaan yang melakukan persaingan
usaha tidak sehat dengan cara menjual rugi melalui pemberian sanksi
administrasi, perdata maupun pidana.
akan diberikan kesimpulan dan saran.
BAB II
PRAKTEK MENJUAL RUGI DALAM INDUSTRI RETAIL DALAM
PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999
A. Pasar Persaingan
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan pasar
diartikan sebagai lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual baik
secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi
perdagangan barang dan/atau jasa.
Kamus Umum Bahasa Indonesia menjelaskan pasar adalah tempat
orang berjual beli, kekuatan penawaran dan permintaan, tempat penjual yang
ingin menukar barang dengan uang.8
Pengertian ini senada juga dengan apa yang disebut oleh para ekonom
dimana pasar adalah sebagai suatu arena yang di dalamnya pembeli dan
penjual mempertukarkan barang dan jasa.9
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 istilah pasar tidak digunakan secara
tersendiri, namun pengertian pasar tersebut meletakkan dasar untuk pengertian
pasar bersangkutan, struktur pasar, perilaku pasar, pangsa pasar dan harga
8 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka,
Jakarta, 2003, hal. 833.
pasar.
Pasar yang paling ideal adalah pasar yang bersaing sempurna (perfect
competition market). Pasar dapat dikatakan bersifat persaingan sempurna jika
memiliki beberapa ciri :
1. Barang yang diperjual belikan homogen baik jenis maupun
kualitasnya.
2. Jumlah penjual dan pembeli sangat banyak hingga tidak ada satupun
pelaku pasar yang dapat menentukan harga secara sendiri-sendiri, baik di pihak penjual maupun di pihak pembeli. Pada kondisi seperti ini, para ekonom mengatakan bahwa harga ditentukan oleh pasar dan para penjual hanya bisa menerima harga yang ditentukan oleh pasar (price taker). Oleh karena harga ditentukan oleh pasar, berapapun jumlah barang yang dijual harganya akan tetap sama bagi pedagang tersebut sehingga pada umumnya keuntungan yang lebih banyak bagi penjual di dalam pasar persaingan sempurna dapat dicapai jika dia dapat menjual lebih banyak. Keinginan untuk menjual lebih banyak akan meningkatkan persaingan.
3. Tidak adanya hambatan masuk (barrier to entry) bagi setiap penjual untuk masuk ke dalam pasar dan tidak ada pula hambatan untuk keluar (barrier to exit) dari pasar. Pasar seperti ini biasanya ditandai dengan kecilnya komponen biaya yang hilang jika dia harus berhenti berjualan. Salah satu alasan utama yang mendorong orang untuk masuk ke dalam pasar adalah adanya keuntungan yang diterima oleh pelaku yang ada di dalam pasar. Dengan kecilnya kemungkina biaya yang hilang jika seorang penjual keluar dari pasar, maka dorongan untuk ikut berusaha dalam bidang yang sama akan semakin besar.
4. Setiap orang, baik penjual maupun pembeli, mengetahui seluruh
informasi pasar secara sempurna.10
Sedangkan Munir Fuady menjelaskan karekteristik pasar yang
kompetitif tersebut dengan mengutip pendapat Sullivan yaitu :
1. Terdapatnya banyak pembeli dan penjual.
2. Idak satupun perusahaan sangat besar sehingga tindak tanduk dari
hanya satu perusahaan tersebut dapat mempengaruhi harga di pasar.
3. Produk di pasar cukup homogen, dimana setiap produk sanggup
10 Ibid., hal. 23.
23
menjadi substitusi bagi yang lain.
4. Tidak terdapat penghalangan untuk memasuki pasar (barrier to
entry).
5. Kemampuan untuk meningkatkan produksi tidak ada rintangan.
6. Produsen dan konsumen mempunyai informasi yang lengkap
mengenai faktor-faktor yang relevan dengan pasar.
7. Keputusan yang diambil oleh produsen dan konsumen bersifat
individual dan tidak terkoordinasi antar sesama produsen maupun konsumen.11
Istilah pasar sebagaimana dijelaskan di atas akan sangat menentukan
apakah telah terjadi praktek monooli dalam suatu pasar dimana suatu
perusahaan dianggap memiliki market power (kekuatan pasar), maka akan
tergantung sekali kepada penentuan daripada definisi pasar itu sendiri.
Perjanjian pembagian wilayah dapat dikategorikan berdasarkan produk
yang diperdagangkan dan jangkauan geografis dari pasar tersebut. Pasar
produk menggambarkan barang dan jasa yang diperjual belikan sedangkan
pasar geografis menggambarkan lokasi produksi dari produsen atau penjual.
Tetapi seberapa besar jangkauan pasar suatu produk, baik dilihat dari produk
yang diperjual belikan maupun dari lokasi yang memproduksinya merupakan
hal yang tidak mudah untuk ditetapkan, terutama dalam menentukan apakah di
satu pasar tertentu telah terjadi praktek monopoli atau persaingan usaha tidak
sehat. “Dalam ilmu ekonomi maka sebagai langkah pertama adalah definisi
dari relevant market (pasar bersangkutan) adalah faktor yang esensial untuk
11 Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli, Menyongsong Era Persaingan Sehat, Citra
menentukan suatu pasar”.12
1. Jangkauan atau daerah pemasaran.
Istilah pasar bersangkutan merupakan istilah sentral semua tata hukum
anti monopoli dan berasal dari hukum anti monopoli Amerika Serikat.
Pengertian yang umum dari pasar dibatasi dalam pasar bersangkutan.
Pembatasan tersebut berkaitan dengan :
2. Kelompok pelaku usaha.
3. Barang dan/atau jasa tertentu, yaitu barang dan/atau yang sama atau
sejenis, atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut.13
Pembatasan tersebut penting karena transaksi sebagaimana disebut
dalam pengertian pasar hanya mungkin terjadi dalam kelompok pelaku usaha
tertentu, atas barang dan/atau jasa tertentu, dalam jangkauan atau daerah
pemasaran yang tertentu pula. Akan tetapi, dalam ketentuan tersebut tidak
diatur baik siapa maupun dasar yang menentukan barang dan/atau jasa adalah
sama sejenis atau merupakan substitusi.
Pengertian pasar bersangkutan dijelaskan melalui suatu produk atau
suatu kelompok produk dan suatu area geografis. Untuk menentukan apakah
suatu monopoli hipotesis akan berada dalam posisi yang menentukan untuk
penguasaan pasar, perlu untuk mengevaluasi kecenderungan respon
12
Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hal. 34-35.
13 Sih Yuliana Wahyuningtyas, Op.Cit, hal. 25.
permintaan dari konsumen atas suatu kenaikan harga. Suatu kenaikan harga
dapat dibuat tidak menguntung-kan oleh konsumen dengan beralih ke produk
lain atau beralih ke produk yang sama yang diproduksi oleh perusahaan dari
tempat lain. Sifat dan ukuran dua tipe respon permintaan ini menentukan
lingkup pasar produk dan pasar geografis.
Pasar berangkutan menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 diartikan sebagai pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau
daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang, dan/atau jasa yang
sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut. Dengan
demikian terdapat dua kriteria pokok untuk pasar bersangkutan di dalam
ketentuan tersebut yaitu :
1. Jangkauan atau daerah pemasaran tertentu.
2. Barang dan jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang
dan/atau jasa tersebut.
Mendefinisikan pasar bersangkutan secara sederhana berarti
mengiden-tifikasi produk atau jasa tertentu atau kelas produk yang dihasilkan atau jasa
yang diberikan oleh pelaku bisnis di dalam wilayah geografis tertentu. Dengan
demikian maka dapat dikatakan juga bahwa pasar bersangkutan sebagai area
dari dari persaingan yang efektif, yang di dalamnya tergugat menjalankan
usaha.
Frans Jurgen Sacker dan Jens Thomas Fuller sebagaimana dikutip oleh
Sih Yuliana menjelaskan cara mengidentifikasi pasar yang dibedakan antara
pasar pasokan (supply market) dengan pasar permintaan (demand market).
Cara mengidentifikasi pasar tersebut dilakukan dari segi faktual dan geografis,
di samping itu dijelaskan pula mengenai identifikasi pasar dari segi waktu.14
B. Hukum Monopoli dan Persaingan Usaha
Pembatasan pasar baik menurut pasar patokan maupun pasar permintaan perlu
dilakukan untuk dapat menilai penguasaan pasar dari segi pemasok dan dari
segi pembeli menurut hukum persaingan usaha. Namun demikian pengaturan
dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 hanya
mengasumsikan adanya pasar pasokan, sehingga tidak dapat digunakan untuk
mendefinisikan pasar permintaan.
Ada juga yang menjelaskan pasar bersangkutan secara kasus per kasus.
Pendekatan ini mencakup dimensi produk dan geografis dari pasar
bersangkutan. Metode penentuan pasar semacam ini dapat digunakan untuk
menentukan apakah terdapat pesaing aktual yang mampu menghambat
perilaku dari perusahaan yang dipersoalkan dan untuk mengkaji tingkat
kompetisi nyata di pasar.
Kegiatan ekonomi atau bisnis dapat menimbulkan adanya suatu
persaingan usaha antara pelaku usaha yang satu dengan lainnya dan hal
tersebut merupakan hal yang biasa terjadi. Persaingan usaha yang sehat akan
berakibat positif bagi para pengusaha yang saling bersaing atau berkompetisi
karena dapat menimbulkan upaya-upaya peningkatan efiseinsi, produktivitas
14 Ibid, hal. 25.
dan kualitas produk yang dihasil-kan. Konsumen juga mendapatkan manfaat
dari adanya persaingan yang sehat karena dapat menimbulkan penurunan harga
dan kualitas produk tetap terjamin. Sebaliknya apabila persaingan yang terjadi
tidak sehat, akan dapat merusak perekonomian negara yang merugikan
masyarakat.15
Undang-Undang Anti Monopoli yang terdiri dari 11 Bab dan 53 pasal
ini, Monopoli didefinisikan sebagai suatu bentuk penguasaan atas produksi dan
atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Dalam Black’s Law
Dictionary, Monopoli diartikan sebagai a privilege or peculiar advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry on a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the whole supply of a particular commodity.
Kebutuhan akan suatu perangkat hukum yang mengatur persaingan
usaha antar pelaku usaha tidak dapat ditawar-tawar lagi. Untuk maksud
tersebut pada tanggal 5 MAret 1999 telah diundangkan Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.
16
15
Abdul R. Saliman, dan kawan-kawan, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan
Contoh Kasus, Prenada media, Jakarta, 2004, hal. 170.
16 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Anti Monopoli, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1999, hal. 12-13.
Berbeda dari definisi yang diberikan dalam undang-undang
Dictionary penekanan lebih diberikan pada adanya suatu “hak istimewa”
(privilege) yang menghapuskan persaingan bebas, yang tentu pada akhirnya
juga akan menciptakan penguasaan pasar.
Munir Fuady menjelaskan bahwa :
Dengan praktek monopoli dimaksudkan adalah sebagai suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh 1 (satu) atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.17
2. Willful acquisition or maintenance of that power”.
Selanjutnya dalam Black’s Law Dictionary dikatakan “Monopoly as
prohibited by Section 2 of the Sherman Antitrust Act, has two elements : 1. Possesion of monofoly power in relevant market;
18
Hal ini memberikan konsekwensi dimungkinkan dan diperkenankannya
monopoli yang terjadi secara alamiah, tanpa adanya kehendak dari pelaku
usaha tersebut untuk melakukan monopoli. Uraian di atas menekankan Point 1 (kesatu) di atas menjelaskan monopoli dilarang karena
menguasai pasar, dan 2 point (kedua) menjelaskan usaha-usaha memelihara
kekuasaan pasar tersebut. Kedua hal di atas menerangkan monopolis yang
dilarang dalam Sherman Act adalah monopoli yang bertujuan untuk
menghilangkan kemampuan untuk melakukan persaingan dan atau untuk tetap
mempertahankannya.
17
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 213
18 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 13.
proses terjadinya monopolisasi dan bukan pada monopoli yang ada. Ada
beberapa argumen yang dapat dikemukakan dengan proses terjadinya
monopoli secara alamiah.
Hal-hal tersebut atara lain meliputi hal-hal berikut di bawah ini :19
1. Monopoli terjadi sebagai akibat dari suatu “superior skill”, yang salah
satunya dapat terwujud dari pemberian hak paten secara eksklusif oleh
negara, berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku
kepada pelaku usaha tertentu atas hasil riset dan pengembangan atas
teknologi tertentu. Selain itu ada juga yang dikenal dengan istilah “trade
secret”, yang meskipun tidak memperoleh eksklusifitas “pengakuan” oleh
negara, namun dengan teknologi “rahasia” nya mampu membuat suatu
produk superior.
2. Monopoli terjadi karena pemberian negara. Di Indonesia hal ini sangat
jelas dapat dilihat dari pelaksanaan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan pasal
33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang dikutip kembali alam Pasal
51 undang-undang ini.
3. Monopoli merupakan suatu “historical accident”. Dikatakan sebagai
“historical accident” oleh karena monopoli tersebut terjadi karena tidak
senga-ja, dan berlangsung karena proses alamiah, yang ditentukan oleh
berbagai faktor terkait dimana monopoli tersebut terjadi. Dalam hal ini
penilaian mengenai pasar bersangkutan yang memugkinkan terjadinya
monopoli menjadi sangat relevan.
Selain definisi dari Monopoli, dalam undang-undang juga diberikan
pengertian dari praktek monopoli, yaitu suatu pemusatan kekuatan ekonomi
oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi
dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Dari definisi yang diberikan di atas dapat kita ketahui bahwa pada
dasarnya ada 4 hal penting yang dapat kita kemukakan tentang praktek
monopoli ini yaitu :
1. Adanya pemusatan kekuatan ekonomi;
2. Pemusatan kekuatan tersebut berada pada satu atau lebih pelaku usaha
ekonomi;
3. Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat; dan
4. Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut merugikan kepentingan umum.20
Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu
pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat
menentukan harga barang dan atau jasa, dan persaingan usaha tidak sehat
adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan
20 Elyta Ras Ginting, HukumAnti Monopoli Indonesia, Analisis Perbandingan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 20.
cara tidak jujur atau melawan hukum atau meghambat persaingan usaha.
Satu hal yang cukup menarik dari undang-undang ini adalah bahwa
selama suatu pemusatan kekuatan ekonomi tidak menyebabkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat (sebagaimana didefinisikan), maka hal itu tidak
dapat dikatakan telah terjadi suatu praktek monopoli, yang melanggar atau
bertentangan dengan undang-undang ini, meskipun monopoli itu sendiri secara
nyata-nyata telah terjadi (dalam bentuk penguasaan produksi dan/ atau
pemasaran barang dan/atau jasa tertentu). Jadi jelaslah bahwa monopoli itu
sendiri tidak dilarang, yang dilarang adalah praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.
Dari pengertian yang diberikan di atas jelas dapat kita lihat bahwa salah
satu prasyarat pokok dapat dikatakan telah terjadi suatu pemusatan kekuatan
ekonomi adalah telah terjadinya penguasaan nyata dari suatu pasar
bersangkutan sehingga harga dari barang atau jasa yang diperdagangkan tidak
lagi mengikuti hukum ekonomi mengenai permintaan dan penjualan,
melainkan semata-mata ditentukan oleh satu atau lebih pelaku ekonomi yang
menguasai pasar tersebut.
C. Praktek Menjual Rugi Dalam Industri Retail Dalam Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999
Proses menjual rugi pada dasarnya dapat dilakukan oleh kegiatan usaha
Prosesnya dilakukan dengan menjual di bawah harga rata-rata atau menjual di
bahwa harga biaya produksi dan pada waktu tertentu dikembalikan lagi ke
normal setelah para pesaing produk yang sama tidak ada lagi di pasaran.
Dengan demikian ada tempo atau waktu yang diambil dari jarak menjual rugi
lalu kembali kepada normal.
Sedangkan Ningrum Natasya Sirait membagi empat macam proses
kegiatan menjual ke pasar sebagai tindakan menjual rugi yaitu:21
1. Teori yang dikemukakan Philip Areeda dan Donald Turner “Cost Based
school” atau dijelaskan diterapkannya pendekatan ekonomi dalam
memutuskan kasus menjual rugi. Alasannya adalah menjual rugi tidak akan
berarti apapun bila tidak timbul adanya kehilangan keuntungan dalam
waktu dengan tujuan akan mendapatkan keuntungan kembali kelak. Areeda
dan Turner mengusulkan agar tanggungjawab seorang monopolis dalam
menjual rugi harus diputuskan berdasarkan perhitungan secara khusus
terhadap biaya produksi. Menurut mereka, harga monopoli harus dilihat
sebagai tindakan menjual rugi hanya bila harga penjualan adalah di bawah
harga marginal ketika output ditambah satu. Begitupun karena data
mengenai biaya marginal sukar didapat, Areeda Turner berpendapat bahwa
harga adalah harga menjual rugi bila harga jual merupakan harga di bawah
antisipasi harga rata-rata. Sejak pendekatan ini diperkenalkan, peradilan
21
Ningrum Natasya Sirait, Menjual Rugi (Predatory Pricing) Dalam Hukum Persaingan
dan Pengaturannya dalam UU No. 5 /1999, Jurnal Hukum Bisnis Volume 23 No. 1 Tahun 2004,
hal. 73.
mulai banyak melakukan pendekatan analisis ekonomi dalam kasus
menjual rugi. Bahkan dapat dikatakan bahwa analisis ekonomi merupakan
komponen utama dalam pembuktian menjual rugi dengan menggunakan
berbagai pengujian berdasarkan biaya (cost) sebagaimana yang
diperkenalkan oleh Areeda dan Turner.
2. Teori proses yang kedua adalah apa yang disebit dengan “struktural filter
schol” yang menggunakan aturan perhitungan biaya hanya bila struktur
pasar menunjukkan bahwa tindakan menjual rugi akan mengakibatkan
proses persaingan terganggu. Pendekatan ini bertumpu pada kondisi
dimana kesempatan masuk ke pasar menghambat kemampuan pelaku yang
menjual rugi untuk melakukan recoupment investasinya dengan cara
menetapkan harga di bawah produksi.
3. Proses yang ketiga disebut dengan istilah no rule, yang menetapkan bahwa menjual rugi adalah tindakan yang jarang terjadi sehingga sebenarnya
hukum persaingan tidak perlu mengaturnya. Pertimbangannya adalah
bahwa pelaku yang menjual rugi tidak akan mampu bertahan, demikian
juga akan selalu ada pemain baru masuk ke pasar, sehingga strategi ini
tidak akan mampu bertahan lama. Kalau perilaku ini diatur oleh Hukum
Persaingan, maka dikhawatirkan justru akan mengganggu strategi yang pro
persaingan dan konsumen akan dirugikan.
4. Proses yang keempat disebut dengan game theoritic, yang memandang
kondisi dan menolak perhitungan analisis harga untuk mengidentifikasikan
perilaku yang melanggar hukum. Pendekatan ini berdasarkan analisis
bahwa perusahaan yang ada menggunakan informasi yang ada untuk
mengancam pesaing yang baru masuk untuk keluar dari pasar ataupun
mengurangi output.
Perdebatan pendapat para ahli hukum persaingan juga menyinggung
apakah perilaku pemotongan harga termasuk dalam pelanggaran. Frank
Easterbrook kemudian menolak pengujian biaya versi Areeda dan Turner dan
mengatakan bahwa pemotongan harga harus dinyatakan sebagai tindakan yang
dibenarkan atau perse legal. Bork dan Easterbrook sama-sama setuju terhadap
pendapat Areeda dan Turner bahwa menjual rugi kecil kemungkinannya dapat
dibuktikan karena kerugian yang dilakukan semasa menjual di bawah harga
seharusnya akan didapat kembali melalui keuntungan dari harga monopoli
ketika pesaing sudah ke luar dari pasar. Namun keduanya menyimpulkan
bahwa upaya untuk menghentikan tindakan menjual rugi adalah tidak berguna
karena berdasarkan analisis cost dan benefit, secara realita walaupun memiliki
kemampuan keuangan yang kuat, tindakan ini sulit untuk dilaksanakan.
Berdasarkan pendekatan di atas, dalam beberapa putusannya,
pengadilan melihat beberapa pertimbangan yaitu:
1. Hubungan antara harga monopoli dan biaya akan memberikan petunjuk
yang membantu mengevaluasi terjadinya menjual rugi dengan asumsi
bahwa menjual di bawah harga rata-rata. Evaluasi harga juga tergantung
pada faktor misalnya apakah hambatan masuk pasar memungkinkan pelaku
melakukan recoupment sesudah pesaing keluar dari pasar.
2. Pendekatan kedua fokus pada syarat struktural pasar untuk melihat
kemungkinan suksesnya menjual rugi.
3. Evaluasi mengenai pembuktian maksud.
Ilmu ekonomi pasar yang paling ideal adalah pasar yang bersaing
sempurna (perfect competition market). Pasar dapat dikatakan bersifat
persaingan sempurna jika memiliki ciri-ciri:
1. Barang yang diperjualbelikan homogen baik jenis maupun kualitasnya.
2. Jumlah penjual dan pembeli sangat banyak hingga tidak ada satu pun
pelaku pasar yang dapat menentukan harga secara sendiri-sendiri, baik di
pihak penjual maupun di pihak pembeli. Pada kondisi seperti ini, para ahli
ekonomi mengatakan bahwa harga ditentukan oleh pasar dan para penjual
hanya bisa menerima harga yang ditentukan oleh pasar (price taker). Oleh
karena harga ditentukan oleh pasar, berapapun jumlah barang yang
dijual harganya akan tetap sama bagi pedagang tersebut sehingga pada
umumnya keuntungan yang lebih banyak bagi penjual di dalam pasar
persaingan sempurna dapat dicapai jika dia dapat menjual lebih banyak.
Keinginan untuk menjual lebih banyak akan meningkatkan persaingan.
3. Tidak adanya hambatan masuk (barrier to entry) bagi setiap penjual untuk
masuk ke dalam pasar dan tidak ada pula hambatan untuk keluar (barrier
komponen biaya yang hilang jika dia harus berhenti berjualan. Salah satu
alasan utama yang mendorong orang untuk masuk ke dalam pasar adalah
adanya keuntungan yang diterima oleh para pelaku yang ada di dalam
pasar. Dengan kecilnya kemungkinan biaya yang hilang jika seorang
penjual keluar dari pasar, maka dorongan untuk ikut berusaha dalam
bidang yang sama akan semakin besar.
4. Setiap orang, baik penjual maupun pembeli mengetahui seluruh informasi
pasar secara sempurna.
Ada beberapa hal yang mungkin sangat sulit dicapai oleh setiap pasar
untuk mencapai kondisi pasar persaingan sempurna, terutama ciri pertama dan
keempat sebagaimana dijelaskan di atas. Sangat jarang dijumpai pasar yang
memiliki barang dan/atau jasa yang homogen. Demikian pula sangat langka
dimilikinya informasi yang sempurna oleh penjual dan pembeli. Ini adalah
jenis pasar yang ideal dalam prakteknya untuk dicapai.
Uraian di atas juga menjelaskan tentang keadaan-keadaan dihajatkan
dalam suatu pasar. Jadi ada suatu dilema jika kegiatan pasar tidak difungsikan
dari kegiatan persaingan yang sempurna, dimana produk yang diperjual
belikan hanya dipasok oleh satu orang pemasok atau dalam kegiatan pasar
telah terjadi kegiatan monopoli. Padahal untuk memunculkan pasar yang
sempurna maka diperlukan adanya beberapa pemasok yang melakukan
kegiatan jual beli secara baik sehingga tercipta persaingan yang sehat.
Selain ikhwal pemasok produk yang diperjual belikan, indikasi pasar
yang baik itu juga dipahami dari keadaan pasar dari sisi geografis. Pasar
geografis ini diindikasikan dalam suatu batasan wilayah, seperti kota, atau
negara. Dalam mengisi kegiatan pasar geografis ini juga dibutuhkan
persaingan, sehingga tercipta pasar yang sempurna, jadi tidak hanya satu orang
yang memainkan peranan penting dalam kegiatan pasar geografis ini karena
akan memunculkan praktek monopoli.
Ada dimensi yang harus diperhitungkan dalam uraian di atas untuk
memunculkan pasar sempurna dimana pasar tidak dikuasai oleh satu jenis
produk saja atau pasar dikuasai oleh satu pelaku semata. Dengan demikian
maka pasar bersangkutan berupaya menjelaskan keadaan tersebut sehingga
tercipta keadaan pasar yang sempurna.
Keadaan ini dijelaskan dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 yang memberikan pengertian tentang pasar bersangkutan sebagai
pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh
pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi
dari barang dan/atau jasa tersebut.
Pasar bersangkutan berupaya mengidentifikasikan keadaan-keadaan
yang menciptakan monopoli dalam kegiatan suatu pasar sehingga dapat
menghindarinya dan menciptakan pasar yang sempurna. Cara mengidentifikasi
pasar tersebut dilakukan dari segi faktual dan geografis, di samping itu
dijelaskan pula mengenai identifikasi pasar dari segi waktu. Pembatasan pasar
dapat menilai penguasaan pasar dari segi pemasok dan segi pembeli menurut
hukum persaingan usaha. Namun demikian pengaturan dalam Pasal 1 angka 10
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 hanya mengasumsikan adanya pasar
patokan, sehingga tidak dapat digunakan untuk mendefinisikan pasar
permintaan.
Berdasarkan uraian yang dijelaskan di atas dapat dibuat dua kriteria
pokok untuk menentukan pasar bersangkutan, yaitu pasar produk/pasar faktual
dan pasar geografis.
1. Pasar produk/pasar faktual
Pasar produk adalah unsur pertama yang harus diperhitungkan untuk
me-nentukan pasar bersangkutan. Ketentuan hukum persaingan di Indonesia
menentukan bahwa yang penting dalam penentuan pasar produk adalah
sejauhmana produk bersangkutan dapat disubstitusikan oleh produk lain.
Produk dengan karakter yang dapat diperbandingkan dalam pengertian harga
dan kegunaannya adalah bagian dari pasar produk yang sama.
Suatu pasar produk yang bersangkutan mencakup semua produk
dan/atau jasa yang dianggap sebagai produk dan/atau jasa yang dapat saling
dipertukarkan atau disubstitusikan oleh konsumen karena karekteristik produk,
harga dan tujuan penggunaannya.
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 pasar faktual
adalah pasar dimana terdapat barang dan atau jasa yang sama atau sejenis,
termasuk substitusinya. Namun demikian ketentuan tersebut tidak mengatur
siapa yang menentukan apakah barang dan/atau jasa tersebut adalah sama atau
sejenis, dan tidak pula mengatur kriteria untuk menentukan barang dan/atau
jasa tersebut adalah sama atau sejenis.
Praktek persaingan usaha menjelaskan bahwa terdapat dua pengujian
yang erat kaitannya satu sama lain dan saling melengkapi untuk
mengidentifikasi pasar produk yang bersangkutan yaitu kegunaan yang saling
dapat dipertukarkan dan elastisitas silang dari permintaan.
Untuk pemisahan pasar dari segi faktual, konsep yang terpenting adalah
konsep substitusi yang menentukan pasar bersangkutan dari segi faktual
dengan cara menetapkan barang dan/atau jasa mana yang dapat disubstitusi
barang dan/atau jasa lain. Dalam pasar bersangkutan faktual hanya terdapat
barang dan/atau jasa yang dapat saling mensubstitusi. Sebagai bagian dari
konsep tersebut terdapat berbagai model untuk menentukan hubungan
substitusi. Model tersebut antara lain adalah konsep rencana ekonomi yang
mendefinisikan hubungan antar pesaing dan dengan demikian pasar
bersangkutan faktual, atas dasar pengetahuan yang dikuasai pemasok bahwa
pemasaran barangnya tidak hanya ditentukan oleh parameter kegiatannya
sendiri, melainkan juga oleh parameter-parameter pemasok lain. Berkaitan
dengan konsep kekosongan sunstitusi, pasar bersangkutan faktual terhenti oleh
adanya kekosongan substitusi, karena hanya apabila terdapat rangkaian
substitusi, maka barang-barang tersebut dapat dalam pasar bersangkutan
Pendekatan yang dapat dilakukan untuk menganalisis pasar produk
adalah analisis substitusi yang dapat diukur dari :
a. Tingkat fungsional dari perdagangan, termasuk hubungan grosir dan retail
melalui rantai nilai yang komplek dan berlapis.
b. Substitusibilitas permintaan, hambatan bagi konsumen untuk beralih ke
produk atau pemasok lain.
c. Lingkup waktu analisis, biasanya satu tahun namun dapat pula 18 bulan
atau dua tahun.
d. Substitusi rantai, produk A dan C mungkin tidak saling bersubstitusi,
namun produk B dapat mensubstitusi keduanya, sehingga meletakkan A
dan C ke dalam satu pasar yang sama. Misalnya broadband cable TV
adalah substitusi untuk baik telephone maupun broadcast TV.
Analisis terhadap Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999,
dapat dijelaskan kriteria substitusi dapat dianalisis sebagai berikut :
a. Dapat ditentukan secara absolut sifat barang dan/atau jasa yang sama atau
sejenis. Petunjuk pertama adalah sifat fisik yang sama dari barang dan/atau
jasa, berkaitan dengan tujuan pemakaian yang sama sehingga dapat saling
dipertukarkan. Di samping itu sifat-sifat eksternal seperti citra merek atau
hasil pengujian barang dan/atau jasa bersangkutan yang dapat
mempengaruhi perilaku pembeli. Dua barang dan/atau jasa yang memiliki
sifat fisik yang sama dapat berada di dalam dua pasar yang berlainan
apabila salah satu dari barang dan/atau jasa tersebut mempunyai citra
merek yang khusus sehingga pembeli lebih suka pada barang dan/atau jasa
tertentu, dan tidak membeli barang dan/atau jasa yang citranya biasanya
saja.
b. Berdasarkan sifat barang dan/atau jasa, pembeli perlu mengganggap bahwa
barang dan atau jasa tersebut dapat diganti barang dan/atau jasa lain. Yang
pen-
ting adalah penggunaan konkrit oleh pembeli dan bukan tujuan penggunaan
potensial yang hipotetis.
Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 barang substitusi tidak
dapat disejajarkan dengan barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis, tetapi
dapat menggantikan kegunaan barang dan/atau jasa tertentu. Oleh sebab itu,
barang substitusi terdapat dalam pasar faktual yang sama, tetapi hanya berlaku
apabila barang dan/atau jasa yang berlainan tersebut dari segi kegunaan
utamanya dapat dipertukarkan. Apabila dua jenis barang dan/atau jasa dapat
dipertukarkan untuk kegunaan marjinal, maka barang tersebut tidak dianggap
berada di pasar faktual yang sama.
Faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam mengidentifikasikan
pasar produk adalah harga. Harga berperan penting bagi konsumen ketika
membeli barang dan/atau jasa tertentu. Harga berkaitan erat dengan kegunaan
barang, karena konsumen harus mempertimbangkan antara kegunaan barang
dengan harga yang perlu dibayar. Meskipun Pasal 1 angka 10 Undang-Undang
mengidentifikasi pasar, harga dapat juga berperan. Hal ini terjadi apabila ada
barang yang kegunaannya sama, sedangkan harganya berbeda-beda. Perbedaan
harga besar antara barang-barang yang dapat dipertukarkan menurut sifat
produk, akan dialo-kasikan di pasar berbeda-beda. Batas terendah perbedaan
harga antara pasar yang berbeda-beda tidak boleh ditentukan terlalu rendah.
Apabila perbedaan harga mencapai 100% maka barang-barang bersangkutan
dianggap terdapat dalam pasar yang berbeda.
Meskipun Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
mengasumsikan adanya pasar pasokan, pembatasan pasar permintaan juga
perlu karena pasal 13 tentang oligopsoni dan Pasal 18 tentang monopsoni
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 membahas praktek pihak
permintaan yang membatasi persaingan usaha.
2. Pasar geografis
Pasar geografis sebagai unsur kedua yang perlu diperhitungkan untuk
menentukan pasar yang bersangkutan. Pasar geografis dapat diartikan secara
luas sebagai area yang di dalamnya penjual produk atau jasa tertentu
menjalankan usaha. Pasar geografis dapat pula diartikan sebagai suatu pasar
yang di dalamnya penual produk atau jasa tertentu dapat menjalankan usaha
tanpa hambatan yang serius. Pasar geografis dapat saja dibatasi, misalnya
suatu kota kecil, atau dapat pula keseluruhan pasar internasional. Di antaranya
adalah mungkin untuk mempertimbangkan alternatif lain, seperti sejumlah
kota, provinsi, negara atau suatu region yang terdiri atas beberapa negara.
Pasar geografis juga diindikasikan mencakup area yang di dalamnya
perusahaan yang dipersoalkan terlibat dalam suplai produk dan/atau jasa yang
di dalamnya kondisi persaingan cukup homogen.
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyebutkan
jangkauan atau daerah pemasaran. Ini adalah pasar bersangkutan dari segi
geografis. Dengan identifikasi demikian, akan dapat ditentukan pasar-pasar
dengan jangkauan berbeda-beda, pasar lokal, pasar regional, pasar nasional,
pasar supranasional atau pasar dunia.
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyebutkan
daerah pemasaran. Daerah pemasaran adalah wilayah dimana pemasok barang
dan/atau jasa sedang mengalami persaingan. Dalam prakteknya tidak sulit
untuk menentukan kriteria tersebut, tetapi untuk mengidentifikasi pasar
geografis tidak dapat digunakan secara terpisah dari faktor-faktor lain yang
membatasi lebih lanjut daerah pemasaran. Selain itu struktur distribusi yang
sudah mantap kedudukannya dapat merupakan indikasi adanya pasar yang
sudah tertutup, karena struktur pemasaran tersebut merupakan hambatan
masuk pasar bagi pelaku usaha yang belum terintegrasi.
Praktek di Indonesia mengidentifikasi pasar geografis, biaya
transportasi berperan penting, karena dari biaya tersebut dapat dijelaskan
jangkauan wilayah barang dan/atau jasa bersangkutan dapat dipasok secara
ekonomis. Ketentuan hukum persaingan menentukan bahwa ketika
penting.
Hal berikutnya yang perlu diperhatikan adalah pasokan barang dan/atau
jasa yang terikat tempat. Barang dan/atau jasa tertentu hanya dapat dipasok di
daerah yang sempit. Hal ini terutama berlaku untuk jasa yang berkaitan dengan
kenyataan benda tidak bergerak. Karena itu dalam praktiknya di Indonesia jasa
pelabuhan dibatasi pada kawasan fasilitas pelabuhan bersangkutan sebagai
pasar geografis. Sama halnya dengan jasa yang disediakan oleh pengelola
bandar udara.
Unsur selanjutnya yang menentukan pasar geografis adalah kebiasaan
permintaan tertentu. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak
mencantumkan hal ini secara eksplisit, namun dapat dikatakan dari materinya,
karena daerah pemasaran tertentu tergantung kepada permintaan yang terbatas
pada daerah tertentu. Preferensi pembeli lokal yang diakibatkan berbagai
sebab, dapat menimbulkan struktur permintaan yang berbeda-beda.
BAB III
PENYEBAB TERJADINYA PRAKTEK JUAL RUGI DALAM
INDUSTRI RETAIL