• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV UPAYA HUKUM DALAM MENGATASI PERBUATAN

B. Upaya Represif (Pidana/Penal)

Kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang- undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik, akan tetapi kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif serta pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.204 Dengan demikian, kebijakan pidana termasuk salah satu bidang kriminologi.

Penggunaan upaya penal (sanksi/hukum pidana) dalam mengatur masyarakat (lewat perundang-undangan) pada hakikatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (Policy). Mengingat berbagai keterbatasan dan kelemahan hukum pidana, maka penggunaan upaya penal seyogianya dilakukan dengan lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif dan limitatif. Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan nampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktek perundang-undangan yang menunjukkan bahwa penggunaan

204

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005), halaman 22.

hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia, dimana penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan normal, seolah-olah eksistensinya tidak lagi dipersoalkan.205

Sudarto mengemukakan bahwa apabila hukum pidana hendak digunakan hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau social defence planning.206 Politik kriminal ialah pengaturan atau penyusunan secara rasional usaha- usaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat. Adapun tujuan akhir dari kebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama disebut dengan berbagai istilah misalnya kebahagiaan warga masyarakat/penduduk, kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan, kesejahteraan masyarakat atau untuk mencapai keseimbangan. Maka dilihat dari sudut politik kriminal, politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.

Herbert L. Packer menyatakan bahwa penggunaan sanksi/hukuman pidana secara sembarangan/tidak pandang bulu/menyamaratakan (indiscriminately) yang digunakan secara paksa (coercively) akan menyebabkan sarana pidana itu menjadi suatu pengancaman yang utama (prime threatener).207 Ada dua masalah sentral

205

Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1992), halaman 156.

206

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1977), halaman 104. 207

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum

dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penemuan :208

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Sanksi merupakan alat pemaksa, selain hukuman juga untuk menaati ketetapan yang ditentukan dalam peraturan atau perjanjian. Sanksi juga diartikan sebagai alat pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat kepada perjanjian. Menurut Philipus M. Hadjon, sanksi merupakan alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang digunakan oleh penguasa sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan pada norma hukum administrasi. Dengan demikian unsur-unsur sanksi, yaitu :209

1. Sebagai alat kekuasaan. 2. Bersifat hukum publik. 3. Digunakan oleh penguasa.

4. Sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan.

Sanksi ini selalu ada pada aturan-aturan hukum yang dikualifikasikan sebagai aturan hukum yang memaksa. Ketidaktaatan atau pelanggaran terhadap suatu kewajiban yang tercantum dalam aturan hukum mengakibatkan terjadinya ketidak teraturan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh aturan hukum yang bersangkutan.

208

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.cit, halaman 29. 209

Hal ini sesuai dengan fungsi sanksi yang dipakai untuk penegakkan hukum terhadap ketentuan-ketentuan yang biasanya berisi suatu larangan atau yang mewajibkan.210

Hakikat sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa suatu tindakan yang dilakukannya telah tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, dan untuk mengembalikan yang bersangkutan agar bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, juga untuk menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan hukum.

Ada terdapat 2 (dua) macam jenis sanksi dalam UUJN, yaitu :211 1. Sanksi Perdata

Sanksi ini berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga merupakan akibat yang akan diterima notaris atas tuntutan para penghadap jika akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum.

2. Sanksi Administratif Sanksi ini berupa :212 a. Teguran lisan. b. Teguran tertulis.

c. Pemberhentian sementara. d. Pemberhentian dengan hormat. e. Pemberhentian tidak hormat.

Sanksi terhadap notaris menunjukkan notaris bukan sebagai subjek yang kebal terhadap hukum. Terhadap notaris dapat dijatuhi sanksi perdata dan administratif, juga dapat dijatuhi sanksi etika dan sanksi pidana. Sanksi etika dapat dijatuhi terhadap notaris, karena notaris melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik Jabatan Notaris. Sanksi tersebut dijatuhkan oleh Majelis Kehormatan Notaris yang

210

Philipus M. Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum, (Surabaya : Yuridika, 1992), halaman 6.

211

Pasal 84 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. 212

berupa pemberhentian secara tidak hormat atau secara hormat dari keanggotaan Organisasi Jabatan Notaris.

Kedudukan kode etik notaris sangatlah penting, bukan hanya karena notaris merupakan suatu profesi sehingga perlu diatur dengan suatu kode etik, melainkan juga karena sifat dan hakikat dari pekerjaan notaris yang sangat berorientasi pada legalisasi, sehingga dapat menjadi fundamen hukum utama tentang status harta benda, hak, dan kewajiban seorang klien yang menggunakan jasa notaris tersebut.213

Menurut Ismail Saleh, notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut :214

1. Mempunyai integritas moral yang mantap.

2. Harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri (kejujuran intelektual). 3. Sadar akan batas-batas kewenangannya.

4. Tidak semata-mata berdasarkan uang.

Sanksi pidana terhadap notaris harus dilihat dalam rangka menjalankan tugas jabatan notaris, artinya dalam pembuatan atau prosedur pembuatan akta harus berdasarkan kepada aturan hukum yang mengatur hal tersebut, dalam hal ini UUJN. Jika semua tatacara pembuatan akta sudah ditempuh suatu hal yang tidak mungkin secara sengaja notaris melakukan suatu tindak pidana yang berkaitan dengan akta tersebut. Pengertian sengaja (dolus) yang dilakukan oleh notaris, merupakan suatu

213

Munir Fuady, Etika Profesi Hukum Bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris, Kurator, dan

Pengurus : Profesi Mulia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005), halaman 133.

214

http://mkn-unsri.blogspot.com/2010/06/tanggung-jawab-profesi-notaris-dalam.html,

tindakan yang disadari atau direncanakan dan diinsyafi segala akibat hukumnya, dalam hal notaris sebagai sumber untuk melakukan kesengajaan bersama-sama dengan para penghadap. Sanksi pidana terhadap notaris tunduk terhadap ketentuan pidana umum, yaitu KUHP. UUJN tidak mengatur mengenai tindak pidana khusus untuk notaris.

Dengan adanya lebih dari satu jenis sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap notaris, berkaitan dengan kumulasi sanksi terhadap notaris. Dalam kaidah peraturan perundang-undangan di bidang hukum administrasi, sering tidak hanya memuat satu macam sanksi, tetapi terdapat beberapa sanksi yang diberlakukan secara kumulasi, adakalanya suatu ketentuan peraturan perundang-undangan tidah hanya mengancam pelanggarnya dengan sanksi pidana, tapi pada saat yang sama mengancamnya dengan sanksi administrasi.215

UUJN hanya mengatur sanksi perdata dan sanksi administrasi, dan kedua sanksi ini tidak dapat dikumulasikan dan tidak dapat dilakukan secara bersama-sama, karena masing-masing sanksi tersebut dapat dijatuhkan karena melakukan jenis pelanggaran yang berbeda yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN dan Pasal 85 UUJN yang berbunyi :

Pasal 84 UUJN

Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf K, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta

215

Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat

di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris.

Pasal 85 UUJN

Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 16 ayat (1) huruf b, Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 16 ayat (1) huruf d, Pasal 16 ayat (1) huruf e, Pasal 16 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf h, Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf j, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63, dapat dikenai sanksi berupa :

a. Teguran lisan. b. Teguran tertulis.

c. Pemberhentian sementara. d. Pemberhentian dengan hormat. e. Pemberhentian dengan tidak hormat.

Dalam hal penjatuhan sanksi, jika notaris terbukti melakukan pelanggaran dalam jabatannya, maka notaris yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya (Pasal 9 ayat (1) UUJN) atau diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya (Pasal 12 UUJN), seperti :

1. Sanksi Perdata, berupa :

a. Dalam proses pailit atau penundaan pembayaran (Pasal 9 ayat (1) huruf a UUJN).

b. Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 12 huruf a UUJN).

2. Sanksi pidana, berupa dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dengan (ancaman) pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih (Pasal 13 UUJN).

a. Melakukan perbuatan tercela (Pasal 9 ayat (1) huruf c UUJN).

b. Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan notaris (Pasal 12 huruf c UUJN).

4. Sanksi Administratif, berupa :

a. Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan (Pasal 9 ayat (1) huruf d UUJN).

b. Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan (Pasal 12 huruf d UUJN).

Pemidanaan terhadap notaris dapat saja dilakukan dengan batasan, jika : 1. Ada tindakan hukum dari notaris terhadap aspek formal (kepastian hari, tanggal,

bulan, tahun dan pukul menghadap) akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat di hadapan notaris atau oleh notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana.

2. Ada tindakan hukum dari notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN.

3. Tindakan notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan suatu notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.

Seperti contoh kasus :

Notaris Ade Rachman Maksudi, sekira bulan Desember 1990 telah membuat perubahan dan penambahan kalimat pada akta No. 132 tanggal 26 Desember 1990 atas akta Yayasan Trie Argo Mulyo dalam selembar kertas, perubahan mana dilakukan atas permintaan Haji Sugeng Imam Soeparno selaku salah satu pendiri yayasan. Akan tetapi perubahan tersebut sampai sekarang belum

dimuat ke dalam isi asli/minuta akte Trie Argo Mulyo No. 132 tanggal 26 Desember 1990 hingga sampai dikeluarkan salinan atau turunan akta sebanyak 2 (dua) rangkap yakni :

a. Salinan dengan akta HVS (khusus untuk akta) dibubuhi materai Rp. 1000,- dan ditanda tangani oleh notaris Ade Rachman maksudi.

b. Salinan memakai dorslaq tanpa materai dan diparaf oleh notaris Ade Rachman maksudi.

Akta notaris yang dikeluarkan Ade Rachman Maksudi tersebut sangat berbeda bunyinya dengan akta yang dikeluarkan oleh notaris Soeparno selaku pejabat yang menampung seluruh protokol notaris Ade Rachman Maksudi. Akibatnya menimbulkan kerugian pada PT. Pancing Business`Centre yakni tidak dapat melakukan transaksi penjualan ruko-ruko yang telah dibangun, tidak dapat melakukan proses balik nama terhadap yang telah laku dijual dan terganggunya dalam pembayaran kredit di Bank. Akibat perbuatan notaris tersebut dijatuhi pidana penjar selama 2 tahun.

Dengan perbuatan yang dilakukan notaris tersebut, maka bisa dijerat dengan Pasal 264 ayat (1) ke 1 dan Pasal 263 ayat (1) KUHP, yang berbunyi :

Pasal 264 :

(1) Sitersalah dalam perkara memalsukan surat, dihukum penjara selama- lamanya delapan tahun, kalau perbuatan itu dilakukan :

1e. Mengenai surat authentiek

2e. Mengenai surat utang atau surat tanda utang (certificaat) dari sesuatu surat negara atau sebahagiannya atau dari sesuatu balai (instelling) umum.

3e. Mengenai saham-saham (aandeel) atau surat utang atau certificaat tanda saham atau tanda utang dari sesuatu perserikatan, balai, atau perseroan atau maskapai.

4e. Mengenai talon atau surat tanda utang sero (dividend) atau tanda bunga uang dari salah satu surat yang diterangkan pada 2e dan 3e, atau tentang surat keterangan yang dikeluarkan akan pengganti surat itu .

5e. Mengenai surat utang-piutang atau surat perniagaan yang akan diedarkan.

(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan akte itu seolah-olah isinya cocok dengan hal yang sebenarnya, ayat pertama, seolah-olah itu surat asli dan tidak dipalsukan, jika pemakaian surat itu dapat mendatangkan sesuatu kerugian.

Pasal 263 ayat (1) :

Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama- lamanya enam tahun.

Hal ini terjadi kemungkinan penyebabnya adalah kode etik tidak mempunyai sanksi yang keras terhadap pelanggaran kode etik profesi. Dimana keberlakuan kode etik profesi hanya semata-maata berdasarkan kesadaran moral anggota profesi, berbeda dengan undang-undang yang bersifat memaksa dan dibekali dengan sanksi yang keras. 216

Dilihat dari tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh notaris tersebut, maka perbuatan notaris tersebut dapat digolongkan ke dalam pelanggaran berat yaitu suatu perbuatan yang telah mencemarkan, serta merendahkan martabat dan kehormatan profesi. Dintinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, maka notaris tersebut dapat dikenakan sanksi berupa pemberhentian sementara dari jabatannya.

Selain itu pula, apabila dikaji dari Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, dikaitkan dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, mengenai larangan bagi notaris, khususnya huruf I dari pasal tersebut, yang berbunyi “melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan notaris”, maka

216

Muhammad Abdul Kadir, Etika Profesi Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), halaman 80.

dengan demikian notaris tersebut telah melanggar ketentuan larangan bagi notaris. Dikatakan demikian karena dengan perbuatan pidana yang dilakukan oleh notaris yang bersangkutan tidak sesuai dengan kepatutan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh seseorang yang menjabat sebagai profesi notaris.

Selain dari itu, Menurut Abdul kadir Muhammad, upaya pencegahan terhadap kejahatan di lingkungan professional dapat dilakukan melalui upaya penal dengan cara :

a. Klausula penundukan pada undang-undang

Setiap undang-undang mencantumkan dengan tegas sanksi yang dapat diancamkan kepada pelanggarnya. Dengan demikian menjadi pertimbangan bagi warga, tidak ada jalan lain kecuali taat. Jika terjadi pelanggaran berarti warga yang bersangkutan bersedia dikenai sanksi yang cukup memberatkan atau merepotkan baginya. Ketegasan sanksi ini lalu diproyeksikan kepada rumusan kode etik profesi yang memberlakukan sanksi undang-undang kepada pelanggarnya. Dalam rumusan kode etik profesi dicantumkan ketentuan : “pelanggaran terhadap kode etik dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku”.

b. Legalisasi kode etik

Tata cara mengenai hal ini: dalam rumusan kode etik ditentukan apabila terjadi pelanggaran, kewajiban mana yang cukup diselesaikan melalui dewan kehormatan, mana yang harus diselesaikan lewat pengadilan. Untuk memperoleh legaliasasi, ketua profesi yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri setempat agar kode etik profesi disahkan dengan akte penetapan pengadilan yang berisi perintah penghukuman kepada setiap anggotanya.217

Dengan demikian, penggunaan hukum pidana atau sarana penal harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materil spiritual berdasarkan pancasila, maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan

217

107

pengurangan terhadap tindakan penganggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.218

218

Dokumen terkait